Type Here to Get Search Results !

 


HALAL-HARAM BISNIS ONLINE


Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi

Anda yang mencari rezeki di dunia maya (online), ketahulah bahwa ada model bisnis online yang melanggar syariat. Agar tidak terjerumus ke kubangan harta haram, ketahuilah batasan penting agar bisnis online Anda berada di zona halal.

Kemajuan teknologi informatika juga merambat ke perdagangan. Dulu, transaksi niaga hanya dapat dilakukan dengan menghadirkan kedua belah pihak yang bertransaksi dalam satu majelis. Sekarang, dengan jaringan Internet, jarak tidak lagi menjadi kendala untuk bertransaksi.

Transaksi seperti itu populer disebut jual-beli online. Transaksi dengan jaringan Internet ini berlangsung pada jual-beli barang/jasa, penukaran mata uang, penarikan uang tunai, pengiriman uang dan seabreg transaksi lainnya. Perbankan memanfaatkan kemajuan teknologi informatika untuk melayani para nasabahnya dengan lebih mudah, cepat dan nyaman.

Para ulama sepakat, transaksi barang dan uang yang disyaratkan secara tunai tidak boleh dilakukan melalui Internet, seperti jual-beli emas atau perak. Karena itu, tidak sah membeli emas atau perak melalui Internet dengan cara transfer uang ke rekening penjual, kemudian emas diterima pembeli beberapa waktu setelah uang ditransfer. Transaksi semacam ini termasuk riba nasi’ah (tukar-menukar barang ribawi yang ‘illatnya sama, dengan cara tidak tunai).

Dari Ubadah abin Shomit, Rasulullah Shalallaahu  ‘alaihi wa sallam bersabda: “(jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama beratnya dan tunai.”—HR Muslim

Berdasarkan hadits tersebut, seperti kita ketahui bersama, barang ribawi ada enam: emas, perak, kurma, gandum kasar, gandum halus, dan garam. Keenam barang ini dikelompokkan menjadi dua berdasarkan illatnya (fungsinya). Emas dan perak dianggap satu kelompok, karena fungsinya sama: alat tukar. Sedangkan empat sisanya masuk kelompok dua, dengan fungsi sama: bahan makanan. Tukar- menukar barang ribawi yang sama fungsinya, seperti emas dengan perak, atau uang, harus dilakukan tunai. Jika ada penundaan penyerahan, terjebak dalam larangan riba nasi’ah.

Namun jika barang dapat diserah-terimakan saat itu juga, diperbolehkan, seperti; penukaran mata uang asing melalui anjungan tunai mandiri (ATM).


Untuk mempermudah pemahaman, kita ilustrasikan: A memiliki tabungan berbentuk rupiah di salah satu bank di Indonesia. Saat A di luar negeri, ia membutuhkan dolar Amerika. A menarik uang tunai dolar AS dengan kartu ATM-nya di salah satu mesin ATM sebuah bank di negeri ia berada. Transaksi yang dilakukan A diperbolehkan dan tidak termasuk riba bai’ (jual-beli), karena yang terjadi penukaran rupiah dengan dolar, secara tunai.

Berdasarkan keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh Organisasi Kerjasama Islam/OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990, setelah menjelaskan kaidah dalam transaksi menggunakan sarana komunikasi modern, “Kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas tidak dapat diterapkan untuk akad nikah karena disyaratkan harus ada saksi, juga tidak dapat diterapkan untuk sharf (tukar-menukar mata uang, atau jual-beli emas dan perak) karena disyaratkan harus serah-terima barang dan uang secara tunai”.—Jurnal Majma’ Al Fiqh Al Islami edisi VI jilid II hal 785

Untuk barang yang tidak disyaratkan serah terima secara tunai dalam transaksi, yaitu seluruh jenis barang, selain emas, perak dan mata uang, bisa di-transaksikan melalui internet. Hukumnya ini ditakhrij (diturunkan) dari kasus jual-beli melalui surat-menyurat.

Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990—dalam Jurnal Majma’ Al Fiqh Al Islami edisi VI jilid II hal 785, juga memutuskan: “Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan, tidak berada dalam satu majelis dan satu dengan lainnya tidak saling melihat atau mendengar, sedangkan media perantara antara mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, sebagaimana hal ini dapat diterapkan pada faksmili, teleks dan layar komputer (Internet). Dalam hal ini akad berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang bertransaksi“.

Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fiqh OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990 juga menyebutkan, Bila transaksi berlangsung dalam satu waktu sedangkan kedua belah pihak berada di tempat yang berjauhan, seperti yang diterapkan pada transaksi melalui telepon ataupun telepon seluler, maka akad ijab dan qabul yang terjadi adalah langsung, karena seolah-olah keduanya berada dalam satu tempat”.

Dalam transaksi online, penyediaan aplikasi permohonan barang oleh pihak pemilik situs (penjual) merupakan ijab. Sedangkan pengisian dan pengiriman aplikasi yang telah diisi oleh pembeli merupakan qabul.

Penjelasan di atas masih meninggalkan satu masalah, bagaimana dengan status fisik barang yang diperjual-belikan, yang tidak dapat disaksikan pembeli langsung, namun hanya berupa gambar beserta spesifikasinya. Apakah ini mempengaruhi keabsahan jual-beli online?

Terkait masalah pembeli yang tidak dapat melihat barang secara langsung, namun hanya kriteria dan spesifikasi, masih diperselisihkan para ulama. Sistem transaksi semacam ini dianalogikan dengan bai’ alghaib ala shifat. Yaitu jual-beli barang yang tidak dihadirkan pada majelis akad, atau tidak dapat disaksikan langsung, seperti membeli barang dalam kardus/kotak yang isinya hanya dijelaskannya melalui keterangan.

Agar lebih sistematis mengupas hukum bai’ alghaib ala shifat pada transaksi online, kita perlu lebih dulu membedakan antara menjual barang milik sendiri dan menjualkan barang milik orang lain (makelar).

Menjual Barang Milik Sendiri

Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menjual barang milik pribadi secara online, yang sejatinya merupakan perselisihan mengenai hukum bai’ alghaib ala shifat.
  • Pendapat pertama: Tidak sah jual-beli barang yang tidak dihadirkan pada saat akad, sekali pun barang tersebut ada. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi’i.
An Nawawi dalam Minhajut Thalibin, jilid II, hal 12 menulis, “Pendapat yang kuat dalam mazhab bahwa tidak sah bai’ alghaib ala shifat“. Pendapat ini berpegang pada riwayat dari Abu Hurairah bahwa “Nabi melarang jual beli Gharar.”—HR Muslim

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar, dan jual-beli barang yang tidak terlihat oleh mata. Sementara menjual dengan sekadar penjelasan melalui keterangan termasuk jual-beli gharar, karena objeknya tidak jelas.

Tanggapan: Tidak benar bai’ alghaib ala shifat termasuk jual-beli gharar. Karena sebuah objek barang bisa menjadi jelas melalui indera mata (melihat langsung), atau melalui indera yang lain. Adanya penjelasan spesifikasi barang melalui keterangan, baik dalam bentuk tulisan atau pun lisan tidaklah dianggap menyembunyikan barang. Sementara syariat menghukumi sama antara mengetahui sesuatu dan melihat langsung atau pun dengan sekadar uraian keterangan.

Allah berfirman, (yang artinya): “Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya“.—Al-Baqarah: 89
Dalam ayat di atas, Allah menghukumi orang Yahudi sebagai kafir karena keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal  mereka telah mengetahui sifat-sifatnya dari penjelasan kitab mereka. Allah menghukumi sama antara pengetahuan melalui uraian keterangan dengan menyaksikan langsung.

Begitu juga sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang wanita yang bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menceritakan ciri-ciri tubuh wanita tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat langsung wanita yang dia ceritakan”.—HR Bukhari

Hadits ini sangat tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui keterangan dan cerita dengan melihat langsung.

Dengan demikian, penjelasan spesifikasi barang melalui keterangan dihukumi sama dengan melihat langsung dan tidak ada unsur gharar, karena barang sudah jelas, demikian dikemukakan Dr. Adil Syahin, dalam aqdut taurid; haqiqatuhu wa ahkamuhu fil fiqhil Islami jilid I, hal 296.
  • Pendapat kedua: bai’ alghaib ala shifat hukumnya sah. Pendapat ini merupakan mazhab mayoritas para ulama: Hanafi, Maliki dan Hanbali dalam Al Mausu’ah al Kuwaitiyah jilid IX, hal 16.
Dalil pendapat kedua adalah nash-nash yang menjelaskan bahwa hukum jual-beli pada dasarnya adalah boleh/halal. Seperti firman Allah, yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli”.—Al-Baqarah: 275

Bai’ alghaib ala shifat termasuk jual-beli. Sementara hukum asal jual-beli adalah halal. Dengan demikian, bai’ alghaib ala shifat hukumnya halal.

Juga tidak ada hal-hal yang menyebabkan jual-beli ini menjadi haram sehingga hukumnya tetap pada kaidah dasar yaitu halal.

Wallahu a’lam, insyaaAllah pendapat kedualah yang lebih kuat, karena tidak ada hal yang mengubah hukumnya dari halal menjadi haram. Hanya saja perlu diingat, penjelasan spesifikasi haruslah jelas. Jika tidak, seperti seorang penjual mengatakan kepada pembeli: “Saya jual baju yang ada dalam kotak ini,” tanpa menjelaskan warna, ukuran, model, jenis dan hal-hal lain yang mempengaruhi harga barang, maka hukumnya haram karena termasuk jual beli gharar.

Penjual Online Tidak Memiliki Barang yang Ia Tampilkan

Para ulama sepakat, tidak sah hukum jual-beli jika pemilik situs tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya.

Sebagai ilustrasi, ada tiga pihak yang terlibat: A, pemilik barang X, B sebagai penjual online, dan C pembeli melalui Internet. Mula-mula C mengirim aplikasi permohonan barang X. B langsung menghubungi A, yang sesungguhnya sebatas untuk konfirmasi keberadaan barang tanpa melakukan akad jual-beli. Setelah B yakin barang ada, dia meminta C mentransfer uang ke rekeningnya. Setelah uang diterima, barulah B membeli barang X dari A, lalu mengirimkannya kepada C.

Akad jual-beli semacam itu tidak sah. Karena ia menjual barang yang bukan miliknya, dan hal ini mengandung unsur gharar. Sebab dia belum bisa memastikan pada saat akad berlangsung, apakah barang dapat dikirim kepada pembeli atau tidak?

Hal tersebut berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia berkata, “Wahai Rasulullah!Seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang dia inginkan dari pasar? Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” –HR Abu Daud; dishahihkan al-Albani

Untuk menghindari hal di atas dan agar jual-beli menjadi sah, pemilik situs dapat melakukan langkah-langkah berikut:
  1.     Penjual (B) memberi tahu kepada setiap calon pembeli (C) bahwa penyediaan aplikasi permohonan barang bukan berarti ijab dari penjual (B).
  2.     Setelah calon pembeli mengisi aplikasi dan mengirimkannya, B tidak boleh menerima akad jual-beli langsung, akan tetapi dia beli terlebih dahulu barang tersebut dari si A dan diantar ke tempat B, kemudian baru B dibolehkan menjawab permohonan C dan memintanya untuk transfer uang ke rekeningnya, lalu mengirimkan barang ke pembeli (C).
  3.     Untuk menghindari kerugian akibat pembeli via Internet membatalkan niatnya selama masa tunggu, sebaiknya penjual online (B) meminta syarat kepada pemilik barang (A) bahwa ia berhak mengembalikan barang selama tiga hari sejak barang dibeli, ini yang dinamakan khiyar syarat.— http://www.islamqa.com
Jika langkah-langkah di atas diikuti, jual-beli menjadi sah dan keuntungannya pun halal. Wallahu’alam.***

Penulis adalah doktor Ushul Fiqh lulusan Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, KSA; aktif menulis, memberikan seminar, kajian, ceramah dan diskusi ilmiyah tentang Fiqh Muamalat di berbagai media


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du

Kemajuan teknologi informasi telah memanjakan umat manusia. Berbagai hal yang dahulu seakan mustahil dilakukan, kini dengan mudah terlaksana. Dahulu, praktik perdagangan banyak dibatasi waktu, tempat, ruang, dan lainnya. Namun kini batasan-batasan itu dapat dilampaui. Keterbatasan ruang tidak lagi menjadi soal, sebagaimana perbedaan waktu tidak lagi menghambat Anda untuk menjalankan berbagai perniagaan. Dengan demikian, secara logis kapasitas perniagaan Anda dan juga hasilnya semakin berlipat ganda.

Di antara kemajuan teknologi informatika yang banyak membantu perdagangan ialah internet. Dengan memanfaatkan jaringan online, Anda dapat memasarkan barang sebanyak mungkin, dan mendapatkan konsumen sebanyak mungkin pula.

Walau demikian, bukan berarti Anda bebas menjalankan perniagaan sesuka hati. Berbagai batasan yang berlaku dalam syariat tetap harus Anda indahkan, agar perniagaan online Anda sejalan dengan syariat Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, saya mengajak Anda untuk mengenal berbagai batasan dalam berniaga secara online.

Pertama, Produk Anda Halal

Kewajiban menjaga hukum halal-haram dalam objek perniagaan tetap berlaku, termasuk dalam perniagaan secara online, mengingat Islam mengharamkan hasil perniagaan barang atau layanan jasa yang haram, sebagaimana ditegaskan dalam hadis: “Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR Ahmad, dan lainnya).

Boleh jadi ketika berniaga secara online, rasa sungkan atau segan kepada orang lain sirna atau berkurang. Tapi Anda pasti menyadari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tetap mencatat halal atau haram perniagaan Anda.

Kedua, Kejelasan Status Anda

Di antara poin penting yang harus Anda perhatikan dalam setiap perniagaan adalah kejelasan status Anda. Apakah sebagai pemilik, atau paling kurang sebagai perwakilan dari pemilik barang, sehingga berwenang menjual barang. Ataukah Anda hanya menawarkan jasa pengadaan barang, dan atas jasa ini Anda mensyaratkan imbalan tertentu. Ataukah sekadar seorang pedagang yang tidak memiliki barang namun bisa mendatangkan barang yang Anda tawarkan.

Berikut ini saya sarikan hukum berdagang secara online pada masing-masing kemungkinan kasus di atas.

1. Sebagai pemilik barang atau perwakilannya (agen/distributor resmi)

Secara prinsip, pada posisi ini, Anda boleh menjual barang secara offline atau online, sebagaimana Anda juga dibenarkan untuk menjualnya secara tunai atau secara kredit dengan harga yang Anda tentukan atau sesuai kesepakatan.

2. Sebagai pemberi layanan pengadaan barang

Karena Anda memiliki relasi yang luas atau kemampuan pengadaan barang yang memadai, mungkin Anda menawarkan jasa ke orang lain untuk pengadaan barang yang mereka butuhkan. Dan bila alternatif ini yang Anda jalankan, dan atasnya Anda meminta imbalan, secara prinsip imbalan tersebut halal, asalkan nominalnya jelas dan disepakati pada sejak awal akad. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kaum Muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.”  (HR.  Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan lainnya)

Misal, Anda menjadi supplier restoran tertentu untuk kebutuhan barang tertentu. Anda berhak mendapat upah dari restoran tersebut.

3. Sebagai pedagang yang tidak memiliki barang dan juga bukan sebagai perwakilan

Bila yang Anda lakukan hanya sebatas memasang gambar barang atau kriteria barang, dan bukan sebagai pemilik atau perwakilannya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:

a. Anda mensyaratkan pembayaran secara tunai kepada setiap calon pembeli. Dengan demikian, calon pembeli melakukan pembayaran lunas tanpa ada yang terutang sedikit pun atas setiap barang yang ia pesan. Dengan metode ini Anda melakukan perniagaan dengan skema akad salam. Metode ini dibenarkan secara syariat walaupun pada saat transaksi Anda tidak memiliki barang. Dan syaratnya sekali lagi, Anda harus menerima uang dari pembeli secara tunai.

Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan: “Pada suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin Aufa. Mereka berdua berpesan: bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabi semasa hidup Nabi memesan gandum dengan pembayaran lunas di muka? Ketika sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab: Dahulu kami memesan gandum, sya’ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati dari para pedagang Negeri Syam. Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu.” (HR. Al-Bukhari)

b. Anda tidak menerima pembayaran tunai atau hanya menerima uang muka

Salah satu ciri khas perniagaan secara online adalah barang yang menjadi obyek transaksi hanya bisa diserah-terimakan selang beberapa waktu. Serah terima fisik barang secara langsung dalam jual-beli secara online adalah suatu hal yang mustahil dapat dilakukan.

Dalam kondisi ini, Anda melakukan transaksi yang sama-sama terutang. Sementara secara hukum, transaksi ini termasuk transaksi bermasalah.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada hadis sahih satu pun tentang larangan menjual piutang dengan piutang, akan tetapi kesepakatan ulama telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang.”

Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir. (at-Talkhis al-Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3:406 dan Irwa’ul Ghalil oleh al-Albani 5:220-222)

Karena itu agar Anda tidak terjerumus dalam akad jual-beli utang dengan utang, maka lawan transaksi harus melakukan pembayaran secara tunai, sehingga skema jual beli yang anda lakukan menjadi transaksi salam.

Ketiga, Kejujuran Anda

Berniaga secara online, walaupun memiliki banyak keunggulan dan kemudahan, namun bukan berarti tanpa masalah. Berbagai masalah dapat saja muncul pada perniagaan secara online. Terutama masalah yang berkaitan dengan tingkat amanah kedua belah pihak.

Bisa jadi ada orang yang melakukan pembelian atau pemesanan. Namun setelah barang Anda kirim kepadanya, ia tidak melakukan pembayaran atau tidak melunasi sisa pembayarannya. Bila Anda sebagai pembeli, bisa jadi setelah Anda melakukan pembayaran, atau paling kurang mengirim uang muka, ternyata penjual berkhianat, dan tidak mengirimkan barang. Bisa jadi barang yang dikirim ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia gambarkan di situsnya atau tidak sesuai dengan yang Anda inginkan.

Anda bisa bayangkan betapa susah dan repotnya bila mengalami kejadian seperti itu. Karena itu, walaupun kejujuran ditekankan dalam setiap perniagaan, pada perniagan secara online tentu lebih ditekankan lagi.

Pesan saya, hendaknya Anda ekstra hati-hati ketika melakukan suatu transaksi secara online. Baik sebagai penjual atau sebagai pembeli. Kenali dan pelajarilah berbagai kiat aman menjalankan perniagaan atau membuka toko online.

Saya mengapresiasi upaya Yayasan Bina Muslim Indonesia yang berusaha menjembatani kepentingan penjual dan pembeli melalui layanan www.bursamuslim.com. Semoga upaya www.bursamuslim.com dapat menjawab harapan dan sekaligus menjadi solusi bagi umat Islam yang ingin berniaga secara online.

Uraian ini hanya sekelumit tentang beberapa hal penting yang perlu Anda waspadai bila berniaga secara online. Harapan saya, kehadiran Anda sebagai pengusaha muslim yang berakhlak mulia dapat memberi warna pada kehidupan masyarakat secara umum dan para pelaku usaha secara khusus. wallahu Ta’ala a’alam.

Keterangan dia atas adalah artikel yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Badri, dan diterbitkan dalam majalah Pengusaha Muslim edisi 31. Pada edisi ini, majalah Pengusaha Muslim secara khusus mengupas Halal-haram Bisnis Online. Berikut beberapa artikel penting lainnya:

1. Halal-haram Google adsense

Artikel ini ditulis oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI. Secara khusus mengupas batasan halal-haram melakukan bisnis iklan melalui Google adsense.

2. Tinjauan Kritis Bisnis Dropship

Secara khusus, melalui artikel ini, Dr. Muhammad Arifin Baderi mengupas batasan halal haram bisnis sistem dropshipping.

3. Hukum Bisnis Afiliasi

Afiliasi ebook yang sempat booming di dunia maya, ternyata menyimpan banyak masalah. Oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi, disimpulkan bahwa bisnis ini sejatinya bertentangan dengan aturan syariah.

4. Masalah Software Bajakan

Pengguna internet, umumnya tidak bisa lepas dari software andalannya. Di sisi lain, nilai nominal sebuah software, hampir tidak sepadan dengan keuntungan yang didapatkan. Adakah jalan pintas yang dihalalkan? Anda bisa simak studi kasus oleh Ustadz Kholid Samhudi, Lc. dalam artikel ini.

5. Transaksi salam online

Transaksi salam merupakan salah satu alternatif untuk model bisnis online yang halal. Bagaimana bentuk transaksi ini? Dr. Erwandi Tarmidzi mengajak Anda untuk memahaminya dari sudut pandang fikih klasik dan kontemporer.

6. Zakat Uang Paypal

Di rubrik zakat, Ustad Muhammad Yasir, Lc menyesuaikan artikelnya dengan mengupas aturan zakat untuk Paypal

BEBERAPA BENTUK RIBA DALAM TRANSAKSI ONLINE

1. Kartu kredit

2. Pinjaman online (pinjol)

3. Diskon karena simpan saldo

4. Jual-beli emas secara online

Riba adalah salah satu dosa besar

Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’” (HR. Muslim no. 2995).

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina'” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Begitu pun dalil-dalil yang lainnya yang sangat jelas menunjukkan keharaman riba dan besarnya dosa riba. Maka sudah semestinya kita menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari riba dan tidak terlibat sama sekali dalam transaksi riba.

Definisi riba

Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, “Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar’i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi).”

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut di antaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya’ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan segala bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.
  2. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.
  3. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi.

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“Setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi), maka itu adalah riba.”

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan oleh para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 463).

Misalnya, jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, “Emas dengan emas, perak dengan perak … siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, janganlah Anda mengambilnya, karena itu riba” (HR. Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya, maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5: 275).

Beberapa bentuk riba dalam transaksi online

1. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang di dalamnya menjelaskan, “Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”

2. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5: 28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

3. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata,

يْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا

كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah, dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

4. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد‏.‏

“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13: 475).

Wallahu ta’ala a’lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/