Type Here to Get Search Results !

 


CARA MENASEHATI PENGUASA

 

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah dalam menyikapi kesalahan-kesalahan penguasa kita harus selalu sabar, diam, dan menerima sepenuhnya apa yang dilakukan penguasa? Lantas bagaimana dengan anjuran untuk melakukan ingkarul mungkar dan memberikan nasihat kepada penguasa, yang notabene keduanya adalah bagian dari prinsip-prinsip Islam yang tidak mungkin ditinggalkan?

Untuk menjawabnya, kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.

Sehingga sangat mustahil bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerangkan masalah yang demikian prinsip ini dan sangat dibutuhkan umatnya sepanjang mereka hidup, sementara di sisi lain beliau telah menerangkan perkara yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang seperti adab buang hajat.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)[1]

Nasihat

Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak], wallahu a’lam, red.). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim radhiallahu ‘anhu lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia’.”

Maka ‘Iyadh pun menjawab, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah subhanahu wa ta’ala. Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah subhanahu wa ta’ala sehingga engkau menjadi korban pembunuhan penguasa Allah subhanahu wa ta’ala?!”

Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim radhiallahu ‘anhu yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain[2], di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan ucapan siapa pun dari kalangan manusia. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)

Atas dasar hadits itu berarti penguasa mempunyai perlakuan khusus ketika diingkari kemungkarannya atau diberi nasihat. Sehingga salah bila dikatakan: “Adapun tuntutan syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya.” (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)

Di atas manhaj ini pula para sahabat berjalan sebagaimana tampak dari ucapan dan perbuatan mereka. Di antaranya:

    Bahwa Sa’id bin Jahman bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa radhiallahu ‘anhu (seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Abdullah bin Abu Aufa pun bertanya, “Siapa engkau?”

Aku pun menjawab, “Aku adalah Sa’id bin Jahman.”

Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada ayahmu?”

Jawabnya, “Ia dibunuh oleh al-Azariqah (sempalan kelompok Khawarij pimpinan Nafi’ Ibnul Azraq).”

Maka beliau berkata, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknati al-Azariqah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknati al-Azariqah, semoga Allah melaknati al-Azariqah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing ahli neraka.”

Sa’id mengatakan, “Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?”

Beliau menjawab, “Bahkan Khawarij seluruhnya.”

Sa’id mengatakan, “Sesungguhnya penguasa melakukan kezaliman terhadap manusia dan melakukan (kejahatan, red.) terhadap manusia.” Maka dia mengambil tangan saya dan dicoleknya dengan kuat lalu mengatakan, “Kasihan kamu wahai putra Jahman. Ikuti as-Sawadul A’zham, ikuti as-Sawadul A’zham (kaum muslimin dan penguasanya yang muslim). Jika penguasa mau mendengar nasihatmu maka datangi rumahnya, kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui. Kalau dia menerimamu (maka itu yang diinginkan, red.). Jika tidak, maka tinggalkan dia. Sesungguhnya kamu tidak lebih tahu darinya.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, 4/382—383, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya hasan”, Zhilalul Jannah, 2/508)

    Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ditanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa, maka beliau menjawab, “Jika kamu mesti melakukannya, hendaknya (dilakukan) antara kamu dan dia (secara sembunyi).” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum di akhir syarah hadits ketujuh. Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam al-Mushannaf, lihat Mu’amatul Hukkam, hlm. 160)

    Bahwa Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma ditanya, “Tidakkah engkau masuk dan mendatangi ‘Utsman agar kamu memberikan nasihat kepadanya?” Jawab Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, “Apakah kalian berpendapat bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku harus mengabarkan kepada kalian?! Demi Allah, aku telah menasihatinya antara aku dan dia, tanpa aku membuka urusan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.” (Sahih, Muslim)

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Maksudnya membuka (mengekspos) pengingkaran secara terang-terangan kepada para penguasa di hadapan umum. Karena dalam pengingkaran secara terang-terangan mengandung sesuatu yang dikhawatirkan dampaknya, sebagaimana terjadi pengingkaran tersebut terang-terangan terhadap ‘Utsman lalu mengakibatkan terbunuhnya …” (dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 159)

Masih banyak lagi riwayat yang lain bisa dibaca dalam kitab Mu’amatul Hukkam karya asy-Syaikh Abdussalam Barjas.

Ad-Din_An-Nashihah

Sikap yang ditunjukkan oleh para sahabat itu kemudian diwarisi oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana tertera dalam kitab-kitab mereka, baik mereka menyebut secara langsung maupun dengan menukilkan ucapan ulama yang lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim, ‘Iyadh, Ibnu Nahas, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sailul Jarrar, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lain-lain (lihat nukilan-nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Wardul Maqthuf hlm. 69—75).

Sehingga, seorang penasihat, mubaligh, atau da’i hendaknya menelusuri jalan ini dan menujukan nasihatnya kepada dua arah. Arah pertama ditujukan kepada penguasa dengan cara yang telah disebutkan di atas, bisa dengan bicara secara langsung, melalui surat, atau memberi nasihat melalui orang-orang dekatnya untuk disampaikan kepada penguasa dengan memerhatikan rambu-rambu di atas. Arah kedua, ia menujukan nasihat kepada rakyat.

Hendaknya para da’i menerangkan kepada rakyat cara bersikap yang benar terhadap penguasa, memberikan pengertian tentang kemungkaran-kemungkaran yang bersifat umum seperti haramnya khamr, judi, pelacuran, loyal kepada orang kafir, permusuhan mereka terhadap Islam, dan semacamnya. (Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 74 dan 70, dari nukilan Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)

Jika seseorang membolehkan mengritik penguasa di depan umum baik melalui lisan maupun tulisan dengan alasan sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka untuk menanggapi pendapat tersebut saya kemukakan beberapa hal.

    Telah dijelaskan bahwa hadits dalam permasalahan ini memiliki derajat sahih, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyelisihinya. Orang yang menghargai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan sangat menerima prinsip ini. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ

“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin atau mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin berijma’ bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak boleh ia menolaknya karena mengikuti ucapan seseorang, siapa pun dia.” (Shifat Shalat an-Nabi oleh al-Albani, hlm. 50)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Hampir-hampir bebatuan dari langit akan menghujani kalian, karena aku katakan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, lalu kalian mengatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar mengatakan demikian!!” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, lihat Fathul Majid dengan tahqiq al-Furayyan, hlm. 451)

    Kemungkinan sahabat yang melakukan kritikan terhadap penguasa di depan umum disebabkan belum tahu atau lupa, seperti kejadian dalam hadits di atas bahwa Hisyam bin Hakim radhiallahu ‘anhu diingatkan atau diberi tahu tentang hadits tersebut, lalu menerimanya. Atau ada udzur-udzur lain sebagaimana disebut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Raf’ul Malam ‘anil Aimmatil A’lam. Semua itu dalam rangka berbaik sangka terhadap para sahabat.

    Seandainya pun hadits itu (tentang tata cara menasihati penguasa dengan diam-diam) lemah—dan sesungguhnya tidak lemah—maka di hadapan kita ada dua sisi.

Sisi pertama, ucapan para sahabat yang jelas melarang perbuatan tersebut sebagaimana telah dinukilkan sebagiannya dari Abdullah bin Abu Aufa, Usamah bin Zaid, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, ditambah lagi dengan perbuatan dan praktik mereka.

Sisi kedua, ucapan sebagian sahabat yang tidak jelas membolehkan hal itu, yang demikian tidak tegas dalam menentukan hukum karena membawa kemungkinan-kemungkinan sebagaimana dalam poin kedua di atas. Lain halnya dengan ucapan para sahabat yang tegas dan jelas melarang hal itu, yang memang sedang berbicara masalah hukum.

    Sebagaimana masalah-masalah fiqih yang lain, tatkala kita menghadapi perbedaan pendapat dari kalangan sahabat, kita tidak boleh mengambil salah satunya tanpa alasan atau tanpa pendukung. Bahkan kita harus mengambil pendapat yang terdekat kepada kebenaran melalui pertimbangan-pertimbangan lain.

    Atas dasar poin keempat maka yang tampak bagi saya, pendapat yang melarang itulah yang semestinya diambil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut ini:

  •     Kaidah saddu adz-dzara’i’, yakni menutup jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal yang haram. Sebagaimana diketahui, dalam syariat ini ada hal-hal yang diharamkan karena hal tersebut menjadi wasilah atau sarana kepada sesuatu yang diharamkan (Muharram Bidzatihi, dengar kaset Silsilatul Huda Wannur 41/1, al-Albani, lihat juga Ighatsatul Lahfan tentang penjelasan saddu adz-dzara’i’). Dengan melihat kaidah ini dan kenyataan yang ada, bahwa seringkali seseorang yang berbicara terhadap penguasa terjatuh dalam hal-hal yang dilarang, karena yang masuk dalam kancah ini banyak dari kalangan orang-orang yang tidak mengerti hukum.
  •     Banyak ulama Ahlus Sunnah menjadikan hal ini sebagai pendapat mereka, bahkan dengan jelas mereka mengatakan bahwa inilah manhaj (jalan) Ahlus Sunnah, sebagaimana telah kita sebut sebagian nama-nama mereka di atas.
  •     Pengingkaran para ulama sejak para sahabat terhadap orang yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan. (Lihat Mu’amalatul Hukkam, hlm. 154)
  •     Dengan melihat maslahat dan mafsadahnya, melarang masalah tersebut akan lebih banyak mendatangkan maslahat bagi penguasa dan rakyat. Sebaliknya, membolehkan hal itu akan banyak mendatangkan mafsadah. Di antaranya membuka pintu bagi orang-orang yang menyembunyikan niat/kepentingan jahat atau orang-orang yang bodoh terhadap hukum.
  •     Dengan dibolehkan menyebutkan kejelekan penguasa di depan umum akan terjadi kesamaran antara seorang Ahlus Sunnah dengan seorang yang berpemahaman Khawarij.

    Atas dasar itu, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengingkari seorang yang mengingkari penguasa secara terang-terangan, sama saja baik dia itu seorang Ahlus Sunnah maupun Khawarij, di mana yang membedakan mereka berdua adalah tujuannya. Yaitu Khawarij melakukannya dalam rangka ambisi merebut kekuasaan… Sedang Ahlus Sunnah dalam rangka semata-mata amar ma’ruf dan nahi mungkar. (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)

Pintu-gelap

Hal ini karena tujuan adalah niat di dalam hati yang tidak tampak secara nyata, sedangkan yang tampak bahwa kedua orang tersebut melakukan hal yang sama. Tentu konsekuensi semacam ini menunjukkan batilnya pendapat itu, karena Khawarij pun meyakininya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, di samping juga bertentangan dengan perbuatan sahabat yang mengingkari Khawarij.

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi katanya, “Saya bersama sahabat Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis.

Maka (seseorang bernama) Abu Bilal mengatakan, ‘Lihatlah kepada pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq.’

Maka Abu Bakrah pun menimpali, ‘Diamlah kamu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Barang siapa yang menghinakan penguasa Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menghinakannya’.” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitabul Fitan”, 4/435 no. 2224 cet. Darul Kutub. At-Tirmidzi mengatakan, “Hasan Gharib”, Mu’amalatul Hukkam, hlm. 174—185, lihat pula al-Wardul Maqthuf, hlm. 58, tentang pengingkaran Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap Abu Jamrah)

Maka di hadapan kita ada dua kemungkinan, apakah sahabat tersebut salah dalam mengingkari orang tersebut atau benar? Bagi saya, dengan alasan apa kita menyalahkan sahabat tersebut? Sungguh sangat berat untuk menyalahkannya.

    Melihat kenyataan umum yang ada di masyarakat kita bahwa mereka yang melakukan pengingkaran terhadap para penguasa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:

  •     Menghinakan penguasa, dan perbuatan ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Namun bukan berarti yang dimaksud menghargai mereka adalah dengan mengagung-agungkan penguasa itu. Penguasa dihargai karena besarnya tugas yang diemban dan dengan dihinakannya mereka maka tugas yang menjadi kewajibannya tidak akan terlaksana dengan baik sehingga terjadi banyak kerusakan. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 177)
  •     Melakukan celaan terhadap penguasa, dan ini juga dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Para pembesar sahabat di antara kami melarang kami dengan perkataan mereka, ‘Jangan kalian cerca para pemimpin kalian, jangan berbuat curang terhadap mereka, dan jangan kalian membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bersabarlah!.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim, no.1015, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya jayyid.” [bagus, yakni sahih—wallahu a’lam])
  •     Melakukan ghibah terhadap penguasa, dan ghibah hukumnya haram apalagi kepada penguasa tentu lebih haram karena mafsadahnya akan lebih besar.
  •     Tidak menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam menyikapi penguasa yang zalim yaitu sabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan menyerahkan masalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka biasanya hanya menyebutkan sisi-sisi negatif penguasa.
  •     Tidak memperingatkan dari haramnya memberontak kepada penguasa muslim baik dengan senjata maupun lisan. Bahkan dengan lisan lebih berbahaya karena bisa menyulut tindakan anarkis.
  •     Tidak membantah kelompok Khawarij terutama ciri khas mereka yaitu suka memberontak terhadap penguasa.
  •     Memprovokasi massa untuk membenci para pemimpin mereka dan ini jelas terlarang sebagaimana ucapan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu di atas. Juga bertolak belakang dengan manhaj Ahlus Sunnah yaitu melunakkan hati masyarakat dan membimbing mereka supaya taat kepada para penguasa.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adapun menasihati para pemimpin kaum muslimin artinya membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan memerintahkan mereka untuk itu, serta mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan memberitahukan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin yang mereka lalaikan dan belum menyampaikannya kepada kaum muslimin. Termasuk nasihat kepada mereka adalah tidak melakukan pemberontakan kepada mereka serta melunakkan hati manusia agar taat kepada mereka.” (Syarah Shahih Muslim, dinukil dalam al-Wardul Maqthuf, hlm. 72 dan lihat hlm. 74)

  •     Tidak mendoakan kebaikan untuk penguasa. Yang dilakukan kebanyakan orang justru kebalikannya. Al-Imam al-Barbahari rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah dan jika kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya saya punya doa yang terkabul maka tidak akan saya berikan kecuali untuk penguasa.” (Syarhus Sunnah, dinukil dari al-Wardul Maqthuf, hlm. 54)

  •     Tidak melihat sisi maslahat dan mafsadah yang diakibatkan dari perbuatannya yang seolah-olah hanya luapan emosi, sehingga mengakibatkan banyak korban sampai-sampai yang tidak tahu apa-apa juga terkena imbasnya.

    Itu semua lepas dari apa yang tersembunyi dalam hati mereka dari niat dan keyakinan, namun Allah Mahatahu.

  •     Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menganggap riwayat dari ‘Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Asma’, dan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhum sebagai manhaj yang tetap dan menganjurkan umat untuk mengingkari penguasa/pemerintah secara terang-terangan. Justru sebaliknya, mereka menganjurkan umat untuk sabar dan tidak menjamah penguasanya ketika zalim, dengan dalil riwayat dari para sahabat di atas. Bila riwayat-riwayat di atas tetap dipaksakan sebagai dalil tentang bolehnya membicarakan kemungkaran penguasa di depan umum, maka orang yang seperti ini persis seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat:

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ

“Sementara orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Ali ‘Imran: 7)

  •     Tidak satu pun kitab-kitab ulama dalam pembahasan ushuluddin (pokok agama) yang melewatkan pembahasan ini, yaitu manhaj al-haq (adalah) bersabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan tidak membicarakan kejelekan mereka di depan umum.

    Melihat makna nasihat yaitu iradatul khair lilmanshuh lahu, yakni menginginkan kebaikan untuk yang dinasihati (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/207, tahqiq Thariq ‘Iwadhullah). Menasihati penguasa artinya menginginkan kebaikan baginya. Sedangkan dengan keterangan di atas tampaknya perbuatan mereka bukan termasuk nasihat sama sekali walaupun mereka sebut demikian.

Oleh karena itu, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya menyelisihi penguasa pada perkara yang bukan darurat dari masalah agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di forum-forum, masjid-masjid, media massa, mimbar-mimbar, dan sebagainya, bukan termasuk nasihat sama sekali. Maka jangan tertipu dengan siapa saja yang melakukan demikian walaupun niatnya baik, karena hal itu menyelisihi perbuatan as-salafush shalih yang menjadi teladan.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 156)

Sebagai penutup, perhatikan baik-baik ucapan seorang tabi’in al-Hasan al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: (shalat) Jum’at, (shalat) jamaah, ‘Id (hari raya), perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)

Pembahasan ini bukanlah bertujuan untuk membela kezaliman penguasa atau karena ketidaktahuan atas kezaliman mereka, namun untuk membela syariat Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah ini.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

_____

Footnote

[1] Sebagian ahlul ilmi melemahkannya, namun asy-Syaikh al-Albani mensahihkannya.

[2] Seperti pengingkaran Abu Sa’id al-Khudri terhadap Marwan ibnul Hakam, pengingkaran Asma’ terhadap al-Hajjaj, ‘Ali bin Abu Thalib terhadap ‘Utsman, dan Ibnu ‘Umar terhadap al-Hajjaj sebagaimana disebutkan dalam majalah Majalah Salafy (edisi 02 tahun V, hlm. 17—26) oleh penulisnya, untuk melegitimasi perbuatannya dalam mencaci-maki pemerintah dengan terang-terangan. Padahal sebagian besar perbuatan tersebut tidak secara jelas menunjukkan bahwa mereka melakukannya di depan khalayak ramai. Atau tidak tegas menunjukkan nasihat kepada penguasa secara langsung dan ta’yin (tertentu). Maka, berdalil dengannya berarti istidlal fi ghairi mahallin niza’ (berdalil dengan dalil yang tidak berbicara dalam permasalahan yang diperselisihkan).

Sumber: https://asysyariah.com/