Sebab adalah hal yang menjadikan timbulnya sesuatu. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai hamba Allah Ta’ala, tidak bisa terlepas dari mengambil sebab dalam upaya meraih cita-cita. Cita-cita yang paling agung adalah berjumpa dengan-Nya, melihat wajah-Nya.
Secara umum, bentuk mengambil sebab itu ada dua
- Mengambil sebab (usaha) untuk mendapatkan manfaat.
- Mengambil sebab (usaha) untuk menghindar atau terlepas dari bahaya.
Bentuk aktifitas kita tidak pernah terlepas dari dua bentuk usaha tersebut. Misalnya saja bertauhid atau beribadah hanya pada Allah semata, mengapa kita bertauhid? Tentu agar Allah mencintai kita, sehingga memasukkan kita ke dalam Surga-Nya. Nah, dicintai oleh Allah dan masuk surga itu adalah manfaat.
Mengapa kita kerja? Untuk mencari nafkah, ini juga manfaat. Mengapa kita tidur dan istirahat? Agar tidak sakit, sehingga bisa beribadah dan beraktifitas dengan baik. Bukankah agar “tidak sakit” adalah upaya untuk menghindari bahaya? Aktifitas kita dari bangun tidur sampai tidur lagi, semuanya tidak bisa terlepas dari dua bentuk pengambilan sebab itu.
Seputar hukum mengambil sebab
Dari prolog di atas, kita merasa sangat butuh mengetahui tentang seluk-beluk mengambil sebab dan hukum-hukum Allah tentangnya, mengapa demikian?
Simak alasan berikut ini!
- Mengambil sebab adalah perkara yang selalu kita lakukan dalam kehidupan keseharian kita, sebagaimana keterangan di atas.
- Seseorang yang tidak mengenal dan tidak menghiraukan aturan Allah Ta’ala dalam mengambil sebab, bisa terjatuh ke dalam maksiat, bid’ah bahkan syirik ataupun kekufuran!
- Alasan yang ketiga: seseorang yang tidak mengenal tentang hukum sebab bisa terperosok ke dalam salah satu dari dua jurang ini:
- Menjadi tipe orang yang sombong dan membanggakan diri (melampui batasan syari’at) atau
- Menjadi tipe orang yang malas atau berputus asa dari rahmat Allah (mengurangi batasan syari’at).
Hukum sebab
Nah, berikut ini, penyusun nukilkan isi hukum-hukum sebab dari sebuah kitab seorang ulama besar, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya, Al-Qaulul Jadiid:
“Seseorang wajib mengetahui bahwa dalam (pembahasan) sebab terdapat tiga perkara (yang mendasar), yaitu:
أحدها: أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا.ثانيها: أن لا يعتمد العبد عليها، بل يعتمد على مسببها ومقدرها،مع قيامه بالمشروع منها، وحرصه على النافع منها. ثالثها: أن يعلم أن الأسباب مهما عظمت وقويت فإنها مرتبطة بقضاء الله وقدره لا خروج لها عنه،
- Pertama: Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara syar’i1 maupun Qadari/Kauni2.
- Kedua: Seorang hamba tidak bersandar (hatinya) kepada sebab, namun bersandar kepada Allah, Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab dan Sang Pentakdirnya, diiringi dengan usaha yang disyari’atkan (untuk dilakukan) dan semangat melakukan yang (paling) bermanfa’at.
- Ketiga: (Wajib) diketahui bahwa suatu sebab, meskipun besar dan kuat (pengaruhnya), maka sesungguhnya tetap terikat dengan takdir Allah, tidak bisa terlepas darinya”.
Beliau rahimahullah juga menjelaskan, yang intisarinya adalah bahwa Allah Ta’ala mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya,
Jika Allah menghendaki, maka Allah akan takdirkan suatu sebab berpengaruh sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya, agar seorang hamba mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya, karena Allah telah mentakdirkan terjadinya akibat, ketika seorang hamba melakukan sebabnya.
Namun, jika Allah menghendaki sesuatu yang lain, maka Allah takdirkan suatu sebab tidak berpengaruh dan tidak berakibat, agar hati seorang hamba tidak bergantung kepada sebab dan agar ia mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah atas hamba-Nya dan kesempurnaan kehendak-Nya dalam mengatur alam semesta.
Beliau rahimahullah berkata:
فهذا هو الواجب على العبد في نظره وعمله بجميع الأسباب.
“Inilah sikap wajib seorang hamba dalam memandang dan melakukan berbagai macam sebab (dalam aktivitasnya)”.
___
Catatan kaki
1. Harus terdapat dalil dari Al Qur’an atau As-Sunnah yang shahih, yang menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan sebab.
2. Terbukti secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman yang jelas bahwa sesuatu itu merupakan sebab.
Hukum Sebab Pertama
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Qaulul Jadiid:
أحدها:أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا.
“Pertama: Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara Syar’i maupun Qadari/Kauni.”
Penjelasan:
Maksud dari hukum yang pertama ini adalah sebab yang kita ambil haruslah terbukti secara syar’i atau qadari. Jadi, tidak boleh melakukan suatu usaha pun kecuali jika usaha tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara syar’i maupun qadari/kauni.
A. Terbukti secara Syar’i maksudnya adalah harus ada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang benar bahwa hal tersebut adalah sebab guna mencapai suatu manfaat atau menolak mudharat.
Tiga contoh berikut, semoga bisa memperjelas pernyataan di atas:
1. Beramal salih adalah sebab masuknya seorang hamba kedalam surga.
Dengan beramal salih, seseorang mendapatkan rahmat Allah, sehingga dengan rahmat-Nya ia masuk kedalam surga.
Hal ini berdasarkan dalil berikut ini, Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan” (QS. An-Nahl: 32).
2. Madu adalah obat untuk manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 69,
يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
“Dari perut lebah itu keluar minuman yang bermacam-macam warnanya. Di dalamnya terdapat obat bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang memikirkan” (An-Nahl: 69).
3. Ruqyah1 yang sesuai dengan syari’at adalah obat untuk sengatan hewan berbisa, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا رقية إلا من عين أو حمة
“Tidak ada ruqyah (yang lebih bermanfaat) kecuali pada penyakit ‘ain dan sengatan hewan berbisa” (HR. Bukhari dan Muslim).
Catatan
Semua sebab yang terbukti secara syar’i, pastilah terbukti secara qadari.
B. Terbukti secara qadari maksudnya, terbukti secara ilmiah atau berdasarkan pengalaman yang jelas dan ilmiah bahwa sesuatu itu merupakan sebab.
Contohnya:
- Tes darah di laboratorium, untuk mengetahui adanya serangan bakteri.
- Makan, suatu sebab agar hilang rasa lapar.
- Memakai payung, sebab agar tidak kehujanan.
Sebab yang terbukti secara qadari terbagi menjadi dua macam:
- Sebab qadari yang diizinkan dalam syari‘at (sebab qadari yang halal)
- Seperti: Berdagang dengan cara halal untuk mendapatkan nafkah.
- Sebab qadari yang dilarang dalam syari‘at (Sebab qadari yang haram)
- Seperti: korupsi atau merampok untuk mendapatkan uang yang banyak.
Korupsi atau merampok, secara pengalaman yang logis, jelas menyebabkan seorang bisa mendapatkan uang banyak, namun kedua sebab itu diharamkan dalam syari‘at.
___
Catatan kaki
1. Ruqyah adalah bacaan-bacaan untuk pengobatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam syari‘at dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan Ulama. Dan hakekatnya Ruqyah merupakan salah satu bentuk doa.
Enam Catatan Penting Terkait Hukum Sebab Pertama
Berikut ini enam catatan penting terkait hukum sebab pertama,
1. Yang haram ada ganti halalnya
Seorang hamba yang menjauhi sebab yang haram Lillahi Ta’ala berarti bertakwa kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa bertakwa kepada-Nya, pasti akan dianugrahi jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menganugerahkan kepadanya jalan keluar” (Ath-Thalaaq: 2).
2. Cukupkan dengan yang halal
Jika sudah berusaha melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, bertawakal kepada-Nya, dan berusaha maksimal mendapatkan sebab yang halal, namun kita tidak juga didapatkan, maka sebab yang Allah Ta’ala mudahkan bagi kita pasti sudah bisa mencukupi diri kita.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah memenuhi sesuatu yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Ath-Thalaaq: 3).
Contoh:
- 1) Seseorang yang telah berusaha maksimal untuk mendapatkan pekerjaan halal dengan penghasilan besar dan tidak kunjung mendapatkannya, hendaknya mencukupkan diri dengan pekerjaan halal yang Allah mudahkan. Demikian karena pekerjaan itu telah cukup sebagai bekal untuk bertakwa kepada Allah. Kecukupan tersebut dipandang dengan kacamata qana’ah. Artinya, segala hal yang menjadi pilihan Allah bagi orang yang bertakwa pasti baik.
Allah Maha Tahu tentang pilihan yang paling bermanfaat dan paling tepat bagi orang tersebut. Tidak ada alasan baginya untuk mencari sebab yang haram. Sikap ini akan membawanya untuk bersikap hemat dalam membelanjakan harta, bersabar, serta berlapang dada terhadap kesulitan yang dihadapinya, bahkan mendorongnya untuk bersyukur atas anugerah Allah yang telah ada.
- 2) Seseorang yang sangat ingin menunaikan rukun Islam kelima, haji ke baitullah, namun tak kunjung mampu menunaikannya, padahal sudah berusaha maksimal, maka dalam kondisi seperti ini, ibadah lain yang mampu dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah sudah cukup menyebabkan masuk surga.
- 3) Seseorang yang bercita-cita menuntut ilmu syar’i hingga menjadi ulama yang bertakwa, namun ternyatatidak mampu meraihnya, padahal sudah berusaha maksimal untuk mendapatkannya, maka bentuk menuntut ilmu syar’i yang dimudahkan oleh Allah baginya sudah cukup untuk bisa berjumpa dengan Allah di dalam Surga-Nya.
3. Tugas manusia hanyalah melakukan sebab yang benar dan menyerahkan hasil kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (Al-Hajj: 77).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kalian tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (At-Takwiir: 29).
Tugas manusia adalah berusaha melakukan sebab yang bermanfaat, jika berhasil, maka ia masih memiliki tugas bersyukur dan jika tidak berhasil, maka ia juga memiliki tugas bersabar serta melakukan sebab baru yang bermanfaat sesuai dengan tuntutan peribadatan kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, masalah hasil bukanlah urusan manusia, jika ia sudah bertakwa dan berusaha dengan baik secara maksimal, pastilah kebaikan yang didapatkannya, terlepas apakah keinginannya terpenuhi atau tidak!
Hal ini karena bersyukur saat mendapatkan nikmat itu kebaikan, sebagaimana bersabar saat mendapatkan musibah itu juga kebaikan.
Jadi, manusia adalah hamba Allah dalam setiap keadaan, saat senang maupun sedih, tetap tertuntut untuk menghamba kepada-Nya saja! Saat seseorang mendapatkan nikmat, Tuhannya adalah Allah, begitu pula saat ia tertimpa musibah, Tuhannya tetaplah Allah, sehingga ia tetap tertuntut untuk menghamba kepada-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dalam Syari’at-Nya pada setiap keadaan.
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Wabilush Shayyib menjelaskan kunci kebahagiaan manusia,
اذا أنعم عليه شكر وإذا ابتلى صبر وإذا أذنب استغفر فان هذه الامور الثلاثة عنوان سعادة العبد
“Jika ia mendapatkan nikmat, maka ia bersyukur, jika diuji dengan musibah, ia bersabar dan jika berdosa, ia pun istighfar. Tiga perkara ini adalah kunci kebahagiaan seorang hamba”.
4. Seorang hamba tertuntut untuk memilih sebab yang paling bermanfa’at dan itulah tuntutan keimanannya.
Seseorang semakin beriman kepada Allah, maka semakin menjauhi bahaya dan kerugian (mudharat) sejauh-jauhnya serta semakin besar keinginannya mendapatkan perkara yang paling bermanfa’at bagi keimanannya, sehingga jika ia dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama bermanfaat dan harus dipilih salah satunya, maka tuntutan keimanannya, mendorongnya untuk memilih pilihan yang paling bermanfaat baginya, di dunia dan akhirat, paling bermanfaat bagi pertambahan keimanannya, paling menyebabkan bertambahnya berat timbangan amal kebaikannya di akhirat dan paling cepat menghantarkan kepada tujuan yang baik.
Hal inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah untuk mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, jangan engkau lemah! (HR. Muslim) .
5. Jika seseorang mendapatkan sesuatu yang diharapkan, padahal sebab yang diambil tidak terbukti secara Syar’i dan tidak pula terbukti secara Qadari, pastilah hal itu didapatkan bukan karena sebab tersebut, namun karena sebab yang lainnya.
Misalnya:
- 1) Sebuah warga kampung yang selamat dari wabah penyakit, setelah memasang jimat tertentu di rumah-rumah mereka, padahal setelah itu, kampung-kampung sebelahnya yang tidak memasang jimat, banyak yang terkena wabah penyakit tersebut!
Sesungguhnya kejadian selamat dari wabah penyakit tersebut, bukanlah disebabkan karena pemasangan jimat-jimat itu, namun pastilah karena sebab yang lain, semisal: tidak adanya faktor-faktor pembawa penyakit ke kampung itu, anti body dan kebersihan yang bagus, imunisasi yang baik atau sebab-sebab yang lainnya. Karena, jimat tersebut tidaklah terbukti sebagai sebab, baik secara Syar’i maupun secara Qadari, bahkan justru dilarang dalam Syari’at.
Jimat itu pun tidak bisa dibuktikan secara ilmiah sebagai sebab. Bahkan sangat memungkinkan ada warga kampung lain yang melakukan hal yang sama, namun tetap pula terkena wabah penyakit tersebut.
Maka untuk kasus di atas, kita katakan bahwa selamatnya kampung tersebut dari wabah penyakit, memang benar terjadi setelah memasang jimat, namun hakekatnya jimat itu bukanlah sebagai sebab!
Atau dengan kata lain: takdir selamat untuk mereka bertepatan waktunya dengan setelah memasang jimat.
- 2) Seorang wanita berdo’a kepada mayit di kuburan agar diberi keturunan, lalu beberapa waktu kemudian ia hamil sampai akhirnya melahirkan bayinya. Maka dalam kasus tersebut, kita bisa pastikan bahwa sebab lahirnya anak itu bukanlah karena do’a kepada mayit, karena hal itu terlarang dalam Syari’at dan secara kenyataan orang yang sudah meninggal, tidak mampu mandi sendiri dan pergi ke lubang kubur sendirian! Bahkan ia harus dimandikan, digotong dan dikubur oleh orang lain! Maka, bagaimana dikatakan ia bisa memberi keturunan?
6. Jika seseorang dalam mengambil sebab tidak terpenuhi hukum sebab yang pertama, maka akan tejatuh kedalam salah satu dari dua kemungkinan dosa.
- Kemungkinan Pertama
Jika sebab yang diambil adalah tidak terbukti secara Syar’i maupun Qadari, maka pelakunya terjatuh kedalam kesyirikan kecil yang zhahir/jelas, selama tidak ada unsur penghambaan/penyembahan kepada selain Allah dan selama tidak meyakini bahwa sebab palsu tersebut berpengaruh dengan sendirinya, tanpa idzin Allah.
Hal ini sebagaimana kaidah ilmiah yang dijelaskan oleh sebagian Ulama :
“Bahwa barangsiapa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, tidak secara Syar’i maupun Qadari, maka berarti ia telah melakukan kesyirikan dengan jenis syirik kecil (asghar)”, karena:
- Hati pelakunya tergantung kepadanya.
- Ikut serta dengan Allah Ta’ala dalam menentukan hukum tentang sesuatu itu sebagai sebab, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.
- Sebagian Masyayikh ada yang menambahkan, karena hal itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada syirik besar (akbar), sehingga hal itu dihukumi syirik kecil.
Ini merupakan kaedah yang secara umum benar, walaupun pada sebagian contohnya yang terdapat pembahasan tersendiri1.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan bahwa memakai jimat gelang, kalung dan semisalnya, jfffsika diyakini hanya sebagai sebab saja yang tidak berpengaruh dengan sendirinya, menyatakan bahwa hal itu berarti pelakunya telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab menjadi sebab.
Kemudian beliau mengatakan tentang diri pelakunya,
لابد أن يتعلق قلب متعلقّها بها
Tentulah hati pemakai jimat tersebut bergantung kepadanya.2
Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hal yang sama, yaitu kesyirikan kecil pemakai jimat (jika diyakini hanya sebagai sebab saja3), beliau menjelaskan sebabnya,
لأنه لما اعتقد أن ما ليس بسبب سببًا؛ فقد شارك الله تعالى في الحكم لهذا الشيء بأنه سبب، والله تعالى لم يجعله سببًا
Karena ketika ia meyakini bahwa sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, berarti ia telah ikut serta dengan Allah Ta’ala dalam menentukan hukum tentang sesuatu itu sebagai sebab, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.4
- Kemungkinan Kedua
Jika sebab yang diambil adalah terbukti secara Qadari, namun jenis yang haram, semisal korupsi, mencuri dan merampok, maka pelakunya terjatuh kedalam maksiat dan bukan kesyirikan.
___
Catatan kaki
1. Lihat At-Tamhiid, hal. 94.
2. Al-Qoulus Sadiid, hal. 37.
3. Baca artikel di web ini, berjudul “Jimat Gelang”, di sana dijelaskan kapan pemakai jimat dikatakan telah melakukan syirik kecil dan kapan dikatakan telah melakukan syirik besar.
4. Al-Qaululul Mufiid, hal. 1/162-163.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadiid :
ثانيها: أن لا يعتمد العبد عليها، بل يعتمد على مسببها ومقدرها، معقيامه بالمشروع منها، وحرصه على النافع منها.
Kedua: Seorang hamba tidak bersandar (hatinya) kepada sebab, namun bersandar kepada Allah, Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab dan Sang Pentakdirnya, diiringi dengan usaha yang disyari’atkan (untuk dilakukan) dan semangat melakukan yang (paling) bermanfa’at diantaranya.
Penjelasannya
Maksud perkataan beliau : “Seorang hamba tidak bersandar (hatinya) kepada sebab, namun bersandar kepada Allah” adalah bahwa dalam mengambil sebab yang bermanfa’at, seorang hamba wajib bertawakal hatinya kepada Allah saja, dan tertuntut mengharap dan memohon pertolongan kepada-Nya, demi tercapainya apa yang ia tuju. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut, sehingga tidak bersandar kepadanya dan tidak merasa tenang dengannya.
Sedangkan maksud perkataan beliau : “Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab dan Sang Pentakdirnya”, kalimat ini hakekatnya menunjukkan bahwa alasan wajibnya seorang hamba bertawakal kepada Allah saja dan tidak boleh bertawakal kepada sebab adalah karena Allah lah satu-satunya Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab, maka mustahil suatu sebab berpengaruh dan berbuah sebagaimana yang diharapkan jika tanpa Allah kehendaki sebab tersebut berpengaruh.
Dia lah satu-satunya Sang Pentakdir sebab itu berpengaruh dan bukanlah makhluk yang pada asalnya tidak berdaya apa-apa! Oleh karena itulah, wajib hati kita bergantung dan bertawakal hanya kepada-Nya saja dan bukan justru kepada sebab!
Adapun maksud perkataan beliau : “diiringi dengan usaha yang disyari’atkan (untuk dilakukan) dan semangat melakukan yang (paling) bermanfa’at diantaranya”, kalimat ini hakekatnya untuk menjaga seseorang dari malas dalam mengambil sebab atau putus asa dalam berusaha.
Karena sikap yang benar bagi seorang hamba dalam mengambil sebab adalah :
Ia wajib berusaha dengan mengambil sebab yang benar, bahkan ia tertuntut untuk mengambil sebab yang paling bermanfa’at secara maksimal,
Sembari hati bertawakal kepada Allah saja dalam urusan keberhasilan usahanya.
Indikasi seseorang bersandar hatinya kepada selain Allah (kepada sebab) adalah:
- Saat sukses
Ketika seseorang telah berusaha mengambil sebab yang terbaik, diiringi dengan usaha secara maksimal, ditambah pengalaman yang panjang dan “jam terbang” yang tinggi dalam mengambil sebab tersebut, lalu ia merasa yakin dirinya bisa berhasil mencapai tujuannya dengan sebab yang istimewa tersebut dan ketika berhasil mencapai tujuannya, dirinya begitu membangga-bangakan dan mengandalkan kehebatannya dalam mengambil usaha tersebut, maka berarti pada dirinya ada indikasi bahwa hatinya bersandar pada sebab tersebut.
- Saat gagal
Adapun jika orang yang disebut di atas merasa kecewa berat, stress dan shock, ketika ternyata sebab yang istimewa itu tidak berpengaruh apa-apa, ia pun gagal mencapai tujuannya. Ia sama sekali tidak menyangka akan menemui kegagalan itu, sehingga ia tidak siap menghadapi kenyataan itu, berarti pada dirinya ada indikasi bahwa hatinya bersandar pada sebab tersebut.
Sikap yang benar dalam mengambil sebab dalam dua keadaan tersebut adalah:
- Saat sukses
Seseorang, yang walaupun telah sempurna dalam mengambil sebab yang terbaik dan bahkan telah berhasil meraih tujuannya, namun ia yakin bahwa semua itu berkat taufik Allah dan pertolongan-Nya kepadanya dan pada hakekatnya, kalau bukan karena Allah memberi taufik dan menolongnya, tentulah ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Ia pun menyadari bahwa kesuksesan yang ia dapatkan itu semata-mata dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagai ujian baginya, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Nabi Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An-Naml: 40).
- Saat gagal
Seseorang yang mengalami kegagalan dalam meraih apa yang ia harapkan, padahal telah mengambil sebab yang istimewa secara maksimal, lalu iapun hadapi kegagalan itu dengan bersabar, karena ia sadar bahwa dirinya adalah hamba Allah, tugasnya adalah menghamba kepada-Nya, baik di saat senang dengan bersyukur, maupun di saat sedih atau gagal dengan bersabar.
Ia juga ridha kepada Allah sebagai satu-satunya Rabb Sang Pengatur dirinya. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik baginya.
Maka orang yang seperti ini sikapnya, ketika menghadapi kegagalan adalah terdorong untuk senantiasa semangat dalam mengambil sebab baru, sebagai bentuk penghambaan kepada Allah yang baru, guna mencari solusi yang paling diridhoi-Nya dan yang paling bermanfa’at bagi dirinya di Dunia maupun Akherat.
Allah Ta’ala berfirman :
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan terlalu berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadiid:23).
Dampak ketika menyelisihi hukum sebab yang kedua ini
Seseorang yang tidak memenuhi kriteria pada hukum sebab kedua ini, maka dihukumi pelakunya telah melakukan syirik kecil yang khofiy/samar, karena walaupun ia masih meyakini usahanya tersebut sekedar sebagai sebab dan Sang Pentakdir berpengaruhnya sebuah sebab adalah Allah semata, namun hatinya bersandar kepada sebab, sehingga melemahkan tawakalnya kepada Allah.
Oleh karena itu Syaikh Bin Baaz rahimahullah ketika menjelaskan alasan memakai jimat divonis sebagai syirik kecil beliau mengatakan,
والعلة في كون تعليق التمائم من الشرك هي – والله أعلم -: أن من علقها سيعتقد فيها النفع ويميل إليها وتنصرف رغبته عن الله إليها، ويضعف توكله على الله وحده، وكل ذلك كافٍ في إنكارها والتحذير منها
“Dan sebab status menggantungkan jimat (tamimah) termasuk kedalam kesyirikan adalah – wallahu a’lam- bahwa (karena) siapapun yang menggantungkannya, maka ia akan meyakini ada manfa’at pada jimat tersebut dan hatinya condong kepadanya, harapannya pun beralih dari Allah menuju kepadanya, dan melemahkan tawakalnya kepada Allah. Semua penyebab ini sudah cukup menjadi alasan untuk mengingkarinya dan memperingatkannya (agar tidak melakukannya)”1
Berkata Syaikh Shaleh Alusy-Syaikh rahimahullah,
ثمّ لِمَ كان لُبس الحلقة أو الخيط من الشرك الأصغر؟ الجواب: لأنه تعلق قلبه بها، وجعلها سببا لرفع البلاء، أو سببا لدفعه
“Kemudian mengapa memakai jimat gelang atau (jimat yang terbuat dari) benang termasuk kedalam syirik kecil? Jawabannya: karena hatinya bergantung kepadanya dan menjadikannya sebagai sebab terangkatnya atau tertolaknya mara bahaya”2
____
Catatan kaki:
1. http://binbaz.org.sa/node/3334
2. At-Tamhiid, hal. 93.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadiid :
ثالثها: أن يعلم أن الأسباب مهما عظمت وقويت فإنها مرتبطة بقضاء الله وقدره لا خروج لها عنه،
- Ketiga: (Wajib) diketahui bahwa suatu sebab, meskipun besar dan kuat (pengaruhnya), maka sesungguhnya tetap terikat dengan taqdir Allah, tidak bisa terlepas darinya”.
Penjelasan
Maksud hukum sebab yang ketiga ini adalah seorang hamba wajib memiliki keyakinan bahwa sebab apapun yang diambilnya, pastilah baru berpengaruh sebab tersebut jika Allah taqdirkan dan jadikan sebab itu berpengaruh dan berbuah, namun jika Allah tidak menhendaki sebab tersebut berpengaruh, niscaya tidak bisa berpengaruh, betapapun besar dan istimewanya sebab itu.
Mengapa demikian?
Karena Allah lah Sang Pemilik alam semesta ini, maka Dia lah satu-satunya yang berhak dan mampu mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.
Beliau rahimahullah menjelaskan lebih lanjut, intinya bahwa:
Jika Allah menghendaki, maka Allah akan takdirkan suatu sebab berpengaruh sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya, agar seorang hamba mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya, karena sebab yang diambil telah berjalan sesuai dengan Hukum Allah yang Kauni Qadari, yaitu : ada sebab dan ada pula akibatnya.
Namun, jika Allah menghendaki sesuatu yang lain, maka Allah takdirkan suatu sebab tidak berpengaruh dan tidak berakibat, agar hati seorang hamba tidak bergantung kepada sebab dan agar ia mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah atas hamba-Nya dan kesempurnaan kehendak-Nya dalam mengatur alam semesta.
Berikut ini sebuah contoh bahwa sebab yang besar, jika tidak Allah kehendaki berpengaruh, niscaya tidak akan berpengaruh dan bahwa segala sesuatu tergantung kepada Allah, karena semua adalah milik Allah.
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, ketika itu api yang besar, Allah kehendaki menjadi dingin dan tidak berpengaruh sehingga tidak membakarnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ}
Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi sebab keselamatanlah bagi Ibrahim”,( QS. Al-Anbiyaa`: 69)
Kisah Maryam yang sedang hamil tua menggoyang pohon kurma, dengan izin Allah sebab yang lemah itu berpengaruh, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا }
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu . (QS. Maryam: 25).
Dampak menyelisihi hukum sebab yang ketiga
Seseorang yang tidak memenuhi hukum sebab yang ketiga dalam mengambil sebab, sehingga tidak memiliki keyakinan hanya Allah lah yang menjadikan sebuah sebab berpengaruh, justru sebaliknya, ia memiliki keyakinan bahwa sebab itulah yang berpengaruh dengan sendirinya, tanpa dikehendaki oleh Allah Ta’ala, maka orang tersebut telah terjatuh dalam syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam, karena berarti ia telah meyakini adanya pencipta selain Allah, yang mampu menciptakan (mewujudkan) sesuatu yang ia tuju.
Oleh karena itu Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan bahwa pemakai jimat bisa saja terjerumus kedalam syirik akbar, mengatakan:
ولبس الحلقة ونحوها إن اعتقد لابسها أنها مؤثرة بنفسها دون الله فهو مشرك شركاً أكبر في توحيد الربوبية، لأنه اعتقد أن مع الله خالقاً غيره
Memakai jimat gelang dan yang semisalnya, jika pemakainya berkeyakinan bahwa jimat tersebut berpengaruh dengan sendirinya tanpa Allah (kehendaki dan izinkan) , maka berarti ia telah melakukan kesyirikan dengan jenis syirik besar, (yaitu) kesyirikan akbar dalam masalah Rububiyyah, karena berarti ia meyakini adanya pencipta selain Allah1
Penutup
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulus Sadiid :
فهذا هو الواجب على العبد في نظره وعمله بجميع الأسباب.
“Inilah sikap wajib seorang hamba dalam memandang dan melakukan berbagai macam sebab (dalam aktivitasnya)”.
Dengan demikian, nampak urgensi memahami dan mengamalkan hukum-hukum sebab ini!
Barangsiapa yang dalam mengambil sebab memenuhi semua hukum-hukum sebab di atas, maka hal ini menunjukkan kebagusan tauhidnya dan berarti, dalam masalah ini, ia telah selamat dari kesyirikan kecil dan besarnya serta juga selamat dari terjerumus kedalam mengambil sebab yang haram!
Ia menjadi sosok Ahlut Tauhid yang semangat mengambil sebab dan tidak bermalas-malasan serta tidak mau mengambil sebab yang hakekatnya bukan sebab.
Disamping itu, ia juga sosok pribadi yang bersandar hatinya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya saja serta meyakini semua kebaikan itu berasal dari Allah.
Sehingga ketika ia sukses dalam mencapai tujuannya, tidaklah ia membangga-banggakan usahanya dan tidak pula menyombongkan dirinya.
Justru ia tawadhu’ dan mengembalikan semua kesuksesan kepada Sang Pemberinya, yaitu: Allah ‘Azza wa Jalla dan ia sikapi nikmat kesuksesan itu sebagai ujian yang harus disyukuri.
Wallahu a’lam.
____
Referensi:
Artikel tentang Hukum Sebab ini, diolah dari rekaman daurah Kitab Tauhid oleh Ustadzuna Abu Isa hafizhahullah dengan beberapa syarah kitab Tauhid yang lainnya, terutama Al-Qaulus Sadiid Fii Maqaashidit Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah dan At-Tamhiid, karya Syaikh Shaleh Alusy-Syaikh hafizhahullah.
Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Sumber: https://muslim.or.id/