Khutbah Pertama
إن الحمد لله، نحمدُه ونستعينُه ونستغفرُه وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ من شرورِ أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهدِه الله فلا مضلَّ له، ومن يضلِلْ فلا هادي له، وأشهدُ أنْ لا إله إلا الله وحده لا شريكَ له، وأشهدُ أن محمداً عبده ورسوله.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
فإن أصدق الحديث كتابُ الله، وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم، وشرَّ الأمورِ محدثاتُها، وكلَّ محدثة بدعةٌ، وكلَّ بدعة ضلالةٌ، وكلَّ ضلالة في النار.
معاشر المسلمين، أًوصيكم ونفسي بتقوى الله، فقد فاز المتقون
Sesungguhnya di antara keyakinan Ahlussnnah wal Jama’ah adalah iman bertambah dengan amal salih dan berkurang dengan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Para ulama telah menjelaskan bahwasanya amal salih terdiri atas tiga hal, yaitu amalan lisan, amalan anggota tubuh, dan amalan hati.
Banyak orang yang tatkala ingin menambah keimanannya, mereka hanya memperhatikan amal salih yang dilakukan dari sisi lisan dan anggota tubuh semata. Sehingga akhirnya mereka perhatian untuk membaca Alquran dan dzikir dengan lisannya, mereka perhatian terhadap shalat, haji dan umrah dengan anggota tubuhnya. Akan tetapi ternyata ada dan banyak amal salih yang bisa dilakukan dengan hati. Dan di antara sekian amalan hati yang sangat penting adalah niat yang baik. Oleh karenanya para salaf dahulu mengatakan,
نية المؤمن أبلغ من عمله
“Niat seorang mukmin lebih sampai daripada amalnya.”
Lafal ini diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang derajatnya dhaif. Akan tetapi makna hal ini benar. Oleh karenanya hal ini telah disebutkan dan oleh para salaf dan telah dijelaskan oleh para ulama.
Terdapat beberapa sisi yang telah dijelaskan oleh para ulama. Sisi yang pertama menyatakan bahwasanya niat yang murni bisa bernilai ibadah. Sementara amal tanpa niat tidak akan bernilai ibadah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً} صحيح مسلم (1/ 118{(
“Barangsiapa berkeinginan untuk melakukan kebaikan namun belum melakukannya maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna untuknya.” (HR. Muslim 1/118 no. 131)
Maka meskipun seseorang tidak beramal, namun jika dia telah memiliki niat yang baik, maka dia telah mendapatkan pahala. Akan tetapi amal tanpa niat mustahil akan mendapatkan pahala.
Sisi yang kedua adalah niat adalah amalan hati sementara amal adalah amalan anggota tubuh. Dan kita telah tahu bahwasanya hati adalah raja dan anggota tubuh adalah pasukannya. Maka tentu berbeda antara amalan raja dan amalan pasukan. Sehingga secara umum ini menunjukkan bahwasanya amalan hati lebih afdhal (utama) daripada amalan anggota tubuh. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ} صحيح مسلم (4/ 1987{(
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim 4/1987 no. 25640
Sisi yang ketiga yang menjadikan niat lebih utama daripada amalan seseorang adalah jika seseorang berniat untuk melakukan suatu kebaikan, dan dia telah melakukan semampunya namun tidak mampu menyelesaikannya, maka tetap dicatat baginya sebagai amalan yang sempurna. Dalil akan hal ini sangat banyak, di antaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat tatkala perang Tabuk,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا، مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ، حَبَسَهُمُ العُذْرُ} صحيح البخاري (6/ 8{(
“Sesungguhnya di dalam Madinah itu ada sekelompok kaum, yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan tidaklah kalian menyeberangi lembah kecuali mereka diikutsertakan bersama kalian dalam ganjaran.” Mereka bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka berada di dalam Madinah? ‘ Beliau menjawab: “Mereka di Madinah karena mereka terhalangi oleh udzur.” (HR. Bukhari 6/8 no. 4423)
Bayangkanlah bagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ada orang yang tinggal di kota Madinah, tidak keluar bersama para sahabat untuk pergi sejauh 700 kilometer menuju kota Tabuk untuk berperang, akan tetapi mereka mendapatkan pahala yang sama dengan orang-orang yang berangkat berjihad. Ini semua dikarenakan mereka yang tinggal di Madinah telah berniat untuk ikut berjihad, akan tetapi mereka tidak dapat berangkat karena rasa sakit.
Kemudian dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ،} سنن الترمذي (4/{(562
“Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang; (di antaranya) Pertama, seorang hamba yang dikarunia Allah harta dan ilmu, dengan ilmu ia bertakwa kepada Allah dan dengan harta ia menyambung silaturrahim dan ia mengetahui Allah memiliki hak padanya dan ini adalah tingkatan yang paling baik, Kedua, selanjutnya hamba yang diberi Allah ilmu tapi tidak diberi harta, niatnya tulus, ia berkata: Andai saja aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan seperti amalan si fulan, maka ia mendapatkan apa yang ia niatkan, pahala mereka berdua sama.” (HR. Tirmidzi 4/562 no. 2325)
Maka hadits ini merupakan dalil bahwasanya dengan niat yang baik itu sangat luar biasa karena bisa memberikan pahala sempurna, seakan-akan orang tersebut mengamalkannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا} صحيح البخاري (4/ 57{(
“Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai mukim dan dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari 4/57 no. 2996)
Seseorang yang tatkala sehat senantiasa melaksanakan shalat rawatib, shalat malam, puasa sunnah, maka tatkala dia sedang safar atau sakit yang membuat dia sulit untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut, maka tetap dicatat baginya seperti telah melakukan amalan tersebut karena niatnya, hanya saja dia terhalangi dengan safar atau sakit.
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ، بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ} صحيح مسلم (3/ 1517{(
“Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada’ meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur.” (HR. Muslim 3/1517 no. 1909)
Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ، وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ} سنن ابن ماجه (1/ 426{(
“Barangsiapa beranjak tidur dengan niat untuk bangun dan shalat malam, namun kantuk mengalahkannya hingga tiba pagi, maka akan ditulis baginya apa yang dia niatkan, dan tidurnya dihitung sebagai sedekah dari Rabbnya. ” (HR. Ibnu Majah 1/426 no. 1344)
Ini semua menunjukkan bahwasanya niat memiliki kekuatan yang luar biasa, bahakan terkadang mampu untuk melampaui amalan itu tersendiri. Dan di antara yang menunjukkan bahwasanya niat itu lebih sampai daripada amal adalah sebagaimana perkataan para ulama bahwa niat itu bersih daripada ujub dan riya’, karena tatkala seseorang memiliki niat yang baik tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia memberitahukannya. Selama seseorang menyembunyikan niat tersebut sehingga hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengetahuinya, maka niat tersebut tidak akan terkena riya’ dan ujub yang akan membantalkan amal salih. Adapun amalan rentan terkena dengan riya’ dan ujub.
أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من ذنب وخطيئة فأستغفره إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، أللهم صلي عليه وعل أله وأصحابه وإخوانه
Ma’syiral Muslimin,
Di antara hal yang sangat membantu kita untuk meraih pahala yang besar adalah dengan mengikhlaskan niat kita karena Allah Subhanahu wa ta’ala dalam perkara duaniwi. Kalau sekiranya kita meniatkan perkara dunia tersebut karena Allah Subhanahu wa ta’ala, maka perkara tersebut akan berubah menjadi amal salih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ} صحيح البخاري (1/ 21{(
“Sesungguhnya, tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 1/21 no. 56)
Para ulama menjelaskan bahwa tatkala seorang lekakisedang menyuapkan makanan ke mulut istrinya, maka kondisi ini adalah kondisi dimana mereka saling bermesraan dan jauh dari nuansa akhirat. Akan tetapi jika sang suami.melakukan itu dengan niat karena AllahSubhanahu wa ta’ala, maka dia akan mendapatkan pahala atas hal tersebut. Bahkan tidak hanya sampai disitu, jika seorang suami menggauli istrinya dengan niat karena Allah Subhanahu wata’ala, maka dia kan mendapatkan pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ} صحيح مسلم (2/ 697{(
“Bahkan pada kemaluan salah seorang di antara kalian (menggauli istri) terdapat sedekah.” (HR. Muslim 2/697 no. 1006)
Betapa banyak waktu yang digunakan oleh laki-laki mencari nafkah untuk keluarga. Maka jika dia meniatkan bahwa mencari nafkah tersebur adalah untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka akan bernilai pahala di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Terlebih lagi jika harta yang didapatkan diniatkan untuk menyambung silaturahmi, dibelanjakan di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tentu keletihan dalam mencarinya akan berubah menjadi pahala di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka jangan sampai-sampai waktu yang kita miliki dari pagi hingga petang, kemudian tidak kita niatkan untuk Allah Subhanahu wa ta’ala, maka akan hilang waktu tersebut tanpa ada nilainya. Akan tetapi jika kita niatkan karena Allah Subhanahu wa ta’ala maka akan bernilai sebagai pahala yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
إنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
اللهم إنا نسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى
اللهم اغفر لنا ما قدّمنا وما أخرنا، وما أسررنا، وما أعلنا، وما أسرفنا، وما أنتأعلم به منا، أنت المقدّم وأنت المؤخر، لا إله إلا أنت
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/