Type Here to Get Search Results !

 


AL ‘ULUW, APA ARTI ALLAH MAHA TINGGI?

 

OlehUstadz Ahmas Faiz Asifuddin

Salah satu di antara nama Allah yang sangat indah adalah al ‘Aliyy. Makna yang terkandung dalam nama ini merupakan sifat-Nya, yaitu Maha Tinggi. Sifat Maha Tinggi Allah merupakan salah satu di antara sifat sempurna-Nya yang jumlahnya tanpa batas. Namun apa yang dimaksud Allah bernama al ‘Aliyy dan bersifat Maha Tinggi?

Sebelum memaparkan jawaban dari pertanyaan di atas, sebaiknya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil tentang nama Allah al ‘Aliyy dan sifat Maha Tinggi-Nya.

DALIL DARI KITABULLAH

Berikut ini adalah beberapa dalil tersebut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [al Baqarah/2:255]

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Maka putusan (sekarang ini) hanyalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghafir/40 :12).

Ayat ini dengan tegas menjelaskan nama Allah ‘Aliyy, ‘Azhim dan Kabir, yang maknanya Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Besar. Makna ini sekaligus menunjukkan sifat-Nya.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. [al A’la/87:1]

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]

Dari penggalan empat ayat di atas, dua di antaranya menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah melalui tadhammun al ismi laha (penjelasan sifat yang terkandung dalam nama-Nya). Dan dua berikutnya melalui tashrih bish-shifah (penegasan langsung dengan sifat). Maksudnya, sifat Maha Tinggi Allah pada penggalan dua ayat pertama dapat diketahui melalui makna yang terkandung dalam nama-Nya. Dan pada penggalan dua ayat berikutnya dapat diketahui dengan lafazh yang langsung menunjukkan sifat-Nya.

Jadi beberapa ayat di atas menjelaskan dua metode di antara tiga metode al Qur`an dan Sunnah di dalam menetapkan sifat Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , ada tiga cara al Qur`an dan Sunnah di dalam memberikan pembuktian mengenai penetapan sifat Allah Azza wa Jalla, [1] yaitu:

Pertama, tashrih bish sfifah (penegasan langsung dengan lafazh yang menunjukkan sifat Allah). Misalnya, sifat al ‘Izzah (perkasa), al Quwwah (kuat), ar-Rahmah (kasih sayang), al Bath-syu (sifat menyiksa), al Wajhu (wajah), al Yadain (dua tangan) dan sifat-sifat lainnya.

Kedua, tadhammun al ismi laha (sifat Allah yang dikandung dalam nama-Nya). Contohnya, nama Allah al-Ghafur mengandung sifat Maha Pengampun, as-Sami’ mengandung sifat Maha Mendengar dan seterusnya.

Ketiga, tashrih bil fi’li aw al washfi dallin ‘alaihima (penegasan sifat melalui kata kerja atau kata yang menunjukkan sifat). Contohnya, Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Sifat bersemayam ini disebutkan dalam ayat dengan bentuk fi’il (kata kerja). Misalnya kata istawa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Allah Yang Maha Penyayang bersemayam di atas ‘Arsy. [Thaha/20 : 5]

Contoh lainnya, sifat memberikan balasan siksa yang keras. Sifat ini tersebut dalam al Qur`an dengan bentuk kata yang menunjukkan sifat, yaitu berbentuk isim fa’il. Misalnya kata muntaqimun dalam firman Allah Ta’ala:

إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ

Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan siksa kepada orang-orang yang berdosa. [As-Sajdah/32 : 22]

Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan sifat Maha Tingginya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segenap makhluk-Nya.

Sesungguhnya, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah,[2] dalil tentang sifat Maha Tinggi Allah sangat banyak; dari al Qur`an, Sunnah, Ijma’, akal dan fithrah. Sementara itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al ‘Aqidah al Wasithiyah [3] mengelompokkan dalal-dalil itu secara terpisah, kelompok dalil dari al Qur`an sendiri dan kelompok dalil dari Sunnah Nabawiyah sendiri.

Adapun dalil dari al Qur`an dan Sunnah, hampir tidak bisa dibatasi. Disamping ayat yang sudah dipaparkan di atas, juga beberapa ayat berikut ini:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

Dan Dialah yang berkuasa, berada di atas sekalian hamba-hamba-Nya. [al An’am/6:18]

Kata fauqa menunjukkan, Allah Maha Tinggi berada di atas seluruh makhluk.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. [al Mulk/67:16-17].

Kata man fis-sama` pada ayat di atas memiliki makna Allah yang di atas langit. Fis-sama`, artinya ‘alas-sama` (di atas langit), ini bila yang dimaksud dengan sama` (langit) adalah langit dalam bentuk bangunan fisik. Namun bila yang dimaksud dengan sama` adalah segala yang bersifat atas, maka fi, artinya untuk menunjukkan tempat. Maksudnya Allah Maha berada di atas.[4]

Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal shalih menaikkan perkataan yang baik tersebut kepada-Nya. [Fathir/35:10].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tingginya Allah di atas segenap makhluk-Nya, karena sebutan naik dan diangkat, menunjukkan ke arah atas.[5]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَأَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Ilahnya Musa, dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. [al Mu’min/40:36-37].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tinggi Allah di atas segenap makhlukNya, sebab Nabi Musa Alaihissallam telah mengkhabarkan kepada Fir’aun tentang itu, namun Fir’aun berupaya mendustakannya.[6] Dan masih sangat banyak dalil dari al Qur`an yang menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Intinya, dalil-dalil dari al Qur`an memiliki beragam pembuktian. Kadang-kadang dengan sebutan ‘uluw, fauqiyah, istiwa’ ‘ala al Arsy atau sebutan fis-sama`, yang semuanya menunjukkan Allah Maha Tinggi, Maha di atas, bersemayam di atas Arsy, dan Maha di atas langit.

Atau Kadang-kadang dengan sebutan shu’ud al asy-ya`, ‘uruj al asy-ya` dan raf’uha ilaihi, yang artinya, naiknya pelbagai perkara atau makhluk kepada Allah. Misalnya firman Allah:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. –Fathir/35 ayat 10- dengan sebutan shu’ud (naik)nya perkataan-perkataan yang baik kepada Allah.

Juga firman Allah:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb. -al Ma’arij/70 ayat 4- dengan sebutan ‘uruj (naik)nya para malaikat kepada Allah.

Demikian pula firmanNya:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku. –Ali Imran/3 ayat 55- dengan sebutan raf’u (mengangkat) Isa naik kepada Allah.

Dan kadang-kadang dengan sebutan nuzul al asy-ya` minhu (turunnya pelbagai hal dari Allah) atau sebutan sejenisnya. Hal yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas, sebab kata turun dari sisi-Nya hanya terjadi dari atas. Misalnya firman Allah Ta’ala:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ

Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al Qur`an itu dari Rabbmu”. –an-Nahl/16 ayat 102- dengan sebutan menurunkan al Qur`an dari sisi Allah.

Demikian juga firman-Nya:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi. [as-Sajdah/32:5][7].

DALIL DARI SUNNAH NABAWIYAH

Adapun dalil-dalil dari Sunnah Nabawiyah, jumlahnyapun sangat banyak dan mencapai tingkatan mutawatir, serta dengan pendalilan yang juga beragam.[8] Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ .متفق عليه

Apakah kalian tidak memberikan kepercayaan kepadaku, sedangkan aku adalah orang kepercayaan Allah, Dzat yang ada di atas langit? [9]

Begitu juga hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَصْعَدُ إِلَى اللَّهِ إِلَّا الطَّيِّبُ فَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang bersodaqoh senilai satu biji korma dari hasil usaha yang baik (halal) –sedangkan tidak akan ada yang naik kepada Allah kecuali yang baik saja-, niscaya Allah akan menerimanya dengan Tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kamu memelihara anak kudanya yang masih kecil. Sehingga sodaqoh tadi akan menjadi besar laksana gunung”.[10]

Juga jawaban seorang budak perempuan milik Mu’awiyah bin al Hakam as-Sulami yang dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertanya kepada budak tersebut tentang di mana Allah. Beliau bersabda:

أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ .رواه مسلم

“Di mana Allah?” Budak wanita itu menjawab: “Di atas langit,” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Ia menjawab,”Engkau adalah Rasul Allah,” maka Beliaupun bersabda: “Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mu’minah!” [11]

Dalam hadits ini, budak wanita milik Mu’awiyah bin al Hakam menjawab bahwa Allah ada di atas langit. Dan jawabannya dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan beliau, bahwa ia merupakan wanita mu’minah.

Hadits yang lain ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa sujudnya:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى .رواه مسلم

Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.[12]

Demikian pula hadits yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya pada hari Arafah, yaitu saat beliau meminta kesaksian kepada mereka; apakah beliau sudah menyampaikan risalah Allah? Lalu mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan dan telah memberikan nasihat,” maka beliau mengangkat tangannya memberikan isyarat ke arah atas, lalu tangan yang mulia itu di turunkan menunjuk ke arah para sahabatnya seraya bersabda:

اللَّهُمَّ اشْهَدْ! اللَّهُمَّ اشْهَدْ! ثلاث مرات.رواه مسلم

Ya Allah saksikanlah (mereka), saksikanlah (mereka)! Beliau mengucapkannya tiga kali.[13]

Hadits ini menegaskan bahwa Allah ada di atas segenap makhluk-Nya, karena Nabi mengangkat tangan beliau ke arah atas ketika meminta kesaksian mereka tentang risalah yang diembannya. Dan masih banyak hadits lain, yang seluruhnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas dan Maha Tinggi.

DALIL AKAL

Akal yang sehat menunjukkan kepastian, bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan tidak mungkin Allah memiliki sifat-sifat kurang. Sifat Maha Tinggi dan Maha di atas adalah sifat sempurna, sedangkan sifat rendah dan sifat bawah adalah sifat kurang. Dengan demikian, secara akal, pasti Allah bersifat Maha Tinggi dan Dia Maha Suci dari sifat sebaliknya.

DALIL FITHRAH

Secara fithrah, tidak ada seorangpun yang berdoa kepada Allah atau meminta pertolongan kepada-Nya dari segala yang menakutkannya, kecuali pasti hatinya mengarah ke atas. Tidak mungkin ketika ia memohon kepada Allah, hatinya tertuju ke arah samping kanan atau kiri, tetapi ke atas.

DALIL IJMA’

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, sesungguhnya para ulama telah menyebutkan adanya Ijma’ (kesepakatan) para sahabat, tabi’in dan para imam Islam, bahwa Allah berada di atas seluruh langit milik-Nya, Dia bersemayam di atas Arsy. Perkataan mereka tentang ini sudah sangat masyhur.

Imam al Auza’i mengatakan: “Kami dahulu, ketika jumlah para tabi’in sangat banyak, mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada di atas Arsy-Nya. Kami mengimani berita tentang sifat Allah apa saja yang datang di dalam Sunnah”.[14]

Imam adz-Dzahabi (673-748 H) bahkan menyusun kitab khusus tentang Sifat Maha Tingginya Allah dengan judul al ‘Uluwwu lil ‘Aliyyi al Ghaffar, yang kemudian di-mukhtashar (diringkas) oleh Syaikh al Albani rahimahullah. Isinya menegaskan semua pemaparan di atas, termasuk menyebutkan banyak sekali riwayat dari para salaf tentang itu.

Intinya, merupakan hal yang pasti, bahwa di antara nama Allah adalah al ‘Aliyy, dan di antara sifat-Nya adalah Maha Tinggi berada di atas segenap makhluk-Nya. Mengingkari sifat ini adalah kufur.

Namun Apa Arti Nama Allah; Al ‘Aliyy Dan Sifat Maha TinggiNya?

Setiap nama Allah pasti menunjukkan maknanya. Makna dari setiap nama Allah adalah sifat-Nya. Jadi nama-nama Allah bukanlah sekedar nama-nama kosong tanpa makna sebagaimana anggapan orang-orang Jahmiyah. Maka nama al ‘Aliyy adalah nama bagi Dzat Allah Azza wa Jalla , dan sekaligus merupakan pensifatan bagi-Nya. Sebab semua nama-Nya merupakan a’lam wa aushaf (nama-nama dan pensifatan bagi Dzat-Nya).[15]

Berbeda dengan manusia, maka setiap nama manusia kecuali Nabi, hanya sekedar nama belaka sebagai panggilan bagi dirinya dan tidak menunjukkan sifatnya. Dengan demikian, nama al ‘Aliyy benar-benar menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak dan hakiki. Dan sifat Maha Tinggi Allah meliputi:

1. Maha Tinggi Dzat-Nya, karena Dia berada di atas semua makhluk-Nya.
2. Maha Tinggi kedudukan-Nya, sebab hanya kepunyaan Dia saja segala sifat sempurna.
3. Dan Maha Tinggi kekuasaan-Nya, sesab Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu.[16]

Kemudian, harus pula difahami bahwa Maha Tinggi dan Maha di atas ini tidak bertentangan dengan Maha dekatnya Allah yang senantiasa menyertai makhluk-Nya. Allah Maha dekat, tetapi Dia tetap Maha di atas Arsy. Maha di atas segenap makhluk-Nya, tetapi Dia Maha dekat.[17] Dan ini tidak sulit dimengerti oleh akal sehat.

Demikianlah, dengan memahami sifat-sifat Allah secara benar seperti yang ada di dalam al Qur`an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush-Shalih, niscaya orang akan semakin mengagungkan Allah, semakin cinta kepada-Nya, semakin bersemangat beribadah hanya kepada-Nya dan takut akan siksaanNya. Sebab ia tahu bahwa Allah Maha Sempurna dalam segala nama dan sifat-Nya. Allah Maha Tinggi secara mutlak, dan Dia bersemayam di atas Arsy, namun Dia Maha dekat dan selalu menyertai setiap makhluk dengan pengawasan, ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuasaan dan kadang dengan pertolongan-Nya kepada hamba yang dikasihi. WAllahu waliyyu at-Taufiq.

Maraji’:
1. Al Qowa’idul Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Tahqiq & Takhrij: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur-Rahim, Cetakan I – 1411 H/1990 M, Maktabah as-Sunnah.
2. Fat-hul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Tarqim wa tabwib Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Tash-sih wa tahqiq wa isyraf wa muqobalah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Jami’atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh
3. Mukhtashor al ‘Uluw li al ‘Aliyyi al Ghoffar, Imam adz-Dzahabi, diringkas dan ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Cetakan II (copy), Tahun 1412 H/1991 M, al Maktab al Islami,
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Dar al Ma’rifah.
5. Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
_______
Footnote
[1]. Al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , Tahqiq & Takhrij Asyraf bin Abdul Maqshud bin ‘Abdur-Rahim, Cetakan I–1411H/1990M, Maktabah as-Sunnah, hlm. 38, Kaidah Ketujuh (Qawa’id fi Shifatillah).
[2]. Al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, hlm. 66-68 dan hlm. 97-98.
[3]. Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Cetakan VI, Th. 1413H/1993M, Maktabah al Ma’arif, Riyadh, di bawah sub judul itsbat Istiwa’i Allah ‘ala ‘Arsyihi & itsbat ‘Uluwwi Allah ‘ala Makhluqotihi pada kelompok penetapan Asma’ dan Sifat berdasarkan al Qur`anul-Karim, serta itsbat ‘Uluwwi Allah ‘ala Kholqihi wa istiwa’ihi ‘ala ‘Arsyihi pada kelompok penetapan Asma’ wa Sifat berdasarkan dalil Sunnah Nabawiyah.
[4]. Lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan dalam Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, di bawah sub judul Itsbat ‘Uluwwi Allah ‘ala Makhluqotihi, hlm. 80.
[5]. Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[6]. Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[7]. Lihat Al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, hlm. 66.
[8]. Lihat Al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, hlm. 66.
[9]. HR Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al Maghazi, Bab Ba’tsu ‘Aliy bin Abi Thalib ‘alaihis-Salam wa Khalid ibni al Walid ila al Yaman qabla Hajjati al Wada’, hadits no. 4351 – Fat-hul Bari (VIII/67) –Jami’atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Tash-sih wa Tahqiq wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz. Dan Muslim dalam Kitab az Zakah, Bab Dzikri al Khawarij wa Shifatihim – Syarh Nawawi (VII/161-162)- Tahqiq Kholil Ma’mun Syiha, Cetakan II, 1415 H/1995 M, Dar al Ma’rifah, no. hadits 2449.
[10]. HR Bukhari dalam Shahihnya, Kitab at Tauhid, no. hadits 7430 – Fat-hul Bari (XIII/415), Jami’atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad Fu’ad Abdul-Baqi. Tash-sih wa Tahqiq wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz.
[11]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (V/23-26) dalam sebuah hadits panjang no. 1199, Kitab al Masajid wa Mawadhi’ ash-Shalah, Bab Tahrim al Kalam fi ash-Shalah wa Naskhu Ma Kana min Ibahatihi, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma’rifah.
[12]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Kholil Ma’mun Syiha (VI/303-304) dalam sebuah hadits panjang no. 1811, Kitab Shalatul-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Tathwil al Qira’ah fi Shalati al Lail, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma’rifah.
[13]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (VIII/413) dalam sebuah hadits yang sangat panjang no. 2941, Kitab al Hajj, Bab Hajjati an-Nabiyyi Shallallohu ‘alaihi wa sallam, Cetakan II, Tahun 1415 H/1995 M, Dar al Ma’rifah.
[14]. Lihat dalil-dalil semacam ini, misalnya dalam Kitab al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, hlm. 66-67.
[15]. Lihat al Qowa’idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma’ihil-Husna, hlm. 11 tentang qaidah kedua dari Qawa’id fi Asma’illah.
[16]. Lihat keterangan Syaikh Shalih al Fauzan ketika menerangkan nama al ‘Aliyy pada ayat Kursi dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, hal. 26.
[17]. Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Sholih bin Fauzan al Fauzan, di bawah sub judul Itsbat Ma’iyyati Alloh Ta’ala li Kholqihi wa annaha La Tunafi ‘Uluwwahu fauqa Arsyihi, hlm. 119.