Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa Ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:
Sesungguhnya diantara aqidah Ahlu Sunah wal Jama’ah yang sangat prinsipil adalah mengimani adanya takdir dan ketentuan (qodho). Dimana keimanan terhadap takdir merupakan bagian dari rukun iman yang keenam dari rukun-rukun iman yang ada. Hal itu, sebagaimana dijelaskan dalam potongan haditsnya Jibril ‘alaihi sallam yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ » [أخرجه مسلم]
“Engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“. [HR Muslim no: 8]
Sedang didalam al-Qur’an sendiri Allah ta’ala juga telah menjelaskan tentang masalah takdir ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman -Nya:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ – لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ .[ الحديد: 22-23 ]
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan bersedih terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan -Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. [al-Hadid/57:22-23]
Sedangkan catatan takdir itu telah terlebih dahulu ada sebelum penciptaan makhluk. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ » [أخرجه مسلم]
“Allah telah mencatat takdir semua makhluk sebelum diciptakannya langit dan bumi lima puluh ribu tahun sebelumnya. Beliau melanjutkan, “Dan Arsy (singgasananya) Allah itu berada diatas air”.[HR Muslim no: 2653]
Dalam dalil-dalil diatas Allah Shubhanahu wa ta’ala mengabarkan pada kita bahwa seluruh apa yang terjadi, mulai dari adanya ketentuan dan musibah serta pengikutnya yang berkaitan dengan jiwa maupun malapetaka. Maka semua itu telah Allah Shubhanahu wa ta’ala tulis kejadiannya sebelum ada wujud makhluknya dengan bilangan waktu yang sedemikian panjang. Yang mana hal itu menunjukan akan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Allah Shubhanahu wa ta’ala, yang ilmu -Nya meliputi segala sesuatu. Baik yang dulu maupun yang akan terjadi. Setelah itu Allah ta’ala menjelaskan bahwa didalam kabar -Nya kepada kita tentang hal tersebut memiliki hikmah dan dua faedah yang sangat penting, yaitu:
- Pertama: Agar kita tidak merasa bersedih manakala kita kehilangan sesuatu dari urusan dunia serta keuntungannya. Dikarenakan hal tersebut bukan merupakan takdirnya, sehingga dengan itu dia akan memutus harapannya untuk nekat meraihnya. Sebab meratapi takdir yang telah terjadi serta bersedih hati maka itu merupakan kepandiran, dan Allah ta’ala tidak menginginkan bagi kita untuk terjerumus dalam hal tersebut, disebabkan dari kesedihan tersebut akan melahirkan dampak negatif serta pola pikir seseorang dan perilakunya.
- Kedua: Kita mengetahui bahwa manusia tatkala dihadapkan pada kenikmatan yang diperoleh maka mereka terbagi menjadi dua golongan. Orang yang lemah imannya dengan qodho dan qodar akan berbahagia sekali. Hatinya dipenuhi dengan kebahagian dan kebanggaan seakan-akan –wal’iyadzu billah- dirinya tidak percaya akan apa yang diperolehnya. Adapun orang yang imannya kuat, yang mengetahui bahwa takdir Allah azza wa jalla telah lebih dulu ada sebelum terjadinya kejadian nikmat tersebut, maka hal tersebut tidak merubah sedikitpun dalam mengekspresikan diri disebabkan ilmu dan keimanannya terhadap apa yang terjadi, sebab hal itu adalah sesuatu yang pasti terjadi karena tidak ada istilah mustahil bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka sebagaimana catatan takdir tadi telah mendahului wujudnya nikmat, demikian pula keimanannya juga telah mendahului kejadiannya.
Sedang firman Allah Shubhanahu wa Ta’alla pada akhir ayat diatas, menyatakan: “Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. Maksudnya bahwa ilmu Allah ta’ala terhadap segala sesuatu sebelum terjadi dan pencatatan -Nya bagi kejadian tersebut lalu merealisasikan pada saat terjadinya perkara tadi adalah perkara yang mudah bagi Allah azza wa jalla. Dikarenakan Allah Shubhanahu wa Ta’alla mengetahui apa yang telah terjadi maupun yang akan terjadi, dan sesuatu yang belum terjadi kalau sekiranya terjadi dan cara terjadinya.[1]
Diantara faidah dan pelajaran dari beriman terhadap Qodho dan Qodar:
- 1. Ridho serta yakin dengan balasan yang didapat.
Dimana Allah ta’ala menjelaskan dalam sebuah firmanNya:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ [ التغابن: 11 ]
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya -Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. [at-Taghaabun/64: 11]
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, “Yaitu barangsiapa yang mendapat musibah maka dirinya paham bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan Allah Shubhanahu wa Ta’alla dan takdir -Nya sehingga dia bersabar dan mencari pahala dibalik musibah itu serta berserah diri kepada ketentuan Allah Shubhanahu wa Ta’alla tersebut, maka dengan itu -Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah ta’ala ganti atas perkara dunia yang tidak diraihnya tadi dengan memberi petunjuk pada hatinya, rasa yakin dan keimanan, bahkan bisa jadi dirinya akan mendapat sesuatu yang lebih dari apa yang tidak bisa diraihnya tadi.
Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, “Allah Shubhanahu wa Ta’alla memberi petunjuk kepada hatinya dengan keyakinan, sehingga dirinya paham bahwa apa yang menimpanya dari musibah tidak mungkin meleset darinya. Dan apa yang meleset darinya tidak mungkin akan menimpanya”. Sedang ‘Alqomah menjelaskan, “Dia adalah seseorang yang mendapat musibah lalu dirinya paham bahwa musibah tersebut datangnya dari Allah Shubhanahu wa Ta’alla sehingga dirinya pun rela dan berserah diri. Didalam hadits disebutkan sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Shuhaid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ » [أخرجه مسلم]
“Sungguh menakjubkan perkaranya seorang mukmin itu, sesungguhnya semua urusannya baik dan hal itu tidak dijumpai pada orang lain kecuali pada seorang mukmin. Jika dirinya memperoleh nikmat lalu dirinya bersyukur maka itu baik baginya. Dan bila dirinya tertimpa musibah lalu ia bersabar maka itu juga baik baginya“. HR Muslim no: 2999.
Adapun Sa’id bin Jubair maka beliau mengatakan, “Firman -Nya, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah Shubhanahu wa Ta’alla niscaya –Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya”. Yakni dirinya mengucapkan ina lillahi wa ina ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah Shubhanahu wa Ta’alla dan hanya kepada -Nya kami kembali)”.[2] Dan inilah ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan dalam haditsnya Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, “Aku mendengar Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا . قَالَتْ: فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ أَىُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِى سَلَمَةَ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. ثُمَّ إِنِّى قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم » [أخرجه مسلم]
“Tidaklah ada seorang muslim yang tertimpa musibah lantas dirinya mengucapkan seperti perintah Allah (kepadanya): Ina lillahi wa ina ilaihi raji’un. Ya Allah berilah pahala atas musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya”. Melainkan Allah Shubhanahu wa Ta’alla pasti akan mengganti baginya yang lebih baik darinya. Ummu Salamah melanjutkan, “Maka tatkala Abu Salamah meninggal dunia aku berkata pada diriku sendiri, “Siapa orangnya dari kalangan kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah? Keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kemudian aku mengucapkan do’a yang diajarkan oleh Rasulallah tadi, maka Allah mengganti untuk diriku Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam”. HR Muslim no: 918.
- 2. Lapang dada, mendapat kebahagian hati, ketenangan jiwa dan pikiran.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Hingga aku menjadi seseorang yang berada dipagi hari yang tidak menjumpai ada kebahagian melainkan ditempat Qodho dan Qodar. Allah Shubhanahu wa Ta’alla menerangkan dalam firman -Nya:
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ [ التوبة: 51 ]
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (QS at-Taubah: 51).
- 3. Memperoleh pahala besar.
Seperti dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ – ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ – أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ [ البقرة: 155-157 ]
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [al-Baqarah/2: 155-157].
Berkata Amirul Mukimini menjelaskan, “Maksudnya memperoleh dua nikmat keadilan serta nikmat tambahan. Allah Shubhanahu wa Ta’alla berfirman, “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka”. Inilah dua keadilan tersebut lalu Allah mengatakan: “Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk“. Dan ini yang dimaksud tambahan tersebut. yaitu sesuatu yang diletakan diantara dua keadilan dan itu merupakan tambahan, demikianlah mereka diberi ganjaran terus tambah lagi.
- 4. Memperkaya jiwa.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ » [أخرجه الترمذي]
“Dan rela dengan pembagian yang telah Allah tentukan bagimu maka engkau akan menjadi orang terkaya dikalangan manusia“. HR at-Tirmidzi no: 2304. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 930.
- 5. Tidak gentar terhadap ancaman makhluk.
Seperti digambarkan secara jelas dalam haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا سألت فاسأل الله, وإذا استعنت فاستعن بالله, واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك, ولو اجتمعواعلى أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك, رفعت الأقلام وجفت الصحف » [أخرجه الترمذي]
“Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya jika sebuah umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu atas sesuatu, niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering“. HR at-Tirmidzi no: 2516. Beliau berkata hadits hasan shahih.
- 6. Berani dan tidak pengecut.
Orang yang beriman kepada Qodho dan Qodar memahami kalau suatu musibah yang menimpa dirinya tidak mungkin salah alamat, begitu pula sesuatu yang luput darinya tidak akan menimpanya. Bahwa yang namanya ajal adalah perkara yang telah ditentukan tidak mungkin berubah seberapa pun besar usaha yang dilakukan untuk menolaknya. Tidak mungkin sanggup seseorang untuk menolak musibah biarpun dirinya tidak suka dan juga ia tidak merasa gentar menghadapi kematian. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala:
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ [ آل عمران: 145 ]
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. [al-Imran/3: 145].
Sebagaimana ajal juga telah ditentukan, seperti yang Allah azza wa jalla jelaskan dalam firman -Nya:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ [ الأعراف: 34 ]
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”. [al-A’raaf/7: 34].
Imam Syafi’i mengatakan, “Barangsiapa telah datang waktu kematian untuknya maka tidak ada lagi langit dan bumi yang bisa melindunginya”.
- 7. Tidak menyesali urusan yang terlewat darinya serta tidak bersedih hati.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ » [أخرجه مسلم]
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan, maka bersemangatlah untuk mencari apa yang bermanfaat untukmu. Mintalah pertolongan kepada Allah jangan loyo, jika dirimu tertimpa musibah maka jangan katakan, “Kalau seandainya aku melakukan ini dan itu”. Namun, katakanlah, “Allah telah mentakdirkan dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi”. Karena sesungguhnya ucapan ‘seandainya’ akan membuka kerjaan bagi setan“. HR Muslim no: 2664.
- 8. Bahwa pilihan terbaik ialah yang dipilih oleh Allah untuknya.
Terkadang seorang mukmin ditakdirkan untuk mendapat musibah, lalu ia bersedih, akan tetapi, dirinya tidak tahu ada berapa banyak kandungan hikmah kebaikan yang ia capai disebabkan musibah tersebut serta berapa banyak kejelekan yang dipalingkan darinya. Demikian pula kebalikannya. Maka sungguh Maha Benar Allah Shubhanahu wa Ta’alla takala mengatakan dalam firman-Nya:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ [ البقرة: 216 ]
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”. [al-Baqarah/2: 216]
Seorang ulama yang bernama Ibnu A’un mengatakan, “Jadilah engkau orang yang rela dengan takdir Allah Shubhanahu wa Ta’alla baik dalam kesulitan maupun kemudahan. Maka hal itu akan meminimalisir kecemasanmu serta lebih mendorong untuk mencapai keinginan akhiratmu.
Ketahuilah sesungguhnya seorang hamba tidak mungkin bisa mencapai derajat rela sejati sampai dirinya rela tatkala dilanda kefakiran dan bencana, sama seperti relanya ia disaat memperoleh kebahagian dan harta. Bagaimana mungkin engkau hanya rela kepada Allah Shubhanahu wa Ta’alla tatkala senang kemudian mencaci -Nya jika merasa takdir tadi tidak sesuai dengan keinginanmu?! Bisa jadi apa yang engkau kehendaki bila dikabulkan maka hal itu adalah kebinasaan untukmu, lalu engkau rela bilamana takdir -Nya sesuai dengan hawa nafsu, maka itu semua menunjukan akan sedikitnya pemahamanmu dengan perkara ghaib?! Apabila demikian keadaanmu, engkau belum bisa berlaku adil, belum sampai pada pintu ridho”. Al-Hafidh Ibnu Rajab mengomentari ucapan tadi dengan mengatakan, “Ucapan ini sungguh sangat bagus”.[3]
- 9. Menyelamatkan dari siksa neraka.
Seperti dijelaskan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dari Ubai bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, yang sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ لَهُمْ خَيْرًا مِنْ أَعْمَالِهِمْ وَلَوْ أَنْفَقْتَ جَبَلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ لَدَخَلْتَ النَّارَ » [أخرجه أبو داود]
“Kalau seandainya Allah Shubhanahu wa Ta’alla mengadzab seluruh penduduk langit yang tujuh serta penduduk bumi tentu –Dia tidaklah berlaku dzalim terhadap mereka. Kalau sekiranya Allah Shubhanahu wa Ta’alla merahmati mereka semua tentu rahmat –Nya itu lebih besar nilainya dari pada amal kebajikan mereka. Jika seandainya engkau menginfakan emas sebesar gunung uhud dijalan niscaya Allah Shubhanahu wa Ta’alla tidak akan mungkin -Dia menerimanya sampai kiranya engkau beriman kepada takdir dan memahami bahwa apa yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu, dan sesuatu yang meleset darimu tidak akan mengenaimu. Kalau sekiranya engkau mati dalam keadaan tidak seperti keimanan tadi niscaya engkau akan dimasukan kedalam neraka“. HR Abu Dawud no: 4699. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan abi Dawud 3/890 no: 3932.
- 10. Hilangnya rasa cemas, khawatir serta kesedihan.
Diantara keimanan terhadap takdir maka masuk didalamnya keimanan terhadap catatan takdir sebelum terjadinya kejadian. Maka jika sekiranya porsi terbesar dalam keimananmu adalah seperti itu, keimananmu akan terkerek naik sehingga engkau tidak senang bila diberi dan tidak merasa sedih jika tidak mendapatkan. Demikian pula keadaaan orang yang kebalikan seratus sembilan puluh derajat dari yang pertama, maka hukumnya juga berbeda. Inilah makna yang tersimpan dalam firman Allah ta’ala:
لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ [ الحديد: 23 ]
“Supaya kamu jangan bersedih terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (QS al-Hadid: 23).
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa Ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa Ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari فوائد الإيمان بالقضاء والقدر Penulis Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2014 – 1435]
______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir 13/431.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 14/20.
[3] Taisir Azizil Hamid hal: 522-523.
Sumber: https://almanhaj.or.id/