Dari pemahaman terhadap makna yang benar tersebut, kita pun mengetahui apakah konsekuensi orang-orang yang telah mengucapkan atau mengikrarkannya. Yaitu, dia memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala, tidak menujukan satu pun bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, siapa pun mereka, baik malaikat, nabi, orang shalih ataupun jin. Jika di satu sisi dia mengucapkan kalimat tauhid, namun di sisi lain dia beribadah kepada selain Allah, tentu dua hal ini menjadi kontradiktif.
Perlu diketahui bahwa kandungan kalimat “laa ilaaha illallah” tersebut adalah hakikat dari tauhid yang sebenarnya. Makna itulah yang merupakan tujuan utama penciptaan manusia, inti dakwah seluruh rasul, dan mengapa kitab-kitab diturunkan. Karena makna kalimat tauhid itu pula, terjadi perselisihan dan permusuhan yang sengit antara para Rasul dengan para penentangnya dari orang-orang kafir.
Penjelasan para ulama tentang hakikat tauhid
Berikut ini akan penulis sampaikan beberapa penjelasan dari para ulama rahimahumullah tentang hakikat dari tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Imam Malik rahimahullah (wafat th. 179 H) pernah ditanya tentang tauhid, kemudian beliau rahimahullah menjawab,
محال أن يظن بالنبي – صلى الله عليه وسلم – أنه علم أمته الإستنجاء ولم يعلمهم التوحيد ، فالتوحيد ما قاله النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – : (( أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا : لا إله إلا الله ، فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم )) ، فما عصم الدم والمال فهو حقيقة التوحيد
“Tidak mungkin kalau kita menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan umatnya tentang masalah istinja’ (adab buang hajat, pen.), lalu tidak mengajarkan tentang tauhid. Tauhid adalah apa yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illallah [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Apabila mereka mengucapkannya, maka terjagalah nyawa dan harta mereka.” Maka, sesuatu yang menjaga nyawa dan harta itulah yang merupakan hakikat tauhid.” (Fathul Baari li Ibni Rajab, 6: 41)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata,
فإن حقيقة التوحيد أن نعبد الله وحده فلا يدعى إلا هو ولا يخشى إلا هو ولا يتقى إلا هو ولا يتوكل إلا عليه ولا يكون الدين إلا له لا لأحد من الخلق وأن لا نتخذ الملائكة والنبيين أربابا فكيف بالأئمة والشيوخ والعلماء والملوك وغيرهم
”Sesungguhnya hakikat tauhid adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Maka kita tidaklah berdoa kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada-Nya, tidak taat (bertakwa) kecuali kepada-Nya, dan tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya. Tidaklah ketaatan (ibadah) ini kita tujukan kecuali kepada-Nya, tidak kepada yang lainnya dari para makhluk-Nya. Tidaklah kita menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan (selain Allah, pen.), lalu bagaimana lagi dengan para pemimpin, guru-guru shufi, ulama, raja, dan selain mereka?” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah,
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata,
فينفي عبادة ما سوى الله ويثبت عبادته وهذا هو حقيقة التوحيد …
“ … Kita meniadakan peribadatan kepada selain Allah dan menetapkan peribadatan kepada-Nya. Inilah hakikat tauhid.” (Badaai’ul Fawaaid, 1: 141)
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan,
فلا صلاحَ للقلوب حتَّى تستقرَّ فيها معرفةُ اللهِ وعظمتُه ومحبَّتُه وخشيتُهُ ومهابتُه ورجاؤهُ والتوكلُ عليهِ ، وتمتلئَ مِنْ ذَلِكَ ، وهذا هوَ حقيقةُ التوحيد ، وهو معنى (( لا إله إلا الله )) ، فلا صلاحَ للقلوب حتَّى يكونَ إلهُها الذي تألَهُه وتعرفه وتحبُّه وتخشاه هوَ الله وحده لا شريكَ لهُ
“Tidak ada kebaikan bagi hati sampai tertanam di dalamnya pengenalan terhadap Allah Ta’ala, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, memuliakan-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya. Hatinya dipenuhi itu semua. Inilah hakikat tauhid, yang merupakan makna dari kalimat ‘laa ilaaha illallah’. Maka tidak ada kebaikan bagi hati sampai sesembahan yang dia sembah, dia kenal, dia cintai, dan dia takuti adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 211)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata,
الْمُرَاد بِتَوْحِيدِ اللَّه تَعَالَى الشَّهَادَة بِأَنَّهُ إِلَه وَاحِد
“Yang dimaksud dengan mentauhidkan Allah Ta’ala adalah persaksian bahwa sesungguhnya Dia-lah sesembahan Yang Maha esa.” (Fathul Baari, 20: 438)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata,
فهذا حقيقة التوحيد إثبات الإلهية لله ونفيها عما عداه
“Hakikat tauhid adalah menetapkan uluhiyyah (hak untuk diibadahi, pen.) kepada Allah dan meniadakannya dari selain Allah.” (Taisiir Karimir Rahman, hal. 253)
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah (wafat th. 1420 H) berkata,
أما الشهادة الأولى فهي تبين حقيقة التوحيد وحقيقة العبادة التي يجب إخلاصها لله وحده سبحانه وتعالى لأن معناها كما لا يخفى لا معبود بحق إلا الله ، فهي تنفي العبادة عن غير الله وتثبت العبادة لله وحده
“Adapun syahadat yang pertama (yaitu ‘laa ilaaha illallah’, pen.) menjelaskan tentang hakikat tauhid dan hakikat ibadah yang wajib diikhlaskan kepada Allah Ta’ala semata. Karena maknanya, sebagaimana yang telah dimaklumi adalah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kalimat ini meniadakan peribadatan kepada selain Allah, dan menetapkan ibadah hanya kepada Allah semata.” (Majmu’ Fataawa wa Maqalaat Ibnu Baaz, 2: 314)
Demikianlah beberapa penjelasan dari para ulama yang menunjukkan bahwa hakikat tauhid adalah mengikhlaskan atau memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini tidak lain adalah kandungan makna dari kalimat “laa ilaaha illallah”.
Mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah?
Karena hakikat tauhid adalah mengikhlaskan atau memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, maka kita jumpai beberapa ulama yang mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah.
Di antaranya adalah Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah, ketika beliau mendefinisikan tauhid dengan,
اعلم رحمك الله . . أن التوحيد هو إفراد الله سبحانه بالعبادة
“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah.” (At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 47)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafidzahullah berkata,
أما معناه شرعاً: فهو إفراد الله- تعالى- بالعبادة. هذا هو التّوحيد شرعاً
“Adapun makna (tauhid) dalam istilah syar’i adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah. Inilah tauhid dalam istilah syari’at.” (I’aanatul Mustafiid, 1: 19)
Setelah mengetahui bahwa hakikat tauhid adalah meng-esakan Allah dalam ibadah, sehingga di antara ulama pun mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah, maka mungkin kemudian timbul tanda tanya dalam benak kita. Mengapa para ulama mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah? Bukankah masih ada dua tauhid lagi, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat? Mengapa dua macam tauhid ini tidak dimasukkan dalam definisi tauhid? Bukankah kedua jenis tauhid ini juga penting?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan beberapa tinjauan berikut ini [1]
Pertama, tujuan para ulama mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah adalah dalam rangka menekankan betapa pentingnya tauhid uluhiyyah tersebut. Karena tauhid uluhiyyah adalah inti ajaran dakwah yang dibawa oleh seluruh Rasul, mulai dari Nabi Nuh hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (QS. An-Nahl [16]: 36)
Bukti lain tentang betapa pentingnya tauhid uluhiyyah adalah bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk menegakkan tauhid uluhiyyah ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Mendefinisikan sesuatu dengan menyebutkan salah satu bagian dari sesuatu tersebut yang paling penting juga sering dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contohnya adalah beliau mendefinisikan haji dengan wukuf di Arafah, padahal masih terdapat bagian dari ibadah haji yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah (wukuf di) Arafah.” (HR. Ahmad no. 18796. Syaikh Syu’aib Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)
Maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling agung.
Ke dua, sesungguhnya penyelewengan yang sangat banyak terjadi pada manusia sejak zaman dahulu dan akan terus berlanjut hingga sekarang ini adalah kesyirikan dalam masalah uluhiyyah. Kesyirikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan umat Nuh ‘alaihis salaam dalam masalah uluhiyyah. Dan demikianlah kesyirikan tersebut terus berlanjut pada umat-umat yang lain sehingga Allah pun mengutus para Rasul-Nya dengan misi pokok menegakkan tauhid uluhiyyah. Sehingga tauhid inilah yang merupakan titik perseteruan dan permusuhan antara para Rasul dengan umatnya masing-masing dan merupakan titik persimpangan yang memisahkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Dan tema perseteruan ini akan terus berlanjut hingga sekarang dan mungkin akan terus berlanjut hingga hari kiamat.
Ke tiga, pada hakikatnya, tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Oleh karena itu, apabila kita mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah, maka sebenarnya tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat telah tercakup dalam definisi tersebut.
Orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (tauhid uluhiyyah), maka tentu saja dia telah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta (tauhid rububiyyah). Karena tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala semata, namun dia tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta. Di sisi lain, seseorang juga tidak mungkin beribadah kepada Allah, kecuali karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna (tauhid asma’ wa shifat).
Dengan penjelasan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Sehingga definisi yang dibuat oleh para ulama tersebut telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.
____
Catatan kaki:
[1] Penjelasan ini kami sarikan dari kitab Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 41-44; At-Taudhihat Al-Kasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat , hal. 51-52; dan buku Imam Syafi’i Menggugat Syirik, hal. 52-55.
Perhatian kita harus ditujukan untuk mendakwahkan tauhid uluhiyyah
Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya,”Untuk apa penulis membahas hal ini? Kalau memang hakikat tauhid adalah tauhid uluhiyyah, lalu apa kepentingannya?”
Maksud penulis dari penjelasan ini dengan mengutip perkataan dari beberapa ulama adalah untuk menjelaskan bahwa tauhid inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian kita semua dalam kehidupan kita, termasuk ketika mendakwahkan tauhid. Hal ini sekaligus untuk menjelaskan kesalahan sekelompok orang yang lebih mementingkan dan mengutamakan dakwah kepada tauhid rububiyyah, dan berhenti di situ saja tanpa menjelaskan kepada umat tentang hakikat tauhid yang sebenarnya, yaitu tauhid uluhiyyah.
Contohnya adalah belasan tahun yang lalu ketika banyak bermunculan VCD-VCD dan juga buku-buku yang intinya mengajak masyarakat untuk merenungi keajaiban dan keindahan alam semesta ini. Misalnya VCD atau buku tentang keajaiban di dalam sel, sistem pertahanan tubuh manusia, proses penciptaan manusia, dan juga keajaiban pada semut, dan binatang-binatang lainnya. Dengan merenungi itu semua, mereka bermaksud untuk menunjukkan bahwa di balik semua keajaiban itu pasti terdapat Dzat Yang Maha pencipta dan Maha kuasa atas segala sesuatu.
Hal ini sekaligus mereka gunakan untuk membantah para pengikut teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada tidaklah “diciptakan secara khusus”, akan tetapi merupakan hasil dari “proses alamiah” melalui proses seleksi alam, adaptasi, dan mutasi selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. VCD-VCD tersebut kemudian sering ditayangkan kepada anak-anak dan juga orang dewasa melalui forum-forum pengajian dan juga forum-forum pertemuan lainnya.
Atau fenomena lainnya, yaitu diselenggarakannya acara outbond dengan naik gunung atau ke tempat-tempat lainnya, untuk merenungi keindahan alam tersebut. Karena dengan naik gunung atau naik tebing kemudian berkemah, maka akan tampaklah keindahan dan keteraturan alam semesta ini, yang semuanya itu menunjukkan adanya Pencipta alam semesta ini, yaitu Allah Ta’ala.
Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan atau meremehkan usaha yang telah mereka lakukan tersebut. Namun yang penulis sayangkan adalah, ketika usaha mereka hanya sampai pada mengenalkan tauhid rububiyyah saja, kemudian berhenti dan selesai, serta tidak melanjutkannya dengan mendakwahkan tauhid uluhiyyah.
Hal ini karena hakikat tauhid yang sebenarnya bukanlah tauhid rububiyyah, akan tetapi tauhid uluhiyyah. Inti dakwah para Rasul sejak zaman Nuh ‘alaihis salaam sampai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pada tauhid rububiyyah, akan tetapi pada tauhid uluhiyyah. Penyelewengan yang banyak terjadi pada umat manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang ini, bukanlah pada masalah rububiyyah, tetapi dalam masalah uluhiyyah.
Selain itu, keyakinan bahwa Allah-lah Dzat Yang Maha mencipta dan Maha mengatur alam semesta adalah keyakinan dan fitrah yang telah dimiliki oleh setiap orang. Bahkan orang yang paling kafir sekalipun, yaitu Fir’aun, mengakui hal ini. Adapun pernyataan Fir’aun bahwa dia-lah Tuhan alam semesta ini, hanyalah karena kesombongan yang ada pada dirinya, padahal sebenarnya hatinya mengakui bahwa Allah-lah Yang Maha pencipta. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perkataan Musa ‘alaihis salaam kepada Fir’aun,
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Musa menjawab, ’Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata’.” (QS. Al-Isra’ [17]: 102)
Dan apabila kita membaca Al Qur’an, maka akan kita jumpai ayat-ayat yang menunjukkan bahwa konsekuensi selanjutnya dari keimanan terhadap rububiyyah Allah adalah beriman terhadap uluhiyyah-Nya. Dan Allah pun berdalil dengan keimanan orang-orang musyrik terhadap tauhid rububiyyah untuk memerintahkan mereka agar beriman kepada tauhid uluhiyyah dan mengamalkannya.
Misalnya, perintah pertama dalam ayat Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ؛ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21-22)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam [19]: 65)
Oleh karena itu, apabila kita hanya sibuk mendakwahkan tauhid rububiyyah, tanpa menjelaskan tauhid uluhiyyah dan lawannya yaitu syirik dalam masalah uluhiyyah, maka umat ini akan menyangka bahwa tauhid rububiyyah inilah yang merupakan inti dari ajaran agama Islam. Mereka juga akan salah paham dengan meyakini bahwa seseorang baru disebut sebagai seorang musyrik jika tidak meyakini adanya Allah Ta’ala. Adapun jika mereka masih meyakini adanya Allah Ta’ala, mereka tetap disebut sebagai seorang muslim, meskipun beribadah kepada kubur atau percaya kepada dukun.
Selain itu, berhenti hanya pada tauhid rububiyyah inilah yang menjadi sumber asal kesesatan sekte-sekte yang menyimpang dalam agama Islam seperti sekte khawarij, syi’ah rafidhah, mu’tazilah, tasawwuf, dan juga asy’ariyyah. Hakikat tauhid yang mereka pahami adalah tauhid rububiyyah, sehingga tidak aneh jika mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta kecuali Allah”. Mereka tidak mengetahui lebih daripada makna itu, meskipun mereka mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, mengumandangkannya ketika adzan, dan menyatakannya ketika shalat. Akan tetapi, mereka tetap tidak mengetahui makna yang benar dan juga tidak mengetahui syarat-syaratnya.
Karena yang mereka pahami dari tauhid adalah tauhid rububiyyah, maka kita tidak heran ketika mendapati pengikut-pengikut sekte tersebut yang menyembah kubur, dan meyakini bahwa para wali dalam sekte mereka memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib dan dapat mengatur alam ini. Bahkan saking parahnya, mereka sampai terjatuh ke dalam syirik dalam tauhid rububiyyah. Semuanya karena kebodohan mereka tentang hakikat tauhid yang menjadi inti dakwah para Rasul dan juga kebodohan tentang makna yang benar dari “laa ilaaha illallah”, sesuatu yang diketahui oleh orang-orang musyrik zaman dahulu seperti kaum kafir Quraisy.
Hal ini karena sebenarnya di antara pengikut sekte tersebut, seperti syi’ah rafidhah dan sufi, terdapat orang-orang yang hanya ingin menghancurkan Islam. Orang-orang yang menyimpang tersebut, dengan berpakaian sebagai seorang muslim dan bertingkah seolah-olah sebagai seorang ahli ibadah dan ahli zuhud, mereka menyebarkan ideologi syirik, hulul (bahwa Allah dapat menitis pada mahluk), dan wihdatul wujud (bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya adalah Allah).
Semua ideologi ini menyebar di kalangan kaum sufi. Sampai-sampai tidak ada sebuah kelompok sufi secara keseluruhan di muka bumi ini kecuali pada saat ini terjatuh ke dalam syirik, hulul, dan wihdatul wujud. Meskipun ada beberapa individu yang mungkin terbebas dari penyimpangan ini, namun sebagian besar orang dari sekte ini tidak selamat dari kesesatan ini. Sehingga mereka meyakini bahwa para wali mengetahui hal-hal yang ghaib dan dapat mengontrol alam semesta ini. Di antara mereka ada yang berdoa, menyembelih, dan memohon pertolongan kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita pun memohon petunjuk dan hidayah kepada Allah Ta’ala.
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
____
Catatan kaki:
[1] Disarikan dari Tafsiir Kalimat Tauhid, http://www.rabee.net.
Sumber: https://muslim.or.id/