Hukum Pemilu / Pilpres (1) : Dibolehkan Jika Ada Maslahah
Sistem demokrasi adalah produk dari pikiran orang-orang Yunani kuno dan merupakan buatan mereka. Sistem ini telah diwariskan dari generasi ke generasi bahkan terkadang diperluas dan mengalami diferensiasi. Hingga sistem ini diterapkan di kebanyakan negeri kafir. Sangat disayangkan sistem ini juga diadopsi pada beberapa dekade terakhir ini oleh negeri-negeri Islam. Sistem ini, yang diklaim oleh pengusungnya bahwa ia mampu menghasilkan hukum sesuai ketentuan dari keinginan rakyat dengan slogan dari “rakyat untuk rakyat”, ternyata tidak henti-hentinya menimbulkan berbagai bencana di negeri-negeri Islam di berbagai aspek (ideologi, politik, moral) dengan melupakan nash-nash syar’i. Padahal umat Muslim telah sepakat bahwa penetapan syariat adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak boleh dipersekutukan oleh siapapun. Tidak ada seorang pun yang boleh menentang hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala, adapun hal-hal yang didiamkan oleh syariat maka di sana terdapat ruang toleransi.
Diantara konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi ini adalah adanya agenda yang dinamakan dengan Pemilihan Umum untuk memilih pejabat yang dinamakan sebagai anggota parlemen atau dewan legislatif. Padahal metode pemilihan semacam ini adalah hal yang diada-adakan dalam agama Islam.
Dahulu kaum Muslimin senantiasa rujuk kepada para ulama dan mengumpulkan pendapat-pendapat mereka. Orang yang menelaah perkataan para ulama yang mu’tabar dalam masalah ini, akan mendapati mereka membahas beberapa bahasan berikut :
- Bahasan 1: Tidak boleh berpegang pada sarana Pemilu kecuali pada keadaan adanya maslahah yang jelas lebih besar dari mafsadah dari keikut-sertaan dalam Pemilu
Ini dikarenakan dalam agenda tersebut terdapat banyak penyimpangan terhadap syariat. Barangsiapa yang ingin mengetahui hakikat Pemilu silakan merujuk pada artikel-artikel yang sudah banyak ditulis –walhamdulillah– mengenai segala hal seputar Pemilu. Andaikan hal-hal yang menyimpang tersebut tidak ada kecuali hanya 1 saja yaitu unsur tasyri‘ (penetapan hukum), maka sudah cukup untuk mengatakan bahwa hukum asal mengikuti Pemilu adalah terlarang. Unsur tasyri’ ini adalah unsur yang riil ada dalam Pemilu, bahkan disebagian negara Islam, Pemilu disebut dengan Al Majalis At Tasyri’iyyah. Ikut serta dalam Pemilu tanpa ada kebutuhan dan tanpa ada maslahah, tidak diragukan lagi termasuk dalam tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
Mengikuti Pemilu juga berarti menyetujui asas-asas yang menjadi landasan Pemilu padahal asas-asas tersebut adalah asas yang batil, yang wajib secara tegas dan lugas untuk menyelisihinya. Serta wajib untuk mengajarkan masyarakat betapa bedanya asas demokrasi tersebut dengan agama Allah dan betapa sangat bertentangan antara demokrasi dan Islam dalam beberapa sisi. Serta mendidik masyarakat untuk tidak mendukung dan terlibat dalam sistem demokrasi ini. Inilah yang ditegaskan oleh para ulama besar dari dakwah salafiyah di zaman ini, diantaranya:
1. Syaikh Al Albani dan
2. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahumallah
Ketika beliau-beliau menjelaskan masalah ini, sebagaimana dipublikasikan oleh majalah Al Ashalah edisi ke-2 tanggal 15 Jumadi Akhir 1413 H halaman 22. Diantara kutipan perkataan mereka: “Pemilu dengan sistem demokrasinya hukumnya haram juga, tidak diperbolehkan. Karena orang yang memilih dan dipilih tidak memiliki sifat-sifat yang ditentukan syariat untuk orang yang berhak menentukan kekuasaan secara umum maupun khusus. Karena sebab pemilu inilah umat menyerahkan urusan hukum kaum Muslimin kepada orang yang tidak layak untuk memegang dan membahasnya”.
3. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah
Sebagaimana dalam pengajian beliau ketika menjelaskan hadits-hadits yang ada dalam Sunan Abu Daud (rekaman no.488): “Pemilu bukanlah metode yang syar’i. Ia adalah metode orang-orang di luar kaum Muslimin yaitu musuh-musuh kaum Muslimin. Dalam Pemilu itu, hukum ditentukan dengan suara mayoritas, walaupun yang mayoritas adalah orang-orang yang paling rusak. Atau, orang-orang yang memilihnya adalah orang-orang yang paling rusak. Karena rakyat diminta untuk memilih satu kandidat saja, dan keputusannya berdasarkan suara terbanyak. Jika yang terbanyak adalah orang-orang yang bobrok maka orang-orang ini akan memilih orang yang paling bobrok dari kalangan mereka. Ikut serta dalam Pemilu jika di balik itu tidak ada maslahah dan manfaat maka itu tidak baik”.
Beliau juga berkata dalam kesempatan yang sama: “kesimpulannya, hukum ikut serta dalam Pemilu tidak dapat digeneralisir. Namun hukum asalnya tidak boleh mengikutinya kecuali dengan ikut serta ada maslahah yang diraih”
- Bahasan 2: Tujuan ikut serta dalam Pemilu adalah untuk mencapai maslahah yang mu’tabar (diakui sebagai maslahah) agar dapat menerapkan hukum-hukum syariat demi kemaslahatan umat dan negara atau mendukung tercapainya hal itu
Hal ini dikarena salah satu hal yang sudah pasti dalam syariat Islam ini adalah bahwa penetapan hukum itu seluruhnya hak Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أَلَا لَهُ الخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ العَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al A’raf: 54)
juga firman Allah Ta’ala:
إِنِ الحُكْمُ إِلَّا للهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ القَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40)
Hukum Allah itu bersifat umum mencakup hukum atau aturan Allah dalam masalah ibadah, masalah kehidupan, masalah politik, dan dalam semua aspek ada hukum khusus yang mengaturnya. Tidak boleh menerima hukum dalam masalah-masalah ini dari jalan yang tidak syar’i karena penetapan hukum itu hak Allah semata tidak ada sekutu baginya dalam hal ini. Sebagaimana firman Allah:
وَاللهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الحِسَابِ
“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya” (QS. Ar Ra’du: 41)
Oleh karena itu Allah mencela Bani Israil yang telah mengambil hukum dari selain Allah sehingga mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31)
Baca juga: Tentang pemilu: fatwa syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
Oleh karena itu barangsiapa yang masuk ke dalam majelis ini dalam rangka ingin terbebas dari syariat Islam maka ia memiliki salah satu sifat thagut, haram untuk memilihnya dan mencoblosnya. Adapun orang yang ikut serta di dalamnya untuk menegakkan syariat dan memperkecil keburukan atau mencegahnya, maka ini lebih baik. Kaum Muslimin boleh memilihnya dan mendukungnya. Sebagaimana difatwakan oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Ifta Wad Da’wah Wal Irsyad (23/406) sebagai jawaban atas pertanyaan berikut ini :
Soal:
Bolehkah menyumbangkan suara dalam Pemilu dan bolehkah mencalonkan diri menjadi caleg? Perlu diketahui negara kami berhukum dengan bukan hukum Allah.
Jawab:
Tidak boleh seseorang mencalonkan diri menjadi caleg untuk mendapatkan kursi di pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak menerapkan syariat Islam. Dan tidak boleh seorang Muslim memilihnya atau memilih selainnya yang menerapkan pemerintahan seperti ini.
Kecuali jika Muslim yang mencalonkan diri atau Muslim yang menjadi pemilih berharap masuknya ia ke parlemen dapat mengubah hukum yang ada menjadi hukum yang menerapkan syariat Islam dan menjadikan Pemilu ini sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan (untuk mengubah hukum ke arah yang lebih baik, pent). Dan Muslim yang mencalonkan diri tersebut jika nanti terpilih maka tidak boleh menerapkan hukum kecuali hukum yang benar yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Wabillahi At Taufiq.
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta
- Abdul Aziz bin Baz (ketua)
- Abdurrazaq Afifi (wakil ketua)
- Abdullah bin Qu’ud (anggota)
- Abdullah Ghuddayan (anggota)
- Bahasan 3: Para pemilih dan orang yang dipilih tidak boleh taat dan tidak boleh melaksanakan hukum yang diputuskan oleh parlemen dan Undang-Undang buatan manusia, namun yang ditaat dan diamalkan adalah yang sesuai dengan syariat.
Jadi patokan yang disetujui dan diamalkan adalah kesesuaiannya dengan syariat bukan semata-mata keputusan dari parlemen. Jika hasil keputusannya bertentangan dengan syariat maka wajib untuk menolaknya dan tidak mengamalkan apa-apa yang menjadi turunannya. Apalagi menyetujuinya, lebih tidak boleh lagi. Sebagaimana dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
انما الطاعة فى المعروف
“sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf”
dan sabda beliau:
على المسلم السمع والطاعة فيما أحب أو كره ما لم يؤمر بمعصية
“wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat pada perkara yang disenangi atau dibenci selama bukan dalam maksiat”
dan sabda beliau:
لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق
“tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara maksuat kepada Al Khaliq”
juga sabda beliau:
من أمركم بمعصية الله فلا تطيعوه
“barangsiapa menyuruh kalian untuk bermaksiat kepada Allah maka jangan taati”
Adapun orang yang mengikuti ketetapan parlemen yang ada pada Undang-Undang dan ketetapan hukum lain, maka ini hukumnya perlu dirinci sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al Fatawa (7/70-72) : “orang-orang yang menaati rahib-rahib dan pendeta-pendeta dan menganggap mereka sebagai sesembahan selain Allah karena orang-orang tersebut menaati para rahib dan pendeta dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan yang Allah halalkan, ini ada dua jenis:
- Pertama: mereka sadar bahwa mereka telah mengganti aturan agama Allah. Sehingga mereka mengikuti para rahib dan pendeta dalam rangka mengganti hukum Allah dan mereka berkeyakinan bahwa pengharaman apa yang Allah halalkan itu dalam rangka menaati tokoh-tokoh mereka padahal mereka tahu benar bahwa ketetapan itu bertentangan dengan agama yang dibawa oleh Rasulullah. Maka orang jenis ini telah kafir dan ia telah menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai sekutu bagi Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada para tokoh itu. Maka barangsiapa yang menaati orang lain dalam hal yang bertentangan dengan agama padahal ia tahu benar bahwa hal itu bertentangan dengan agama dan yakin bahwa apa yang dikatakan itu tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya, maka ia musyrik seperti orang-orang tadi.
- Kedua: mereka berkeyakinan dan mengimani bahwa mengharamkan yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan adalah perbuatan yang haram secara yakin, namun mereka tetap taat kepada para tokoh dalam hal maksiat kepada Allah. Sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum Muslimin yang melakukan maksiat dan meyakini sebenarnya itu adalah maksiat. Maka orang-orang seperti ini hukumnya sebagaimana para pendosa. Sebagaimana hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
انما الطاعة فى المعروف
“sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf”
dan sabda beliau:
على المسلم السمع والطاعة فيما أحب أو كره ما لم يؤمر بمعصية
“wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat pada perkara yang disenangi atau dibenci selama bukan dalam maksiat”
dan sabda beliau:
لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق
“tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara maksuat kepada Al Khaliq”
juga sabda beliau:
من أمركم بمعصية الله فلا تطيعوه
“barangsiapa menyuruh kalian untuk bermaksiat kepada Allah maka jangan taati”
Lalu perbuatan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dalam suatu masalah jika dilakukan seseorang dalam rangka ber-ijtihad dan maksudnya untuk ittiba‘ kepada Rasul namun kebenaran dalam masalah tersebut tidak dia ketahui, dan ia telah bertaqwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang demikian tidak dianggap bersalah bahkan ia mendapatkan ganjaran karena ijtihadnya tersebut yang ia niatkan dalam rangka menaati Rabb-nya. Namun orang yang mengetahui bahwa ijtihad tersebut salah dengan adanya dalil dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tapi ia tetap mengikuti ijtihad tersebut dan mengenyahkan sabda Rasulullah maka orang ini memiliki bagian dari kesyirikan yang dicela oleh Allah. Lebih lagi jika orang mengikuti ijtihad yang salah tadi mengikutinya dengan hawa nafsu disertai dengan ucapan lisan dan action dengan tangan, padahal ia mengetahui bahwa ijtihad tersebut bertentangan dengan sabda Rasul. Maka ini bentuk kesyirikan dan membuat pelakunya mendapatkan ancaman hukuman karenanya.
Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah mengetahui kebenaran, tidak boleh baginya untuk taqlid pada seorang pun pada pendapatnya yang menyelisihi kebenaran. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya taqlid bagi orang yang mampu untuk mengetahui dalil. Dan jika seseorang itu tahu kebenaran namun ia tidak mampu menampakkannya maka ini sebagaimana orang yang mengenal Islam di tengah masyarakat Nasrani. Jika ia tetap mengamalkan kebenaran sesuai yang ia mampu, maka ia tidak dianggap berdosa karena ketidak-mampuannya tersebut, sebagaimana kasus Raja Najasyi dan selainnya. Dan Allah Ta’ala telah menurunkan beberapa ayat mengenai mereka dalam Kitabullah. Semisal firman Allah Ta’ala
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ
“Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka” (QS. Al Imran: 199)
dan firman Allah Ta’ala:
وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
“Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan” (QS. Al A’raf: 159)
juga firman Allah :
وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui” (QS. Al Maidah: 83)
Adapun orang yang mengikuti pendapat seorang imam mujtahid karena ia tidak mampu mengetahui kebenaran secara terperinci, padahal ia telah berusaha melakukan apa yang ia bisa untuk orang selevelnya untuk tidak taqlid, maka yang demikian tidak dianggap berdosa. Sebagaimana halnya kasus perpindahan kiblat.
Adapun orang yang mengikuti pendapat seorang imam mujtahid tanpa mengetahui argumennya, sekedar hawa nafsu semata, ia melakukan taqlid tersebut dengan lisannya dan tangannya, tanpa dilandasi ilmu sedikit pun, maka ini adalah orang Jahiliyah. Walaupun sebenarnya imam mujtahid yang ia ikuti itu benar, namun perbuatan orang yang taqlid ini tidak benar. Andaikan pendapat imam yang ia ikuti itu salah, maka ia berdosa. Sebagaimana orang yang berbicara mengenai ayat Al Qur’an dengan opininya semata, jika ia kebetulan benar, maka ia tetap dianggap salah. Dan jika ia ternyata salah, ia telah menyiapkan tempat tinggal dalam api neraka.
- Bahasan 4: Bolehnya seorang muslim untuk mencalonkan diri menerima jabatan yang strategis dalam politik masyarakat, dan mempergunakan jabatan tersebut untuk hal yang paling ber-mashlahat, atau paling sedikit bahayanya.
Dalil atas hal tersebut adalah permintaan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam terhadap Raja Mesir yang kafir untuk menjadi pegawai di pemerintahannya, karena beliau ‘alaihis salaam mampu memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Jadikanlah saya sebagai pengurus bendaharawan bumi (Mesir). Sungguh saya orang yang pandai menjaga, dan orang yang amanah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (20/56-57) : “Kemudian, pemerintahan (wilayah) jika hal itu hukumnyanya boleh, atau mustahab, atau wajib; maka kadang-kadang hukum tersebut berbeda terhadap seseorang tertentu, yaitu lebih wajib atau lebih disukai. Dalam kondisi ini, lebih didahulukan yang lebih baik diantara dua hal yang baik, yaitu wajib di satu sisi, dan mustahab di sisi yang lain.
Oleh karena itu, Nabi Yusuf ‘alaihis salaam duduk di pemerintahan sebagai bendaharawan bagi raja mesir, bahkan beliau meminta jabatan tersebut; sementara raja mesir dan kaumnya saat itu dalam keadaan kafir, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu. … ” (QS. Al-Ghofir : 40). Allah Ta’ala juga berfirman tentang Yusuf, (yang artinya) “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf : 12)
Dan sudah diketahui bahwa bersamaan dengan kekufuran mereka, mereka pasti memiliki kebiasaan mengumpulkan dan membelanjakan harta untuk para pelayan raja, keluarganya, prajuritnya, dan rakyatnya, dan hal itu bukanlah merupakan kebiasaan para nabi dan keadilan mereka. Dan Nabi Yusuf tidak mungkin dapat melakukan semua hal yang beliau lihat sesuai dengan ajaran agama Allah, karena saat itu kaumnya belum menerimanya. Maka beliau melakukan keadilan sebatas yang beliau bisa, sehingga kaum mukminin dari keluarganya saat itu mendapat perlakuan yang baik dari penguasa. Kemuliaan tersebut tidak mungkin didapatkan tanpa hal itu. Itu semua tercakup dalam firman Allah (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah sebatas yang kalian mampu.”
Maka Syaikhul Islam tidak menganggap menempati jabatan dalam kedua pemerintahan tersebut haram secara mutlak.
Bahkan, beliau membolehkannya apabila sesuai dengan kaedah-kaedah tertentu. Beliau mengatakan dalam Majmu’ Fatawa tentang kedudukan Nabi Yusuf terhadap Raja Mesir, “Dan demikianlah Nabi Yusuf, dimana beliau sering menjadi pengganti Raja Mesir, sementara raja tersebut dan rakyatnya dalam keadaan musyrik. Dan beliau melakukan keadilan dan kebaikan sesuai dengan kemampuan beliau. Beliau juga berdakwah kepada keimanan, ketika keadaan memungkinkan.”
Sebagian ulama telah mengambil pendapat bolehnya seorang laki-laki yang shalih, bekerja kepada seorang laki-laki yang fajir, dan pemerintah yang kafir, dengan syarat dia harus mengetahui bahwasanya dia leluasa melakukan apa yang dia kehendaki, dan tidak dihalang-halangi, sehingga dia bisa memperbaiki sesuai dengan apa yang dia inginkan. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh al-Qurtubi rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, dimana beliau berkata: “Sebagian ulama mengambil pendapat dari ayat ini bolehnya seorang laki-laki yang shalih, bekerja kepada seorang laki-laki yang fajir, dan pemerintah yang kafir, dengan syarat dia harus mengetahui bahwasanya dia leluasa melakukan apa yang dia kehendaki, dan tidak dihalang-halangi, sehingga dia bisa memperbaiki sesuai dengan apa yang dia inginkan. Sedangkan, apabila perbuatannya harus sesuai dengan kehendak, hawa nafsu, dan kejelekan orang yang fajir tersebut (baik atasan maupun raja, -pent), maka tidak boleh.
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi Yusuf. Pendapat ini boleh-boleh saja. Namun, pendapat yang lebih baik adalah yang pertama, apabila memenuhi syarat yang telah kami sebutkan, Allahu a’lam.”
Bahkan, Syaikh Syinqithiy rahimahullah telah menegaskan bahwasanya jika orang kafir menang atas negara kaum muslimin, maka sebagian kaum muslimin memegang kekuasaan di bawah naungan pemerintahan penjajah, hal itu diperbolahkan. Beliau mengatakan di bukunya Rihlah ila baitillahil haraam,105, “Sesungguhnya kaum mukminin jika dikuasai oleh orang kafir, dengan menjajah negara mereka, apabila mereka mungkin untuk bergabung dengan penguasa muslim, maka mereka wajib melakukannya. Mereka tidak boleh loyal terhadap orang kafir, apalagi memberikannya kekuasaan terhadap mereka, karena sikap loyal kaum muslimin terhadap orang kafir, dimana mereka mampu berloyal kepada seorang muslim, maka hal itu mengandung fitnah dan kerusakan yang besar sebagaimana al-Quran dengan tegas menyatakan hal tersebut, yaitu firman Allah (yang artinya): ‘Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu , niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.’ (QS. Al-anfal : 73), dan Allah juga berfirman (yang artinya) : ‘Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 51)”
Sementara kaum muslimin yang dikuasai (dijajah) oleh orang kafir, dimana mereka tidak mampu menggabungkan diri mereka kepada penguasa muslim, dan loyalitas mereka kepada orang kafir hanya sebatas lahiriyah, tanpa disertai loyalitas batin, untuk melindungi diri dari kejelekan penguasa, maka hal itu diperbolehkan sesuai dengan nash al-Quran, yaitu firman Allah (yang artinya), “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. … ” (QS. Ali Imran : 28)
Demikian juga, apabila sebagian kaum muslimin memegang pemerintahan mereka, atas sebagain lainnya, sebagaimana hal ini selaras dengan kaedah madzhab Malik dan para ulama yang sependapat dengannya, bahwasanya syariat para rasul sebelum kita, merupakan syariat bagi kita, jika hal itu terdapat dalam syariat kita, kecuali jika terdapat dalil yang mengharuskan naskh, maka syariat tersebut bukanlah syariat bagi kita.
Untuk lebih menjelaskan tentang perkara tersebut, sesungguhnya Nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihim wa ‘ala nabiyyina ash-sholaatu wa salaam, meminta jabatan dari raja Masir, dan raja memberikan jabatan tersebut kepada Yusuf, sementara dia (yaitu raja Mesir) dalam keadaan kafir. Allah berfirman menceritakan tentang perkaataan Nabi Yusuf (yang artinya), “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf : 55)
Kalau seandainya memegang jabatan di dalam pemerintahan orang kafir yang menang, haram dan tidak sah, tentu Nabi Yusuf tidak memintanya kepada raja yang kafir dan tidak sah jabatan tersebut. Nabi Yusuf merupakan salah seorang Rosul yang telah Allah sebutkan dalam firman-Nya di surat al-An’am, dengan firman-Nya (yang artinya), “dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf … ” (QS. Al-An’am : 84), dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintah untuk mengikuti mereka, sebagaimana disebutkan dalam kelanjutan ayat tersebut, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am : 90), dan perintah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti mereka, merupakan perintah bagi kita; karena perintah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencakup umat beliau juga, dari segi hukum; karena beliau adalah panutan mereka, kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan hal itu hanya berlaku bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hal ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama Malikiyah, dan ini merupakan dhohir pendapat imam Malik rahimahullah.”
Syaikh as-Sa’di telah memberikan isyarat tentang jabatan dengan maksud memperbaiki keadaan yang telah ada, atau melindungi islam dan kaum muslimin sesuai kemampuan dan kemungkinan. Beliau berkata dalam tafsirnya terhadap firman Allah (yang artinya), “Mereka berkata: ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami. kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.’” (QS. Huud : 91)
Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan kandungan ayat tersebut mengatakan, “diantara kandungannya : sesungguhnya Allah melindungi kaum mukminin dengan sebab-sebab yang banyak. Ada sebab dapat diketahui oleh sebagian dari mereka, sebagian lagi tidak diketahui sama sekali. Bisa jadi Allah melindungi mereka dengan sebab kabilah mereka, dan masyarakatnya yang kafir, sebagaimana Allah melindungi Nabi Syu’aib dengan sebab keluarganya. Dan sebab-sebab yang denganya Islam dan kaum muslimin dapat terlindungi, tidak mengapa diusahakan. Bahkan, bisa jadi mengusahakannya menjadi hal yang wajib dilakukan, karena perbaikan merupakan perkara yang dituntut, sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan.”
Oleh karena itu, seandainya kaum muslimin yang berada dibawah kekuasaan orang kafir berusaha untuk merubah pemerintahan menjadi republik (kekuasaan di tangan rakyat), yang didalamnya kelompok-kelompok dapat memiliki kedudukan, sehingga dapat memperjuangkan hak-hak keagamaan dan dunia mereka sungguh hal itu tentu lebih baik; daripada menyerah sepenuhnya kepada pemerintahan kafir mengatur hak-hak agama dan dunia mereka, bersemangat untuk membinasakan mereka, dan menjadikan mereka pekerja dan pembantu bagi penguasa kafir tersebut.
Benar, jika memungkinkan untuk menjadikan negara bagi kaum muslimin, dimana mereka yang mengatur, maka hal itu wajib mereka lakukan. Namun, jika tidak mungkin mewujudkan tingkatan ini, maka tingkatan yang hanya melindungi agama dan dunia mereka, lebih diutamakan, Allahu a’lam.”
Oleh karena itu, al-Lajnah ad-Daaimah memberikan fatwa tentang memberikan suara dalam pemilu kepada suatu golongan yang diketahui nanti mereka akan berhukum dengan syariat islam, sebagaimana terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah no. 14676, sebagai jawaban dari :
- Soal:
Sebagaimana kalian ketahui, di tempat kami al-Jazair, ada pemilu. Dalam pemilu tersebut ada partai-partai yang menyeru kepada hukum Islam, disamping ada juga partai-partai yang tidak menginginkan hukum islam. Apa hukum pemilih yang tidak memilih partai yang memperjuangkan hukum islam ?
- Jawab :
Wajib bagi kaum muslimin di negara yang tidak berhukum dengan hukum Islam untuk mengerahkan segala tenaganya untuk berhukum dengan syariat islam, dan hendaklah mereka bersatu dalam membantu suatu partai yang diketahui partai tersebut akan berhukum dengan hukum islam.
- Bahasan 5: Jika tidak ada kandidat (calon untuk suatu jabatan) yang ideal, maka beralih kepada pemilihan orang yang mendekati ideal
Dalam kondisi tidak ditemukan orang yang sempurna atau pantas menduduki suatu jabatan, tidak serta-merta ditinggalkan semuanya. Tidaklah tepat prinsip “meninggalkan memilih orang yang lebih baik, karena tidak adanya orang yang sempurna”. Hal ini dapat diketahui dari beberapa sudut pandang :
Sudut pandang pertama: Perkara yang merupakan kewajiban dalam kepemimpinan, ialah memilih orang yang paling sempurna, jika tidak bisa memilih yang sempurna, maka pilihan jatuh kepada orang yang mendekati sempurna, dan begitu seterusnya. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Thuruq Hukmiyyah (hal. 347), “Oleh karena itu, wajib bagi penguasa untuk meminta bantuan dalam kepemimpinannya dengan orang-orang yang adil dan jujur, dan orang-orang yang mendekati mereka. Namun apabila di dalamnya ada kebohongan dan kerusakan, maka sungguh Allah terkadang akan menolong agama ini dengan seorang laki-laki yang fajir, dan dengan kaum yang tidak ada bagian dari iman pada diri mereka. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Barangsiapa yang bertaklid kepada seorang laki-laki dari suatu kelompok, sementara dia mendapatkan dalam kelompok tersebut orang yang lebih diridhai oleh Allah darinya, maka dia sungguh telah berkhianat kepada Allah dan rasul-Nya, dan kaum muslimin.’
Kebanyakan, tidak didapatkan orang yang sempurna dalam hal itu, maka wajib memilih yang terbaik diantara dua pilihan yang ada, dan menolak yang paling jelek dari dua kejelekan. Sungguh, dahulu para shahabat senang dengan kemenangan Romawi yang merupakan kaum Nashrani terhadap kaum Majusi penyembah api, karena Nashrani lebih dekat kepada mereka daripada kaum Majusi. Demikian juga Nabi Yusuf, beliau menjadi pengganti raja Mesir, sementara raja tersebut dan kaumnya merupakan orang-orang musyrik. Nabi Yusuf melakukan kebaikan dan keadilan sesuai dengan kemampuan yang beliau miliki; dan berdakwah kepada iman, ketika keadaan memungkinkan.
Sudut pandang kedua: Termasuk perkara yang wajib, yaitu berpegang teguh dengan jalan para khulafaur rasyidin dalam segala perkara. Jika tidak mampu, maka didahulukan yang dapat mendatangkan perkara terbaik dari dua pilihan yang baik, dan mencegah perkara yang jelek dari dua pilihan yang jelek. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Istiqaamah (2/167-168) : “Wajib atasmu untuk menimbang dalam keadaan, dan amalan ini, baik dhohir maupun bathin, sehingga tampak bagimu persamaan, perbedaan, serta kesesuaian keadaan-keadaan batin orang yang terkait di dalamnya terhadap keadaan zhahirnya. Terlebih lagi di akhir zaman ini, dimana banyak amal-amal shalih bercampur dengan kejelekan pada setiap bidangnya. Maka dalam keadaan ruwet dan penuh hambatan ini kita akan memilih yang paling baik dari yang terbaik dan kita mencegah yang terburuk dari yang buruk ditengah kumupulan orang. Dan kita mengedepankan yang lebih kuat dari konsekuensi baik dan konsekuensi buruk yang ada. Karena mayoritas para pemimpin di akhir zaman, dan juga mayoritas umat baik ia raja, penguasa, penceramah, ulama, ahli ibadah, hartawan, ada dalam keadaan yang demikian. Adapun orang yang berjalan di jalannya Khulafa Ar Rasyidin, mereka bukanlah mayoritas di tengah ummt. Namun hendaknya mereka ini bergaul dengan orang-orang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya yaitu dengan sikap adil dan menunaikan setiap hak orang. Serta menegakkan hudud sebatas kemungkinan. Karena yang wajib adalah menyuruh kepada yang ma’ruf dan menjalankannya serta melarang kemungkaran dan meninggalkannya sesuai kemampuan. Jika mereka tidak mampu menjalankan hal itu, maka hendaknya mereka mengedepankan yang terbaik yang bisa dilakukan dan mencegah keburukan terburuk yang bisa dicegah” [selesai].
Maka memilih kandidat yang keburukannya lebih kecil termasuk menjalani petunjuk dari para salaf terdahulu.
Sudut pandang ketiga: Syaikhul Islam mengatakan dalam al-Jawaab as-Shohiih (2/215-216), “Ahli kitab lebih baik baik dari pada kaum musyrikin. Telah kami sebutkan bahwasanya ketika peperangan Persia dan Romawi, dan Romawi memenangkan peperangan, maka para shahabat bergembira. Para shahabat membenci kemenangan Persia atas kaum Nashrani, karena kaum Nashrani lebih dekat kepada agama Allah dari kaum Majusi. Dan para Rasul diutus untuk mendatangkan mashlahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadah, dan menguranginya, dan mendahulukan hal yang paling baik dari hal yang kurang baik sesuai dengan kemampuan mereka, dan mencegah kejelekan yang paling jelek dari dua kejelekan, dengan mengambil yang lebih ringan kejelekannya.
Maka runtuhnya tempat ibadah orang-orang Nashrani oleh orang-orang Majusi, merupakan kerusakan; sementara jika diruntuhkan oleh kaum muslim, kemudian mereka menjadikan tempat tersebut sebagai masjid yang disebut di dalamnya nama Allah, maka hal itu merupakan kebaikan.”
Ayat ini disebutkan dalam konteks perijinan bagi kaum muslimin untuk berjihad, dengan firman-Nya (yang artinya): “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al-Hajj : 39)
Ayat tersebut merupakan ayat pertama yang diturunkan berkaitan dengan jihad, oleh karena itu, Allah berfirman (yang artinya), “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’, ”kemudian berfirman (yang artinya), “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,” (QS. Al-Hajj : 40)
Allah menolak kaum kafir dengan kaum muslimin, dan menolak kejelekan dua kelompok, dengan yang terbaik diantara keduanya. Allah menolah kaum Majusi dengan Romawi yang nashrani, kemudian menolak romawi dengan kaum muslimin, umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kaum muslimin diberikan pilihan, antara kemenangan kaum nashrani, atau kemenangan orang-orang yang lebih jelek dari mereka; maka wajib bagi kaum musmilin untuk memilih kemenangan kaum nashrani atas orang-orang yang lebih jelek dari mereka. Demikian juga keadaan dalam masalah pemilu, dimana kaum muslimin diberikan pilihan antara kejelekan yang lebih sedikit, dan kejelekan yang lebih besar. Maka jelaslah pilihan ditujukan kepada orang yang kejelekannya lebih sedikit.
Sudut pandang keempat: Jika disana terdapat dua kedholiman yang saling bertolak belakang, maka hendaknya dia menolong orang yang lebih sedikit kedholimannya dari orang yang lebih banyak kedholimannya, sesuai kemampuan yang dia miliki. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh Syikhul Islam dalam Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah (6/118) : “Kedholiman yang lebih sedikit, hendaknya ditolong dari kedholiman yang lebih banyak. Karena syariat dibangun di atas prinsip mendatangkan mashlahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadah, dan menguranginya, dan mendahulukan hal yang paling baik dari hal yang kurang baik sesuai dengan kemampuan mereka, dan mencegah kejelekan yang paling jelek dari dua kejelekan, dengan mengambil yang lebih ringan kejelekannya.”
Dengan demikian, maka jelaslah pertolongan diberikan kepada calon parlemen yang lebih sedikit kedholimannya.
Sudut pandang kelima: Hukum asal dalam permasalahan mengingkari kemungkaran ialah menghilangkannya secara keseluruhan, atau menguranginya bersamaan dengan tetapnya kemungkaran tersebut. Maka barangsiapa yang tidak mampu untuk menghilangkannya secara keseluruhan, dan dia mampu berusaha untuk menguranginya, maka dia wajib melakukannya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim dalam I’laamul Muwaqqi’iin (3/4), “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran, sehingga pengingkaran tersebut akan menghasilkan kebaikan yang dicintai Allah dan rasul-Nya. Maka jika mengingkari kemungkaran mengharuskan munculnya kemungkaran yang lebih besar, dan lebih dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pengingkaran tersebut tidak disyariatkan, walaupun Allah membenci dan melaknat pelakunya. Mengingkari kemungkaran memiliki 4 tingkatan :
- Hilangnya kemungkaran, dan meninggalkan kebaikan
- Berkurangnya kemungkaran, walaupun kemungkaran masih tetap ada
- Meninggalkan kemungkaran yang semisal
- Meninggalkan kemungkaran yang lebih besar
Dua derajat pertama disyariatkan, sedangkan derajat ketiga, tempat seseorang berijtihad didalamnya, sedangkan derajat keempat hukumnya haram.”
Demikian juga mengikuti pemilu, jika diniatkan untuk memperkecil / mengurangi kemungkaran, maka hal itu disyariatkan.
Baca juga: Hukum golput dalam Pemilu
Hukum Pemilu / Pilpres (2) : Fatwa-Fatwa Para Ulama
Selain alasan-alasan syar’i yang telah lalu, telah ada pula fatwa-fatwa para ulama masa kini yang membolehkan ikut serta dalam Pemilu dalam rangka berkontribusi mengubah rezim yang buruk sebisa mungkin. Dan juga dalam rangka memperkecil keburukan yang terjadi dalam Pemilu tersebut.
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
Yang ditanda-tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi (wakil ketua) dan Syaikh Abdullah Ghuddayan (anggota). Yaitu fatwa nomor 14676 yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (27/372-374), sebagai jawaban atas pertanyaan berkut:
Soal:
Sebagaimana anda ketahui, kami di Aljazair akan diadakan agenda yang dinamakan intikhabat tasyri’iyyah (pemilihan legislatif). Dalam pemilu tersebut ada partai yang mengajak untuk menegakkan hukum Islam. Ada juga partai yang tidak menginginkan hukum Islam. Bagaimana hukumnya menjadi pemilih yang mencoblos partai yang tidak menginginkan hukum Islam, namun pemilih ini masih menegakkan shalat?
Jawab:
Wajib bagi kaum Muslimin di negara yang tidak berhukum dengan syari’at Islam untuk mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampu untuk berhukum dengan syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu mendukung partai yang diketahui partai tersebut akan berhukum dengan syari’at Islam.
Adapun mendukung pihak-pihak yang mengajak untuk tidak menerapkan syari’at Islam, maka ini tidak boleh. Bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أهواءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ] , [ أَفَحُكْمَ الجاهلية يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Hendaklah Engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya Engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan?! Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini” (QS. Al-Ma’idah 49-50)
Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, Allah memperingatkan untuk tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan Allah juga memerintahkan kaum Mukminin untuk bertakwa bila mereka mukmin sejati. Allah ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكتاب مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman. (Al-Ma’idah: 57).
Wabillahi at taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa alihi wa shahbihi wasallam
Kedua: Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Yang disebarluaskan dalam majalah Liwaul Islam edisi 3 bulan Dzulqa’dah 1409 / Juni 1989. Syaikh Manna’ Al Qathan menukil dari majalah tersebut dalam kitab beliau “Muqu’at Tathbiq Asy Syari’ah Al Islamiyah”. Dalam fatwa ini Syaikh Ibnu Baz menjawab pertanyaan seorang penanya tentang hukum syar’i mengenai perwakilan rakyat di parlemen juga tentang pencoblosan surat suara PEMILU dengan niat untuk memilih sebagian ikhwah dan da’i Islam yang masuk ke parlemen. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun menjawab:
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
‘sesungguhnya setiap amal itu disertai niat, dan setiap amal itu tergantung niatnya‘
oleh karena itu tidak mengapa masuk ke parlemen jika maksudnya untuk menyokong kebenaran, dan tidak menyetujui kebatilan. Karena jika demikian adanya, maka hal tersebut termasuk pembelaan terhadap kebenaran, dan bersatu padu dengan para da’i ilallah.
Dengan demikian juga tidak mengapa mencoblos surat suara Pemilu yang membantu untuk memenangkan para da’i yang shalih, serta membantu menyokong kebenaran dan para pembelanya. Wallahul muwaffiq”
Ketiga: Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Yaitu fatwa atas salah satu pertanyaan dalam Liqa Al Bab Al Maftuh (211),
- Soal:
Wahai Syaikh, apa hukum ikut serta dalam PEMILU yang diselenggarakan di Kuwait? Dengan catatan, mayoritas orang ada di dalamnya adalah para tokoh Islam dan para da’i yang keadaan agamanya rusak. Dan juga, apa hukumnya memilih ketua kabilah yang ada di sana?
- Jawab:
Saya perpandangan (mengikuti) pemilu itu wajib. Kita wajib memilih orang yang kita lihat ada kebaikan padanya. Karena bila orang-orang yang baik mundur, siapa yang akan menempati posisi mereka? (tentu saja) orang-orang yang buruk, atau orang-orang pasif yang tidak memiliki kebaikan atau keburukan, yang senantiasa mengikuti orang yang mengajaknya. Kita wajib memilih orang yang kita pandang shalih.
Jika ada yang mengatakan: “apa gunanya kita memilih satu orang shalih, sedangkan mayoritas anggota parlemen keadaannya sebaliknya?”. Kita katakan, tidak masalah, satu orang ini jika Allah memberikan keberkahan padanya dan ia bisa menyampaikan kebenaran dalam parlemen ini, hal tersebut akan memberikan pengaruh, itu pasti. Tapi masalahnya, kita kurang tulus dalam bertawakkal kepada Allah. Kita bersandar pada hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata, tapi tidak melihat kepada kalimat Allah Azza wa Jalla.
Apa yang akan anda katakan terhadap perbuatan Nabi Musa alaihissalam ketika Fir’aun meminta kepadanya untuk bersepakat datang pada suatu waktu dimana Fir’aun bisa mendatangkan semua tukang sihir. Nabi Musa menyepakati hal tersebut untuk datang pada waktu dhuha bertepatan pada yaumuz zinah (hari berhias; yaitu hari raya mereka karena orang-orang biasanya berhias di hari raya), di siang bolong, bukan malam hari, dan di tempat yang lapang. Maka seluruh manusia pun berkumpul, lalu Nabi Musa alaihissalam mengatakan kepada mereka:
وَيْلَكُمْ لا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِباً فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى
“Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta atas nama Allah, sehingga Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti merugi orang yang berdusta (atas namaNya)”. (QS. Thaha: 61)
Satu kalimat yang menjadi ‘bom’ bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
فَتَنَازَعُوا أمرهُمْ بَيْنَهُمْ
“Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka” (QS. Thaha: 62)
Huruf fa’ di sini menunjukkan tartib (urutan) dan ta’qib was sababiyyah (sebab-akibat). Maksudnya, sejak Musa mengatakan perkataannya, orang-orang pun saling berselisih diantara mereka. Padahal bila orang-orang sudah berselisih, itulah kelemahan. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا
“dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar” (QS. Al Anfal: 46)
kemudian,
فَتَنَازَعُوا أمرهُمْ بَيْنَهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى
“Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka)” (QS. Thaha: 62)
dan hasilnya, para tukang sihir yang awalnya datang untuk melawan Musa, malah menjadi pembelanya. Mereka pun bersimpuh sujud kepada Allah dan menyatakan:
آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى
“kami telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa” (QS. Thaha: 70)
padahal Fir’aun di hadapan mereka. Mereka terpengaruh oleh perkataan dari satu orang, di hadapan umat manusia yang banyak, dan di depan pemimpin mereka yang paling berkuasa diantara mereka.
Oleh karena itu, saya katakan, walaupun di majelis parlemen hanya ada sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan manfaat. Namun mereka wajib untuk ikhlas kepada Allah Ta’ala. Adapun yang mengatakan bahwa parlemen itu tidak dibolehkan, karena tidak boleh bergabung dengan orang-orang fasik dan duduk bersama mereka. Maka apakah kita mengatakan boleh duduk dengan mereka untuk menyetujui mereka? Kita duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Sebagian ikhwah dari para ulama mengatakan: “tidak boleh bergabung dengan parlemen, karena orang yang lurus ini akan duduk bersama orang yang menyimpang”. Maka kita katakan, apakah orang yang lurus tersebut duduk agar jadi menyimpang, ataukah untuk meluruskan yang bengkok? Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak berhasil pada kali pertama, mungkin ia akan berhasil pada kali kedua.” [selesai]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menguatkan fatwanya tersebut mengenai pembolehan ikut serta dalam Pemilu dalam As’ilah Al Qathriyah (34):
- Soal:
Fadhilatus Syaikh, penanya mengatakan: “apakah engkau memfatwakan bolehnya ikut serta dalam Pemilu?”
- Jawab:
Ya, saya memang memfatwakan demikian. Memang semestinya demikian. Karena bila suara Kaum Muslimin hilang, artinya majlis parlemen akan murni menjadi milik pelaku keburukan. Dan bila kaum Muslimin ikut serta dalam pemilu, mereka hendaknya mereka memilih orang yang mereka pandang layak. Sehingga akan timbul kebaikan dan keberkahan [selesai].
Syaikh Ahmad bin Abdurrahman Al Qadhi dalam kitab Tsamaratud Tadwin menceritakan soal tanya-jawabnya dengan Syaikh Ibnu Al Utsaimin: “Soal no. 593, (26/6/1420H), aku pernah bertanya kepada Syaikh kami (Syaikh Ibnu Al Utsaimin) rahimahullah tentang kaum Muslimin di Amerika, apakah mereka boleh mengikuti Pemilu yang berjalan di beberapa negara bagian untuk mendukung calon yang mendukung kepentingan kaum Muslimin? maka beliau menyatakan persetujuan tanpa ragu.
Keempat: Fatwa Syaikh Al Albani rahimahullah
Ketika beliau menjawab mengenai partai FIS, sebagaimana yang diterbitkan dalam majalah Al Ashalah edisi ke-4
- Soal:
Bagaimana hukum syar’i dalam hal pembelaan dan dukungan terkait dengan masalah yang barusan disebutkan (yaitu mengenai Pemilu) ?
- Jawab:
Untuk saat ini saya tidak menasehatkan seorang pun dari saudara kita kaum Muslimin untuk mencalonkan dirinya untuk menjadi wakil rakyat di parlemen, janganlah berhukum dengan selain hukum Allah. Walaupun dalam undang-undang disebutkan “negara berasaskan Islam”. Karena kata-kata ini para prakteknya hanya untuk membius para wakil rakyat yang masih baik hatinya. Itu karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengubah apapun yang ada di dalam undang-undang yang menyelisihi syariat Islam. Sebagaimana realitanya di beberapa negara yang dalam undang-undangnya tertulis kata-kata tersebut (“negara berasaskan Islam”), padahal belum ada yang mempermasalahkan (penerapan syariat Islam), namun tetap saja ditetapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan syariat Islam. Dengan alasan sekarang ini belum siap, kelak nanti akan diubah lagi. Hal ini kami saksikan di sebagian negara.
Si wakil rakyat tersebut mengubah kemasan Islam lalu ia mengemasnya dengan kemasan ala barat demi mengharapkan simpati para wakil rakyat yang lain. Maka ia masuk ke parlemen awalnya ingin memperbaik orang lain, namun dirinya malah menjadi rusak. Ibaratnya, hujan awalnya rintik-rintik, kemudian lama-lama menjadi deras. Oleh karena itu kami tidak menasehatkan siapa pun untuk mencalonkan dirinya.
Namun saya tidak melihat adanya halangan bagi masyarakat Muslim jika dalam pemilihan caleg ada caleg-caleg yang menentang Islam dan ada pula caleg-caleg Islam yang berasal dari partai-partai dengan berbagai macam manhajnya, maka saya nasehatkan (jika memang demikian keadaannya) pada setiap muslim untuk memilih para caleg Muslim saja, dan memilih caleg yang lebih dekat kepada manhaj ilmiah yang shahih yang telah saya jelaskan sebelumnya.
Saya katakan demikian, walaupun saya berkeyakinan bahwa Pemilu itu tidak mungkin bisa benar-benar mewujudkan tujuan yang diinginkan sebagaimana sudah dijelaskan, namun dalam rangka memperkecil keburukan. Atau dalam rangka mencegah mafsadah yang besar dengan mafsadah yang kecil, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha. [selesai]
Syaikh Al Albani juga berkata dalam Silsilah Al Huda Wan Nur (600) : “setiap Pemilu itu berjalan di atas kaidah-kaidah yang tidak Islami. Bahkan ia sejalan dengan kaidah-kaidah Yahudi dan Zionis, yaitu: al ghayah tubarriru al washilah (tujuan mesti dicapai dengan cara apapun)”.
Saya membedakan antara seorang Musilm yang mencalonkan diri menjadi caleg di parlemen, dengan memilih seorang caleg yang dipandang kejelekannya lebih kecil dibanding orang-orang lain di dalam parlemen. Wajib membedakan dua hal ini, bahkan dalam pemilihan umum. Saya telah menuliskan surat kepada partai FIS di Aljazair, setelah mereka bertanya kepada saya sebuah pertanyaan tentang Pemilu. Dan saya jelaskan rincian masalahnya sebagaimana yang saya sebutkan barusan. Bahwasanya Pemilu dan parlemen itu tidak Islami. Dan bahwasanya saya tidak menasehatkan seorang Muslim pun untuk mencalonkan diri menjadi caleg di parlemen ini, karena ia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk Islam di sana. Bahkan ia akan terbawa arus yang ada, sebagaimana yang terjadi di pemerintahan yang ada sekarang di negara-negara Arab.
Walau demikian, saya katakan jika di dalam pemilihan tersebut ada caleg-caleg Muslim, yang keberadaan mereka ini di tiap negeri Islam sebetulnya sangat disayangkan, yang mereka mencalonkan diri mereka untuk menjadi caleg dengan niatan ingin memperkecil keburukan, dan kita pun tidak bisa mencegah mereka untuk mencalonkan diri karena yang kita bisa hanya menasehati dan menyampaikan. Maka ia pun akhirnya mencalonkan dirinya di pemilu nasional atau pemilu daerah (tergantung definisi anda), lalu dalam pemilu tersebut terdapat caleg Muslim yang mencalonkan dirinya tadi, ada caleg Nasrani, ada caleg Syi’ah dan lainnya.
Maka, jika memungkinkan kita hendaknya mencegah seorang Muslim untuk mencalonkan dirinya, baik di Pemilu nasional maupun Pemilu daerah. Jika kita tidak bisa mencegahnya, kita akan memilih dia. Mengapa demikian? Karena ada kaidah Islamiyah yang mendasarinya, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Jika seorang Muslim dihadapkan pada dua keburukan, maka pilih yang keburukannya lebih kecil. Tidak ragu lagi adanya pemimpin Muslim itu lebih kecil keburukannya, namun saya tidak katakan itu kebaikan, dibanding adanya pemimpin yang kafir atau orang sesat. Namun si pemimpin Muslim ini sejatinya sedang membakar dirinya sendiri tanpa sadar. Karena ia mencalonkan dirinya dengan alasan ingin memperkecil keburukan, dan ia memang mengusahakannya, namun ia tidak sadar bahwa di sisi lain dirinya sedang terbakar. Jadilah ia semisal orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مثل العالم الذي لا يعمل بعلمه كمثل المصباح يحرق نفسه ويضيء غيره
“permisalan orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya semisal lampu yang membakar dirinya sendiri namun menerangi sekitarnya”
Oleh karena itulah, saya membedakan antara mencalonkan diri dengan memilih. Jangan mencalonkan diri kita karena kita akan terbakar. Namun bagi yang enggan terhadap nasehat ini, ia lebih memilih membakar dirinya secara sedikit atau banyak, ia mencalonkan dirinya di dalam Pemilu, maka kita dalam rangka mencegah keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang kecil hendaknya memilih orang tadi, dan tidak memilih orang kafir atau orang sesat.”
Penanya: “wahai Syaikh, saya pahami dari perkataan anda ini bahwa dalam masalah Pemilu atau parlemen ini, memilih caleg yang ada disana, hukumnya boleh?”
Syaikh menjawab: “ya benar, namun dalam rangka mencegah keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil, bukan karena hal tersebut baik” [selesai]
Kelima: Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
Yaitu ketika beliau menyampaikan pelajaran Sunan Abu Daud (rekaman no.488) ketika menjawab pertanyaan berikut, “apakah ikut serta dalam Pemilu termasuk dalam mengingkari kemungkaran dengan tangan? Karena disitu seseorang memilih seorang yang shalih agar dia menjadi pejabat negara”.
- Jawab:
Pemilu ini bukan jalan yang syar’i. Bahkan ia adalah metode yang datang dari para musuh Islam. Dalam Pemilu ini, hukum diputuskan berdasarkan suara terbanyak. Andaikan yang terbanyak dipilih adalah orang yang paling buruk, atau mereka yang terbanyak memilih adalah orang yang buruk, dan mereka memilih salah seorang (yang buruk juga) di antara mereka, maka hukum yang diputuskan berdasarkan yang terbanyak. Kalau yang terbanyak adalah orang yang buruk (agamanya), maka mereka akan memilih yang terburuk diantara mereka.
Ikut serta dalam Pemilu jika dibalik itu tidak ada manfaat dan maslahatnya, itu tidak baik. Namun jika ikut serta di dalamnya akan menghasilkan maslahat dalam keadaan dimana satu di antara dua kandidat itu buruk dan yang lainnya kandidat yang baik. Ini andaikan jika tidak ikut serta dalam Pemilu untuk mendukung kandidat yang baik maka akan menang kandidat yang buruk. Jika demikian maka tidak mengapa ikut serta dalam Pemilu dalam rangka mencapai maslahat tersebut dan mencegah bahaya.
Bahkan demikian juga, jika keadaannya terdapat dua pilihan yang satu sangat buruk dan yang satu buruk juga namun keburukannya di bawah yang lainnya, sebagaimana terjadi di sebagian negeri. Demikian pula jika keadaannya terdapat dua pilihan yang keduanya kafir, yang satu sangat keras kebenciannya terhadap kaum Muslimin dan memusuhi kaum Muslimin serta menyulitkan kaum Muslimin sehingga mereka tidak mungkin menjalankan syariat, sedangkan yang kedua lebih terbuka dan simpati kepada kaum Muslimin serta tidak ada kebencian kepada kaum Muslimin, maka tidak ragu lagi bahwa mendukung orang yang lebih ringan kepada kaum Muslimin lebih utama daripada tidak memilih karena adanya resiko menang orang yang benci dan keras kepada kaum Muslimin.
Telah kita ketahui bersama, bahwa dalam Al Qur’an, kaum Muslimin bergembira dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal mereka semua kafir. Namun orang Romawi lebih ringan. Karena orang Romawi itu bersandar pada agama, sedangkan orang Persia mereka menyembah berhala dan tidak memiliki agama. Walaupun kedua pihak kafir, namun sebagiannya memiliki keburukan yang lebih ringan dari yang lain.
Diantara kaidah syar’iyyah adalah “mengambil yang paling ringan diantara dua bahaya dalam rangka melepaskan diri dari bahaya yang paling besar”. Maka, mengambil yang paling ringan diantara dua bahaya dalam rangka melepaskan diri dari bahaya yang paling besar adalah hal yang dituntut dari setiap orang. Intinya, Pemilu itu asalnya datang dari luar kepada kaum Muslimin dan bukan berasal dari agama Islam, dan ikut serta di dalamnya untuk menguatkan kandidat yang baik dan mengalahkan yang buruk yang jika Pemilu ini ditinggalkan akan kuatlah orang yang memiliki keburukan, maka tidak mengapa ikut serta. Demikian juga jika semua kandidat adalah orang-orang yang buruk, namun salah satu diantara dua kandidat lebih ringan keburukannya sebagaimana telah saya sebutkan mengenai kondisi adanya dua kandidat kafir dimana salah satunya lebih didukung karena ditidak membahayakan dibanding kandidat lain yang keras dan memusuhi kaum Muslimin. Jika keadaannya demikian, maka ditoleransi untuk mengikuti Pemilu dalam rangka menerapkan kaidah “mengambil yang paling ringan diantara dua bahaya dalam rangka melepaskan diri dari bahaya yang paling besar” [selesai]
Keenam: Fatwa Syaikh Abdurrahman Al Barrak
Sebagai jawaban atas pertanyaan: “apa hukum Pemilu dan hukum mengikutinya? Apa hukum masuk parlemen?”
Beliau menjawab: “Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya semua. Amma ba’du. Pemilu yang terjadi di beberapa negara Muslim, baik untuk memilih pimpinan negara atau anggota parlemen, atau dewan rakyat atau apapun istilahnya, ini adalah perkara yang berasal dari luar kaum Muslimin. Ini kebiasaan yang diambil dari kaum kafir, yang dikarenakan pengambil-alihan kekuasan negeri-negeri Muslim oleh orang kafir. Juga disebabkan oleh banyaknya kaum Muslimin yang terkagum-kagum dengan metode orang kafir. Padahal metode-metode tersebut bertentangan dengan akal dan syariat. Karena mendukung kandidat yang akan dipilih dengan cara Pemilu itu standarnya hanya berupa materi yang bersumber pada hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan manusia. Selain itu, dengan rusaknya metode ini, maka yang terpilih nanti pada hakikatnya tidak mewakili umat. Karena tujuannya bukanlah memilih pemimpin negara, namun sekedar memilih kandidat yang mencalonkan diri. Lalu putusan pilihan yang terjadi dibangun berdasarkan propaganda-propaganda. Propaganda siapa yang paling kuat, dan klaim siapa yang paling hebat, dialah yang menang”.
Lalu para pemilih dalam Pemilu yang dilandasi oleh banyaknya suara ini, terdiri dari berbagai tingkatan dan golongan masyarakat. Ini artinya antara orang yang pandai dengan orang tidak pandai disamakan, ulama disamakan dengan orang bodoh, pria disamakan dengan wanita. Disamping itu terkadang penghitungan suara tidak bersih, karena adanya risywah (suap) dan janji-janji yang memiliki pengaruh yang besar. Inilah yang terjadi di negara-negara yang mengusung kebudayaan demokrasi sebagai patokan benar-salahnya perkataan mereka. Dan demokrasi ini pun merupakan asas dari agenda Pemilu.
Adapun negara-negara yang mengikuti jejak negara-negara Islam Arab, tidak ada Pemilu yang terjadi di sana secara denotatif maupun konotatif. Pemimpin adalah pemimpin, yang dipilih oleh 99% suara atau lebih. Dan semua pemilihnya adalah orang-orang dari umat yang memang memiliki hak pilih yaitu para ilmuan dan para ulama dan para tokoh yang memperbaiki umat serta orang-orang yang senantiasa menasehati umat. Juga para peneliti yang ahli dalam bidang-bidang yang mendukung kebaikan umat baik dalam hal dunia maupun agama.
Dan dalam permasalahan-permasalahan lainnya di bidang sosial dan politik, mereka ini tidak memiliki pengaruh dalam Pemilu. Mereka termasuk orang-orang yang terpental, tidak diperhitungkan dan tidak dianggap suaranya (pendapatnya). Atau, mereka ini tenggelam dan tidak memiliki pengaruh di tengah lautan suara mayoritas dari para pemilih yang berasal dari kelompok dan tingkatan di masyarakat.
Dari sini jelaslah bahwa Pemilu ini sangat-sangat jauh dari sifat pemilihan seorang pemimpin, yang telah ditetapkan dalam hukum-hukum kepemimpinan dalam Islam. Kemudian syarat-syarat orang yang menjadi pemilih dalam Pemilu ini bertentangan dengan kebanyakan syarat yang benar dalam pemilihan imam yang Islami, yang ditetapkan kepemimpinannya dengan pemilihan sebagaimana di bahas dalam ilmu fiqih Islam.
Dari semua penjelasan ini jelas sudah bahwa Pemilu ini adalah sesuatu yang berasal dari luar Islam yang batil. Sistemnya batil. Ini karena sifat-sifatnya mencocoki penyerupaan dengan orang kafir, sebagaimana sudah dijelaskan. Dan karena sistem ini ditopang oleh propaganda, jual-beli suara, dan klaim-klaim yang dusta, serta banyak penghasutan yang dilancarkan demi suara. Bahkan mereka memberikan suaranya pada kandidat yang cocok dengan hawa nafsu saja, tanpa menimbang akhlak dan keadaan agamanya.
Adapun hukum ikut serta dalam Pemilu, dan hukum masuk ke Parlemen, ini adalah perkara ijtihadiyah. Jika dipastikan adanya maslahah syar’iyyah yang lebih besar, dan dipastikan bisa mendukung kebenaran atau mengurangi keburukan dan kezhaliman, tanpa bersentuhan langsung dengan perkara maksiat atau menyetujui prinsip-prinsip kufur, atau menyetujui hukum-hukum thaghut yang menyelisihi syariat Allah, maka ikut serta dalam hal tersebut disyariatkan. Dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
{ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}
“bertaqwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Dan barangsiapa yang mengambil pendapat bahwa ikut serta dalam Pemilu itu akan mewujudkan maslahah tersebut dan mencegah mafsadah maka ia harus menyertainya dengan niat yang shalih. Dan siapa yang mengambil pendapat belum adanya maslahah yang kuat dan merasa khawatir untuk terjerumus dalam kebatilan, maka tidak mengapa baginya untuk meninggalkan semua golongan-golongan tersebut. Dan ia mengupayakan nasehat bagi Allah Ta’ala, bagi Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan kaum Mu’minin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى، وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِه،ِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka mengupayakan nasehat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. At Taubah: 91).
Demikian yang bisa saya sampaikan. Wallahu Ta’ala A’lam. [selesai]
Sumber: http://albarrak.islamlight.net/index…=view&id=10880
Syaikh Al Barrak hafizhahullah juga menjawab pertanyaan berikut:
- Soal:
Bagaimanakah pendapat ulama para pemimpin agama ini, pembimbing kaum muslimin dan ulama mereka -semoga Allah menjaga mereka- dalam hukum memberikan suara dalam pemilu di Irak, yang akan diselenggarakan di penghujung akhir tahun masehi ini? Perlu diketahui bahwasanya pemilihan umum ini adalah pemilihan untuk menentukan anggota majelis konstitusi Irak tahap akhir. Dan para calon ini akan membuat undang-undang yang akan diterapkan di pelosok negara ini. Dan pihak yang menang akan membuat peraturan yang menguntungkan bagi kelompoknya atau kepentingannya atau untuk memperkuat kedudukannya di negara ini. Kadang para anggota dewan ini menguatkan beberapa peraturan untuk menguatkan pihak dan mazhab tertentu di antara yang lain. Dan inilah yang diancamkan oleh rafidhah dan didukung penuh oleh Iran secara personil dan finansial. Mungkin juga pada anggota dewan ini menerapkan pemisahan agama dari pemerintahan bahkan memerangi agama. Dan diketahui pula bahwa akan ikut dalam majelis ini para anggota muslim dari kalangan ahlus sunnah. Dan banyak dari kalangan ahlus sunnah yang tidak ingin berpartisipasi di dalam pemilihan umum ini yang mana akan melemahkan eksistensi mereka, maka apakah hukum memberikan suara dalam pemilihan umum ini, apakah ia wajib, disenangi (sunnah) ataukah sekedar boleh, dibenci (makruh) atau bahkan haram?
Dan apa hukumnya seorang wanita untuk ikut dalam pemilihan umum tanpa mahram dan tanpa jaminan aman dari ikhtilath? Sifat seperti apakah yang harus dimiliki oleh calon yang boleh kita pilih untuk majelis ini? Berikanlah keterangan kepada kami dan penjelasan rinci dengan dalil agar menambah keyakinan kami dengan jawaban yang Anda berikan, semoga Allah menjaga anda.
- Jawab:
Alhamdulillah washsholaatu wassalaamu ‘ala roasuulillah wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’in wa ba’du
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dengan segenap kemampuan kalian” (QS At Taghabun 16).
Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (QS Al Maaidah 2).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah maka Allah akan menolong kalian” (QS Muhammad: 7).
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penolong-penolong bagi Allah” (QS Ash Shaff: 14)
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah, hendaknya setiap muslim mengerjakan apa yang Allah wajibkan atas dirinya: bertakwa, membantu agama Allah, dan saling membantu dalam mengerjakan amal baik dan ketakwaan dengan segenap kemampuan yang dia miliki. Dan sudah selayaknyalah dia berbuat kebaikan dan perbaikan dengan apa yang dia mampu: apakah dia bisa memperbanyak kebaikan, atau meringankan keburukan yang ada.
Tidak diragukan lagi bahwa peraturan undang-undang yang diletakkan negara yang menisbatkan kepada Islam sudah tidak lagi mengindahkan apa yang telah mencocoki dan ditetapkan dalam hukum-hukum syariat, akan tetapi undang-undang tersebut hanya memperhatikan keuntungan orang-orang yang menetapkannya atau golongan-golongan yang bersama mereka. Undang-undang tersebut juga memihak hawa nafsu kebanyakan manusia di negara tersebut atau negara-negara kafir semacam yahudi atau nasrani dan negara musyrik lainnya yang memiliki pengaruh terharap negara-negara lain.
Sedangkan ikutnya sebagian kaum muslimin dalam meletakkan peraturan dan undang-undang ini, tujuannya adalah untuk meringankan keburukan yang mungkin lebih besar jika tidak ada orang yang ikut dalam peletakan undang-undang. Maka tidak ikutnya kaum muslimin dalam meletakkan undang-undang akan memberikan ruang untuk orang-orang munafik, pelaku bid’ah, dan pelanggar syariat lainnya untuk menguatkan ancaman mereka sehingga tersebarlah ide-ide dan tindakan mereka yang memerangi islam dan kaum muslimin. Dengan demikian maka selayaknyalah ada dari kaum muslimin yang ikut dalam peletakan undang-undang untuk Irak. Dan ikut memilih calon dewan termasuk upaya untuk mewujudkan tujuan yang jelas: mencegah bahaya yang lebih besar dan mewujudkan kebaikan dengan kemampuan yang ada. Yang lebih menggembirakan, bahwasanya tidak terlarang untuk wanita untuk memberikan suaranya sehingga dia bisa memilih orang yang dikenal ilmu dan agamanya untuk menolong islam dengan keteguhan hati dan kuatnya hujjah. Karena ikutnya wanita dalam memberikan suara saat ini adalah kekuatan untuk memenangkan kebenaran dan menguatkannya di atas lawan-lawannya. Akan tetapi, ini harus dengan memperhatikan adab-adab yang telah digariskan Islam untuk para wanita, dan memperhatikan rambu-rambu yang tidak boleh diterobos seperti ikhtilath (bercampur baurnya pria dan wanita) dan berdesak-desakan dengan pria. Dan boleh bagi wanita untuk ikut serta dalam memberikan suara bila dia bisa mewakilkan suaranya kepada orang yang valid untuk memilih.
Dan wajib untuk memilih dengan niat di atas (menolak bahaya yang lebih besar, ed) orang-orang yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah dan memahami firmanNya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah”. (QS. Al An’am: 57)
Wajib atas orang terpilih untuk meluruskan dan memurnikan niat dan tindakannya hanya karena Allah dan bersungguh-sungguh untuk meringankan bahaya. Dan hendaknya dia tidak mencari keuntungan dunia atau kemuliaan di mata manusia. Dan juga wajib atasnya untuk berlepas diri dari semua keputusan batil yang ditetapkan karena dia tidak mampu untuk mencegahnya. Dan bukanlah termasuk hal yang bijaksana membiarkan ahlul batil menentukan perkara dan membiarkan tipu muslihat mereka sedangkan mereka tidak mendapatkan adanya pertentangan dari para ahlul haq. Bahkan seandainya ada dua orang kafir sebagai calon, yang satu damai dengan kaum muslimin sedang yang satu sangat keras permusuhannya terhadap kaum muslimin, maka wajib memilih yang pertama untuk mencegah bahaya orang kedua. Sebagaimana itu pula kita katakan perihal orang-orang dicalonkan untuk bertugas membuat peraturan atau undang-undang negara, atau suatu provinsi. Maka selayaknyalah untuk kaum muslimin untuk berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah kerusakan atau setidaknya meringankannya. Dan Allah ta’ala-lah yang mengetahui maksud setiap orang. Wallahu a’lam
http://albarrak.islamlight.net/index…=view&id=10880
Ketujuh: Fatwa Syaikh Shalih Al Luhaydan
Atas jawaban beliau terhadap pertanyaan berikut:
- Penanya: “Semoga Allah memberkahi Anda wahai Syaikh dan membalas kebaikan Anda. Kami di Aljazair akan mengalami hari-hari ini untuk pemilihan anggota parlemen. Dan kita mengetahuinya secara syariat bahwa hal ini adalah hal yang asing – tidak terdapat tuntunannya di dalam Islam.”
- Syaikh: “Benar, benar. lalu apa permasalahannya?”
- Penanya: “Sekarang ada beberapa kelompok yang menyelisihi pemerintah dan ingin mengambil alih pemerintahan. Jika kami tidak ikut pemilihan umum, mungkin saja golongan-golongan yang membahayakan dakwah sunnah ini akan naik ke pemerintahan. Menimbang keadaan seperti ini, bolehkah kami ikut dalam pemilu bersama pemerintah?”
- Syaikh: “Perhatikan, jika ada kelompok yang kalian khawatirkan andaikan mereka menang mereka akan membahayakan, maka pilihlah lawannya”.
- Penanya: “Kelompok yang bersama pemerintah itulah insya Allah yang memiliki kebaikan”
- Syaikh: “Jika nampak mana kelompok yang lebih baik, maka berikan suara kalian untuknya”
- Penanya: “Maksudnya kelompok yang bersama pemerintah, insya Allah?”
- Syaikh: “Saya tidak tahu, kalianlah yang harusnya memperhatikan mereka dalam masalah ini mana kelompok yang lebih baik, maka berikanlah suara kalian untuk mereka. Cukup”
Sumber: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=280476.
Kedelapan: Fatwa Syaikh Abdullah Al Ubailan
Sebagaimana dalam pertanyaan berikut
Penanya: “Sebentar lagi di negeri kami Aljazair akan dilaksanakan pemilihan umum. Apakah boleh bagi kami ikut dalam pemilihan umum tersebut karena kartu pemilih kami menjadi syarat untuk beberapa jenis perjanjian seperti jual beli kendaraan dan semacamnya. Semoga Allah memberkahi Anda”
- Jawab: “Pilihlah siapapun yang kalian yakin bahwa dengan terpilihnya orang tersebut akan membawa kebaikan untuk kaum mulimin. Ini jika meninggalkan Pemilu adalah hal yang tidak mungkin anda lakukan. Jika tidak demikian keadaannya, maka urusan ini adalah kebebasan untuk anda. Wallahu a’lam”
Sumber: http://www.obailan.net/news.php?action=show&id=149
Kesembilan: Fatwa Syaikh Washiullah Abbas
Dalam jawaban atas pertanyaan yang disampaikan kepada beliau pada tanggal 12/1/2007 berikut ini teksnya:
- Pertanyaan dari Amerika
“Mengenai hukum ikut pemilu (bukan hukum ikut mencalonkan diri), yaitu memberikan suara untuk sebagian kandidat, karena dianggap ada maslahah bagi kaum Muslimin. Namun ini bukan pada Pemilu Federal (yaitu Pemilu besar), melainkan pada Pemilu regional, yang bisa memberikan kebaikan berupa diberikannya beberapa bangunan yang tidak terpakai untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Jika kaum Muslimin tidak ikut bersuara, maka suara akan dikuasai selain mereka, sehingga mereka lah yang mendapatkan maslahah tersebut. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai Syaikh, andai engkau memberi nasehat bagi kami dalam perkara ini”.
- Syaikh menjawab:
Demi Allah, yang nampak lebih tepat bagi saya insya Allah, jika dibalik pemberian suara terhadap salah seorang kandidat ini diharapkan adanya kebaikan, maka kita pilih kandidat tersebut. Walaupun ia kafir, selama ia mau mengusahakan maslahah kaum Muslimin atau ia dianggap mendukung maslahah kaum Muslimin. Tidak semestinya seseorang melarang kaum Muslimin memilih dia. Lebih khusus lagi jika ada syarat-syarat yang disampaikan pemimpin kaum Muslimin kepada kandidat tersebut. Misalnya, ia mengatakan, “kami pilih anda dengan syarat anda bersama kami dan memperhatikan urusan-urusan kami dan mendukungnya”. Dan ini tidak hanya untuk Amerika saja, bahkan untuk semua negara yang kaum Muslimin minoritas di sana. Terkadang perlu untuk menyerahkan tangan dan berbuat baik kepada para wakil rakyat semisal tadi dalam perkara ini, sehingga mereka mau mengerjakan tugasnya sebagai wakil rakyat untuk kemaslahatan kaum Muslimin.
Apa yang anda paparkan bahwa pertanyaan anda khusus mengenai Pemilu Regional yang menjadi penentu atau orang yang menang Pemilu bisa menentukan pemberian sebagian bangunan untuk digunakan menjadi sekolah, maka aku pun sudah mengetahui hal ini bahkan ini juga ada di India. Dan untuk kasus semisal ini sudah semestinya kaum Muslimin benar-benar tidak menunda untuk memberikan suara mereka. Jangan lagi menunda. Saya katakan demikian, karena kaum Muslimin jika tidak memberikan suaranya, itu tidak membahayakan para kandidat. Dan mereka pun akan tetap dengan sistemnya non-Muslim juga.
Maka sudah semestinya kaum Muslimin mengulurkan tangan untuk memilih para kandidat tersebut sehingga mereka memberikan manfaat dengan kecenderugan mereka dan kecenderungan pendapat mereka untuk menyokong urusan kaum Muslimin. Dan ini juga bukan karena maslahah kaum Muslimin secara umum insya Allah kami tidak berpendapat demikian.
Dan para Masyaikh kami di India juga memfatwakan demikian. Bahkan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, berdasarkan yang kami dengar, beliau memfatwakan bolehnya ikut serta dalam Pemilu atau semisalnya kepada sebagian ikhwan. Maka demikianlah insya Allah, kami mengharap kepada Allah, ini dapat mendatangkan kebaikan bagi kaum Muslimin di setiap negeri. Jika memang perkara ini mendatangkan kebaikan maka, jangan tunda lagi.
- Penanya: “jazaakumullah khayran. Untuk menyempurnakan faidah ini wahai Syaikh, ada yang mengatakan bahwa ikut serta dalam Pemilu ini berarti ikut serta mendukung orang yang berhukum dengan selain hukum Allah”.
- Syaikh menjawab:
Ini bukan mendukung orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, karena jika kita tidak memberikan suara, para kandidat tersebut pun akan tetap demikian keadaannya, tanpa diragukan lagi. Maka sama saja, jika kita tidak peduli dengan mereka sama sekali, atau kita tidak peduli dengan dunia sama sekali, mereka akan tetap berhukum dengan hukum mereka sendiri. Maka ini bukan dalam rangka mendukung mereka menegakkan hukum selain hukum Islam. Mereka akan tetap berhukum dengan hukum tersebut baik kita (kaum Muslimin) memberikan suara ataupun tidak. Jika demikian, sesungguhnya kita ikut memilih mereka dalam rangka mewujudkan maslahah Islam dan kaum Muslimin, insya Allah.
- Penanya: “jazaakumullah khayran, wahai Syaikh sudah bersedia menjelaskan panjang lebar kepada kami”.
- Syaikh: “jazaakumullah khayran. Saya dengan lapang dada saya mengatakan pendapat saya tersebut. Dan saya mendengar para masyarikh kami juga memfatwakan hal yang sama. Lebih khusus dalam kasus yang terkait maslahah kaum Muslimin. Dan ini juga terjadi di India, sebagian orang mengamalkan demikian. Sebagian penyembah berhala dan kaum Muslimin masuk ke parlemen untuk mendukung maslahah dan urusan mereka. Dan terkadang Allah menolong agama ini melalui sebab orang kafir juga”
Sumber: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=593638
Kesepuluh Fatwa Ahlul Ilmi di Markaz Al Imam Al Albani
Dari para guru kami yaitu Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Basim Al Jawabirah, Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, Syaikh Ali ibn Hasan Al Halabi, Syaikh Husain Al Awayisyah, Syaikh Ziyad Al Abadiy, ketika memberi penjelasan dalam “Fatwa Seputar Pemilu di Iraq yang Akan Berlangsung”. (Berikut ini teks fatwanya).
Alhamdulillah, washalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man walaah, amma ba’du.
Telah banyak pertanyaan yang masuk melalui “Markaz Al Imam Al Albani” seputar penjelasan hukum syar’i yang berkaitan dengan partisipasi dalam pemilu di Iraq. Hal ini karena secara khusus adanya keterkaitan dengan Jamaah Anshar As Sunnah di Iraq (sebuah faksi yang mewakili kelompok Sunni), dan secara umum yaitu adanya manfaat berupa perbaikan di Iraq dan pemerintahnya. Jawaban atas pertanyaan tersebut kami katakan, wa billahi taufiq :
Tidaklah samar bagi mereka yang mengamati kondisi di Iraq, tentang perlunya menolong ummat dari kejahatan musuh, dan bukanlah musibah itu seluruhnya bersumber dari hal ini (yaitu faktor eksternal saja), sebagaimana yang mereka kira! Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja yang menimpa kalian berupa musibah, itu disebabkan (perbuatan) tangan-tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura : 30)
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“Katakanlah (yaitu kepada yang bertanya dari mana musibah berupa kekalahan perang Uhud itu –pent), ‘Itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS Ali Imran : 165)
Oleh karena itu musibah terbesar yang tidak bisa lepas dari ummat Islam ini, ialah apa yang telah terjadi di bumi Iraq berupa kerusuhan dan musibah. Berupa kekuatan asing, dan tolong-menolongnya para pembela kebathilan terhadap mereka. Markaz Al Imam Al Albani, di tahun ini pula, telah menerbitkan beberapa fatwa yang mengingkari dan mengharamkan apa yang telah terjadi –dan sedang terjadi– di Iraq berupa upaya mencegah kekuatan asing, berupa pembunuhan, pengeboman yang membabi buta, tanpa membedakan apakah korbannya muslim atau bukan! Anak kecil maupun orang dewasa, kawan maupun lawan, laki-laki maupun perempuan, semua itu dengan label Islam dan kaum muslimin. Akhirnya melemahkan posisi Jamaah As Sunnah di Iraq, memecah belah persatuan diantara mereka, memecah langkah-langkah mereka, dan dalam pemilu yang telah lalu yaitu pada tahun 2005, menjadi kuatlah golongan-golongan selain mereka (yaitu dari musuh-musuh Jamaah As Sunnah).
Maka berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah seorang muslim terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali”, juga perkataan shahabat yang agung Abdullah Ibn Mas’ud, “Orang yang berbahagia ialah orang yang mendapat nasihat dari orang lain”, kami bertekad untuk mengamati kondisi yang sedang terjadi saat ini, menghubungkannya dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat, menguatkan salah satunya sesuai pertimbangan dalil syar’i, dan menerapkannya sesuai realita yang ada, kemudian menjelaskan secara syariat untuk menegaskan wajibnya berpartisipasi dalam pemilu di Iraq yang akan berlangsung ini. Dengan sebab kondisi khusus yang tengah terjadi di Iraq, situasi politiknya, dan harapan bahwa –dengan izin Allah– bendera Jamaah As Sunnah akan berkibar di Iraq, mempersatukan semua golongan, dan berdampak positif bagi seluruh negeri.
Semoga Allah merahmati seorang ulama kita yang berkata, “Bukanlah seorang faqih ia yang mengenali kebaikan dan keburukan. Akan tetapi faqih itu ialah ia yang mengenali yang terbaik diantara dua kebaikan, dan yang terburuk di antara dua keburukan”.
Maka kebaikan yang kita lihat bersama saat ini secara langsung, dan keburukan yang kita juga lihat bersama secara langsung ini, adalah kesungguhan Jamaah As Sunnah untuk berpartisipasi dalam pemilu yang akan datang, dengan ikhlas dan jujur, dan akan mempersatukan faksi-faksi yang ada, menampakkan syiar-syiar Islam kepada musuh-musuhnya, baik secara politik, aqidah, maupun sejarah yang telah masyhur dan menjadi saksi untuk tidak mengingkari wasiat kami ini secara umum kepada saudara-saudara kami di Jamaah As Sunnah, dan secara khusus bagi para penuntut ilmu, para da’i, para imam, para pemberi nasihat dan kebijakan, dari Ahlus Sunnah, nasihat kami kepada mereka adalah tetap membersamai dan mengiringi mereka, agar tidak timbul perselihihan politik, perpecahan antar faksi, dan nasihat dan arahan kami secara umum, untuk memilih person yang paling banyak maslahatnya bagi urusan dunia dan agama, paling sedikit mafsadatnya bagi Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufiq.
Semoga Allah memberikan shalawat, salam, dan memberkahi nabi kita Al Amin, dan semoga tercurah juga kepada para shiddiqiin, Khulafa Ar Rasyidin, istri-istri Nabi yang juga ibu bagi kaum beriman, seluruh sahabat Nabi, dan seluruh manusia. Kami akhiri seruan kami, dan segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.
Lajnah Da’imah di Markaz Imam Al Albani
Selasa, 4 Ramadhan 1429 H
Kesebelas: Fatwa Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
Ketika beliau menjawab pertanyaan pada pengajian pagi di hari Sabtu pagi tanggal 7/2/2009.
- Soal:
Apakah boleh berpartisipasi dalam pemilu, dengan maksud menolak bahaya yang lebih besar, dengan menggunakan sarana yang lebih kecil bahayanya?
- Jawab:
Ya boleh, apabila memang ada dampak syar’i di dalamnya. Dan telah aku sebutkan kepada kalian, kaidah fiqh al manhiyu ‘anhu syar’an laa yu’amilu muamalat al ma’duumi hissan, kaidah bahwa sesuatu yang diharamkan oleh syariat, apabila dibenturkan dengan lawannya maka keharamannya tidaklah terpengaruh (catatan : contoh kaidah ini adalah, hukum lewat di depan orang yang shalat itu haram. Namun apabila shalatnya ternyata tidak sesuai tata cara yang benar, apakah lewat di depannya boleh? Jawabnya, tetap haram –pent). Seandainya perkaranya seperti demikian (yaitu dilihat dari kaidah bahwa pemilu secara syariat adalah terlarang –pent), maka kaidah irtikaabu akhaff ad dhararain, memilih yang paling ringan diantara dua keburukan, menjadi tidak berlaku, bahkan tidak ada.
Contohnya, saudara-saudara kita di Iraq –kita berharap kepada Allah agar menyegerakan kebebasan bagi mereka, memerdekakan negeri mereka, mengembalikan kemakmuran mereka, dan membersihkan negeri mereka dari bahaya Syi’ah yang tercela– ketika mereka memboikot pemilu ternyata mereka akhirnya dikuasai oleh seburuk-buruk makhluk (yaitu Syi’ah), padahal seorang Sunni yang ahli maksiat lebih baik dari seorang Rafidhi yang hina.”
Syaikh kami Masyhur juga menjawab pertanyaan pada dars di hari Sabtu tanggal 14/2/2009, dengan pertanyaan : “Apakah hukumnya berpartisipasi dalam pemilu di Iraq yang akan diadakan untuk memilih anggota parlemen provinsi?”
- Jawab :
Ketika kita melalui pemilu yang pertama (pada tahun 2005 –pent) dan saudara-saudara kita telah memboikot Pemilu tersebut, maka Syi’ah (melihat pemboikotan tersebut) sangat bergembira. Karena dengan itu mereka bisa mengendalikan seluruh institusi dan menguasai ahlus sunnah dengan sangat jahat. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa apabila terdapat kebaikan dalam pemilu, atau (dengan pemilu tersebut) dapat meringankan sebagian keburukan, maka hal tersebut termasuk dalam kaidah irtikaabu akhaff adh dhararain au mafsadatain, memilih yang paling ringan diantara dua keburukan atau dua kejelekan. Yaitu bahwasanya memilih seorang ahlus sunnah meskipun dia fasiq, itu lebih utama daripada menyerahkan urusan negara pada seorang Syi’ah. Dan sebelum kejadian ini, saudara-saudara kalian di negeri ini (Yordania) telah berkunjung ke sebagian saudara-saudara kita di Iraq, dan membahas bersama mengenai perkara ini hingga mereka pun berlapang dada untuk berpartisipasi dalam pemilu, dalam rangka meraih kemaslahatan syar’i. Hal ini telah disetujui pula oleh para cendekiawan yang memahami realita kondisi di Iraq. Maka apabila mereka memang berada di atas al haq dengan keputusan mereka, maka alhamdulillah. Adapun jika mereka salah, maka mereka mendapatkan pahala atas ijtihad mereka. Adapun sebagian saudara kita yang tidak ikut serta dalam Pemilu, mereka itu sibuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, namun mereka mendesak kepada seluruh ahlussunnah agar hanya memilih kandidat yang ahlussunnah.
Kedua belas: Fatwa Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi
Ketika menjawab pertanyaan berikut ini : “Merujuk pada fatwa sebagian ulama dan masyaikh yang membolehkan rakyat Iraq untuk masuk dan mencalonkan diri dalam pemilu di Iraq, apakah Anda berpendapat bahwa fatwa seperti ini akan membuka pintu bagi para hizbiyyin yang membolehkan mereka masuk dalam parlemen dan mencalonkan diri dalam pemilu, dengan alasan kaidah ad dharuratu tubihu al makhdhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang) ?
- Jawab :
Kondisi di Iraq amatlah rumit dan kompleks. Melihat hasil pemilu yang telah lalu, kami melihat realita apa yang telah terjadi di sana. Kami merujuk pada fatwa di Markaz Al Imam Al Albaniy yang membolehkan Pemilu, lengkap dengan syarat-syarat dan batasan-batasan dalam hal tersebut. Kemudian kami juga merujuk fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri yang juga membolehkan hal tersebut. Maka aku melihat bahwa perkaranya amatlah pelik, ada banyak maslahat maupun mafsadat di dalamnya. Masing-masing tidak dominan atas yang lain, dan masing-masing tidak menutup kemungkinan bagi yang lain (yaitu maslahat dan mafsadatnya sama berimbang).
Sumber http://www.almenhaj.net/makal.php?linkid=%202395
Berkata pula Syaikh kami Ali Al Halabi, menjawab pertanyaan pada channel TV Ar Rahmah di tahun 2009. Pertanyaan : “Pemilu di Iraq wahai Syaikh Ali, apa pendapat Anda tentang hal ini?”
- Jawab :
Pemilu di Iraq, sebenarnya telah kami diskusikan dengan para penuntut ilmu, juga telah kami diskusikan dalam waktu yang lama dengan sebagian saudara-saudara kami penuntut ilmu di Iraq. Maka kami berpendapat bahwa perkaranya terkait dengan maslahat dan mafsadat. Bahwasanya hukum (undang-undang) akan disusun oleh orang-orang yang menentang dan membantah Ahlus Sunnah, sebagaimana yang telah terjadi pada Pemilu yang lalu. Inilah dampak negatifnya. Oleh karena itu kami membolehkan pemilu ini dalam rangka meraih kemaslahatan. Dan ini bukanlah pendapat pribadi kami, bukan pula pendapat saudara-saudaraku di Yordania saja –yaitu para masyaikh Yordania–, akan tetapi ini merupakan hasil diskusi dengan penuntut ilmu yang telah ma’ruf di Iraq sendiri.”
Ketiga belas: Fatwa Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri
Menjawab pertanyaan sebagai berikut.
- Soal :
Bismillahi, washalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wahai Syaikh kami yang mulia, di Iraq akan digelar pemilu untuk memilih parlemen provinsi, yang tidak terkait dengan pemilu politik yang diadakan di akhir tahun ini. Pemilu ini adalah untuk memilih anggota parlemen yang ikut menentukan permasalahan di provinsi. Maka jika orang-orang ikut dalam pemilu ini, niscaya tujuan dan kepentingan mereka akan terjaga di provinsi, seperti : permasalahan kemanusiaan, perbedaan antar sekte, dan urusan lainnya. Maka apa pendapatmu apabila kami masuk pemilu, wahai Syaikh yang mulia?
- Jawab :
Bismillahi walhamdulillahi washallallaahu wa sallamu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in. Aku memohon kepada Allah Al Karim, Rabb ‘arsy yang agung, agar mempersatukan rakyat Iraq pada umumnya, dan tokoh-tokoh mereka, di atas hal yang diridhaiNya, baik ridha bagi hamba maupun negeri, yaitu dengan bersatu di atas Al Islam dan As Sunnah. Dan aku memohon agar Allah memperbaiki negeri kita dan negeri-negeri Islam lainnya, dari segala macam hal yang dibenci dan dapat merusak agama, kehormatan, jiwa atau selainnya yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk dijaga.
Pemilu merupakan salah satu perkara yang disisipkan ke dalam masyarakat Islam. Ini bukanlah termasuk dalam syariat Muhammad, akan tetapi merupakan buatan orang-orang yang terpengaruh dengan ideologi Barat atau selainnya dari jalan-jalan yang menyimpang dari agama Allah yang haq, baik dari sisi ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Maka pertama-tama kami sampaikan, bahwa kami mengingkari hal ini dengan hati kami, dan kami tidak merasa tenang dengan perkara ini (pemilu). Karena ini adalah bid’ah yang dimasukkan ke negeri-negeri Islam, oleh sebagian kaum muslimin yang menyimpang dan terpengaruh dengan kaum selain Islam, maka ia pun ikut-ikutan menerapkannya dan jadilah (pemilu itu di negeri Islam).
Maka setelah menetapkan hal ini, kami katakan :
- Pertama : Pada asalnya, tidak boleh untuk masuk dalam pemilu, kecuali dalam perkara darurat. Yaitu apabila dengan meninggalkannya akan membahayakan perkara agama, dunia, atau keduanya.
- Kedua : Yang dimaksud dengan kondisi darurat ini diantara bentuknya:
Yakin atau berprasangka kuat bahwa kaum muslimin secara umum dan ahlus sunnah khususnya, tidak bisa terpenuhi hak-haknya apabila tidak ada perwakilan baik di parlemen daerah, maupun di parlemen pusat. Maka perlu bagi seorang atau beberapa orang dari ahlus sunnah untuk menguasai atau minimal masuk di parlemen daerah, maupun di parlemen pusat, apabila memang ia seorang ahlus sunnah, mampu berpolitik, dan kita berprasangka kuat bahwa jika ia berkuasa, akan terwujud kemanfaatan bagi ahlus sunnah khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya.
Apabila terlihat bahwa yang berkompetisi dalam pemilu, sama saja apakah itu pemilu provinsi, pemilu legislatif pusat, atau pemilu presiden, diikuti oleh dua atau lebih kandidat, misalnya antara pihak Rafidhah dan Sunni, maka aku menasihatkan kepada ahlus sunnah disana untuk memberikan suaranya kepada kandidat dari kalangan Sunni. Karena apabila Rafidhah menguasai suatu negara, akan timbul kerusakan baik bagi rakyat maupun negara. Dan ini akan menjadi pukulan telak bagi ahlus sunnah, minimal ini akan menjadi jalan bagi lahirnya tirani dan Syiah akan mengeksploitasi rakyat di negara tersebut.Kondisi lainnya : Apabila yang berkompetisi dalam pemilu presiden, adalah antara seorang yang memang kafir, atau seorang muslim yang berideologi dengan ideologi kufur yang mengeluarkan dari Islam, namun ini muqayyad (terikat dengan syarat) setelah ditegakkan hujjah kepadanya, (kandidat ini melawan kandidat) seorang muslim yang tidak nampak darinya melainkan kebaikan dan kebajikan, ia terkenal dengan akalnya dan baik politiknya. Maka ahlus sunnah di negara tersebut hendaknya memilih calon yang terbaik ini.
Apabila yang berkompetisi dalam pemilu presiden adalah seorang Sunni melawan seorang Rafidhi, atau seorang yang berideologi menyimpang, seperti Syiah, sekuler, Ba’ats, maka hendaklah yang dipilih adalah seorang yang Sunni.
Ringkasannya dalam dua poin berikut:
- Pertama: Kami bukanlah sedang menjadi da’i yang mengajak untuk berpartisipasi dalam pemilu di negara manapun secara mutlak. Bahkan yang lebih utama menurut kami adalah meninggalkannya, kecuali dalam kondisi darurat yang mengharuskan ikut di dalamnya, dan telah kami sebutkan bentuk-bentuk kondisi daruratnya.
- Kedua: Bahwasanya apabila ahlus sunnah khususnya, dan kaum muslimin umumnya, merasa yakin bahwa jika mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu, di negara manapun, maka hak-hak mereka tidak terpenuhi apabila mereka tidak ikut pemilu. Dalam kasus ini kami berpendapat bahwa mereka harus ikut dalam pemilu. Dalam rangka merealisasikan maslahat, memenuhi hak-hak mereka, dan memungkinkan mereka untuk mengambil apa yang memang menjadi hak mereka.
Timbul pertanyaan dari sebagian ikhwan sebagai konsekuensi fatwa ini: Bahwasanya fatwa kami ini bertentangan dengan nasihat kami sendiri untuk kaum muslimin secara umum, dan ahlus sunnah khususnya di Iraq, untuk tidak berpecah belah setelah adanya fitnah!
Maka jawabnya: Kami masih berpegang dengannya, kami memang berfatwa seperti itu, fatwa kami adalah nasihat bagi putra-putra kami di Iraq agar tidak berpecah dalam partai-partai dan gerakan-gerakan. Kami tidak menyeru dengan perkataan kami kepada yang demikian itu (yaitu perpecahan). Imam-imam dari ahlus sunnah wal jamaah berada di atas jalan tersebut, dan diantara dalilnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah, dalam hadits yang panjang, “Maka berpeganglah pada jamaah kaum muslimin dan imam-imam mereka. Hudzaifah berkata, ‘Jika tidak ada jamaah dan tidak ada pula imam?’. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Maka keluarlah dari semua golongan itu” (HR Al Bukhari). Rincian fatwa ini telah kami terangkan dalam berbagai majelis, dan juga telah tersebar di sebagian website, siapa yang ingin membaca silahkan merujuk ke website tersebut.
Adapun fatwa kami dalam masalah pemilu, maka setiap orang yang berakal dan cerdas akan mampu mengambil apa yang dilempar dan ditujukan kepadanya, yaitu masalah penjagaan maslahat kaum muslimin secara umum dan ahlus sunnah secara khusus. Ketika ada kompetisi dalam memperebutkan suatu lembaga, apakah itu majelis umum, atau selainnya, dan itu diikuti oleh semua golongan, baik yang mustaqim (yang lurus) maupun dari kalangan munharif (yang menyimpang), seperti Rafidhah, Syi’ah, Ba’ats. Maka dalam rangka mencegah kerusakan dan menjauhkan mereka agar menguasai suatu lembaga kemudian melakukan pengrusakan kepada rakyat dan negara, kami menyerukan kepada ahlus sunnah untuk memberikan suara kepada kandidat yang menjaga agama, amanah, baik politiknya, atau memberikan suara kepada kandidat yang mampu memenuhi dan merealisasikan kemaslahatan, memenuhi hak-hak rakyat, dan mampu mencegah keburukan atas suatu negeri dan rakyatnya.
Inilah ijtihad kami, kami memohon kepada Allah agar menjaga negeri Iraq, mengumpulkan tokoh-tokohnya dan rakyat secara umum, kepada apa yang diridhai Allah kepada hambaNya dan negeriNya, yaitu di atas Al Islam dan As Sunnah. Shallallaahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa ashabihi ajma’in.
Dikeluarkan oleh ‘Ubaid ibn Abdullah ibn Sulaiman Al Jabiri, dosen Jami’ah Al Islamiyah, ba’da Isya pada hari Senin 29 Muharram 1430 H, bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2008. Wa billahit taufiq.
Sumber : http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=364968
Keempat belas: Fatwa Syaikh Falih Al Harbi
(pengajar di Universitas Islam Madinah selama lebih dari 20 tahun –pent),
Yang berfatwa bolehnya berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan presiden. Fatwa ini dikeluarkan atas pertanyaan tentang hukum memilih partai penguasa incumbent dengan alasan taat kepada ulil amri dan menghindari perselisihan. Jawaban atas pertanyaan berikut :
- Penanya: “Beberapa hari ke depan akan dilangsungkan pemilu legislatif, dan ada suatu partai yang mencintai dakwah salafiyah dan tidak menginginkan dengannya kecuali kebaikan. Dan kami pada asalnya sepakat bahwa (pemilu) adalah sesuatu yang sama sekali bukan berasal dari Islam. Akan tetapi dalam rangka darurat, apakah boleh wahai Syaikh, kami memberikan suara untuk partai yang menguasai pemerintahan karena selama ini telah memberikan jalan bagi dakwah salafiyah untuk berkembang?
- Syaikh: “Tidak, tidak, tidak boleh bagimu memberikan suara. Pertama, secara sistem ini bukanlah sistem Islam. Kedua, dengan sistem demikian, jika anda memberikan suara pada partai oposisi maka seolah-olah anda telah melepaskan ketaatan pada ulil amri. Dan agama tidak membolehkan anda demikian. Oleh karena itu jika demikian adanya, anda sebetulnya tidak punya pilihan. Kecuali ada kebebasan untuk tidak memberikan suara. Jika tidak ada di dalamnya suatu bahaya apabila kalian tidak memberikan suara untuk partai pemerintah yang sedang aktif memerintah, maka anda bebas. Namun jika ada bahaya di dalamnya (yaitu dipaksa untuk memilih, pent.), dan jika maksud kalian untuk memilih adalah memberikan faidah dari partisipasi suara kalian, atau kalian terikat peraturan untuk wajib memberikan suara, maka berikanlah suara untuk penguasa incumbent atau untuk partai pemerintah. Jadi anda memberikan suara untuk penguasa yaitu penguasa incumbent yang anda berada dalam pemerintahannya sekarang”.
- Penanya: “Syaikh, kami ingin menjelaskan kepada anda suatu masalah, yaitu kami tidak diwajibkan untuk memberikan suara”.
- Syaikh: “Terkadang dengan kalian tidak memberikan suara untuk partai pemerintah justru akan berbahaya bagi pemimpin kalian, berbahaya bagi penguasa kalian, berbahaya bagi pemerintah kalian. Jika keadaannya demikian, maka berikanlah suara kepada penguasa incumbent. Jangan bersuara untuk menggulingkan penguasa atau melepas ketaatan kepada waliyul amri.”
- Penanya: “Wahai Syaikh, pemilu yang dimaksud adalah pemilu presiden atau pemilu legislatif?”
- Syaikh: “Termasuk juga pemilu parlemen, karena pemilu parlemen berkonsekuensi di dalamnya ada anggota-anggota yang menentukan undang-undang yang berlaku.”
Sumber: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=280476
Kelima belas: Fatwa Syaikh Ahmad ibn Yahya An Najmi rahimahullah
Ketika ditunjukkan kepada beliau ringkasan fatwa Syaikh Falih Al Harbi, maka beliau menegaskan dan mendukung dengan perkataan, “Menurutku ini bagus, tidak mengapa, yaitu ‘ala kulli haal selama Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkanmu dengan lisan RasulNya untuk taat pada waliyul amri, dan engkau bermaksud untuk menaati waliyul amri, maka tidak ada larangan (untuk memberikan suara dalam pemilu) kepada penguasa incumbent, dengan pertimbangan yaitu dalam rangka menaati penguasa incumbent, yang mereka memiliki hak untuk didengar dan ditaati.
Demi Allah, pada hakikatnya bahwa perkataan Syaikh Falih Al Harbi yang membolehkan hal ini, adalah bukan dalam rangka membolehkan suatu hal yang memang boleh, akan tetapi membolehkan dalam kondisi terpaksa” [selesai].
Keenam belas: Dan yang terakhir, Syaikh Rabi’ bin Haadi Al Madkholi hafizhahullah
Beliau menisbatkan pendapatnya kepada Syaikh Al Albani, Syaikh Shalih Al Luhaidan dan para ulama selain keduanya. Sesungguhnya mereka di dalam masalah pemilu parlementer memperbolehkan (jika ada kebutuhan) untuk ikut serta dengan syarat memilih pemimpin yang lebih baik. Sebagaimana Syaikh Rabi’ mengatakan didalam ceramah berjudul “Munaqasyah Faalih fii Qadhiyati At Taqliid”:
“Sesungguhnya Falih (Syaikh Falih Al Harbi) telah berfatwa bahwa wajib bagi umat manusia termasuk Salafiyyun dan ulama Al Azhar bahwa untuk memilih partai Jabhah At Tahrir (Partai Penguasa) dalam pemilu di Al-Jazair. Dan ulama Al Azhar menolak mengikuti fatwa ini, dengan sebab diantaranya:
Sesungguhnya ulama Al Azhar memandang mereka tidak perlu taklid kepada ulama semisal Syaikh Faalih, karena mereka pun (ulama Al Azhar) adalah para pembawa ilmu. Bahkan mereka terbina diatas manhaj salafush shalih.
Ulama Al Azhar dan saudara-saudara kita dari Salafiyyin memiliki pandangan yang berbeda dengan Syaikh Faalih namun sepakat dengan pendapat Syaikh Al Albani dan Syaikh Al Luhaidan dan selain keduanya dari para ulama’ yang berpendapat bahwa ketika ada kebutuhan, boleh memilih pemimpin yang lebih baik (dalam Pemilu).
Saya (‘Ammad Thariq) katakan, bahwa Syaikh Rabi’ hafizhahullah telah berfatwa kepada penduduk Irak pada tahun 2005 untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif yang telah ditetapkan pada tahun ini -sebagaimana aku mendengar sendiri fatwanya dari sebuah kaset dengan telingaku sendiri, dan dengan persaksian beberapa ikhwah- hanya saja beliau hafizhahullah berkata: “jangan kalian menisbatkan kepadaku fatwa bolehnya ikut pemilu, akan tetapi nisbatkanlah kepada Syaikh Al Albani dan ulama AlJazair”.
Kemudian Syaikh kembali lagi ke Irak setelah beberapa pekan dan beliau mengubah fatwanya (sehubungan dengan perubahan ijtihadnya) maka timbul perubahan fatwa kepada penduduk Irak yang isinya adalah melarang mereka ikut serta pemilu.
Pengambilan argumen kami dari sikap Syaikh Rabi’ ini ada dua poin:
Pertama: perkataan beliau hafizhahullah: “ulama Al Azhar dan saudara-saudara kita dari Salafiyyin memiliki pandangan yang berbeda dengan Syaikh Faalih namun sepakat dengan pendapat Syaikh Al Albani dan Syaikh Al Luhaidan dan selain keduanya dari para ulama’ yang berpendapat bahwa ketika ada kebutuhan, boleh memilih pemimpin yang lebih baik”, merupakan mengabaran bahwa beberapa ulama zaman ini berpendapat bahwa ketika ada kebutuhan, boleh memilih pemimpin yang lebih baik. Dan Syaikh hafizhahullah tidak memaparkan celaan terhadap para ulama yang berpegang pada pendapat ini.
Kedua: sesungguhnya permasalahan fatwa bolehnya berpartisipasi dalam pemilu parlementer atau melarangnya, adalah masalah yang merupakan turunan dari ijtihad ulama. Dan para ulama terkadang merajihkan pendapat bolehnya pemilu dan terkadang merajihkan pendapat yang melarangnya, dan juga terkadang memilih pendapat wajib, juga terkadang berfatwa kepada penduduk suatu negeri dengan selain fatwa-fatwa ulama yang lain. Juga terkadang berfatwa kepada penduduk sebuah negeri dengan fatwa sesuai dengan kondisi yang ada, dan merubah fatwanya ketika situasi berubah. Atau bisa jadi berubah karena perubahan deskripsi masalah dari kondisi yang ada. Dan ini semua wajar bagi para ulama ahli ijtihad.
Ringkasan dari paparan di atas
Sesungguhnya para ulama salafiyyin kontemporer yang mu’tabar hampir bisa dikatakan menyetujui untuk berpartisipasi dalam permilu parlementer ketika ada kebutuhan dengan syarat memilih kandidat yang lebih baik.
Hukum Pemilu / Pilpres (3) : Syubhat dan Sanggahannya
Sebagian orang berpendapat untuk mengharamkan secara mutlak ikut serta dalam Pemilu atau semacamnya. Mereka mencondongi pendapat tersebut karena adanya beberapa syubhat (kerancuan). Diantara syubhat-syubhat yang utama adalah:
Mafsadat mengikuti Pemilu lebih besar dari maslahah yang diharapkan darinya
Pendapat yang menyatakan disyariatkannya mengikuti Pemilu, ini seperti pendapatnya para hizbiyyun dan merupakan bentuk support terhadap mereka untuk mencalonkan diri dalam Pemilu
Fatwa-fatwa para ulama yang membolehkan Pemilu dengan batasan-batasan yang telah dijelaskan, itu tidak guna jika tidak muqayyad-kan (dikaitkan dengan keadaan riil)
Syubhat
1. Mafsadat mengikuti Pemilu lebih besar dari maslahah yang diharapkan darinya, maka tidak benar menyatakan hukumnya boleh secara mutlaq
Jawab:
Tanggapan terhadap syubhat dilihat dari beberapa poin:
- Pertama: tidak diragukan lagi, bahwasanya keikutsertaan dalam pemilu badan legistlatif (anggota DPR) menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang banyak, dimana kerusakan tersebut merupakan hal yang pasti terjadi dari pemilu, tidak bisa dipisahkan darinya. Kebanyakan kerusakan tersebut merupakan kerusakan yang parsial (sebagian) dalam ruang lingkup yang sempit. Kerusakan tersebut bisa terjadi pada orang yang yang memilih, atau orang yang dipilih.
Sebagaimana keikutsertaan di dalamnya juga mengharuskan timbulnya kebaikan (maslahat) yang luas dan menyeluruh, atau terhalangnya kejelekan (madhorot) yang luas dan menyeluruh. Kedua hal tersebut (timbulnya kebaikan dan terhalangnya kejelekan), bisa dari segi kesempurnaan, atau pendekatan.
Adalah hal yang diterima secara syar’i pernyataan Syathibiy dalam kitab al-Muwaafaqaat (1/139), “Sesungguhnya Allah meletakkan syari’at di atas dianggapnya kebaikan-kebaikan (masholih) dengan kesepakatan, dan penetapan dalam permasalahan ini, bahwa sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang dianggap ialah kebaikan-kebaikan yang bersifat menyeluruh (kulliy), bukan yang bersifat sebagian.”
Oleh karena itu kejelekan-kejelekan (mafaasid) yang bersifat parsial dan ruang lingkup terbatas ini, kalah jika berhadapan dengan kebaikan (maslahah) yang menyeluruh dan umum. Orang yang mengikuti pemilu (pemilih), kadang merugikan dirinya sendiri, dengan membawanya kepada fitnah-fitnah, dan penyelisihan-penyelisihan yang tidak bisa ditolerir secara syar’i. Namun, dengan masuknya dia ke dalamnya, akan mencegah sebagian kejelekan, atau menghasilkan sebagian kebaikan.
Oleh karena itu Syaikh Al Albani rahimahullah membolehkan mencoblos meski beliau mengetahui adanya mafsadat yang dipastikan mengenai orang yang masuk ke sana. Syaikh Al Albani mengatakan: “Maka apabila tidak memungkinkan bagi kita untuk menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri, baik dalam pemilu kecil atau besar, maka kita memilihnya. Kenapa? Karena disana terdapat kaidah Islam yang dibangun di atas landasan yang kokoh, bahwa kita mengatakan apa yang telah kita katakan: Jika seorang muslim dihadapkan kepada dua kejelekan, maka hendaknya dia memilih yang lebih sedikit kejelekannya. Tidak diragukan lagi bahwasanya keberadaan seorang kepala negara seorang muslim, dia pasti lebih sedikit kejelekanya – dan tidak saya katakan lebih baik – daripada keberadaan seorang kepala negara yang kafir atau atheis.
Akan tetapi, kepala negara tersebut telah membakar dirinya sendiri, dan dia tidak menyadarinya, karena ketika dia mencalonkan diri dengan seruan bahwa dia hendak meminimalisir kejelekan – dan kadang dia memang melakukannya – akan tetapi dia tidak menyadari bahwasanya dia telah membakar dirinya sendiri dari sisi yang lain. Maka permisalanya ialah seperti seorang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “permisalan seorang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, ialah seperti lampu (yaitu lampu teplok -pent) yang membakar dirinya sendiri namun menerangi sekitarnya”
Oleh karena itulah, saya membedakan antara mencalonkan diri dengan memilih. Jangan mencalonkan diri kita karena kita akan terbakar. Namun bagi yang enggan terhadap nasehat ini, ia lebih memilih membakar dirinya secara sedikit atau banyak, ia mencalonkan dirinya di dalam Pemilu, maka kita dalam rangka mencegah keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang kecil hendaknya memilih orang tadi, dan tidak memilih orang kafir atau orang sesat”.
Penanya: “wahai Syaikh, saya pahami dari perkataan anda ini bahwa dalam masalah Pemilu atau parlemen ini, memilih caleg yang ada disana, hukumnya boleh?”
Syaikh menjawab: “ya benar, namun dalam rangka mencegah keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil, bukan karena hal tersebut baik” [selesai perkataan Al Albani]
- Kedua: Ukuran kuatnya mafsadah dari maslahat, tidak bisa secara mutlak, umum, dalam semua kondisi. Bahkan, berbeda-beda sesuai dengan kuat / lemah masing-masing dari keduanya. Maka perbuatan yang sama, yang dibangun berdasarkan pertimbangan antara maslahat dan mafsadah, kadang hukumya mubah, kadang hukumnya wajib, dan bahkan bisa menjadi haram; sesuai dengan keadaan masing-masing. Bahkan, seorang mufti dalam masalah yang seperti ini (yaitu masalah yang dibangun di atas pertimbangan antara mashlahat dan mafsadah). Anda melihat seorang mufti kadang melarangnya, kadang memerintahkannya, dan kadang diam (tawaqquf) tidak memerintahkan dan tidak melarangnya. Hal tersebut sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (20/57-59), “bab ta’aarudh (pertentangan antara mashlahat dan mafsadah -pent) merupakan bab yang sangat luas. Lebih-lebih lagi dalam zaman dan tempat yang kurang padanya pengaruh ajaran Nabi dan pemerintahan (khilafah) nubuwwah, karena masalah ini banyak terjadi di situ. Semakin bertambahnya kekurangan tersebut, maka akan bertambah masalah ta’aarudh ini. Dan keberadaan hal itu merupakan sebab datangnya fitnah di tengah umat islam.”
Baca juga: Tentang pemilu: fatwa syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
Jika bercampur antara kebaikan dan keburukan, maka akan terdapat kesamaran dan saling keterkaitan. Maka sebagian kelompok kadang melihat kepada kebaikan, dan menganggap kebaikan tersebut lebih banyak (dibandingkan keburukannya -pent), walaupun kebaikan tersebut mengandung keburukan yang besar. Sebagian kelompok yang lain kadang melihat kepada keburukan, dan menganggap keburukan tersebut lebih banyak (dibandingkan kebaikan -pent), walaupun keburukan tersebut mengandung kebaikan yang besar.
Dan kelompok yang bersikap pertengahan, mereka melihat kepada dua sisi. Yang terkadang belum jelas bagi mereka, misalnya karena banyaknya masing-masing sisi keburukan dan sisi manfaat. Atau telah jelas bagi mereka, namun mereka tidak mendapatkan orang yang membantu mereka beramal dengan kebaikan dan meninggalkan keburukan dikarenakan hawa nafsu yang mempengaruhi kejujuran akal.
Maka seyogyanya bagi seorang ulama untuk merenungkan berbagai macam masalah ini, kadang hukumnya wajib dalam sebagian masalah – sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya – seperti: apabila dalam memerintahkan suatu ketaatan, namun akan menghasilkan maksiat yang lebih besar darinya, maka hendaknya dia meninggalkan perintah tersebut, untuk menutup celah terjadinya maksiat, seperti melaporkan seseorang yang berbuat dosa kepada pemerintah yang dholim, sehingga pemerintah tersebut akan menghukumnya dengan hukuman yang lebih besar (lebih kejam -pent) dari perbuatan dosanya. Dan seperti apabila dalam melarang suatu kemungkaran, namun akan meninggalkan kebaikan yang lebih besar manfaatnya dari meninggalkan kemungkaran tersebut; maka hendaknya dia diam dari larangan tersebut, karena khawatir ditinggalkannya hal-hal diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya yang ada pada orang tersebut, lebih besar dari hanya sebatas meninggalkan kemungkaran tersebut.
Oleh karena itu seorang ulama kadang memerintah, kadang melarang, kadang membolehkan, dan kadang diam dari memerintah, melarang, atau membolehkan; seperti perintah untuk kebaikan yang murni, atau lebih kuat; atau larangan dari kejelekan yang murni, atau lebih kuat.
Ketika terjadi pertentangan, dia menguatkan yang rajih – sebagaimana telah disampaikan – sesuai kemampuan. Sedangkan apabila perkara yang diperintahakan atau dilarang merupakan sesuatu yang tidak mungkin, bisa karena kebodohannya, atau karena kedholimanya, dan tidak mungkin menghilangkan kebodohan dan kedholimannya, maka mungkin yang lebih tepat adalah berhenti dan diam dari memerintahnya atau melarangnya. Hal ini sebagaimana dikatakan : “Ada sebagian masalah yang pemecahannya ialah diam, sebagaimana pembuat syariat diam dari memerintahkan sesuatu di awal waktu, dan dari melarang sesuatu, hingga Islam tinggi dan menang.
Maka hendaknya demikian juga seorang ulama dalam menjelaskan dan menyampaikan sesuatu. Kadang dia menundanya sampai waktu yang memungkinkan, sebagaimana Allah telah mengakhirkan penurunan ayat-ayat dan penjelasan hukum-hukum, hingga waktu yang memungkinkan bagi Rasulullah untuk menerima penjelasan tersebut” [selesai perkataan Syaikhul Islam]
Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan secara muthlaq, tanpa adanya batasan-batasan, dan kaedah-kaedah; merupakan pendapat yang bathil. Demikian juga dengan pendapat yang melarang secara muthlaq, merupakan pendapat yang bathil. Pendapat yang benar adalah pendapat yang merincinya sesuai dengan setiap keadaan.
- Ketiga: Sesungguhnya permasalahan pemilu dewan legislatif yang terjadi dalam negeri islam, merupakan kejadian khusus yang memerlukan fatwa khusus, karena perbedaan situasi, kondisi, dan zaman; karena kejadian khusus, tidak dapat digeneralkan. Hal tersebut sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ fatawa (1/325): “Hukum akan tetap berlaku dalam permasalahan-permasalahan yang serupa, selama permasalahan tersebut mempunyai inti hukum yang mirip. Dan hukum tidak berlaku dengannya, untuk hal-hal yang berbeda dengannya, tidak serupa terhadapnya”.
- Keempat: Sesungguhnya fatwa yang memperbolehkan atau melarang untuk mengikuti pemilu, hanyalah pendapat yang bersifat ijtihady, yang dibangun di atas analisa dan pilihan ulama yang berfatwa. Namun, analisa ini bisa untuk diterima atau ditolak, karena mengandung kemungkinan benar, dan salah. Termasuk kesalahan yang jelas ialah menjadikan ijtihad tersebut sebanding dengan nash syariat, yang sesuai di semua zaman dan tempat. Bagaiman hal ini terjadi? sementara ulama yang berijtihad merupakan seorang manusia, yang mungkin salah, dan mungkin benar.
- Kelima: permasalahan Pemilu termasuk masalah nawazil (kontemporer) yang umum terjadi dan telah tersebar di mayoritas negeri kaum Muslimin. Oleh karena ini solusi untuk permasalahan ini membutuhkan kejelasan mengenai hukumnya dari pada ulama, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأَمْنِ أَوِ الخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka” (QS. An Nisa: 83)
Yang dimaksud والذين يستنبطونه di sini menurut Al Hasan, Qatadah dan Ibnu Abi Ya’la adalah: ahli ilmu dan fiqih (Ahkamul Qur’an, 3/182). Istinbath adalah sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dalam Miftah Daaris Sa’adah: “istinbath adalah mengeluarkan hakikat dari sesuatu dan menelitinya dengan kecerdasan, kepandaian, iman dari pengetahuan mereka mengenai sumber-sumber keamanan dan ketakutan”.
Fatwa ulama jika dihasilkan dari musyawarah antara para ulama dan penggambaran masalah yang ada dibangun atas dasar yang benar, senantiasa klarifikasi dan berhati-hati, maka fatwa tersebut semakin mendekati kebenaran. Dan semoga Allah merahmati Imam Al Albani yang ketika menjawab pertanyaan dari Jabhah Al Inqadz, FIS dari Al Jazair, beliau mengumpulkan sebagian murid-murid seniornya untuk menjawab pertanyaan tersebut dan mendiskusikannya selama beberapa jam lamanya. Untuk menjawab mengenai masalah aktual di Al Jazair dan apa solusi untukmenghadap masalah semisal itu. Hingga akhirnya dikeluarkanlah jawaban yang elegan dan cemerlang, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh kami, Masyhur Hasan Salman hafizhahullah, yang ketika itu beliau mengikuti forum tersebut.
Dan dengan bimbingan inilah murid-murid beliau dan putra-putra beliau yang mulia berjalan. Sebagaimana yang mereka fatwakan dalam masalah Pemilu di Iraq, mereka berkumpul dahulu satu sama lain, mereka berkumpul bersama sekitar 20-an orang dari para thalabatul ilmi di Iraq untuk mendiskusikan masalah Pemilu dan bagaimana sikap yang syar’i dalam menghadapi masalah aktual di Iraq. Dan diskusi tersebut berjalan beberapa hingga mencapai 2 hari, sampai akhirnya dikeluarkan penjelasan resmi dari Markaz Al Imam Al Albani.
Adapun berfatwa dengan fatwa yang sifatnya umum mengenai masalah nawazil (kontemporer) semisal masalah Pemilu, tanpa menelaah, tanpa melihat kondisi yang ada, maka ini namanya fatwa khartul qataad [1]. Maka bagaimana lagi jika fatwa yang sifatnya demikian disampaikan lewat handphone pula?
- Syubhat kedua: Pendapat yang menyatakan disyariatkannya mengikuti Pemilu, ini seperti pendapatnya para hizbiyyun dan merupakan bentuk support terhadap mereka untuk mencalonkan diri dalam Pemilu.
J
Jawab
Tanggapan terhadap syubhat dilihat dari beberapa poin:
- Pertama: Yang menjadi patokan adalah kesesuaian terhadap pendapat yang benar, bukan karena pendapat yang benar ini sesuai dengan pendapatnya ahlul bid’ah. Dan janganlah menganggap pendapat yang dikuatkan dalil-dalil dan dikatakan oleh mayoritas ulama kibar ini sebagai pendapat ahlul bid’ah. Hanya karena adanya sebagian kelompok ahlul bid’ah yang menyuarakan serupa. Kalau kita gugurkan pendapat kita karena adanya kelompok ahlul bid’ah dan ahlul ahwa yang berpendapat sama, maka kita akan menggugurkan banyak ajaran agama secara umum maupun rinci. Karena tidaklah ada kelompok ahlul bid’ah kecuali pasti mereka memiliki kesesusaian dengan sebagian manhaj ahlus sunnah wal jama’ah yang merupakan kebenaran. Maka menggugurkan kebenaran ini, berarti akan menggugurkan seluruh agama. Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim yang dalam kitab Haadil Arwah (256) beliau mengatakan: “pendapat yang dianggap sebagai pendapat ahlul bid’ah adalah yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta ijma, baik ijma sahabat maupun orang-orang setelahnya. Adapun pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan As Sunnah serta pendapat para sahabat Nabi, maka tidak dianggap sebagai pendapat ahlul bid’ah, walaupun mereka mendekati hal itu atau bahkan meyakini pendapat tersebut. Maka kebenaran itu wajib diterima dari siapa pun orangnya, dan kebatilan itu wajib ditolak dari siapa pun orangnya”
- Kedua: Sesungguhnya kesesuaian ahlul bid’ah terhadap ahlussunnah wal jamaa’ah dalam sebagian perkataan mereka, adalah menurut persangkaan ahlul bid’ah, bukan menurut persangkaan ahlussunnah. Dan perkataan yang benar wajib dikatakan oleh setiap muslim. Dan tidaklah menghalangi kami untuk mengatakannya, hanya karena ada sebagian ahli bid’ah mengatakannya.
Semoga Allah merahmati Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam Minhajus Sunnah Nabawiyah beliau mengatakan, “Pendapat yang dipegang oleh para imam kaum muslimin ialah bahwasanya apa-apa yang disyariatkan, tidaklah ditinggalkan hanya karena hal tersebut juga dilakukan oleh ahli bid’ah, baik itu Rafidhah ataupun selainnya. Dan landasan para imam semuanya sepakat akan perkara ini. Diantaranya masalah mendatarkan kuburan, sebagaimana disebutkan. Madzhab Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan membuatnya sedikit menonjol itu lebih afdhal, sebagaimana hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu sedikit menonjol. Dan dengan itu juga lebih jauh dari menyerupai bangunan dunia dan lebih bisa mencegah orang dari duduk di atasnya. Sedangkan Asy Syafi’i menganjurkan kuburan didatarkan sebagaimana riwayat tentang perintah menyama-ratakan kuburan. Beliau menganggap menyama-ratakan itu maksudnya dibuat datar. Kemudian sebagian as-hab Syafi’i mengatakan bahwa ini (kuburan datar) adalah syi’ianya orang Rafidhah, maka makruh hukumnya. Kemudian penyataan ini dibantah oleh jumhur as-hab Syafi’i. Mereka mengatakan, hukum mendatarkan kuburan itu mustahab (dianjurkan), walaupun Rafidhah melakukannya. Demikian juga masalah mengeraskan basmalah, ini juga madzhab Rafidhah. Dan sebagian orang mengkritik Imam Asy Syafi’i gara-gara hal ini juga karena pendapatnya soal qunut yang dinisbatkan juga kepada Rafidhah dan Qadariyah. Karena sudah dikenal di Iraq, bahwa mengeraskan basmalah adalah syi’ar orang Rafidhah. Dan bahwasanya qunut shubuh merupakan syi’arnya Qadariyah dan Rafidhah.
Bahkan Fiyan Al Wari dan para imam yang lain menyebutkan dalam silsilah aqidah mereka bahwa salah satu aqidah mereka adalah meninggalkan mengeraskan bacaan basmalah karena hal itu termasuk syi’ar orang Rafidhah. Sebagaimana para ulama menyebutkan masalah mengusap khuf dalam bab Aqidah, karena meninggalkan mengusap khuf termasuk syi’ar orang Rafidhah. Namun dengan semua fakta ini, Asy Syafi’i tetap berpendapat bahwa hal ini adalah sunnah dan demikianlah pendapat mu’tamad, yang kuat dalam madzhabnya, walaupun hal tersebut bersesuaian dengan orang Rafidhah. Demikian juga masalah ihramnya penduduk Irak dari Al Aqiq, hal ini disunnahkan walaupun juga termasuk madzhab Rafidhah. Dan masalah-masalah secamam ini banyak sekali. Demikian juga Imam Malik melemahkan pendapat pendapat bolehnya mengusap khuf walaupun bertentangan dengan pendapat yang masyhur. Beliau tetap berpendapat tidak boleh mengusap khuf jika tidak sedang safar. Walaupun ini bersesuaian dengan pendapat Rafidhah. Demikian juga di madzhab Hambali, pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali bahwa orang yang ihram tidak boleh meneduhi kepalanya dengan barang bawaannya, walaupun ini bersesuaian dengan pendapat Rafidhah. Demikian juga pendapat Imam Malik, bahwa sujud dimakruhkan pada selain tanah, demikian juga Rafidhah mengharamkan sujud pada selain tanah.
Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal menganjurkan haji tamattu‘. Beliau memerintahkannya sampai-sampai beliau dan para imam ahlul hadits yang lain tidak berihram secara ifrad atau qiran. Mereka meninggalkan itu semua untuk berumrah, sehingga menjadi haji tamattu’. Karena banyak hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai haji tamattu‘. Sampai-sampai Salamah bin Syabib berkata kepada Imam Ahmad: “Wahai Abu Abdillah, hati orang-orang Rafidhah semakin menguat karena fatwamu kepada penduduk Khurasan tentang dianjurkannya mut’ah (baca: haji tamattu’)”. Imam Ahmad berkata: “Wahai Salamah, pernah ada yang mengabarkan kepadaku bahwa engkau ini dungu, dan saya menolak pernyataan itu. Namun sekarang saya telah yakin bahwa engkau itu dungu. Saya mengetahui 11 hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (tentang mut’ah / haji tamattu), apakah saya tinggalkan hanya karena perkataanmu?”.
- Ketiga: beda antara pernyataan para ulama ahlussunnah wal jama’ah dengan perbuatan ahlul bid’ah wad dhalalah dalam masalah ini. Para ulama mu’tabar telah memberikan batasan dan dhawabit dalam masalah ini (sebagaimana sudah dijelaskan), sementara ahlul hawa yaitu para hizbiyyun dan ahlul bid’ah tidak memperhatikan dhawabit tersebut dalam langkah dan sepak terjang mereka (padahal mereka sudah tahu pernyataan para ulama tersebut). Inilah yang membuat para ulama ahlussunnah murka kepada mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah dalam kitabnya yang bagus berjudul Tanwiruz zhulumaat li kasyfi mafasid wasyubuhat al intikhabat, beliau mengatakan: “kadang seseorang mengatakan, para ulama besar ahlussunnah telah memfatwakan disyariatkannya ikut Pemilu dan mereka bukan hizbiyyun. Sebagaimana ulama hadits abad ini, Syaikh Al Albani, dan Samahah Al Mufti ‘Am Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah ta’ala. Dan Fadhilatus Syaikh Al Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Apakah kita masukkan mereka pada orang-orang yang disebutkan tadi?
Syaikh Muhammad Al Imam menjawab: bagaimana mungkin kita masukkan mereka pada orang-orang yang disebutkan tadi? Mereka ini ulama besar kita dan teladan kita serta teladan dakwah yang berkah ini. Mereka para pelindung Islam, kita tidak mempelajari Islam melainkan dengan bimbingan mereka. Mereka bukan hizbiyyun, ini mustahil. Bahkan mereka senantiasa memperingatkan manusia dari bahaya hizbiyyah dan tidaklah kami selamat dari hizbiyyah kecuali dengan nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah. Seperti Syaikh yang mulia Muhaddits negeri Yaman, Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah yang mengharamkan hizbiyyah. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan dari hizbiyyah. Tidak ada pada diri mereka bagi para penganut hizbiyyah sedikitpun telah untuk menegakkan dan menggolkan apa yang mereka rencanakan dan menipu dengannya kaum Muslimin. Khususnya para pemuda yang kuat dalam berpegang dengan agamanya serta ridha dengan kebenaran.
Adapun berkenaan dengan fatwa para ulama tersebut, fatwa-fatwa mereka bersyarat dengan batasan-batasan syar’i. Di antaranya apabila maslahat yang besar dapat dicapai atau dapat menolak mafsadat yang besar dengan melakukan mafsadat yang kecil dengan tetap menjaga batasan-batasan dalam kaidah ini. Akan tetapi da’i-da’i Pemilu tidaklah menjaga batasan-batasan tersebut” [selesai perkataan Syaikh Muhammad Al Imam].
- Keempat: kebenaran yang difatwakan oleh pada ulama ahlussunnah wal jama’ah dalam masalah Pemilu mengandung bimbingan secara umum untuk memilih yang paling baik dari yang ada. Ini berbeda dengan prinsipnya ahlul bid’ah dan ahlul hawa yang fatwa mereka diarahkan untuk memilih partai mereka atau sasaran mereka, walaupun ada kandidat yang lebih baik atau lebih bisa memberi manfaat atau lebih mampu mencegah bahaya.
Adapun pendapat yang benar yang dilarang untuk dikatakan adalah pendapat mengenai perkara yang mustahab ketika itu menjadi syi’ar ahlul bid’ah dan ahlul hawa. Sebagaimana ini dinyatakan secara makna oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah An Nabawiyah (4/152-155): “demikian juga Abu Hanifah dan madzhabnya berpandangan bolehnya mengucapkan shalawat kepada selain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya kepada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan ini juga dinyatakan secara nash dari Imam Ahmad dalam beberapa riwayat dari ashab-nya. Beliau berdalil dengan riwayat dari Ali radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata kepada Umar radhiallahu’anhu: ‘shallallahu ‘alaika‘. Dan inilah pendapat mayoritas ashab Imam Ahmad seperti Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad Abdul Qadir Al Jilani dan lainnya. Namun dinukil riwayat dari Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i bahwa mereka melarang hal itu. Namun riwayatnya lemah tidak shahih. Yang merupakan pendapat Hanafiyah dan lainnya adalah jika seseorang berada di sebuah kaum yang tidak bershalawat kecuali hanya kepada Ali saja, sehingga jika orang tadi bershalawat kepada Ali maka akan dikira bagian dari kaum tersebut, maka hukumnya makruh. Karena ia akan dikira seorang Rafidhah. Adapun jika berada di suatu kaum yang diketahui mereka bershalawat kepada Ali dan juga kepada para sahabat yang lain, maka hukumnya tidak makruh. Pendapat ini dikatakan oleh seluruh imam.
Oleh karena itu jika suatu perbuatan yang mustahab menimbulkan mafsadah yang jelas, maka tidak menjadi mustahab. Dari sini, sebagian fuqaha berpendapat untuk meninggalkan sebagian perkara mustahab jika itu menjadi syiar ahlul bid’ah sehingga tidak bisa terbedakan antara Sunni dan Rafidhi. Maslahah dari tamayyuz (membedakan) ini dalam rangka untuk memboikot mereka dan menyelisihi mereka itu lebih besar maslahahnya dari pada maslahah mengerjakan perkara mustahab tadi. Dan orang yang mau menerapkan hal ini perlu melihat keadaan jika terdapat percampuran dan keserupaan antara beberapa mafsadah dan maslahah dalam perkara yang mustahab tersebut. Tapi apa yang dipaparkan ini tidak berarti menjadikan perkara yang disyariatkan menjadi tidak disyariatkan seterusnya. Bahkan masalah ini seperti masalah pakaian yang jadi syiar orang kafir. Jika suatu pakaian hukum asalnya mubah, dan ia bukan merupakan syiar orang kafir, seperti memakai imamah kuning maka hukumnya boleh. Jika itu merupakan syiar orang kafir maka terlarang memakainya” [selesai nukilan dari Syaikhul Islam].
Maka ada perbedaan besar antara pernyataan ulama ahlussunnah wal jama’ah dalam hal ini dengan pernyataan para da’i ahlul bid’ah wad dhalalah.
- Syubhat ketiga: Fatwa yang membolehkan berpartisipasi dalam pemilu legislatif dengan berbagai batasan yang telah disebutkan, tidak ada artinya apabila tidak muqayyad-kan (dikaitkan dengan keadaan riil)
Jawab : Syubhat tersebut dapat dibantah dari beberapa poin.
- Pertama : Bahwasanya, “Ahlus sunnah memahami realita yang ada kemudian memerintahkan (setelah melihat realita tersebut –pent) kepada yang wajib. Menyaksikan realita yang ada kemudian memerintahkan untuk menaati Allah dan RasulNya”, sebagaimana disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah dalam Minhaj As Sunnah An Nabawiyah (1/547). Bukan maksudnya memerintahkan mereka kepada al haq dalam rangka menyelisihi umat –dengan perkataan maupun perbuatan– karena tidak ada artinya semata menyelisihi orang-orang jahil dan menyepelekan ahlul hawa. Sesungguhnya Al Jamaah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ialah “Siapa saja yang mencocoki al haq walau ia bersendirian”.
Semoga Allah merahmati Abu Syamah ketika mengatakan dalam Al Hawadits wa Al Bida’ (hal 22), “Ketika datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama’ah maka maksudnya ialah berpegang teguh dengan al haq dan para pengikutnya. Walaupun yang berpegang teguh dengan kebenaran jumlahnya sedikit, dan yang menyelisihinya jumlahnya banyak. Karena al haq ialah apa yang Al Jama’ah Al ‘Ula –yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum– berpegang teguh dengannya, tanpa melihat kepada banyaknya pengikut kebatilan setelah mereka”
Maka ahlus sunnah memahami masalah ini dan masalah selainnya, berdasarkan apa yang menjadi asas dalam agama Allah Ta’ala berupa al haq. Mereka pun berpegang dengan prinsip tersebut dalam menyampaikan hujjah kepada orang lain, yaitu dalam rangka menyampaikan maksud untuk menegakkan hujjah kepada mereka yang menyelisihi al haq dan tidak mengamalkannya.
- Kedua: bahwa sedikitnya orang yang mengamalkan al haq tidak mengharuskan ahlul haq untuk menyembunyikan kebenaran. Terlebih mengharuskan mereka untuk berbicara sebaliknya. Ahlul haq memerintahkan untuk menjelaskan apa yang memang menjadi pendapat mereka berupa al haq, tanpa menyembunyikannya. Dan merupakan kewajiban bagi selain mereka untuk mengamalkan al haq yang telah sampai kepada mereka. Apabila ahlul haq mereka lalai dari menampakkan apa yang menjadi pendapat mereka, mereka tercela. Sebagaimana tercelanya mereka yang lalai dari mengamalkan al haq, mereka tercela sesuai kadar kelalaian mereka dalam mengamalkannya. Maka tidaklah berkaitan langsung, antara menyampaikan al haq yang menjadi pendapat mereka, dengan praktek pengamalan dari objek dakwah mereka (tidak harus yang mendengar itu harus langsung mengamalkan –pent). Tugas dari para Rasul dan pengikutnya ialah sebatas menyampaikan al haq kepada manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan jika kalian berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian akan memperoleh petunjuk. Dan tidak lain kewajiban bagi Rasul itu melainkan sekedar menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nur : 24)
Maka ahlul ilmi diperintahkan untuk memberi penjelasan, dan mereka dilarang menyembunyikannya, sebagaimana telah ditegaskan dan dijelaskan maknanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim (hal. 7) dengan perkataan beliau, “Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya)
“Dan Allah tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh manusia untuk kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah Allah berikan kepada mereka” (QS. An Nisa : 37)
Maka mereka disifati dengan sifat kikir, yaitu kikir ilmu dan kikir harta. Dan dalam konteks ini menunjukkan bahwa kikir ilmu ialah maksud yang lebih ditekankan lagi. Oleh karena itu mereka (orang-orang yang kikir ilmu –pent) disifati dengan ‘menyembunyikan ilmu’ dalam ayat lain seperti firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberikan kepada mereka kitab, (yaitu) ‘Hendaklah kamu menjelaskan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya’” (QS. Ali Imran : 187)
Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan kepada mereka berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itulah yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua makhluq yang bisa melaknat, kecuali mereka yang bertaubat..” (QS. Al Baqarah : 159-160)
Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah berupa Al Kitab, dan menjualnya dengan harga yang amat rendah, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perut mereka melainkan api neraka” (QS. Al Baqarah : 174)
Kemudian firman Allah Ta’ala (yang artinya)
“Dan apabila mereka bertemu orang-orang yang beriman, mereka berkata “Kami telah beriman” dan apabila mereka kembali kepada syaithan-syaithan mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kalian, kami hanyalah berolok-olok” (QS. Al Baqarah : 14)
Maka orang-orang yang dimurkai oleh Allah (yaitu dari kaum Yahudi –pent) disifati dengan sifat menyembunyikan ilmu. Terkadang mereka menyembunyikan ilmu karena kikir, terkadang karena mengharap bagian dari dunia, dan terkadang karena merasa takut untuk menampakkannya.
Dan terkadang sekelompok orang dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu, diuji dengan sifat ini (menyembunyikan ilmu –pent), karena kikir, atau karena tidak suka apabila orang lain mendapatkan karunia seperti yang mereka dapatkan, atau karena mengharapkan posisi, harta, atau karena takut apabila menampakkannya akan mengurangi posisinya di hadapan manusia, berkurang hartanya, atau terkadang karena orang lain telah menyelisihinya dalam suatu permasalahan lain, atau ia telah menuduh kelompok lain menyelisihinya dalam suatu permasalahan, kemudian ia pun menyembunyikan ilmu (yaitu hujjah yang akan menyelisihi dirinya sendiri apabila diungkap –pent) padahal ia sendiri tidak yakin bahwa pendapat lawannya tertolak.
Oleh karena itulah Abdurrahman ibn Mahdi dan selainnya berkata, “Ahli ilmu menulis apa yang sesuai dan apa yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, sementara pengikut hawa nafsu tidaklah menulis melainkan apa yang sesuai dengan mereka saja”.
- Ketiga: Apabila ahlul haq berbicara dalam masalah pemilu dengan perkataan yang tidak jelas, bukan dengan maksud untuk mengelabui (namun sekedar menyampaikan hukum suatu permasalahan tanpa merincinya –pent), kemudian pendengarnya ternyata memiliki pemahaman yang buruk, atau (lebih parah lagi –pent) ternyata memiliki praktek pengamalan yang buruk, maka hal ini tidaklah membahayakan ahlul haq sedikitpun. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam bantahannya terhadap Ali Al Bakri (2/705), “Maka selain dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, apabila (orang lain) mengungkapkan sesuatu pasti ungkapan tersebut samar (tidak bisa jelas 100% -pent), yang akan berakibat menimbulkan keraguan bagi pendengarnya. Ini sesuatu yang pasti dan telah disepakati oleh Ahlul Islam” .
Juga, apabila timbul keraguan akibat buruknya pemahaman pendengar, bukan akibat kelalaian dari yang menyampaikan, tidaklah hal tersebut menjadi celaan bagi yang menyampaikan. Tidak pula disyaratkan bagi seorang ulama apabila menyampaikan ilmu agar tidak meninggalkan celah sedikitpun bagi keraguan, baik dalam hal lafadz maupun selainnya. Bahkan manusia akan senantiasa samar darinya perkataan manusia, hingga menyebabkan perbedaan maksud. Dan orang yang menyampaikan al haq tidak dicela karena hal tersebut.
Maka ahlul haq, mereka cukup menjelaskan al haq dengan lafadz yang dapat menunjukkan kepada maksud mereka. Tidak membahayakan bagi mereka konsekuensi yang timbul setelahnya, berupa buruknya pemahaman, dan selainnya akibat perkataan mereka, atau berupa praktek pengamalan yang ternyata berbeda dengan maksud perkataan asal mereka. Karena apabila demikian maka tentu mereka akan sangat terbebani, dan pasti mereka akan lalai darinya.
____
Footnote:
[1] Ungkapan yang artinya:
يُضرب للشيءِ لا يُنال إِلا بمشقة عظيمة
“Ungkapan dalam bahasa Arab untuk sesuatu yang hanya bisa didapatkan dengan kesulitan yang besar”
Penulis: ‘Ammad Thariq Abul ‘Abbas
Penerjemah: Tim Penerjemah Muslim.Or.Id
Murajaah: Ust. Aris Munandar, Ss., Mpi.
____
Referensi http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=11441
Sumber: https://muslim.or.id/