Analogi Keliru Tentang Takdir yang Tersebar Di Masyarakat
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Terdapat tiga contoh analogi yang keliru tentang takdir yang tersebar di masyarakat.
- Perumpamaan guru dan murid-muridnya
Perumpamaan ini adalah perumpamaan yang sangat sering disampaikan. Terlihat sangat logis padahal ini adalah akidah orang-orang Qodariyah. Perumpamaan ini mengetahui bahwasanya guru telah mengetahui kemampuan masing-masing murid, lalu kemudian sang guru membuat ujian kepada murid-muridnya. Maka sebelum sang murid melakukan ujian, sang guru sudah mengetahui hasilnya.
Guru dianalogikan sebagai Allah dan murid-murid adalah hamba. Artinya, Allah ï·» telah mengajarkan (menjelaskan) kepada sang hamba cara-cara menghadapi ujian. Namun sebelum Allah ï·» memberikan ujian kepada sang hamba, Allah ï·» tahu bahwa si A nilainya 10, si B nilainya 4, si C nilainya 7, dan seterusnya.
Secara sepintas akidah ini sangat logis, akan tetapi kenyataannya tidak benar. Kesalahannya terletak pada poin di mana Allah ï·» tidak memiliki andil dalam keberhasilan sang hamba dalam melewati ujian, Allah ï·» hanya mengetahui dan menjelaskan tentang ilmu tersebut, adapun yang menjalankan takdir adalah sang hamba itu sendiri. Ketahuilah bahwa inilah akidah Qodariyah, karena Qodariyah mengatakan bahwa Allah ï·» hanya sekadar mengetahui dan mencatat, akan tetapi Allah ï·» tidak berkehendak terhadap hamba-hamba-Nya. Maka analogi ini salah dari tiga sisi: (1) guru hanya sekadar mengetahui, (2) guru tidak berkehendak, (3) dan guru tidak melakukan eksekusi.
- Perumpamaan pelatih dan para pemain bola
Pelatih berkata kepada kapten kesebelasan, “Di hadapanmu ada tiga kemungkinan, (1) jika menggunakan taktik pertama maka hasilnya akan demikian dan demikian, (2) jika menggunakan taktik kedua maka hasilnya akan demikian dan demikian, (3) jika menggunakan taktik ketiga maka akan hasilnya akan demikian dan demikian”. Maka kemudian yang memilih taktik ada sang kapten, dia bisa memilih salah satu dari tiga taktik yang akan dia gunakan dalam bermain sepak bola.
Perumpamaan ini menyebutkan bahwa Allah ï·» itu pelatih dan hamba adalah sang kapten. Di mana letak kesalahan perumpamaan ini? Kesalahannya adalah menunjukkan bahwa Allah ï·» tidak memiliki andil dalam menentukan pilihan sang hamba, perumpamaan ini hanya memberikan penjelasan dan tidak menentukan jalan mana yang akan diambil oleh sang hamba. Namun yang benar adalah Allah ï·» telah menjelaskan jalan bagi sang hamba, dan Allah ï·» juga telah menentukan jalan sang hamba (menakdirkan).
- Perumpamaan dengan grafik
Sebagian orang tatkala menjelaskan tentang takdir, mereka membuat grafik seperti di bawah ini:
Grafik ini menjelaskan bahwasanya Y bergantung dengan X, apabila variabel X berubah maka Y juga akan berubah.
Kesalahan model grafik di atas adalah karena menyebutkan X lebih dahulu daripada Y, atau mengatakan X sama dengan Y. Artinya mereka menyebutkan bahwa usaha seorang lebih dahulu daripada takdir, padahal kita tahu bahwasanya takdir mendahului perbuatan hamba. Sekilas analogi ini keren dan bagus, akan tetapi ketahuilah bahwasanya ini adalah perumpamaan yang keliru. Maka yang benar adalah Y (takdir) lebih dahulu dari pada X (usaha hamba).
Salah satu dari akidah orang-orang Ahli Filsafat mengatakan bahwasanya Allah ï·» ketika mencipta, Allah ï·» hanya membuat aturan-aturan yang barangsiapa yang mengambil aturan tertentu maka dia akan menempuh jalan tersebut, akan tetapi tujuannya belum ditulis oleh Allah ï·». Oleh karena itu dikatakan bahwasanya akidah orang-orang Ahli Filsafat ini mirip dengan perumpamaan analogi grafik ini.
Ketahuilah, di luar sana banyak orang yang membicarakan takdir menggunakan logika dengan tujuan untuk menjadikan takdir sesuatu hal yang logis dan sesuai dengan akal manusia yang terbatas. Namun kejadiannya tidak seperti yang diharapkan, hasilnya tidak berlogika dan tidak masuk akal, bahkan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang buruk.
Ahlusunah meyakini bahwa ada perkara-perkara di dalam agama ini yang tidak bisa dipahami dan dilogikakan akal. Terhadap perkara-perkara ini hamba dituntut untuk tunduk terhadap dalil-dalil yang ada. Seperti halnya takdir, akal tidak akan mampu untuk memahami dan melogikakannya, sikap hamba cukup tunduk kepada dalil yang menyatakan bahwa semua diciptakan oleh Allah ï·», dan hamba memiliki kehendak yang berpengaruh namun kehendak tersebut di bawah kehendak Allah ï·». Oleh karenanya walaupun berkehendak, hamba tidak mengetahui bagaimana takdirnya. Yang jelas Allah ï·» telah menjelaskan bahwa hamba yang berbuat baik masuk surga dan hamba yang berbuat buruk masuk neraka. Maka tidak mungkin di akhirat seseorang akan mengatakan “Allah ï·» telah menakdirkan aku masuk neraka”. Dari mana dia bisa tahu bahwa dia ditakdirkan masuk ke dalam neraka? Bukankah Allah ï·» telah memberikan kepadanya pilihan? Allah ï·» berfirman,
ÙˆَÙ‡َدَÙŠْÙ†َاهُ النَّجْدَÙŠْÙ†ِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (QS. Al-Balad: 10)
Bukankah hidup ini adalah pilihan? Jika seandainya hidup ini adalah paksaan maka tentu berbuat maksiat tidak menjadikan seorang hamba berdosa. Kenyataannya, sebagian manusia bermaksiat tanpa ada paksaan sama sekali, bahkan meskipun telah dilarang oleh orang tua, ustaz, istri, sahabat, maksiat tetap diterjang. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa tidak ada paksaan untuk berbuat maksiat? Lantas dari mana seseorang bisa mengatakan bahwasanya dirinya telah dipaksa untuk bermaksiat? Ketahuilah bahwa tidak seorang pun bisa berhujah di hadapan Allah ï·» kelak dengan dalil takdir.
Artikel ini telah cetak pada karya Syarah Rukun Iman
Sumber: https://firanda.com/