Riya bisa Membatalkan Ibadah?
Ustadz, apakah perlu mengulang solat (fardhu) dikarenakan ketika mengerjakan solat tsb, dia melakukan riya’? Apakah sah solatnya tsb?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meningatkan, bahwa riya bisa membatalkan ibadah yang kecampuran riya. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku paling tidak butuh sekutu dalam kesyirikan. Siapa yang melakukan amalan, dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku dalam amalan tersebut, Aku tinggalkan amal itu dan sekutunya. (HR. Muslim 7666)
Yang dimaksud syirik dalam hadis ini adalah syirik dalam motivasi beribadah. Seseorang beribadah dengan motivasi bukan untuk mendapatkan balasan dari Allah, namun ingin mendapatkan balasan dari manusia. apapun bentuknya.
Bagaimana Hubungan Riya dengan Keabsahan Ibadah?
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa hubungan riya dengan ibadah ada 3 macam:
Pertama, motivasi dia beribadah dari awal adalah untuk mendapatkan perhatian dari manusia. seperti orang yang beribadah dengan tujuan dia dari awal agar diakui bagian dari muslim. Riya ini membatalkan ibadah.
Kedua, dari awal niatnya ikhlas, namun kemudian muncul riya di tengah ibadah
Ada dua keadaan untuk kasus ini:
[1] Ibadah yang dia lakukan bukan satu kesatuan
Seperti membaca al-Quran, sedekah, belajar, mengajar, dst.
Misalnya: orang membaca al-Quran dengan ikhlah sebanyak 1 halaman. Tiba-tiba muncul riya ketika membaca halaman berikutnya. Maka 1 halaman pertama yang dia baca dengan ikhlas, statusnya sah. Sementara bacaan lanjutannya tidak sah.
Atau orang bersedekah 50 rb ikhlas. Kemudian dia bersedekah lagi 100 rb, tapi karena untuk pamer. Sedekah yang pertama sah, dan sedekah kedua tidak sah, karena kecampuran riya.
[2] Ibadah yang dikerjakan, satu kesatuan. Batal di akhir, membatalkan semuanya
Seperti shalat, atau puasa, dst.
Ada beberapa keadaan untuk kasus ini,
Ketika riya itu muncul, dia segera koreksi hatinya dan menolak riya sebisa yang dia lakukan. Dalam kondisi ini, riya tidak memberikan pengaruh apapun bagi ibadahnya. Karena lintasan batin riya semacam ini, mustahil bisa hilang dari manusia.
Ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا إِلاَّ أَنْ يَتَكَلَّمُوا بِهِ أَوْ يَعْمَلُوا بِه
Allah memaafkan bisikan hati dari umatku, sampai dia ucapkan atau dia amalkan. (HR. Bukhari 5269 & Nasai 3433)
Dia menikmati munculnya riya ini, dan tidak ditolak. Dalam kondisi ini semua ibadahnya batal dari awal. Karena ibadahnya satu kesatuan.
Sebagai contoh, orang yang shalat dengan ikhlas, namun ketika di rakaat ketiga, dia riya. Dan dia tidak berusaha menolaknya. Shalatnya batal dari awal.
Ketiga, muncul riya setelah selesai ibadah
Semacam ini tidak mempengaruhi keabsahan ibadah dan tidak membatalkannya. Karena shalatnya selesai dengan benar, dan tidak menjadi batal gara-gara muncul riya.
Dan bukan termasuk riya, ketika seseorang merasa senang seusai ibadah karena dia tahu, ibadahnya dilihat orang lain. Karena rasa senang ini muncul setelah selesai ibadah.
Bukan termasuk riya ketika seseorang bahagia seusai melakukan ketaatan. Bahagia karena melakukan ketaatan, termasuk tanda iman.
Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Bukan juga termasuk riya, ketika ada orang yang melakukan ketaatan, kemudian dia dipuji orang lain.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, tentang orang yang melakukan ketaatan kemudian dia dipuji masyarakat. Kata beliau,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
Itu adalah berita gembira yang disegerakan untuk orang mukmin. (HR. Ahmad 21988 & Muslim 6891)
Allahu a’lam
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/207
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: https://konsultasisyariah.com/