Type Here to Get Search Results !

 


KORELASI ANTARA SAINS DAN ISLAM

Isyarat Al-Qur’an untuk Mempelajari Ilmu Duniawi yang Bermanfaat

Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala menyeru dan mengajak hamba-Nya untuk merenungkan dan memikirkan penciptaan langit dan bumi, serta makhluk-Nya yang ada di dalam keduanya. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mereka telah disiapkan dan disediakan untuk kemaslahatan dan keberlangsungan hidup manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia telah menciptakan besi dengan kekuatan yang besar untuk kita manfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ

“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al-Hadiid [57]: 25)

Ayat di atas adalah isyarat dari Allah Ta’ala agar kita berpikir dan berinovasi, sehingga dapat mengambil manfaat dari besi yang telah Allah Ta’ala ciptakan. Allah Ta’ala tidak menyebutkan lebih detil lagi, bagaimanakah cara dan metode agar manusia dapat memanfaatkan besi? Untuk keperluan apa saja besi itu dapat dipergunakan dan dimanfaatkan? Allah Ta’ala hanya menyebutkan bahwa besi itu memiliki banyak manfaat bagi manusia. Ini adalah isyarat dari Allah Ta’ala bahwa tugas kita selanjutnya sebagai hamba adalah memikirkan dan mempelajari bagaimana besi tersebut dapat dimanfaatkan, yaitu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengannya. Ini adalah metode Al-Qur’an dalam membimbing manusia agar menggunakan akal dan pikiran untuk berinovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Hal ini berbeda dengan perintah-perintah dalam agama, dimana Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an dan juga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merinci dengan detail syariat-Nya. Bagaimanakah tatacara ibadah shalat, ketentuan zakat, dan juga rincian syariat yang lainnya. Sehingga tidak ada ruang bagi akal untuk berinovasi dalam syariat-Nya karena hal itu akan menjerumuskan ke dalam bid’ah.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala menyebutkan dua faidah quraniyyah atau dua faidah ilmu dari ayat-ayat seperti di atas.

Faidah pertama, dengan merenungkan ayat-ayat tersebut, kita mengetahui kesempurnaan dan keagungan sifat Allah Ta’ala, juga nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang sedemikian banyak bagi manusia.

Faidah pertama ini telah banyak disebutkan oleh para ulama rahimahumullah, dan masing-masing menyebutkan faidah pertama ini sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka dan yang telah mereka pahami.

Faidah ke dua, kita memikirkan dan merenungkan ayat tersebut, kemudian mengambil manfaat yang beragam dari makhluk Allah Ta’ala yang telah Dia ciptakan. Allah Ta’ala menciptakan bumi, air, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan yang lainnya, untuk kita manfaatkan dengan menghasilkan produk yang bermanfaat.

Oleh karena itu, seluruh ilmu duniawi yang berkaitan dengan hal ini dengan beragam jenisnya (pertambangan, perminyakan, pertanian, perikanan, peternakan, teknologi industri, dan sebagainya), termasuk di dalamnya.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala kemudian berkata,

“Hal ini menunjukkan bahwa mempelajari teknologi dan penemuan terkini termasuk dalam perkara yang dituntut oleh syariat, sebagaimana hal itu juga perkara yang dituntut sebagai sebuah keharusan oleh akal. Dan hal itu termasuk dalam jihad di jalan Allah Ta’ala dan termasuk dalam ilmu Al-Qur’an.

Sesungguhnya Al-Qur’an mengingatkan para hamba bahwa Allah Ta’ala menciptakan besi dengan kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia; dan Allah Ta’ala sediakan untuk manusia apa saja yang ada di bumi. Maka wajib atas manusia untuk berusaha agar meraih manfaat-manfaat dari semua itu melalui cara yang paling mudah. Hal ini telah dikenal melalui penelitian, dan juga termasuk dalam ayat Al-Qur’an.” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 105)

Sungguh kata-kata yang sangat indah dan luar biasa dari beliau rahimahullahu Ta’ala, dimana penulis belum menjumpai perkataan yang semisal ini di kitab-kitab lainnya disebabkan ilmu penulis yang masih sangat sedikit.

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi motivator bagi ilmuwan-ilmuwan kaum muslimin untuk terus bersemangat dalam meneliti dan berinovasi sehingga hasil penemuannya dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kemaslahatan umat Islam.

____

Referensi:

Disarikan dari kitab Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala, hal. 104-106 (kaidah ke-23), penerbit Daar Thaybah Suriah, cetakan pertama tahun 1434.

Sumber Pertama

Kedudukan Mempelajari Ilmu Duniawi (Sains) dalam Timbangan Syariat

Sebagaimana yang kita ketahui, hukum mempelajari ilmu agama (ilmu syar’i) adalah kewajiban atas setiap muslim (fardhu ‘ain). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu (agama) itu wajib atas setiap muslim.”  (HR. Ibnu Majah no. 224. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Ilmu syar’i adalah ilmu tentang agama Allah Ta’ala, yaitu ilmu yang bersumber dari kitabullah (Al-Qur’an) dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).

Lalu, bagaimana dengan ilmu duniawi (ilmu sains)? Apakah mempelajari ilmu-ilmu tersebut menjadi tidak berpahala alias perbuatan sia-sia?

Jika Mendatangkan Kebaikan untuk Umat Islam, Hukum Mempelajari Ilmu Duniawi adalah Fardhu Kifayah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala- pernah ditanya,

”Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala, pen.)?”

Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab,

“Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk dalam ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam.

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata,’Sesungguhnya mempelajari ilmu industri (teknologi), kedokteran, teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah. Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pen.), akan tetapi karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini bisa terwujud kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Oleh karena itu, aku ingatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang mempelajari ilmu-ilmu tersebut agar mereka niatkan untuk dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan meningkatkan (derajat) umat Islam.” [1]

Di tempat yang lain, beliau -rahimahullahu Ta’ala- berkata,

“Dan sunguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu industri (teknologi) termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus (tidak boleh tidak) memiliki ilmu tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan makanan, pen.), minum, atau perkara-perkara lainnya yang dibutuhkan. Jika tidak ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, maka hukum mempelajarinya menjadi fardhu kifayah.” [2]

Apa yang dimaksud dengan fardhu (wajib) kifayah?

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata,

”(Yang dimaksud dengan) fardhu kifayah, (yaitu) jika sejumlah orang dalam jumlah yang mencukup telah melaksanakan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, maka semua orang yang memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut, pen.) menjadi berdosa.” [3]

Kesimpulannya, hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat tergantung pada tujuan, apakah untuk tujuan kebaikan atau tujuan yang buruk. [4]

Oleh karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam agama, maka hukum mempelajari ilmu tersebut juga wajib. Dan ketika menjadi sarana untuk menegakkan perkara yang hukumnya sunnah dalam agama, maka hukum mempelajarinya juga sunnah.

Ketika menjelaskan kaidah fiqhiyyah,

الوسائل لها أحكام المقاصد

“Hukum sarana itu sebagaimana hukum tujuan.”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata,

“Tercakup dalam kaidah pokok ini adalah wajibnya mempelajari ilmu industri (teknologi) yang dibutuhkan oleh manusia dalam perkara agama dan dunia mereka, baik perkara yang kecil maupun yang besar.” [5]

Semoga Allah Ta’ala mengkaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

____

Catatan kaki:

[1] Kitaabul ‘Ilmi, 1/125 (Maktabah Syamilah).

[2] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).

[3] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 39 (cet. Maktabah As-Sunnah).

[4] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).

[5] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 38.

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.