Type Here to Get Search Results !

 


SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP AHLUL BID’AH

   

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Termasuk prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka membenci para pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah, yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, tidak simpatik kepada mereka, tidak berteman dengan mereka, tidak sudi mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk di dalam majelis mereka, tidak berdiskusi atau tukar pikiran dengan mereka, dan tidak mau dialog dengan mereka.

Ahlus Sunnah menjaga telinga mereka dari ucapan-ucapan bathil ahlul bid’ah yang terkadang terdengar selintas lalu, kemudian membuat was-was dan merusak. Ahlus Sunnah menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan hawa nafsu mereka serta memperingatkan ummat agar berhati-hati terhadap mereka, dan agar ummat tidak menimba ilmu dari mereka.[1]

Imam asy-Syathibi (wafat th. 790 H) rahimahullah menjelaskan bahwa dosa ahli bid’ah itu tidaklah satu tingkat, namun tingkatannya berbeda-beda. Perbedaan itu datang melalui sisi yang berbeda-beda pula, sebagaimana berikut:
  1.     Dari sisi keberadaan pelaku bid’ah itu sendiri, apakah ia sekedar bertaqlid atau seorang yang berijtihad.
  2.     Dari sisi terjadinya kebid’ahan itu pada hal-hal yang penting, misalnya jiwa, kehormatan, akal, harta dan sejenisnya.
  3.     Dari sisi apakah pelakunya itu melakukan bid’ah tersebut secara terang-terangan, atau dengan sembunyi-sembunyi.
  4.     Dari sisi keberadaan pelaku bid’ah itu mendakwahkan bid’ahnya atau tidak.
  5.     Dari sisi keberadaan pelakunya menyerang Ahlus Sunnah atau tidak.
  6.     Dari sisi keberadaan bid’ah yang dilakukannya itu haqiqiyyah atau idhafiyyah.
  7.     Ditinjau dari sisi keberadaan bid’ah itu jelas ataukah masih tersamar.
  8.     Dari sisi apakah bid’ah itu menyebabkan kekufuran atau tidak.
  9.     Dari sisi apakah si pelaku terus-menerus melakukan bid’ah tersebut atau tidak.
Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa perbedaan tingkat dalam dosa tersebut adalah dilihat dari tingkat kebid’ahan itu sendiri[2]. Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa di antara tingkat bid’ah itu ada yang haram dan ada yang makruh. Sementara sifat sebagai kesesatan tetap melekat pada setiap bid’ah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Setiap bid’ah adalah sesat.”[3]

Tidak diragukan lagi bahwa dosa-dosa perbuatan bid’ah itu terbagi-bagi sesuai dengan tingkatan-tingkatan bid’ah tersebut menjadi tiga bagian:

    Pertama, yang menyebabkan kekufuran yang nyata.[4]
    Kedua, berstatus sebagai salah satu dosa besar.[5]
    Ketiga, berstatus sebagai salah satu dosa kecil.[6]

Bid’ah yang bisa menjadi dosa kecil memiliki beberapa syarat:

    Pelaku tidak melakukan bid’ah secara terus-menerus. Karena dengan melakukannya secara terus menerus, maka dosa bid’ah itu berubah menjadi dosa besar.

    Pelaku tidak mendakwahkan bid’ahnya. Dakwah itu memperbesar dosa bid’ahnya karena semakin banyak orang yang mengamalkannya akibat mengikuti apa yang didakwahkannya tersebut.

    Pelaku tidak melakukan bid’ah tersebut di tengah orang banyak, juga tidak di tempat-tempat di mana biasa dilakukan ibadah Sunnah.

    Tidak menganggap kecil dan tidak meremehkan bid’ah ter-sebut. Karena yang demikian berarti menganggap remeh dosa bid’ah tersebut. Sementara meremehkan dosa lebih besar dosanya dari dosa itu sendiri.[7]

Sifat sebagai kesesatan tetap melekat pada ketiga bentuk bid’ah tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Sehingga hal tersebut mencakup bid’ah yang menyebabkan kekufuran atau yang menyebabkan kefasikan, baik besar maupun kecil.[8]

Ahlus Sunnah tidak memutlakkan satu (jenis) hukuman kepada ahli bid’ah, namun hukumannya bagi seorang pelaku bid’ah yang satu dengan yang lain berbeda sesuai dengan tingkat kebid’ahannya. Antara orang yang bodoh dan orang yang menta’wil tentang perbuatan bid’ahnya berbeda hukumannya dengan orang ‘alim yang menyeru kepada perbuatan bid’ahnya dan yang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, sikap Ahlus Sunnah membedakan cara bermu’amalah antara orang yang menyembunyikan kebid’ahannya dengan orang yang terang-terangan berbuat bid’ah. Begitu juga bermu’amalah antara orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah dengan orang yang tidak mengajak kepada perbuatan bid’ah.[9]

Orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah secara terang-terangan harus diingkari perbuatan bid’ahnya, dibenci, dihajr[10] (diisolasi) dan ummat diperingatkan dari bahayanya, serta ulil amri harus mengambil tindakan untuk menghukum orang tersebut agar ia jera dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab bahaya bid’ah itu merusak hati, akal, agama, harta, dan kehormatan. Ahli bid’ah, mereka semuanya sudah keluar dari jalan yang lurus yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Ada di antara mereka yang keluar dari Islam, ada pula yang hampir keluar dari Islam yang pada akhirnya menghalalkan darah kaum Muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kaum Khawarij:

…يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ…

“Mereka (Khawarij) membunuh orang Islam dan membiar-kan penyembah berhala…”[11]

Bisa jadi kaum penyembah berhala selamat dari mereka, sedangkan orang yang beriman belum tentu selamat dari mereka. Sebagaimana bid’ahnya kaum Khawarij yang menghalalkan ke-hormatan dan darah kaum Muslimin, sebagaimana juga apa yang telah dilakukan oleh Syi’ah dan firqah-firqah sesat yang lainnya.

Bukti pengingkaran dan hajr Salafush Shalih terhadap ahli bid’ah adalah sebagaimana tindakan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ketika menghukum Shabigh bin ‘Asal[12]. Begitu juga apa yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma kepada orang yang mengingkari Qadar: “Apabila engkau bertemu dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun harus berlepas diri dari Ibnu ‘Umar.”[13]  Begitu juga tindakan para ulama Ahlus Sunnah terhadap tokoh Jahmiyyah, yaitu Jahm bin Shafwan, ia dibunuh karena ia mengingkari Asma’ dan Sifat Allah, menyatakan Al-Qur-an adalah makhluk, Surga dan Neraka tidak kekal, dan lainnya.[14]

Ciri-Ciri Ahli Bid’ah

Ciri-ciri yang dimiliki ahli bid’ah itu sangat jelas dan terang serta mudah diketahui. Allah menyebutkan yang demikian dalam Al-Qur-an, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya dalam beberapa hadits, Salafush Shalih menyebutkan juga tentang ciri-ciri mereka dan begitu pula para ulama yang mengikuti jejak Salafush Shalih, mereka mengingatkan ummat dari ahli bid’ah dan menjelaskan ciri-ciri mereka, agar ummat dapat berhati-hati dan tidak mengikuti jalan-jalan mereka.

Di antara ciri-ciri ahli bid’ah adalah:
  1.     Mereka jahil (bodoh) tentang tujuan syari’at.
  2.     Berfirqah-firqah (bergolong-golongan) dan memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslimin.
  3.     Selalu berdebat dan bertengkar tentang masalah yang telah jelas namun mereka tidak memiliki ilmu tentangnya.
  4.     Selalu mengikuti hawa nafsu.
  5.     Mendahulukan akal atas wahyu.
  6.     Bodoh terhadap Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  7.     Selalu mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat.
  8.     Menentang (menolak) Sunnah dengan Al-Qur-an.
  9.     Berlebih-lebihan dalam mengagungkan seseorang.
  10.     Berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah.
  11.     Menyerupai orang-orang kafir.
  12.     Memberikan laqab-laqab (gelar-gelar) yang jelek kepada Ahlus Sunnah dan mencela ulama Ahlus Sunnah.
  13.     Mereka sangat benci kepada Ahlus Sunnah.
  14.     Mereka memusuhi ulama ahli hadits dan melecehkannya.
  15.     Mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka tanpa dalil.
  16.     Mereka selalu meminta pertolongan dan bantuan kepada penguasa untuk mencelakakan Ahlus Sunnah.[15]
Nasihat Para Ulama Salaf Agar Menjauhi Ahlul Bid’ah

Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:

لاَ تُجَالِسْ أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مُمْرِضَةٌ لِلْقُلُوْبِ.

“Janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena akan menyebabkan hatimu sakit.”[16]

Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H) rahimahullah berkata:

مَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ فَاحْذَرْهُ، وَمَنْ جَلَسَ مَعَ صَاحِبِ الْبِدْعَةِ لَمْ يُعْطَ الْحِكْمَةَ، وَأُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حِصْنٌ مِنْ حَدِيْدٍ.

“Hindarilah duduk bersama ahli bid’ah dan barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah, maka ia tidak akan diberi hikmah. Aku suka jika di antara aku dan pelaku bid’ah ada benteng dari besi.”[17]

Beliau rahimahullah juga berkata:

أَدْرَكْتُ خِيَارَ النَّاسِ كُلُّهُمْ أَصْحَابُ سُنَّةٍ وَيَنْهَوْنَ عَنْ أَصْحَابِ الْبِدَعِ.

“Aku mendapati orang-orang terbaik, semuanya adalah penjaga-penjaga Sunnah dan mereka melarang bersahabat dengan orang-orang yang melakukan bid’ah.”[18]

Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah berkata:

لاَ تُجَالِسُوْا أَهْلَ اْلأَهْوَاءِ وَلاَ تُجَادِلُوْهُمْ وَلاَ تَسْمَعُوْا مِنْهُمْ.

“Janganlah kalian duduk dengan pengikut hawa nafsu, janganlah berdebat dengan mereka dan janganlah mendengar per-kataan mereka.”[19]

Yahya bin Abi Katsir (wafat th. 132 H) rahimahullah berkata:

إِذَا لَقِيْتَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فِيْ طَرِيْقٍ، فَخُذْ فِيْ غَيْرِهِ.

“Jika engkau bertemu dengan pelaku bid’ah di jalan, maka ambillah jalan lain”[20]

Abu Qilabah al-Raqasyi (wafat th. 104 H) rahimahullah berkata tentang ahli bid’ah:

لاَ تُجَالِسُوْهُمْ، وَلاَ تُخَالِطُوْهُمْ، فَإِنَّهُ لاَ آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوْكُمْ فِي ضَلاَلَتِهِمْ، وَيُلَبِّسُوْا عَلَيْكُمْ كَثِيْراً مِمَّا تَعْرِفُوْنَ.

“Janganlah duduk bersama mereka dan janganlah bergaul dengan mereka. Sebab aku khawatir mereka menjerumus-kanmu ke dalam kesesatan mereka dan mengaburkan kepada-mu banyak hal dari apa-apa yang telah kalian ketahui.”[21]

Ketika datang dua orang (pengikut hawa nafsu) kepada Muhammad bin Sirin (wafat th. 110 H) rahimahullah, keduanya berkata: “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits.” Beliau berkata: “Tidak.” Keduanya berkata lagi: “Kami akan membacakan kepadamu suatu ayat dari Kitabullah.” Beliau menjawab: “Tidak, kalian pergi dariku atau aku yang pergi dari kalian.”[22]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat seseorang duduk-duduk bersama ahli bid’ah, berikanlah peringatan keras dan jelaskanlah kepadanya tentang kepribadiannya. Apabila ia tetap duduk-duduk bersama ahli bid’ah setelah ia mengetahuinya maka jauhilah ia karena ia termasuk pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah).”[23]

Imam al-Barbahari (wafat th. 329 H) rahimahullah juga mengatakan: “Jika engkau melihat suatu kebid’ahan pada seseorang, jauhilah ia sebab yang ia sembunyikan darimu lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan kepadamu.”[24]

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan pada ummat Islam ini, timbulnya pengekor hawa nafsu dan bid’ah di antara mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan jalan menuju keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para Sahabat Radhiyallahu anhum. Oleh karena itu wajib bagi seorang Muslim apabila melihat seseorang yang melakukan sesuatu berdasarkan hawa nafsu dan perbuatan bid’ah yang diyakininya, maka janganlah memberi salam kepadanya dan apabila ia mengucapkan salam janganlah dijawab sampai akhirnya ia mau meninggalkan perbuatan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran.”[25]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Telah berlalu Sunnah para Sahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikutinya. Dan seluruh ulama Ahlus Sunnah telah sepakat untuk memusuhi ahlul bid’ah dan menghajr (mengisolasi) mereka.”[26]

Shiddiq Hasan Khan (wafat th. 1307 H) rahimahullah berkata: “Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hajr (mengisolasi) ahlul bid’ah, memisahkan diri dari mereka, meninggalkan debat kusir, ber-tengkar tentang masalah yang sudah jelas dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Setiap hal yang baru dalam agama adalah termasuk bid’ah, tidak membaca buku-buku yang ditulis oleh ahli bid’ah, tidak mendengarkan perkataan mereka baik, dalam masalah-masalah yang prinsip maupun yang furu’ (cabang) dalam agama. Sebagaimana bid’ahnya Rafidhah, Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Murji’ah, Karramiyah dan Mu’tazilah, semua firqah tersebut termasuk firqah (golongan) yang sesat dan jalannya mereka adalah jalan ahlul bid’ah.”[27]

Kerusakan-Kerusakan yang Ditimbulkan Akibat Ikut Bermajelis dan Bergaul dengan Ahli Bid’ah

Di antara kerusakan-kerusakan tersebut adalah:
  •     Orang yang duduk dengan mereka dalam keadaan bahaya yang sangat besar karena berbagai syubhat akan masuk kepadanya dan ia tidak dapat membantahnya.
  •     Bermajelis dengan ahli bid’ah berarti menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meninggalkan majelis mereka dan berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang bermajelis dengan mereka, juga berarti menentang jalannya orang-orang yang beriman di mana mereka sepakat dalam hal keharusan meninggalkan majelis mereka. Dengan demikian orang yang duduk dengan ahli bid’ah mendapatkan ancaman yang berat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka, hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur/24: 63]

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ‘fitnah’: “Fitnah yang dimaksud adalah di dalam hati mereka terdapat kekufuran, kemunafikan, dan bid’ah.”[28]
  •     Bermajelis dengan ahli bid’ah dapat menimbulkan perasaan cinta kepada mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk membenci dan memusuhi mereka.
  •     Bermajelis dengan ahli bid’ah dapat membahayakan ahli bid’ah itu sendiri.
Pertama, ia meninggalkan metode hajr (mengisolasi) yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla agar ahli bid’ah itu taubat dan supaya kembali ke jalan kebenaran.

Kedua, duduknya seseorang dengan ahli bid’ah menjadikan ahli bid’ah itu tertipu oleh perangkap syaithan dengan menganggap bahwa hal itu sebagai pembenaran dan dukungan terhadapnya sehingga ia tetap mempertahankan kebathilannya.
  •     Bermajelis dengan ahli bid’ah menyebabkan orang lain akan berprasangka buruk kepadanya, meskipun ia tidak terpengaruh dengan bid’ah-bid’ah mereka dan tidak setuju dengan mereka.[29]
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

“Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam hal menampung syubhat-syubhat, maka busa tersebut menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi, tetapi jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Kaca tadi memandang syubhat-syubhat tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohan kaca tersebut. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.”[30]

Pentingnya Mengetahui Batasan-Batasan Syar’i dalam Hal Menjauhi Ahlul Bid’ah

Syaikh Bakr Abu Zaid حفظه الله berkata: “Hukum asal dalam syari’at ini adalah hajr terhadap ahli bid’ah, tetapi tidak bisa digeneralisir secara umum dalam setiap keadaan, setiap orang serta kepada setiap ahli bid’ah, tidak bisa demikian. Begitu pula sebaliknya, menolak dan meninggalkan hajr terhadap ahli bid’ah secara mutlak adalah perbuatan meremehkan masalah ini di mana telah jelas kewajibannya secara syar’i berdasarkan nash dan ijma’. Dan disyari’atkannya hajr ini dalam rangka batasan-batasan syar’i yang dilandasi dengan pertimbangan didapatkannya kemaslahatan dan dihindarkannya kerusakan, dan yang demikian itu berbeda-beda penerapannya tergantung dari perbedaan jenis bid’ah, yang berhubungan dengan ahli bid’ahnya itu sendiri, kemudian sedikit dan banyaknya, begitulah seterusnya ditinjau dari sisi-sisi perbedaan lainnya, di mana syari’at Islam mempertimbangkan hal itu semua.

Timbangan -bagi seorang muslim- yang dengan timbangan tersebut penerapan hajr itu menjadi benar sesuai dengan aturan mainnya. Timbangan itu berupa seberapa jauh dari tujuan-tujuan disyari’atkannya hajr terhadap ahli bid’ah dapat terealisasi, yang di antara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai bentuk hukuman, pelajaran, kembalinya orang banyak kepada kebenaran, me-nyempitkan ruang gerak ahli bid’ah, menahan penyebaran bid’ah, dan menjamin bersihnya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kotoran bid’ah.[31]

Yang harus diperhatikan dalam menghajr dan mentahdzir terhadap ahli bid’ah adalah wajib dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan karena dorongan hawa nafsu, dengki, iri atau taqlid, dan lainnya. Selain itu juga harus ittiba’ (mencontoh) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti manhaj para Sahabat Radhiyallahu anhuma. Banyak sekali orang yang menghajr karena semata-mata mengikuti hawa nafsunya dan dia menyangka hal tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.[32]
Baca Juga  Hidayah Dan Istiqâmah Di Atasnya

Dan sebagai tambahan, bahwa dalam menghajr harus memper-timbangkan mashlahat (manfaat) dan mafsadah (kerusakan) serta bertanya kepada ulama yang mendalam ilmunya agar dia tidak berbuat zhalim kepada saudaranya sesama muslim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَلَوْ كَانَ كُلُّ مَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِصْمَةٌ وَلاَ أُخُوَّةٌ.

“Seandainya setiap perselisihan dua orang muslim tentang suatu perkara, mereka saling melakukan hajr, maka tidak tersisi lagi penjagaan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.”[33]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَمَا أَكْثَرُ مَا يُصَوِّرُ الشَّيْطَانُ ذلِكَ بِصُوْرَةِ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَيَكُوْنُ مِنْ بَابِ الظُّلْمِ وَالْعُدْوَانِ.

“Betapa banyak manusia digambarkan oleh syaithan bahwa yang ia lakukan itu sebagai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, padahal sesungguhnya yang ia lakukan itu berupa kezhaliman dan permusuhan.”[34]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 114-115 no. 161). Lihat juga Hajrul Mub-tadi’ oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ oleh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily, dan Ijmaa’ul Ulamaa’ ‘alal Hajr wat Tahdziir min Ahlil Ahwaa’ oleh Khalid bin Dhahawi azh-Zhufairi.
[2] Lihat al-I’tisham (I/216-224, II/515-559) tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
[3] Ibid, (II/530).
[4] Ibid, (II/516).
[5] Ibid, (II/517, II/543-544).
[6] Ibid, (II/517, II/539, 543-550).
[7] Lihat syarat ini beserta syarahnya dalam al-I’tishaam (II/551-559).
[8] Ibid, (II/516).
[9] Lihat al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 184).
[10] Maksud hajr adalah memutuskan hubungan dengan seseorang (tidak diajak bicara, tidak diberi salam, tidak ada komunikasi dengannya). Menurut hukum syar’i hajr dibagi menjadi dua, yaitu hajr mamnu’ (hajr yang dilarang) dan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan). Hajr mamnu’ contohnya yaitu menghajr saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari karena masalah pribadi. Hal ini di-bolehkan menurut keperluan dan dibatasi selama 3 hari (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ II/692 no. 13, al-Bukhari no. 6077, Muslim no. 2560 dan lainnya). Sedangkan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan) adalah hajr yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan baik secara maknawi maupun materi, tidak dibatasi dengan tiga hari yang tujuannya untuk memberikan pelajaran dan peringatan agar pelakunya segera bertaubat kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar. Hajr ini dilakukan kepada orang-orang yang melakukan kesyirikan, kemaksiyatan, kemunkaran, kefasikan dan kebid’ahan. Seperti hajr yang dilaku-kan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami kepada isteri-isterinya selama 40 hari, Ibnu ‘Umar kepada anaknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr tiga Sahabatnya yang tidak ikut dalam perang Tabuk, mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umaiyah al-Waqifi selama 50 hari. (Diringkas dari al-Hajr fil Kitaab was Sunnah oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar Ibnul Qayyim, th. 1419 H).
[11] HR. Al-Bukhari (no. 3344), Muslim (no. 1064) dan Abu Dawud (no. 4764), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[12]. Shabigh bin ‘Asal al-Hanzhali adalah seseorang yang pernah bertanya kepada Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu tentang arti “adz-Dzaariyaat”, maka beliau Radhiyallahu anhu menjawab: “Yang dimaksud adalah angin, kalau aku tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku tidak akan mengatakan demikian.” Kemudian Shabigh bertanya lagi: “Apa maksud al-Haamilaat?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab: “Yang dimaksud adalah awan.” Setelah itu ia masih bertanya tentang beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu beliau Radhiyallahu anhu menyuruh orang untuk memukul Shabigh dengan seratus cambukan dan setelah sembuh dari sakitnya dicambuk lagi seratus kali. Akhirnya Khalifah ‘Umar menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melarang Shabigh bin ‘Asal berkumpul bersama orang banyak. (Al-Ibaanah Ibnu Baththah no. 329-330, ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits no. 83-85, Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah oleh al-Lalika-i no. 1136-1140)
[13] HR. Muslim (no. 8), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), as-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (II/413 no. 901), dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1038).
[14] Lihat Maqaalaat Islaamiyyiin (I/338), Lisaanul Miizaan (II/142), Jahm bin Shaf-wan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz al-Mazini di akhir masa pemerintahan Bani Umayyah.
[15] Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahari, ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 184-185).
[16] Lihat al-Ibaanah libni Baththah al-‘Ukbary (II/438 no. 371, 373).
[17] Lihat al-Ibaanah (no. 470) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari, Syarhus Sunnah (no. 170) oleh Imam al-Barbahari dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1149) oleh al-Lalika-i.
[18] Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/156, no. 267).
[19] Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya (I/110), Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah (no. 395, 458), dan lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 240).
[20] Lihat al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa (I/98-99, no. 124) oleh Ibnu Wadhdhah, tahqiq ‘Abdul Mun’im Salim, asy-Syarii’ah (I/458, no. 135) oleh al-Ajurri, al-Ibaanah (no. 390-392) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 240).
[21] Al-Bida’ wan Nahyu ‘anhaa (I/99, no. 125) oleh Ibnu Wadhdhah, as-Sunnah (I/ 137, no. 99) oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, asy-Syarii’ah (I/435, no. 114) oleh al-Ajurri, al-Ibaanah (II/437, no. 369) oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari, al-I’tiqaad (hal. 136) oleh Imam al-Baihaqi, Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/151, no. 244).
[22] Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/109), lihat al-Ibaanah (II/445, no. 398) oleh Ibnu Baththah dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/151, no. 242).
[23] Syarhus Sunnah (no. 144) oleh Imam al-Barbahari
[24] Ibid, no. 148.
[25] Syarhus Sunnah (I/224) oleh Imam al-Baghawi
[26] Ibid, I/227.
[27] Lihat Qathfuts Tsamar fii Bayaan ‘Aqiidah Ahlil Atsar (hal. 157) oleh Siddiq Hasan Khaan, tahqiq Dr. ‘Ashim bin ‘Abdillah al-Qaryuthi.
[28] Tafsiir Ibni Katsir (III/338).
[29] Diringkas dari kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (II/550-552) oleh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili.
[30] Lihat Miftaah Daaris Sa‘aadah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[31] Hajrul Mubtadi’ (hal. 41) oleh Syaikh Bakr Abu Zaid. Tentang batasan syar’i dalam menjauhi ahlul bid’ah lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (II/553-563) oleh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili.
[32] Disadur dari Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/207) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[33] Majmuu’ Fataawaa (XXIV/173) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[34] Lihat Dhawaabitul Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar ‘inda Syaikhil Islam (hal. 36).

Tags