Surat Al-Fatihah dinamai dengan “Al-Fatihah” (yang berarti pembukaan) karena dengan surat ini qiraat dalam shalat dibuka.
Surat ini juga dinamai dengan nama “Ummul Kitab (Induknya Kitab)” dan juga nama-nama yang lain seperti : Al-Hamdu, Ash-Shalah, Asy-Syifaa’, Ar-Ruqyah, Al-Waaqiyah, Al-Kaafiyah, dan Asas Al-Quran.
Imam Bukhari mengatakan : Surat ini dinamai “Ummul Kitab” karena surat ini dijadikan sebagai pembuka di dalam mushaf Al Quran, dan juga dengan surat ini qiraat dalam shalat dibuka.
Imam Thabari juga mengatakan : Orang Arab menamai setiap kumpulan perkara atau pembukaan pada setiap perkara dengan nama “umm” maka dari itulah mereka menyebut kulit yang melapisi otak dengan istilah “ummu ar-ra’si” (أُمُّ الرَّأْسِ), mereka juga menamai panji suatu pasukan yang berkumpul dibawahnya dengan sebutan “umm”.
Dzur Rummah melantunkan sebuah syair yang berbunyi:
عَلَى رَأْسِهِ أمّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا * جماع أمور لَيْسَ نَعْصِي لَهَا أمراً
Diujung tombak itu ada panji milik kami yang kami jadikan panutan dalam segala urusan, yang mana kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali[1]
Imam Ahmad meriwayatan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda tentang Ummul Quran:
هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
Ia adalah Ummul Quran (induknya Al Quran), dan ia adalah As-Sab’u Al-Matsaaniy (tujuh yang diulang-ulang), dan dia adalah Al-Quran Al-‘Adziim (Al Quran yang agung).[2]
A. Keutamaan Surat Al Fatihah
- 1. Surat yang Paling Agung dalam Al Quran
عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ المُعَلَّى، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي، قَالَ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ؟، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ المَسْجِدِ، فَأَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ قُلْتَ: لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ قَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي، وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Dari Abu Sa’id Al-Mu’alli, ia berkata : Dahulu aku sedang shalat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggilku, maka akupun tidak menjawabnya.
Aku berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku sedang shalat”.
Beliau menjawab : “Bukankah Allah telah berfirman : (penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu)?”
Lalu beliau bersabda : “Maukah engkau saya ajarkan surat yang paling agung di dalam Al Quran sebelum engkau keluar dari masjid?”
Lalu beliau menjabat tanganku. Ketika aku ingin keluar maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, tadi engkau mengatakan (saya akan ajarkan engkau surat yang paling agung dalam Al Quran.)”
Beliau bersabda : “(Surat itu adalah) Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin (surat Al-Fatihah) ia adalah As-Sab’u Al-Matsaaniy (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan Al-Quran Al-‘Adziim (Al Quran yang agung) yang diberikan kepadaku”[3]
- 2. Terbagi Antara Allah dan Hamba-Nya
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي التَّوْرَاةِ، وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ أُمِّ الْقُرْآنِ وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ مَقْسُومَةٌ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah Azza wa jalla tidak menurunkan di dalam Taurat maupun Injil semisal Ummul Quran (Surat Al-Fatihah), surat ini adalah As-Sab’u Al-Matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang), dan ia dibagi-bagi antara Aku dan diantara hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta.[4]
- 3. Sebagai Ruqyah untuk Mengobati Penyakit
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: كُنَّا فِي مَسِيرٍ لَنَا فَنَزَلْنَا، فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ، فَقَالَتْ: إِنَّ سَيِّدَ الحَيِّ سَلِيمٌ، وَإِنَّ نَفَرَنَا غَيْبٌ، فَهَلْ مِنْكُمْ رَاقٍ؟ فَقَامَ مَعَهَا رَجُلٌ مَا كُنَّا نَأْبُنُهُ بِرُقْيَةٍ، فَرَقَاهُ فَبَرَأَ، فَأَمَرَ لَهُ بِثَلاَثِينَ شَاةً، وَسَقَانَا لَبَنًا، فَلَمَّا رَجَعَ قُلْنَا لَهُ: أَكُنْتَ تُحْسِنُ رُقْيَةً أَوْ كُنْتَ تَرْقِي؟ قَالَ: لاَ، مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِأُمِّ الكِتَابِ، قُلْنَا: لاَ تُحْدِثُوا شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَ - أَوْ نَسْأَلَ - النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدِينَةَ ذَكَرْنَاهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: وَمَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
Dari Sa’id Al-Khudriyyi ia berkata : Suatu ketika di tengah perjalanan kami singgah di suatu tempat. Lalu datanglah seorang budak wanita dan ia berkata :
“Sesungguhnya kepala desa kami sedang sakit, sementara orang-orang kami sedang tidak ada, apakah diantara kalian ada yang bisa meruqyah?”
Maka berdirilah salah seorang lelaki beranjak dengan wanita itu yang kami sendiri tidak tahu apakah lelaki itu bisa meruqyah.
Lalu iapun meruqyahnya dan ternyata kepala desa itu sembuh. Lalu kepala desa itu memerintahkan lelaki itu untuk membawa 30 ekor kambing, dan kamipun diberi minum susu.
Setelah pulang, kami bertanya pada lelaki itu : “Apakah engkau orang yang pandai meruqyah?”
Ia menjawab : “Tidak, aku meruqyahnya hanya dengan surat Al-Fatihah.”
Kami berkata : “Janganlah kalian berbuat apa-apa sampai kita datangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau bertanya pada beliau.”
Ketika kami sampai di Madinah, kami ceritakan kejadian itu pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliaupun bersabda :
“Siapa yang memberi tahu bahwa (surat Al-Fatihah) itu adalah ruqyah? Bagikanlah kambing itu dan berikan juga bagian itu padaku.[5]
- 4. Surat yang Belum Pernah Diberikan Kepada Nabi Sebelum Muhammad
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ، وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Ketika Jibril duduk disamping Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, beliau mendengar suara pintu terbuka dari langit, maka beliaupun mengangkat kepalanya dan bersabda :
“Itu adalah salah satu pintu langit yang dibuka hari ini, yang mana pintu tersebut belum pernah dibuka sama sekali kecuali hari ini.”
Lalu turunlah malaikat dari langit itu, dan Jibril berkata : “Ini adalah malaikat yang turun kebumi yang belum pernah turun sama sekali kecuali di hari ini.”
Lalu ia memberi salam dan berkata :
“Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang mana kedua cahaya tersebut belum pernah diberikan kepada Nabi sebelummu : (yaitu) surat Al-Fatihah, dan akhir dari surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf dari kedua surat itu kecuali pasti akan diberikan kepadamu.”[6]
- 5. Allah Menjawab Hamba-Nya yang Membaca Surat Al-Fatihah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ - ثَلَاثًا - غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي - فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka shalatnya cacat dan tidak sempurna, cacat dan tidak sempurna, cacat dan tidak sempurna.”
Abu Hurairah ditanya : “Bila kami dibelakang imam (bagaimana)?”
Rasulullah menjawab : “Bacalah sendiri dengan samar. Karena aku mendengar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Allah ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi) :
Aku membagi sholat diantara-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan hamba-Ku mendapat apa yang ia minta.
Tatkala ia membaca “Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin” maka Allah berfirman ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’ . . .
dikala ia membaca “Arrahmaanirrahiim” maka Allah berfirman ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’ . . .
ketika ia membaca “Maaliki yaumiddiin” maka Allah berfirman ‘Hamba-Ku telah mengangungkan-Ku’ dan Allah berfirman lagi ‘Hamba-Ku telah mengakui kekuasaan-Ku’ . . .
ketika ia membaca “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” maka Allah berfirman ‘Inilah bagian antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapat yang ia minta’ . . .
ketika ia membaca “Ihdinashshiraathal mustaqiim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhaaalliin.” maka Allah berfirman ‘Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta[7]
- B. Hal-hal yang Berkaitan dengan Surat Al-Fatihah
1. Kedudukan Surat Al-Fatihah dalam Shalat
Surat Al-Fatihah disebut juga dengan memakai lafadz “Shalat” yang artinya adalah bacaan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya[8]
Hal ini menunjukkan keagungan kedudukan qira’at (bacaan Al-Fatihah) dalam shalat, karena ia merupakan salah satu rukun yang terbesar, sebagaimana disebutkannya dengan lafadz “qira’at” bahwa yang dimaksud dengan “qira'at” itu adalah shalat seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 78 yang berbunyi:
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ
Dan yang dimaksud dengan (وَقُرْآنَ الْفَجْرِ) adalah shalat fajar (subuh)
2. Haruskah Membaca Al-Fatihah dalam Shalat?
Apakah qira’at dalam shalat itu diharuskan dengan membaca surat Al-Fatihah ataukah cukup bila membaca selain surat Al-Fatihah? Maka ada dua pendapat yang terkenal dalam masalah ini :
A. Tidak Harus Al-Fatihah
Menurut hanafiyyah dan orang-orang yang sepakat dengannya dari kalangan para muridnya berpendapat bahwa surat Al-Fatihah bukan suatu keharusan, bahkan surat apapun dari Al-Quran jika dibaca dalam shalat maka sudah mencukupi. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah ta’ala:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.[9]
Dan juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ
Ketika engkau berdiri untuk shalat maka bertakbirlah dan bacalah surat dalam Al Quran yang mudah bagimu.[10]
B. Harus Surat Al-Fatihah
Adapun pendapat yang kedua menyatakan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah suatu keharusan, dan tidaklah cukup shalat tanpa membacanya. Ini adalah pendapat dari ketiga imam (yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad).
Mereka berdalil dengan hadits yang telah dikemukakan sebelumnya (yakni hadits tentang cacatnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah). Dan juga berdalil dengan hadits:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah.[11]
Dan hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini sangatlah banyak.
- 3. Bagaimana Praktek Membaca Al-Fatihah di Belakang Imam?
Wajibkah makmum membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam? Maka jawabannya ada tiga pendapat ulama’ dalam masalah ini :
Yang pertama, wajib membacanya sebagaimana wajibnya imam membaca surat Al-Fatihah. Dalilnya berdasarkan keumuman hadits yang telah dikemukakan sebelumnya.
Yang kedua, tidak diwajibkan bagi makmum membaca Al-Fatihah disetiap shalat, baik shalat yang bacaannya jahr (keras) ataupun sirr (berbisik). Berdasarkan hadits
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ، فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ
Barang siapa yang menjadi ma’mum maka bacaannya imam telah mewakili bacaannya[12]
Yang ketiga, makmum wajib membacanya ketika bacaan sirriyyah, dan tidak wajib ketika bacaan jahiriyyah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
Imam itu dijadikan untuk diikut, ketika ia bertakbir maka bertakbirlah[13]
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
Ketika imam membaca qiraah maka diamlah[14]
C. Tafsir Isti’aadzah
- 1. Definisi Isti’aadzah
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah[15]
وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ ﴿٩٧﴾ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku".[16]
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ﴿٣٦﴾ وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[17]
Inilah ketiga ayat yang tidak ada ayat selain itu yang semakna dengannya. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan manusia untuk bersikap membujuk atau merayu dalam menghadapi musuh dari kalangan sesama manusia dan berbuat baik padanya agar ia kembali pada watak aslinya yang baik, yakni rukun dan bersahabat.
Namun dalam menghadapi musuh dari kalangan setan, Allah memerintahkan kita berlindung kepada-Nya sebagai suatu keharusan. Tidak boleh kita bersikap membujuk dan berbuat baik terhadap setan.
Tidak ada satupun yang mereka cari melainkan kebinasaan manusia. Hal ini dikarenakan permusuhan yang sengit antara mereka dan manusia. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuh(mu)[18]
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?[19]
Sesungguhnya setan (yakni Iblis) pernah bersumpah kepada Adam ‘alaihis salam namun ia berdusta dengan sumpahnya. Maka bagaimanakah perlakuan mereka terhadap kita? Sungguh Allah telah berfirman (bahwa setan itu pernah bersumpah kepada Allah untuk menyesatkan manusia):
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya[20]
2. Kapan Membaca Isti’adzah?
Segolongan ulama ahli qiraah mengatakan bahwa membaca isti’aadzah itu dilakukan sesudah membaca Al Quran. Mereka berpendapat demikian karena berpegang dengan makna ayat secara tekstual.[21]
Namun, pendapat yang masyhur menyatakan bahwa isti’aadzah itu dibaca sebelum membaca Al Quran dengan tujuan menghilangkan waswas. Menurut mereka yang berpegang pada pendapat yang masyhur ini berdalil, bahwa makna ayat dari:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.[22]
adalah bermakna “Ketika engkau hendak membaca Al Quran . . .”. Meskipun secara tekstual penyebutan kata (قَرَأْتَ) dalam ayat tersebut menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau) namun maknanya bukan demikian. Karena makna ayat ini sama dengan firman Allah:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
apabila kamu hendak mengerjakan shalat[23]
Hal ini juga ditunjukkan dengan sebuah riwayat sebagai berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذا قام من الليل استفتح صلاته بالتكبير والثناء ثُمَّ يَقُولُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، من همزة ونفخة ونفثه (رواه أحمد عن أبي سعيد الخدري وأخرجه أصحاب السنن الأربعة)
Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika shalat malam, membuka shalatnya dengan takbir dan kalimat-kalimat sanjungan kepada Allah. Kemudian beliau membaca : (أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، من همزة ونفخة ونفثه : Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaannya, bisikannya, dan hembusannya.)
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudriyyi, dikeluarkan juga oleh keempat sunan.)[24]
3. Tafsir (أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)
Adapun makna dari kalimat isti’aadzah atau ta’awwudz yang berbunyi:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
adalah :
“Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk agar ia tidak menimpakan bahaya pada agama dan duniaku, atau agar ia tidak dapat menghalangiku untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepadaku.”
Sesungguhnya tidak ada yang mampu mencegah setan dari manusia melainkan Allah. Adapun makna “Isti’aadzah” adalah memohon naungan perlindungan kepada Allah ta’ala dari segala sesuatu yang memiliki kejelekkan.
Pengertian meminta perlindungan ini adakalanya dimaksudkan untuk menepis kejelekan dan adakalanya untuk mencari kebaikan. Sebagaimana pengertian yang terkadung dalam sya’ir sebagai berikut:
يَا مَنْ ألوذُ بِهِ فِيمَا أُؤَمِّلُهُ * وَمَنْ أَعُوذُ بِهِ مِمَّا أُحَاذِرُهُ
لَا يجبرُ الناسُ عَظْمًا أَنْتَ كَاسِرُهُ * وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أنت جابره
Wahai orang yang aku mintai perlindungan agar aku memperoleh apa yang aku angan-angankan, dan wahai orang yang aku berlindung dari apa yang aku khawatirkan
Tidaklah manusia itu memperoleh keagungan yang telah engkau hancurkan, dan tidaklah mereka menggoncang keagungan yang telah engkau bangun.[25]
4. Tafsir (الشَّيْطَانُ : Setan)
Adapun setan (الشَّيْطَانُ) dalam bahasa Arab berasal dari kata sya-tha-na (شَطَنَ) yang berarti “jauh”. Dikatakan demikian karena memang sifat setan jauh dari kebaikan. Adapula yang berpendapat berasal dari kata syaa-tha (شَاطَ) karena ia diciptakan dari api.
Namun, pendapat yang terkuat adalah yang pertama. Seorang ulama ahli bahasa Imam Sibawaih mengatakan : Tatkala ada seseorang yang melakukan perbuatan setan orang Arab biasanya mengatakan : “تَشَيْطَنَ فلانُ” yang artinya : “Seorang fulan sedang kesetanan (melakukan perbuatan syetan).”
Seandainya ia berasal dari kata syaa-tha maka orang Arab akan mengatakan : “تَشِيْطُ”. Oleh karena itulah istilah “setan” itu disematkan untuk setiap sosok yang membangkang dari kalangan jin, manusia maupun hewan, Allah ta’ala berfirman : (شَيَاطِينَ الإنس والجن : setan dari kalangan manusia dan jin).
5. Tafsir (الرَّجِيْم : yang terkutuk)
Adapun ar-Rajiim (الرَّجِيْمِ) ini bermakna (مَرْجُوْمٌ مَطْرُوْدٌ عَنْ الخَيْرِ) yang berarti “dilempar dan juga terusir dari semua kebaikan”. Hal ini semakna dengan firman Allah:
وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ
dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan[26]
وَحَفِظْنَاهَا مِن كُلِّ شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ ﴿١٧﴾ إِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُّبِينٌ
dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk, kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.[27]
D. Tafsir Surat Al-Fatihah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1. Anjuran Membaca Basmalah
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dahulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui pemisah antar surat hingga beliau diturunkan “Bismillahir rahmaanir rahiim”[28]
Para sahabat memulai membaca kitabullah dengan bacaan basmalah. Oleh karena itu, dianjurkan membaca basmalah disetiap awal ucapan dan perbuatan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَهُوَ أَجْذَمُ
Setiap perkara yang tidak diawali dengan membaca basmalah maka ia cacat.[29]
Dianjurkan pula membacanya tatkala diawal wudlu’, karena beliau bersabda:
لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Tidak ada wudlu bagi siapa yang tidak menyebut nama Allah atasnya.[30]
Dianjurkan pula ketika menyembelih menurut madzhab Syafi’i dan diwajibkan menurut madzhab yang lainnya. Demikianpula ketika makan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.[31]
Dianjurkan pula membacanya ketika hendak bersenggama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Seandainya salah seorang kalian mendatangi istri (untuk menyetubuhinya), lalu ia membaca : “Bismillah, Allahumma Jannibnasy-syaithoon, wa jannibisy-syaithoona maa rozaqtanaa.”
(Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan itu dari apa yang telah engkau rizkikan kepada kami) . . .
maka apabila pasutri tersebut dianugrahi seorang anak dalam persetubuhan itu, maka setan tidak akan mampu membahayakan ia selamanya.[32]
2. Taqdiir Muta’alliq Huruf Ba’ (ب) dalam Lafadz Basmalah (بِسْمِ اللَّهِ)
Sebagian ulama’ ahli nahwu men-taqdir (memperkirakan) adanya perkiraan isim:
بِاسْمِ اللَّهِ ابْتِدَائِي
Dengan (menyebut) nama Allah aku memulai
Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala:
بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا
dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya[33]
Ada juga yang memperkirakan dengan perkiraan fi’il :
أبدَأ بِبِسْمِ اللَّهِ
Aku memulai dengan (menyebut) nama Allah
Atau :
ابْتَدَأْتُ بِبِسْمِ اللَّهِ
Aku memulai dengan (menyebut) nama Allah
Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan[34]
Kedua perkiraan ini semuanya benar, karena fi’il pasti memiliki isim masdar, maka diperbolehkan apabila lafadz “bismillah” tersebut di-taqdir (diperkirakan) dengan fi’il maupun masdar.
Maka dari itu disyariatkan membaca bismillah disetiap hal yang disyariatkan untuk membacanya; dengan harapan memperoleh keberkahan, anugrah, serta pertolongan agar Allah menyempurnakan dan menerima amalnya.
3. Takwil (اللَّه : Allah)
“Allah” adalah ‘alam atau nama yang disematkan kepada Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena nama itu mencakup seluruh sifat yang dimiliki-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.[35]
Sedangkan nama-nama yang lainnya adalah sifat-sifatnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna[36]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)[37]
Disebutkan pula dalam dua kitab Shahih:
إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yakni 100 dikurangi 1. Barang siapa yang menjaganya maka ia masuk surga.[38]
“Allah” adalah nama yang tidak disematkan kepada selain Allah yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena inilah lafadz “Allah” tidak ada kata asalnya dalam bahasa Arab.
“Allah” adalah isim jamid, dan pendapat ini telah dinukil oleh imam Al-Qurtubi dari beberapa perkumpulan ulama’ seperti imam Syafi’i, imam Al-Ghazzali, dan imam Al-Haramain.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa “Allah” berasal dari kata a-li-ha – ya’-la-hu – i-laa-ha-tan (أَلِهَ - يَأْلَهُ - إِلَاهَةً). Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah : “وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ” yang menurut Ibnu ‘Abbas maknanya adalah “Dia meninggalkanmu dan tidak menganggapmu sebagai Tuhan.”
Dikatakan pula bahwa “Allah” berasal dari kata wa-la-ha (وَلَهَ) yang artinya adalah “dibingungkan”, karena Allah membingungkan pikiran tatkala pikiran itu memikirkan hakikat sifat-sifatnya. Dan masih ada pula beberapa pendapat lainnya.
Dari pendapat-pendapat yang ada, Ar-Raazi memilih pendapat bahwa “Allah” tidak memiliki asal kata sama sekali. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Al-Khalil, Sibawaih dan kebanyakan ahli ushul dan ahli fiqih.
4. Tafsir (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ : Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Kata (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) merupakan dua isim yang berasal dari kata (الرَّحْمَةُ : rahmat/kasih sayang) yang dimaksudkan untuk mubalaghah. Kata (الرَّحْمَٰنِ) lebih kuat makna mubalaghahnya dari pada kata (الرَّحِيمِ).
Sebagian mereka ada yang menyangka bahwa kedua kata tersebut tidak memiliki kata asal. Sebagai bantahannya, Imam Al-Qurthubi mengatakan : Dalil bahwa kedua kata tersebut memiliki kata asal adalah hadits qudsi yang diriwayatkan berikut ini:
أَنَا اللَّهُ، وَأَنَا الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
Aku adalah Allah, Aku adalah Ar-Rahmaan, aku menciptakan Ar-Rahim (kasih sayang) dan aku ambil ia dari nama-Ku. Barang siapa yang menyambungnya maka Aku akan menyambungnya, barang siapa yang memutusnya maka aku akan memutuskan kasih sayang-Ku darinya.[39]
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa Ini adalah nash yang di dalamnya terkandung (dalil) pengasalan kata. Maka tidak ada makna lagi untuk diperselisihkan dan dipertentangkan.
Adapun pengingkaran orang Arab terhadap nama (الرَّحْمَٰنِ) adalah karena kebodohan mereka terhadap Allah dan terhadap apa yang diwajibkan oleh Allah kepadanya.
Isim dengan wazan (فَعْلَانَ) tidak sama dengan (فَعِيْل). Isim dengan wazan (فَعْلَانَ) hanya digunakan untuk mubalaghah fi’il. Contoh : (رَجُلٌ غَضْبَان : Lelaki yang sangat pemarah). Sedangkan isim dengan wazan (فَعِيْل) bisa bermakna fa’il bisa juga bermakna maf’uul.
Ibnu Jarir mengatakan : (الرَّحْمَٰنِ : yakni sifat Pemurahnya Allah) itu diperuntukkan untuk seluruh makhluk, sedangkan (الرَّحِيمِ : yakni sifat Penyayangnya Allah) itu hanya dikhususkan untuk orang-orang yang beriman. Karena itulah Allah ta’ala berfirman:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.[40]
Dari ayat tersebut Allah menggunakan nama (الرَّحْمَٰنِ) tatkala menyebutkan peristiwa istiwa’ agar Allah memberikan rahmat-Nya secara merata kepada seluruh makhluk-Nya.
Allah ta’ala juga berfirman:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.[41]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengkhususkan (الرَّحِيمِ) hanya untuk orang-orang beriman. Hal itu menunjukkan bahwa (الرَّحْمَٰنِ) lebih kuat makna mubalaghah-nya dalam hal rahmat, karena diberikan di dunia dan akhirat untuk semua makhluknya. Sedangkan (الرَّحِيمِ) hanya dikhususkan untuk orang yang beriman.
Allah ta’ala menamai diri-Nya dengan nama (الرَّحْمَٰنِ) secara khusus dan tidak menamai untuk selain-Nya. Allah ta’ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.[42]
أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?[43]
Sebagian ulama’ menduga bahwa (الرَّحِيمِ) lebih kuat mubalaghahnya dari pada (الرَّحْمَٰنِ). Hal ini dikarenakan kata (الرَّحِيمِ) berfungsi sebagai taukid, dan kata yang berfungsi sebagai taukid pastinya lebih kuat dari pada kata yang di-taukid.
Maka bantahan dari dugaan ini adalah : Bahwa subjek dari masalah ini bukan masuk ke dalam “Bab Taukid” akan tetapi masuk dalam “Bab Na’at”. Dan apa yang mereka sebutkan tentang dugaan mereka tidak perlu diikuti.
Jika mereka mengatakan : “Apabila kata (الرَّحْمَٰنِ) lebih kuat mubalaghahnya, mengapa kata (الرَّحِيمِ) juga disebut?”
Maka jawabannya adalah : Mengingat ada seseorang selain Allah yang menamakan dirinya dengan Ar-Rahmaan, maka didatangkanlah Ar-Rahiim untuk membantah dugaan itu. Hal ini dikarenakan tidaklah disifati dengan sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) kecuali hanya Allah. Seperti inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari ‘Atho, dan beliau telah mengemukakan hal itu. Wallaahu a’lam.
___
﴿٢﴾الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
1. Tafsir (الْحَمْدُ لِلَّهِ : Segala puji bagi Allah)
Ibnu Jarir mengatakan : Makna (الْحَمْدُ لِلَّهِ) adalah:
“Segala kesyukuran ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada sesuatu yang disembah selain-Nya, dan bukan kepada segala apa yang diciptakan oleh-Nya, (hal ini diungkapkan) sebagai rasa syukur terhadap apa yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya berupa nikmat-nikmat yang tidak terhitung.”
Tidak ada seorangpun yang mampu menghitung nikmat tersebut selain-Nya. Diantara nikmat tersebut adalah alat-alat atau sarana untuk mengerjakan ketaatan kepada-Nya, dan kemampuan anggota tubuh yang diberi tugas untuk mengerjakan kewajibannya.
Disamping itu, Dia juga membentangkan rezeki untuk mereka di dunia, dan memberikan mereka asupan berupa nikmat kehidupan. Maka hanya untuk Rabb kamilah segala puji atas semua itu sejak awal hingga akhir.
(الْحَمْدُ لِلَّهِ) adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya. Dan termasuk dalam cakupan ini adalah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memuji-Nya, seakan-akan Allah berfirman : “Katakanlah Alhamdulillah.”
2. Perbedaan Antara (الْحَمْدُ), (الْشُكْرُ) dan (الْمَدْحُ)
Ibnu Jarir mengatakan : “Para ahli ma’rifah bahasa Arab menyamakan makna (الْحَمْدُ : Pujian) dengan (الْشُكْرُ : Syukur).”
Menurut ibnu Jarir pendapat ini perlu dikoreksi, karena pendapat yang masyhur dikalangan ulama’ belakangan ini menyatakan bahwa Al-Hamdu adalah pujian dengan ucapan terhadap sosok yang berhak dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah[44] dan muta’addiyah[45].
Sedangakn Asy-Syukru tidak lain hanyalah ungkapan syukur yang menyebutkan sifat muta’addiyah, yang diungkapkan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً ... يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا
Nikmat-nikmat yang kalian peroleh manfaatnya dariku ada tiga...yaitu (melalui) kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak terlihat.
Al-Jauhari mengatakan bahwa Al-Hamdu (pujian) adalah lawan dari الذَّمُّ (Adz-Dzamm: Celaan). Engkau dapat mengatakan : “حَمِدْتُ الرَّجُلَ أحمده حمداً” (Aku memuji seorang lelaki, aku memujinya dengan pujian yang setinggi-tingginya.) Bentuk fa’ilnya adalah (حَمِيدٌ) dan bentuk maf’ulnya adalah (مَحْمُودٌ).
Al-Hamdu lebih umum maknanya dari pada Asy-Syukru. Karena Asy-Syukru itu adalah sanjungan pada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari perbuatan baiknya. Maka dapat dikatakan : “شَكَرْتُهُ وشكرتُ لَهُ” (Aku mensyukurinya dan aku bersyukur kepadanya.) Tetapi kalimat yang “شكرتُ لَهُ” ini lebih fasih.
Adapun (الْمَدْحُ : Pujian) ini lebih umum maknanya dari pada Al-Hamdu, karena ia bisa digunakan untuk orang hidup, orang mati, atau benda mati. Seperti memuji makanan, tempat, dan sebagainya.
(الْمَدْحُ) ini juga bisa dilakukan untuk sebelum atau sesudah kebaikan dan juga bisa ditujukan atas sifat muta’addiyah dan sifat lazimah. Oleh karena itu (الْمَدْحُ) lebih umum pengertiannya dari pada Al-Hamdu.
3. Hadits-hadits Tentang Hamdalah (الْحَمْدُ لِلَّهِ)
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ
Zikir yang paling afdhal adalah “Laailaaha illallaahu”, dan doa yang paling afdhal adalah “Alhamdulillah”[46]
مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَى أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ
Tidaklah Allah memberi nikmat kepada hambanya, lalu ia mengucapkan : “Alhamdulillah” kecuali apa yang Allah berikan lebih afdhal dari pada apa yang ia peroleh.[47]
أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَعَضَّلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ، فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا، فَصَعِدَا إِلَى السَّمَاءِ، وَقَالَا: يَا رَبَّنَا، إِنَّ عَبْدَكَ قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ قَالَا: يَا رَبِّ إِنَّهُ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمَا: اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي، حَتَّى يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ بِهَا
Bahwa ada seorang hamba Allah mengucapkan doa, “Wahai Tuhanku, bagi Engkaulah segala puji sebagaimana yang layak bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.” Maka kedua malaikatnya merasa kesulitan, keduanya tidak mengetahui bagaimana mencatat (pahala)nya.
Lalu kedua malaikat tersebut naik melapor kepada Allah dan berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan suatu kalimat (doa) yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya.”
Allah azza wa jalla berfirman sementara Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya itu, “Apakah yang telah diucapkan oleh hamba-Ku itu?”
Keduanya menjawab, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya dia telah mengatakan, : Bagi Engkau segala puji, wahai Tuhanku, sebagaimana yang layak bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.”
Lalu Allah berfirman kepada kedua malaikat itu, “Catatlah olehmu berdua seperti apa yang diucapkan oleh hamba-Ku hingga dia bertemu dengan-Ku, maka Aku akan membalas pahalanya secara langsung.”[48]
4. Fungsi Huruf Alif Lam (الْ) pada Lafadz (الْحَمْدُ)
Huruf Alif dan Lam pada lafadz (الْحَمْدُ) menunjukkan istighraaq yakni mencakup segala jenis pujian dan semua jenis itu ditujukan hanya untuk Allah ta’ala, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
اللهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْخَلْقُ كُلُّهُ، وَإِلَيْكَ يَرْجِعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
Ya Allah, hanya milik Engkaulah segala puji, hanya milik Engkaulah seluruh kerajaan, hanya milik Engkaulah seluruh ciptaan, dan kepada Engkaulah segala perkara akan kembali.[49]
5. Tafsir (رَبِّ الْعَالَمِينَ : Tuhan semesta alam)
(الرَّبُّ : Tuhan) adalah pemilik atau penguasa yang bertindak. Secara bahasa kata (الرَّبُّ) ditujukan atau dimaksudkan kepada tuan yang bertindak untuk perbaikan. Semua itu benar hak bagi Allah ta’ala.
Kata (الرَّبُّ) tidak boleh digunakan untuk selain Allah, kecuali apabila disandarkan dengan kata yang lain. Contoh : (ربُّ الدار : tuan rumah). Sedangkan kata (الرَّبُّ) secara mutlak hanya boleh digunakan untuk Allah ‘azza wajalla.
(الْعَالَمِينَ) adalah bentuk plural dari kata (عَالَمٌ) yang artinya adalah alam, yakni segala sesuatu yang ada selain Allah ‘azza wajalla. Sedangkan kata (عَالَمٌ) juga merupakan bentuk plural yang tidak memiliki bentuk tunggal. Adapun (الْعَوَالِمُ) adalah (sebutan untuk) berbagai macam makhluk yang ada di langit, daratan, dan lautan.
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1. Penyebutan Sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) Setelah Penyebutan (رَبِّ الْعَالَمِينَ)
Imam Al-Qurthubi mengatakan : Allah mensifati diri-Nya dengan sifat (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ : Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) setelah menyebutkan (رَبِّ الْعَالَمِينَ : Tuhan semesta alam) bertujuan untuk menyandingkan antara targhiib[50] dengan tarhiib[51].
Targhib dan tarhiib ini juga dijumpai pada ayat-ayat lainnya, diantaranya:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٤٩﴾ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ ﴿٥٠﴾
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.[52]
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[53]
Kata (الرَّبُّ) mengandung tarhiib di dalamnya, sedangkan (الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ) mengandung targhiib di dalamnya. Di dalam hadits juga disebutkan:
لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
Seandainya seorang mukmin mengetahui segala siksaan yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada satupun yang menginginkan surga-Nya, dan seandainya orang kafir mengetahui segala rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada satupun yang putus asa mengharapkan surga-Nya.[54]
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾
Yang menguasai di Hari Pembalasan.
- 1. Dua Cara Membaca Lafadz (مَالِكِ)
Sebagian ahli qiraat membacanya (مَلِكِ) yakni huruf mim dibaca satu harakat. Sebagian yang lain membacanya (مَالِكِ) yakni huruf mim dibaca dua harakat. Kedua cara membaca ini shahih dan juga diriwayatkan secara mutawatir.
- 2. Tafsir (مَالِكِ : Yang menguasai)
Kata (مالك) diambil dari kata (المِلْك) – mim berharakat kasrah – sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.[55]
Sedangkan (ملك) diambil dari kata (المُلك) – mim berharakat dlammaah – sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?[56]
الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَٰنِ
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah[57]
Pengkhususan kerajaan/kekuasaan-Nya di hari pembalasan ini tidak menafikan kekuasaan yang lainnya (yakni dunia). Karena pada ayat sebelumnya telah dikabarkan bahwa Dia adalah Tuhannya semesta alam yang pengertiannya umum mencakup dunia dan akhirat.
Alasan disandarkannya kata (مالك : yang menguasai) dengan (يوم الدين : hari pembalasan) adalah karena dihari itu tidak ada seorangpun yang bisa mendakwakan sesuatu, dan tidak ada seorangpun yang berbicara kecuali dengan izin-Nya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala:
لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah[58]
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya[59]
3. Hakikat (الْمَلِكُ : Sang Raja/Penguasa)
(الْمَلِكُ : sang raja) pada hakikatnya adalah Allah ‘azza wajalla. Adapun penyebutan raja bagi selain-Nya (yakni yang menjadi raja di dunia) hanyalah majaz (kiasan) belaka, bukan hakikat.
Hal ini ditunjukkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَطْوِي اللهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ. ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟
Pada hari kiamat Allah ‘azza wajalla akan melipat langit, kemudian menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Ia berfirman : “Akulah sang raja. Mana orang-orang sewenang-wenang!? Mana orang-orang yang sombong!?”
Kemudian ia melipat bumi dengan tangan kiri-Nya, lalu berfirman : “Akulah sang raja. Mana orang-orang yang sewenang-wenang!? Mana orang-orang yang sombong!?”[60]
4. Tafsir (يَوْمِ الدِّينِ : hari pembalasan)
Ibnu Abbas mengatakan : Yang dimaksud (يَوْمِ الدِّينِ : hari pembalasan) adalah hari perhitungan amal seluruh makhluk. Mereka akan dibalas sesuai dengan amalan-amalan mereka. Apabila amalannya baik maka dibalas dengan kebaikan, apabila amalannya buruk maka dibalas dengan keburukan, kecuali apabila keburukan tersebut dimaafkan.
____
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
1. Pengertian (العِبَادَةُ : Ibadah)
Ibadah secara bahasa diambil dari kata adz-dzil-lah (الذِّلَّةِ) yang berarti tunduk dan patuh. Adapun secara syar’i ibadah adalah ungkapan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.
2. Pembahasan Kata (إِيَّاكَ)
Didahulukan dan diulangnya maf’ul dalam ayat tersebut adalah lil ihtimam wal hashr, yakni menunjukkan perhatian dan pembatasan. Sehingga ayat ini bermakna:
لَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاكَ وَلَا نَتَوَكَّلُ إِلَّا عَلَيْكَ
Tidaklah kami menyembah kecuali hanya kepada-Mu, dan tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu.
Kalimat ini merupakan puncak kesempurnaan ketaatan, dan agama itu secara keseluruhan bermuara pada kalimat ini.
Penggalan kalimat “Tidaklah kami menyembah kecuali hanya kepada-Mu” bermakna berlepas diri dari kesyirikan, sedangkan penggalan kalimat “tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu” bermakna berlepas diri upadaya, kekuatan dan menyerahkannya kepada Allah azza wajalla.
Ayat yang bermakna seperti ini tidak hanya satu saja dalam Al-Quran. Diantara ayat lainnya yang semakna dengannya ialah firman Allah ta’ala:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya.[61]
قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
Katakanlah: "Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.[62]
3. Perubahan Bentuk dari Ghaibah kepada Muwaajihah
Dalam ayat ini (Al-Fatihah ayat 5), terjadi perubahan kalam dari ghaibah (orang ketiga) kepada muwajihah (orang kedua) yang ditandai dengan huruf (كَ : engkau) pada kata (إِيَّاكَ). Hal ini dikarenakan ayat ini merupakan pujian kepada Allah.
Tatkala seorang hamba memuji kepada Allah (dengan kata ganti “engkau”) maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan Allah ta’ala. Karena itulah Ia berfirman : “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.
Ini merupakan dalil bahwa awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah untuk memuji diri-Nya sendiri dengan keindahan sifat-sifatnya yang terbaik, serta bimbingan untuk hamba-Nya agar ia memuji-Nya dengan kalimat tersebut.
4. Alasan Didahulukannya (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) sebelum (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ)
Didahulukannya (إِيَّاكَ نَعْبُدُ : Hanya Engkaulah yang kami sembah) sebelum (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ : hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan) dikarenakan ibadah atau menyembah adalah “tujuan”, sementara meminta pertolongan adalah “sarana” untuk mencapai tujuan tersebut, maka yang didahulukan adalah yang lebih penting terlebih dahulu lalu dilanjut dengan yang sekedar penting.
5. Apa Makna Huruf Nun (نَ) pada Kata (نَعْبُدُ) dan (نَسْتَعِينُ)?
Apabila ditanyakan “Apa makna huruf nun (نَ)[63] pada kata (نَعْبُدُ) dan (نَسْتَعِينُ)? Jika huruf tersebut dimaksudkan sebagai bentuk jama’ (tentunya tidak sesuai), karena yang mengucapkan hanyalah satu orang.
Apabila ini dimaksudkan untuk pengagungan[64] (terhadap diri sendiri) maka ini juga tidak sesuai karena yang mengucapkan kedudukannya hanyalah seorang hamba.”
Maka jawabannya : Makna huruf nun pada kata tersebut adalah menginformasikan tentang jenis hamba, dan orang shalat (yang membaca ayat tersebut) adalah salah satu dari jenis hamba tersebut.
Terlebih lagi apabila dalam shalat berjamaah atau menjadi imam. Dengan inilah seorang imam menginformasikan kepada dirinya sendiri serta saudara-saudaranya yang beriman bahwa mereka sedang beribadah; yang mana mereka itu diciptakan untuk itu dan ia menjadi penengah bagi mereka dengan kebaikan.
6. Antara (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) dan (إِيَّاكَ عَبَدْنَا)
Dalam hal merendah diri, ungkapan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) lebih lembut dari pada (إِيَّاكَ عَبَدْنَا). Apabila ungkapan yang digunakan adalah (إِيَّاكَ عَبَدْنَا) maka ia telah mengagungkan dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah seorang yang ahli ibadah kepada Allah ta’ala.
Padahal tidak ada seorangpun yang mampu beribadah kepada Allah dengan ibadah yang hakiki, dan tidak ada pula yang mampu memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya (mengigat betapa terpujinya Allah ta’ala).
Ibadah ini adalah kedudukan yang agung, yang dengannya seorang hamba menjadi terhormat karena dirinya sedang berhubungan dengan Allah ta’ala. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
Janganlah engkau memanggilku kecuali dengan menyebut “wahai hamba-Nya” . . . karena sesungguhnya itu adalah namaku yang paling terhormat.
Allah ta’ala juga menyebut Rasul-Nya dengan sebutan hamba di dalam kedudukannya yang terhormat. Allah ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran)[65]
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat)[66]
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam[67]
____
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
1. Permintaan Seorang Hamba Kepada Allah
Setelah disampaikannya pujian kepada Allah tabaraka wata’ala (pada ayat-ayat sebelumnya) maka layaklah apabila diiringi dengan permintaan.
Kondisi ini merupakan kondisi yang sempurna bagi orang yang mengajukan permintaan apabila ia memuji kepada sosok yang ia minta kemudian dilanjutkan dengan permintaan terhadap keperluannya.
Dengan cara seperti inilah ia lebih dimudahkan untuk berhasil memperoleh apa yang ia perlukan dan menghantarkan keberhasilan ijabah dari permintaannya. Untuk itulah Allah membingbing hamba-Nya agar melakukan dengan cara seperti ini, karena cara seperti inilah yang lebih sempurna.
2. Tafsir (اهْدِنَا : Tunjukilah kami)
(اهْدِ : Tunjukilah) berasal dari kata (الْهِدَايَةُ) yang artinya adalah hidayah atau petunjuk. Hidayah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bimbingan dan taufiq. Lafadz hidayah ini adakalanya muta’addi dengan sendirinya, seperti dalam firman Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
Adakalanya muta’addi dengan (إِلَى) seperti dalam firman Allah:
فَاهْدُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْجَحِيمِ
Adakalanya muta’addi dengan (لِ) seperti dalam firman Allah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَ
3. Tafsir (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ : jalan yang lurus)
(الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) dalam bahasa Arab berarti “Sebuah jalan yang jelas lagi lurus dan tidak berbelok”. Namun, terjadi perbedaan ungkapan para mufassir terkait makna (الصِّرَاطَ) baik dari kalangan salaf maupun khalaf; meskipun pada akhirnya kembali pada satu makna, yakni “Mengikuti Allah dan Rasul-Nya”.
Ada yang meriwayatkan bahwa maknanya adalah “Kitabullah”.
Ada juga yang menafsirkan “Islam”.
Ibnu ‘Abbas mengatakan : “Yaitu agamanya Allah yang tidak mengandung kemelencengan.”
Ibnu Hanafiyyah mengatakan : “Yaitu agamanya Allah yang tidak diterima (agama) dari seorang hamba selain Islam.”
Ada juga yang menafsirkan bahwa (الصِّرَاطَ) itu adalah Islam; di dalam hadits dari Nawwas bin Sam’an Al-Anshari, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ، فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا، وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ: حُدُودُ اللهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ اللهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ: كِتَابُ اللهِ، وَالدَّاعِي مِنِ فَوْقَ الصِّرَاطِ: وَاعِظُ اللهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
Allah membuat perumpamaan berupa shirat atau jalan yang lurus, dan di kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Diantara kedua dinding itu ada pintu yang terbuka dan diatasnya ada penutup yang halus. Di atas pintu jalan itu terdapat seorang penyeru yang berkata :
“Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam jalan ini dan janganlah kalian menoleh.”
Sementara di bagian dalam jalan itu juga terdapat seorang penyeru yang menyeru untuk menapaki jalan itu. Apabila ada seorang yang hendak membuka pintu-pintu itu maka penyeru itu berkata :
“Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu. Karena jika kamu buka pintu itu kamu akan masuk ke dalamnya.”
(Perumpamaannya) Jalan atau shirat itu adalah Islam, dan kedua dinding itu adalah batas-batasnya Allah, sedangkan pintu yang terbuka itu adalah perkara yang diharamkan oleh Allah. Adapun penyeru yang ada di depan jalan itu adalah kitabnya Allah, sedangkan penyeru yang menapaki jalan itu adalah nasehat Allah yang berada di dalam hati setiap muslim.[68]
Mujahid berkata : bahwa makna (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) adalah Al-Haq (kebenaran), makna ini mencakup semuanya dan tidak ada pertentangan diantara makna ini dan makna-makna yang telah dikemukakan sebelumnya.
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan : Adapun takwil yang lebih utama dengan ayat ini menurutku adalah :
“Berikanlah taufik kepada kami agar bisa menjalankan apa yang Engkau ridhai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik dari hamba-hambaMu.”
Dan yang demikian itulah yang dimaksud “jalan yang lurus”, karena barang siapa yang diberi taufik untuk mengerjakan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang diberikan taufik oleh Allah baik dari kalangan Nabi, para shiddiq, para syuhada, dan orang-orang shalih maka ia telah mendapat taufik dalam Islam.
4. Mengapa Harus Meminta Hidayah
Apabila ditanyakan : “Buat apa seorang mukmin meminta hidayah disetiap waktu shalat sementara ia sendiri sudah menyandang sifat sebagai orang yang memperoleh hidayah?”
Maka jawabannya adalah : Sesungguhnya seorang hamba itu senantiasa membutuhkan Allah di setiap saat dan keadaan agar diteguhkan di atas hidayah, ditambahkan hidayahnya, dan terus-menerus dalam hidayah tersebut.
Oleh karena itu Allah ta’ala membimbingnya agar ia meminta hidayah itu disetiap waktu agar Allah memberikan pertolongan, keteguhan, serta taufik. Sesunngguhnya Allah ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tetap beriman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya[69]
____
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
1. Tafsir (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ : Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka)
Adapun firman Allah : (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ : jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka) merupakan penafsir dari (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ). Sedangkan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah tersebut adalah mereka yang disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa’:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.[70]
Dari Ibnu Abbas beliau berkata (tentang tafsir صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) :
“Yakni jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ketaatan pada-Mu, dan ibadah kepada-Mu, baik dari kalangan para malaikat, para nabi, para shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang shalih.”
Rabi’ mengatakan : yaitu mereka para nabi.
Ibnu Juraij dan Mujahid mengatakan : yaitu mereka orang-orang yang beriman.
2. Tafsir (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ : bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat)
Lafadz (غَيْرِ) i’rabnya jar karena ia posisinya sebagai na’at. Adapun tafsir dari firman Allah (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) adalah :
“Yaitu bukan jalan orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi ia menyimpang darinya, dan bukan jalan mereka yang sesat yaitu mereka yang tidak mengetahui ilmu sehingga mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju kebenaran.”
3. Penguatan Kalam dengan Huruf (لَا)
Kalam dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf لَا untuk menunjukkan ada kedua jalan yang sama-sama rusak, yaitu jalannya Yahudi dan Nasrani. Maka didatangkanlah huruf لَا untuk menguatkan huruf nafi (yakni غَيْرِ) agar tidak ada dugaan bahwa lafadz ini di ‘athafkan pada kalimat (الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ); juga untuk membedakan kedua jalan tersebut agar masing-masing terpisah jauh dari keduanya.
Karena sesungguhnya jalannya orang iman itu mencakup ilmu yang benar serta pengamalan. Sementara orang Yahudi itu kehilangan pengamalan, sedangkan orang Nasrani itu kehilangan ilmu. Oleh karena itulah murka itu diperuntukkan orang Yahudi, dan kesesatan itu diperuntukkan orang Nasrani.
4. Yahudi yang Dimurkai dan Nasrani yang Tersesat
Pengkhususan murka bagi orang Yahudi ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala tentang mereka:
مَن لَّعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ
yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah[71]
Adapaun pengkhususan kesesatan bagi orang Nasrani adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala:
قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus[72]
Diriwayatkan pula dalam hadits dari Adi bin Hatim bahwa ia berkata : Aku bertanya pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ).
Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang Yahudi.” Dan aku juga bertanya tentang (وَلَا الضَّالِّينَ). Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi dari beberapa jalur, dan ia memiliki banyak lafadz)[73]
E. Pembahasan (آمين) Setelah Bacaan Surat Al Fatihah
1. Siapa Saja yang Dianjurkan Membaca (آمين) Setelah Bacaan Surat Al Fatihah
Setelah membaca surat Al Fatihah maka disunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan “آمين” yang panjangnya seperti membaca “يس”. Boleh juga alif dibaca pendek “أمين” yang artinya “Ya Allah kabulkanlah”. Berdasarkan hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا تَلَا {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7]، قَالَ: آمِينَ، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai membaca (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) maka beliau mengucapkan (آمِينَ) hingga orang di dekatnya yang berada di shaf awal mendengarnya.[74]
Menurut beberapa sahabat yang semadzhab dengan kami berpendapat bahwa dianjurkan juga mengucapkan (آمين) bagi orang yang membacanya diluar shalat, dan lebih ditekankan lagi bagi yang membacanya saat shalat, baik ketika munfarid maupun sebagai imam atau makmum, dan dalam keadaan apapun. Berdasarkan hadits:
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ، فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Ketika seorang imam mengucapkan amin maka ucapkanlah amin, karena barang siapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya malaikat maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.[75]
Menurut kalangan madzhab maliki berpendapat bahwa imam tidak perlu mengucapkan (آمين) cukup makmum saja yang mengucapkannya. Hal ini berdasarkan hadits:
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ {صِراطَ الَّذينَ أَنْعَمتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} فَقُولُوا: آمِينَ
Ketika imam membaca (صِراطَ الَّذينَ أَنْعَمتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ وَلا الضَّالِّينَ) maka katakanlah : Aamiin[76]
2. Mengucapkan (آمين) dengan Suara Keras atau Pelan?
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat kami mengenai suara keras bagi makmum dalam mengucapkan amin dalam shalat jahrnya. Kesimpulan dari perbedaan pendapat itu adalah, jika imam lupa mengucapkan amin, maka makmum harus mengucapkannya dengan keras secara bersamaan.
Namun, jika imam telah mengucapkannya dengan suara keras, – menurut qoul jadid (ijtihad Imam Syafi’i di Mesir) – maka para makmum tidak mengucapkannya dengan keras. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari imam Malik. Hal ini dikarenakan amin itu merupakan salah satu bentuk dzikir, sehingga tidak perlu dikeraskan sebagaimana halnya dzikir-dzikir shalat lainnya.
Sedangkan pendapat lain – menurut qoul qadim (ijtihad imam Syafi’i di Baghdad) – menyatakan bahwa makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara keras. Ini juga merupakan pendapatnya imam Ahmad dan riwayat lain dari imam Malik. Dikatakan demikian karena di dalam hadits disebutkan : “sehingga masjidnya bergetar (karena suara yang keras dari ucapan amin)”[77]
Adapun pendapat yang ketiga, yaitu pendapat kami : Apabila masjid yang digunakan untuk shalat berukuran kecil, maka makmum tidak boleh mengeraskan aminnya, karena para makmum dapat mendengar bacaan imam.
Namun, bila masjid yang digunakan berukuran besar, maka makmum membacanya dengan keras agar dapat didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa bahwa pernah dikisahkan tentang orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliaupun bersabda:
إِنَّهُمْ لَا يَحْسُدُونَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَا عَلَى يَوْمِ الْجُمُعَةِ الَّتِي هَدَانَا اللهُ لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى الْقِبْلَةِ الَّتِي هَدَانَا اللهُ لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ: آمِينَ
Sesungguhnya mereka tidak dengki terhadap kita atas suatu hal sebagaimana kedengkian mereka terhadap kita karena salat Jumat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, tetapi mereka sesat darinya; dan karena kiblat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya; dan karena ucapan amin kita di belakang imam.[78]
F. Makna Surat Al Fatihah Secara Keseluruhan
Surat Al Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat yang mengandung pujian kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama Nya yang terbaik sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang mulia.
Disebutkan juga tentang hari kembali (yaitu hari pembalasan) dan juga terkandung bimbingan untuk hamba-hamba Nya agar meminta kepada-Nya, merendahkan diri kepada-Nya, dan berlepas diri dari upaya dan kekuatan mereka.
Terkandung pula tentang keikhlashan ibadah kepada-Nya, dan mentauhidkan uluhiyyah-Nya tabaraka wata’ala, serta membersihkan-Nya dari segala bentuk sekutu, persamaan, atau tandingan.
Lalu dilanjutkan memohon hidayah kepada Allah agar dapat menapaki jalan yang lurus (yaitu agama yang tegak agama Islam) dan agar Allah meneguhkan mereka di atas jalan tersebut hingga dapat menghantarkan mereka melewati jembatan sirat kelak di hari kiamat. Yang akhirnya membawa mereka ke surga yang nikmat berada di sisi para nabi, para shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang shalih.
Didalam surat ini juga terkandung motivasi untuk beramal shalih agar mereka dimasukkan kedalam golongan orang-orang shalih di hari kiamat. Juga terkandung ancaman dan peringatan terhadap jalan kebathilan agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang yang menempuh jalan itu di hari kiamat, yaitu mereka orang yang dimurkai dan juga mereka yang tersesat.
Betapa indahnya ungkapan penyandaran “pemberian nikmat” kepada Allah dalam firman-Nya yang berbunyi : “أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” dan terbuangnya fa’il dalam firman-Nya : “غَيْرِ المَغْضوبِ عَلَيهِمْ” sekalipun pada hakikatnya Allahlah yang menjadi fa’ilnya.
Demikian pula dalam menyandarkan kesesatan bagi mereka yang berdiri di atas kesesatan, walaupun sebenarnya Allahlah yang menyesatkan mereka dengan takdir-Nya, sebagaimana firman Allah : “مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ” (barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bisa menunjukkannya) dan masih banyak lagi ayat lainnya yang menunjukkan bahwa hanya Allahlah yang memberi hidayah dan menyesatkan.
Tidak seperti golongan qodariyyah dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa hamba itu sendiri yang dapat memilih untuk melakukannya. Mereka itu berhujjah membela bid’ah mereka dengan ayat-ayat mutasyabih dalam Al Quran dan meninggalkan ayat-ayat yang jelas dan gamblang yang justru membantah pendapat mereka sendiri. Dan inilah merupakan keadaan orang-orang yang sesat dan keliru.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Apabila kamu melihat orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al Quran maka merekalah yang disebut oleh Allah “فَاحْذَرُوهُمْ” (maka hati-hatilah terhadap mereka)[79]
Segala puji bagi Allah, tidak ada satupun hujjah yang shahih di dalam Al Quran bagi ahli bid’ah. Karena Al Quran ini datang untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, memisahkan antara hidayah dan kesesatan, dan tidak ada pula di dalam Al Quran yang dapat dipertentangkan, diperselisihkan, karena ia berasal dari sisi Allah ta’ala.
Oleh : Adam Rizkala
____
Footnote:Oleh : Adam Rizkala
[1] Ibnu Jarir Ath-Thabariy, Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Quran, (Muassasah Ar-Risaalah: 2000), jilid 1, hlm. 108.
[2] HR. Ahmad no. 9788
[3] HR. Bukhari no. 5006
[4] HR. Nasa’iy no. 914
[5] HR. Bukhari no. 5007
[6] HR. Muslim no. 806
[7] HR. Muslim no. 395
[8] QS. Al-Israa’ ayat 110
[9] QS. Al-Muzammil ayat 20
[10] HR. Bukhari no. 757
[11] HR. Bukhari no. 756
[12] HR. Ahmad no. 14643
[13] HR. Muslim no. 411
[14] HR. Muslim no. 404
[15] QS. Al-A’raaf ayat 200
[16] QS. Al-Mu’minun ayat 97-98
[17] QS. Fush-shilat ayat 35-36
[18] QS. Fathir ayat 6)
[19] QS. Al-Kahfi ayat 50
[20] QS. Shaad ayat 82
[21] Mereka berdalil dengan surat An-Nahl ayat 98 dan mengartikan ayat tersebut secara tekstual, yakni : “Apabila kamu telah membaca Al Quran maka hendalah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”
[22] QS. An-Nahl ayat 98
[23] QS. Al-Maidah ayat 6
[24] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, (Lebanon: Dar Al-Quran Al-Karim, 1981), jilid 1, hlm 18.
[25] Lihat : Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah, 1999), jilid 1, hlm. 114
[26] QS. Al-Mulk ayat 5
[27] QS. Al-Hijr ayat 17-18
[28] HR. Abu Dawud no. 788
[29] Lihat : Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah, 1999), jilid 1, hlm 120.
[30] HR. Ahmad no. 11371
[31] HR. Muslim no. 2022
[32] HR. Muslim no. 1434
[33] QS. Huud ayat 41
[34] QS. Al-‘Alaq ayat 1
[35] QS. Al-Hasyr ayat 22
[36] QS. Al-A’raaf ayat 180
[37] QS. Al-Israa’ ayat 110
[38] Lihat : Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah, 1999), Jilid 1, hlm. 122
[39] HR. Tirmidzi no. 1907
[40] QS. Thaha ayat 5
[41] QS. Al-Ahzaab ayat 43
[42] QS. Al-Israa’ ayat 110
[43] QS. Az-Zukhruuf ayat 45
[44] Sifat yang berkenaan dengan dirinya
[45] Sifat yang berkenaan karena adanya pihak lain
[46] HR. Tirmidzi no. 3383
[47] HR. Ibnu Majah no. 3805
[48] HR. Ibnu Majah no. 3801
[49] HR. Al-Baihaqi no. 4088 dalam kitabnya Syu’bul Imaan
[50] Sesuatu yang membuat hati terpikat
[51] Sesuatu yang membuat hati takut
[52] QS. Al-Hijr ayat 49-50
[53] QS. Al-An’aam ayat 165
[54] HR. Muslim no. 2755
[55] QS. Maryam ayat 40
[56] QS. Ghaafir ayat 16
[57] QS. Al-Furqaan ayat 26
[58] QS. An-Naba’ ayat 38
[59] QS. Hud ayat 105
[60] HR. Muslim no. 2788
[61] QS. Hud ayat 123
[62] QS. Al-Mulk ayat 29
[63] Huruf nun ini merupakan huruf mudhoro’ah (yakni huruf yang menjadi ciri khas fi’il mudhari’) yang bermakna “kami”.
[64] Penggunaan kata “Kami” dalam bahasa Arab menunjukkan pengagungan terhadap diri sendiri. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang menggunakan kata “Saya” untuk mengagungkan diri sendiri.
[65] QS. Al-Kahf ayat 1
[66] QS. Al-Jinn ayat 19
[67] QS. Al-Israa’ ayat 1
[68] HR. Ahmad no. 17634
[69] QS. An-Nisa’ ayat 136
[70] QS. An-Nisa’ ayat 69
[71] QS. Al-Maaidah ayat 60
[72] QS. Al-Maaidah ayat 77
[73] Lihat : Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, oleh Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy (Lebanon: Dar Al-Quran Al-Karim, 1981), jilid 1, hlm 25.
[74] HR. Abu Dawud no. 934, isnadnya hasan menurut Daruquthniy.
[75] HR. Bukhari no. 780
[76] HR. Malik dalam kitabnya Al-Muwaththo’
[77] Lihat : Tafsir Ibnu Katsir, oleh Imam Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah : 1999), jilid 1, hal 146.
[78] HR. Ahmad no. 25029
[79] HR. Bukhari no. 4547
Sumber: https://www.nasehatquran.com/
Keutamaan Surat Al-Fatihah
- Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al-Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al-Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
- Kedua: Al-Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al-Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
- Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
- Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
Penulis: Ari Wahyudi, S. Si
Baca: Tafsir Komprehensif
Sumber: https://muslim.or.id/