Doktrin Sesat Takfiri
Bismillah
Sekali lagi kita tegaskan bahwa teroris bukan dari ajaran agama manapun, namun hampir semua agama yang ada atau isme faham agama tertentu dipakai oleh para teroris untuk mencapai maksudnya, kususnya di negri kita yang mayoritas beragama Islam maka kasus-kasus yang ada telah kita lihat pada bab-bab di atas kebanyakan yang mengatas namakan Islam. Oleh sebab itu beberapa contoh perekrutan dari kelompok-kelompok ini memakai istilah-istilah yang ada dalam agama Islam antara lain:
- Hijrah
- Bai’at
- Jihad
- Daulah atau Khilafah.
1. HIJRAH
Doktrin Pertama: Hijrah
A. Pengertian hijrah yang benar menurut syaiat
Sebagaimana di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qayyim membagi hijrah menjadi 2 macam :
Pertama, hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu.
Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Allah dan Rasul-Nya adalah yang paling pokok.
- Hijrah Dengan Hati Kepada Allah
Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Allah.” (Adz Dzariyaat: 50)
Inti hijrah kepada Allah ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Allah menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Allah menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Allah menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Allah menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Allah, “Maka segeralah kembali pada Allah.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illallah.
- Hijrah Dengan Hati Kepada Rasulullah
Allah berfirman, “Maka demi Rabbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)
Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rasulullah.
- Pilihan Allah dan Rasul-Nya itulah satu-satunya pilihan
Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Allah dan Rasul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Allah dan Rasul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.
Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka). (Disadur dari majalah As Sunnah edisi 11/VI/1423 H)
B. Hijrah Menurut Kefahaman Teroris
Para teroris mengkafirkan negara-negara yang ada, kemudian mereka menyatakan mempunyai Negara walaupun hanya khayalan. Diantara Negara yang dikafirkan adalah Saudi Arabiyah, sebagaimana tulisan salah satu tokoh mereka Abu Muhammad Al-Maqdisi di dalam bukunya yang berjudul Kawasyif Jaliyyah fi Kufri Daulah Su’udiyyah Edisi Indonesia : Saudi di Mata Seorang Al-Qaidah. Kalau Saudi Arabiyah kafir maka menurut mereka Indonesia dan negara-negara lainnya lebih kafir lagi, Oleh sebab itu makna hijrah bagi mereka adalah meninggalkan Negara Saudi dan hijrah ke al Qaedah, atau hijrah ke ISIS, meninggalkan NKRI dan hijrah ke NII, JI, atau ISIS.
Baca juga: Doktrin Sesat Takfiri Jihadis dan bantahannya
2. BAI'AT
Doktrin Kedua: Bai'at
A. Baiat yang benar menurut syariat
Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”
Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbaiat untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah perjalanan hidup Nabi umat ini.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, bai’at untuk senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.
Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh yang dapat membentengi pembatalan atau main-main dengan persoalan bai’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan perbuatan membatalkan bai’at. Beliau bersabda,
مَنْ نَزَعَ يَدَهُ مِنْ طَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُجَّةٌ
“Barangsiapa yang mencabut tangannya dari mentaati imam (tidak mau taat kepada imam-pent), maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat” [Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim].
Beliau juga bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta. Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang itu”. [HR Imam Muslim].
Rasulullah juga bersabda,
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika ada dua khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang dibai’at terakhir”. [HR Muslim].
Permasalahan ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas dari hawa nafsu. Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu sebagian kelompok kaum muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan berusaha menerapkan syari’at Allah di negeri kaum muslimin (menurut persepsi mereka). Akibatnya, mereka keliru dan terjerembab berkaitan dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan nash-nash supaya sesuai dengan kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui dua jalan, yaitu kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada diri seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.
Pemahaman tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok orang tersebut, yaitu bai’at yang (seharusnya, pent.) diberikan kepada penguasa yang berhak untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak memerintahkan kepada perbuatan maksiat, meskipun penguasa zhalim. Rasulullah bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam masalah yang disenangi atau tidak, merupakan kewajiban seorang muslim, selama tidak disuruh melakukan perbuatan maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”. [Mutafaqun ‘alaih].
Itulah bai’at yang merupakan kewajiban agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.
B. Bai’at yang salah menurut faham teroris
Orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan dalam memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau kesepakatan kerja, atau -dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa, red.)- bai’at yang terjadi di kalangan beberapa individu manusia, kelompok, atau lembaga untuk kepentingan mengatur kegiatan dakwah, seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf nahi munkar, membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Maka ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada keharusan taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar kegiatan yang telah disepakati.
Bai’at (secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan mendengar secara mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin itu berbuat fasiq atau zhalim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (28/16) berkata,“Tidak ada seorang pun diantara mereka yang berhak meminta seseorang supaya berjanji untuk menyepakati semua keinginannya, mencintai orang yang dicintainya dan membenci orang yang dibencinya. Siapapun yang melakukan perbuatan ini, maka ia sama dengan Jengis Khan dan sebangsanya, yang menganggap orang yang menyepakati mereka sebagai teman, dan menganggap orang yang berbeda dengan mereka sebagai musuh.”
Untuk melaksanakan kegiatan semacam ini, tidaklah harus ada orang tertentu yang dibai’at, karena tujuannya adalah mengatur kegiatan dan membagi tugas. Orang yang bergabung ke dalam organisasi ini tidak harus bergabung terus-menerus, dan ia tidak berhak mendapat hukuman, jika ia keluar. Juga keluarnya seseorang dari organisasi atau lembaga ini, tidak boleh dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin, sebagaimana anggapan sebagian orang yang bergabung dalam suatu jama’ah yang mewajibkan pengikutnya berbai’at. Dan Sehingga keluarnya dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin.
Para tokoh jama’ah ini menempatkan hadits-hadits tentang bai’at terhadap penguasa kaum muslimin atas jama’ah mereka. Padahal yang benar, bai’at-bai’at bid’ah ini tidak membuktikan kebenaran keinginan mereka, dan hadits-hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil yang membolehkan bagi disyari’atkannya bai’at-bai’at bid’ah ini. Karena itu, wajib bagi orang-orang ini untuk melihat kembali tentang fiqhus sam’i wat tha’ah [1] dan fiqhus siyasah asy syar’iyah [2] secara menyeluruh, sesuai ketentuan-ketentuan Kitab dan Sunnah bukan dengan dugaan akal. Seperti anggapan, maslahat dakwah menuntut adanya bai’at atau anggapan lainnya yang menggiring mereka kepada perbuatan membesar-besarkan urusan kepemimpinan yang kecil. Sampai mereka membawakan dasar-dasar dan pemikiran-pemikiran, yang karenanya mereka menyelisihi para ahlul ilmi (ulama) yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para shahabatnya.
Bai’at-bai’at yang dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok ini telah memecah-belah kaum muslimin dan menjadikan mereka terkotak-kotak.
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar Rum:32].
Sehingga standar pemberlakuan wala’ dan bara’ (kapan memberikan kasih-sayang dan kapan melakukan permusuhan) tergantung pada para pengikut jama’ah. Padahal pada asalnya, kaum muslimin adalah umat yang satu, senasib sepenanggungan dan saling tolong menolong satu sama lain.(http://almanhaj.or.id/content/2906/slash/0/baiat-antara-yang-syari-dan-yang-bidah/)
Sebagaimana yang berlaku pada bai’at-bai’at yang ada pada kelompok-kelompok radikal ekstrim seperti bai’at di NII, DI, JI, ISIS dll.
Ditulis oleh Ustad Abdurrahman Ayyub
(Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah – Tangan Kanan Abu Bakr Ba’asyir)
A. Pemahaman Jihad yang Benar
Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir.
Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian:
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan Pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir
Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah:
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.
Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua: Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak
Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan:
Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah bersabda.
“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]
“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]
- Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid”
Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya”
Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama ini akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.
- Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.
Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain: dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangannya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini.
Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :
Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib.
Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.
Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”
[Al-Hajj : 39]
Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]
Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.
“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]
Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin”
Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Mudah-mudahan saudara-saudara kita dapat memahami bahwa jihad begitu luas dan perlu ilmu yang mendalam dan tidak boleh ijtihad seorang dalam melakukan peledakan-peledakan apalagi tempat-tempat ibadah, atau tempat-tempat umum, apalagi di negara yang mayoritas muslim dan bukan kancah peperangan. Dan keyakinan ahlu sunnah wal jamaah bahwa jihad tidak lepas dari fatwa ulama dan ulil amri dalam hal ini pemerintah dan para ulamanya Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin / pemerintah ) untuk berperang. Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. ( Menjawab Tuduhan Tabayun Meluruskan Pandang hal 57-61 karya Abdurrahman Ayyub )
B. Jihad Menurut Kefahaman Teroris.
Menempuh segala cara, dari angkat senjata, penculikan, pembunuhan, perampokan, pengeboman dengan sasaran militer maupun sipil, di daerah konflik atau daerah aman sebagaimana kita lihat dari peristiwa-peristiwa terror yang ada dalam bab-bab di atas. Bahkan membolehkan bom bunuh diri bahkan dilakukan atau diledakan dimana saja bahkan ada yang di masjid, gereja dan tempat-tempat ibadah lainnya.
Sebagiamana yang diserukan oleh juru bicara ISIS mendesak pengikutnya tidak “menunggu kita memberitahu anda (para pejuang ISIS) apa yang harus dilakukan. Mulai sekarang anda memiliki izin hanya menyerang di mana pun anda inginkan, membunuh orang-orang kafir di mana pun anda menemukan mereka, melakukan apa pun yang dalam kemampuan anda, dan hanya boleh bertindak.
Sementara ISIS telah mengaku bertanggung jawab langsung untuk hanya serangan Kuwait, salah seorang pejuang ISIS mengatakan kepada Reuters bahwa serangan di kedua Kuwait dan Tunisia memiliki koordinasi dan perintah dari kekhalifahan ISIS, ujarnya.
“Pidato dari salah seorang pemimpin ISIS, Abu Muhammad al-Adnani, ia memerintahkan para pejuangnya dan para Amir untuk membuat bulan Ramadhan, bulan penaklukan dan sehingga akan berlangsung penaklukan terhadap orang-orang kafir yang sudah membuat kerusakan di muka bumi. Dengan membunuh orang-orang kafir, maka akan menghentikan kerusakan.
4. DAULAH ATAU KHILAFAH
Doktrin Keempat: Daulah atau Khilafah
- A. Daulah atau Khilafah menurut Syariat
Dari sebuah hadits nabawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah: “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaanyangsangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani)selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu aka nada lagi masa kekhilafahan diatas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad,4/273, dishahihkanoleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihahno. 5)
Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah diatas manhaj nubuwwah (jalan Nabi) merupakan suatu karunia Allah semata. Tak seorang muslimpun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujudnya khilafah tersebut. Rasulullah dengan tegas Mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini, dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan terwujudnya kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang syarat-syaratnya telah dipenuhi, sebagaimana firman-Nya:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu,maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur:55)
Barangsiapa yang ingin mengetahui bagaimana gambaran Khilafah‘ala Manhajin Nubuwwah, maka hendaknya dia melihat pada daulah yang dipimpin oleh Rasulullah dan para Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau. Secara ringkas gambarannya adalah:
- Sebuah khilafah yang didirikan di atas tauhid dan dakwah menuju kepada tauhid, ditegakkannya Sunnah Rasulullah serta dakwah menuju kepada As Sunnah. Diperanginya kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, sehingga tidak ada lagi peribadatan yang diberikan kepada selain Allah. Diperanginya segala bentuk bid’ah baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah. Ditegakkannya syariat Islam oleh setiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakatnya senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar ’i , jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakatnya taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar ’i bersama pemerintah. Merekalah generasi terbaik yang dipuji oleh Rasulullah didalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya,kemudian yang setelahnya.” (HR. Al-Bukharidan Muslimdari Abdullah bin Mas’ud z)
Itulah gambaran singkat Khilafah‘ala Minhajin Nubuwwah. Bukan seperti yang dikhayalkan oleh sebagian aktivis pergerakan Islam dan para pengikutnya.
Dari hadits Hudzaifah di atas, jelas bagi kita bahwa meskipun suatu Negara atau pemerintah tidak berbentuk khilafah baik itu berbentuk kerajaan, republik, parlementer atau yang lainnya-selama masih memenuhi kriteria dan definisi sebagai Negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara Islam. Sehingga kewajiban mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh memberontak kepadanya, bahkan meskipun pemerintah yang zalim dan banyak memakan ‘uang rakyat’ sekalipun.
Perbedaan Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah Di antara polemik yang sering muncul di tengah-tengah umat Islam dan telah menimbulkan banyak kekeliruan di dalam memahaminya, sehingga berujung pada sikap dan tindakan yang keliru, adalah pemahaman tentang definisi Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah. Kapan sebuah negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah dan kapan dinyatakan sebagai Daulah Kafirah. Bahwa tolok ukur suatu negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah atau Daulah Kafirah adalah kondisi penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi negeri tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.(Majmu’ Fatawa, 18/282)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah:Sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syi’ar-syi’arI slam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat‘Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian , jika pelaksanaan syi’ar-syi’ar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan yang lainnya dimana syi’ar-syi’ar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-SyaikhMuhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin) Sehingga dengan demikian, negeri seperti Indonesia
Ini adalah termasuk negeri Islam. Karena syi’ar-syi’ar Islam, baik shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat ‘Id, dilaksanakan secara umum di negeri ini. Demikian juga, adzan senantiasa berkumandang setiap waktu shalat di masjid-masjid kaum muslimin.
Adapun Indonesia adalah Negara kaum Muslimin Negeri Islam ditinjau dari beberapa segi.
Sebuah negara, walaupun bermasyarakat plural (majmuk) dan mempunyai keragaman agama dan budaya, namun apabila kebanyakan rakyatnya beragama Islam, dipimpin oleh penguasa yang beragama Islam, keselamatan, kekuatan dan pertahanan masih dikuasai oleh pemimpin yang Islam, pemimpinnya masih mendirikan solat, masih terdengar suara azan masih terus berkumandang dan penguasa masih menguasai urusan kaum Muslimin, maka ia dinamakan negara Islam. Petanda negara Islam yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dan Imam Ahmad yang dalilnya diambil dari beberapa buah hadist shahih, antaranya sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
“Akan ada selepas peninggalanku nanti pemimpin yang kamu mengenalinya dan mengingkari kejahatannya, maka siapa yang mengingkari kejahatannya (bermakna) dia telah berlepas diri dan sesiapa yang membenci kejahatannya dia telah selamat, akan tetapi orang yang meredhai kejahatannya akan mengikuti kejahatannya. Apakah tidak kita perangi mereka dengan pedang (wahai Rasulullah!)? Baginda menjawab: Jangan! Selagi mereka masih mendirikan solat di kalangan kamu”. (Hadist Riwayat Muslim 6/23)
Dengan penjelasan hadist ini, menurut perspektif ulama Salaf as-Soleh dan Ahli Hadist, suatu negara dinamakan negara Islam apabila tanda besar yaitu azan dikumandangkan dan shalat ditegakkan. (Al-Manhaj as-Salafi inda Nasruddin al-Albani. Hlm. 215. Amru Abdul Mun’im Salim) Tanda seterusnya ialah larangan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam memeranginya dengan pedang (haram menjatuhkannya).
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam menyeru agar bersabar terhadap pemimpin dan penguasa selagi mereka bershalat, kerana ia adalah makna keIslaman yang pertama sekalipun tidak berhukum dengan hukum Islam, kerana petanda dan bukti utama seseorang itu pemimpin Islam adalah solatnya sebagaimana sabda Nabi kita:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda; Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum dan yang terakhir adalah shalat.” (Hadis Riwayat Ahmad. 5/251)
Dalam hadist ini juga jelas bahwa akan terlepas satu demi satu dalam Negara atau seorang muslim, yang lepas pertama adalah masalah hukum, ketika Nabi kita yang mulia menyebut terlepas masalah hukum beliau tidak langsung menyebut kafir atau tamat, sampai terakhir masalah shalat ditinggalkan barulah habis, sebab shalat ini ukuran terakhir dari suatu Negara muslim atau seorang muslim apa tidak, hadist ini membuktikan bahwa tidak boleh dihukum kafir setiap individu atau pemimpin jika masih mendirikan shalat. Dan sebuah negara dinamakan negara Islam jika masih terdengar suara azan, shalat masih didirikan dan dikuatkan lagi jika kebanyakan rakyatnya beragama Islam kerana hadist di atas menjelaskan: “Dan (tanda) terakhir adalah shalat”.
Al-Ismaili rahimahullah berkata:
“Kaum Salaf berpendirian, bahwa sebuah negara dinamakan negara Islam selagi masih ada panggilan untuk shalat (azan) dan didirikan shalat dengan terang-terangan serta penduduknya (rakyatnya) masih mendirikan shalat dengan bebas (aman)”. Syaikh Bin Baz menyatakan dalam hadist di atas bahwa yang pertama lepas adalah hukum Islam, jadi secara dzohir hadist ini menyatakan tidak berlakunya hukum Islam, dan inilah yang terjadi pada kebanyakan negara yang menyandarkan Islam ( negara Islam ). Padahal seharusnya mereka wajib menerapkan hukum Islam, dalam masalah apa saja, dan menghindar dari hukum manusia yang bertentangan dengan syariat. Sebab Allah menyatakan:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {65}
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ {49} أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ {50}*
dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:49)
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (QS. 5:50)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ {44}
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {45}
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {47}
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. 5:45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:47)
Komentar beliau dalam ayat ini adalah :
Sungguh para ulama telah menjelaskan wajibnya para pemimpin kaum muslimin untuk menggunakan syariat Islam dalam segala urusan kaum muslimin, dan merujuk pada Islam dari segala apa yang mereka perselisihkan, yang demikian sebagai bukti pengamalan ayat-ayat yng mulia ini ( 5:44-45 dan 47 ). Dan ayat ini menjelaskan berhukum dengan selain hukum Allah apabila menganggap halalnya atau sahnya hal demikian maka bisa terjatuh pada kafir besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Akan tetapi jika tidak menganggap halal atau sah, karena di sosgok, atau tujuan dunia lainnya namun dia mengimani wajibnya berhukum dengan hukum Allah, maka kekafirannya adalah kekafiran kecil, kedzoliman dengan kedzoliman kecil, atau disebut juga fasiq. Maka kita selalu mohon pada Allah agar para pemimpin kaum muslimin mau berhukum dengan hukum Allah, dan mau mengamalkannya untuk rakyatnya dan berhati-hati serta takut untuk melanggarnya. Karena yang demikian adalah kemulian yang basar. Dan kita tidak ragu, bahwa berhukum dan menerapkan hukum serta mengamalkannya ada kebaikan di dalamnya untuk perkara dunia dan akhirat dan kemulian dunia dan akhirat dan sekaligus menyelamatkan kita dari tipu daya musuh-musuh dan merupakan wasilah untuk meraih kemenangan melawan mereka. Sebagaimana Allah berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {7}
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. 47:7)
Dan juga dalam firman yang lainnya:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ {47}
Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS. 30:47)
وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ {40} الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي اْلأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ {41}
Seungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. 22:40)
(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. 22:41)
Juga Allah Subhana wa Ta’ala mengatakan:
إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ اْلأَشْهَادُ {51} يَوْمَ لاَيَنفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ {52}
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (QS. 40:51)
(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah la’nat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk. (QS. 40:52)
Dan tentunya banyak dalam al-Quran yang menerangkan tentang hal ini dan inilah yang di maksud hadist
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda; Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum dan yang terakhir adalah shalat.” (Hadis Riwayat Ahmad. 5/251)
Yaitu akan lepas dari Islam satu-persatu yang pertama lepas adalah hukum Islam, dan pada akhirnya adalah shalat, yang berarti banyak yang meninggalkan shalat dan inilah yang ada pada Negara-negara Islam. Maka kita selalu memohon pada Allah agar memberikan kebaikan untuk kaum muslimin, dan agar Allah memberikan kemantapan kaum muslimin dalam berpegang dengan agama-Nya dan selalu istiqomah .
Adapun negara-negara Islam sekarang ini sangat jauh dengan bentuk khilafah pada zaman sahabat dan khilafah nubuwwah, inilah yang Allah gambarkan dalam ayat-Nya yang mulia:
وَتِلْكَ اْلأَيَّامُ نُدَاوِلُهاَ بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَآءَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (QS. 3:140)
Dr Musa Alu Nasr menyatakan ketika menggambarkan Negara-negara kaum muslimin, negara keadaannya sama dengan seorang muslim, seorang muslim ada yang bersyahadat tapi tidak sholat, atau sholatnya tidak lima waktu, atau shalat lima waktu tapi tidak puasa ramadhan, dan ada juga yang shalat tapi tidak khusu’ dan lain-lainnya, beitu juga negara-negara Islam saat ini, apalagi setelah tidak adanya khilafah Islamiyah. Ada yang namanya saja, ada yang tidak menerapkan hukum hudud, ada yang menerapkan beberapa persen dll. Yang jelas beda dengan negara-negara Barat, atau Amerika juga Australia dll yang jelas-jelas kafir.
Hal ini apa yang telah diberitakan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah beri wahyu, sehingga tidak berucap tentang Din kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya, sebagai mana Allah menegaskan dalam Quran:
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى
dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS. 53:3)
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. 53:4)
Beliau diberi pengetahuan oleh Allah tentang kehidupan masa depan, tanda-tanda qiamat, yaum hisab, padang mahsyar, kehidupan di jannah, kehidupan di neraka. Apakah menurut antum Beliau tidak tahu akan ada negara-negara yang bentuknya seperti sekarang???
Bahkan beliau menerangkan dalam hadist sahih Muslim dengan gamblangnya
يَكُوْن بَعْدِيْ أَئِمَّة لاَ يَهتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رجَال قُلُوْبُهُم قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِيْ جِثْمَانِ إِنْسِ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتَطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأطِعْ
“Akan ada sepeninggalanku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku ( al-Quran ), dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku ( Hadits ). Akan muncul pula di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaitan dalam bentuk manusia.” Aku (Hudzaifah) bertanya, “Apa yang perlu aku lakukan jika aku menemuinya?” Beliau menjawab, “(Hendaklah) kamu mendengar dan taat kepada amir (pemerintah), walaupun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat.” (Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, 3/387, no. 3435)
Dalam hadist ini jelas negara dan pemimpinnya yang tidak berpegang dengan al-Quran dan Sunnah, bahkan pemimpinnya berhati syaitan dalam tubuh manusia, tentunya kalau hatinya setan jelas tidak kenal halal haram, bahkan dalam riwayat lain karupsi, zholim, tidak memperhatikan hak-hak rakyatnya, dll. Dalam keadaan ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan, tidak berhujjah dengan surat al-Maidah
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. 5:45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. 5:47)
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hafal, bahkan langsung dari Allah melalui Jibril’alaihissalaam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat untuk mendengar dan ta’at, walau dicambuk punggungnya dan dirampas hartanya. Maka dengan hadist ini batalah segala fatwa yang menta’yin yang memponis negara-negara Islam menjadi kafir. Bukankah ada qaidah dalam Islam
إذا جاء الأثر بطل النظر ”
Kalau ada Atsar ( hadist ) maka segala pendapat yang bersebrangan akan batal”.
Batallah segala pendapat yang menmgkafirkan negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, dimana adanya syi’ar Islam tidak dilarang adzan, sholat lima waktu, jum’at, Ied Fitri. Ied Qurban, Masjid-masjid, bahkan Nabi yang mulia tidak menjadikan sasaran jihad suatu tempat yang terdengar adzan berkumandang .
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُغِيرُ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَكَانَ يَسْتَمِعُ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ
dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyerang dengan tiba-tiba ketika waktu Shubuh, dan beliau mendengarkan dengan cermat, apabila beliau mendengar adzan, maka beliau menahan diri, dan apabila tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang.” ( HR Ad Darimi, lihat juga tafsir Ibnu Kastir dalam surat al-’Adiyat )
Wallahua’lam.
Sumber: https://konsultasisyariah.com/