KEWAJIBAN MENGIKUTI AL-KITAB & AS-SUNNAH BERDASARKAN PEMAHAMAN SALAFUS-SHALIH
Kita akan mendapatkan banyak dalil tentang wajibnya mengikuti manhaj Salaf -dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in radliyallahu anhum- di dalam menempuh agama Islam ini. Alasan utamanya adalah bahwa generasi Salaf telah mendapatkan ridha dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).
Selain mendapat ridha, generasi Salaf juga merupakan generasi yang terbaik di dalam umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelah mereka (tabi’in), kemudian generasi setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Al-Bukhari: 2458, Muslim: 4601, at-Tirmidzi: 3794 dan Ibnu Majah: 2353 dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu).
Tentang wajibnya mengikuti akidah mereka, Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman dengan semisal apa yang kalian (para sahabat Nabi, pen) telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 137).
- Al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi (wafat tahun 745 H) rahimahullah berkata:
أي فإن اعتقدوا مثل اعتقادكم…الخ
“Maksud ayat di atas adalah “Jika mereka memiliki akidah seperti akidah kalian (wahai para sahabat Nabi!)..dst.” (Tafsir al-Bahrul Muhith: 2/36).
Akidah Salaf tentang Sifat-sifat Allah
Dan sudah diketahui bersama bahwa manhaj as-Salaf di dalam memahami teks ayat al-Quran dan hadits tentang nama-nama dan sifat Allah taala adalah mengimani teks-teks tersebut apa adanya, tidak melakukan ‘takwil’ atau ‘tahrif’ (memalingkan dari makna dhahirnya, pen), tidak melakukan ‘tamtsil’ (menyerupakannya dengan sifat makhluk, pen) dan tidak membahas kaifiyat (tata cara) atas sifat tersebut. Berikut ini adalah penukilan dari Salafus Shaleh tentang sifat-sifat Allah ta’ala.
- Pertama: al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (wafat tahun 179 H) berkata tentang ayat ‘bersemayamnya Allah di atas Arsy’ (QS. Thaha: 5):
الاستواء غير مجهول ، والكيف غير معقول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة
“Bersemayam-Nya diketahui, kaifiyat (tata cara) bersemayam-Nya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib dan menanyakan tata caranya adalah bid’ah.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam Syarafu Ash-habil Hadits: 6 (7), al-Baihaqi dalam al-Madkhal: 171 (1/173) dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi: 1084 (2/283)).
- Kedua: al-Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (murid al-Imam Abu Hanifah, wafat tahun 189 H) rahimahullah berkata:
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في صفة الرب عز و جل من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه فمن فسر اليوم شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه و سلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا
“Para fuqaha’ semuanya dari timur hingga ke barat bersepakat di dalam beriman terhadap al-Quran dan hadits-hadits yang dibawa oleh orang-orang tsiqat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang sifat Rabb azza wajalla, tanpa mengubah makna, tanpa membahas tatacara sifat tersebut, tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk. Barangsiapa melakukan takwil (dari zhahir lafazhnya, pen) terhadap salah satu dari sifat tersebut, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyelisihi al-Jamaah, karena mereka tidak membahas tatacara sifat tersebut dan tidak mengubah makna zhahirnya, tetapi mereka berfatwa dengan sifat-sifat Rabb yang tersebut dalam al-Kitab dan as-Sunnah kemudian mereka diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 740 (3/432)).
- Ketiga: al-Imam al-Walid bin Muslim rahimahullah (wafat tahun 195 H) menyatakan:
سألت الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في الصفات فقالوا أمروها كما جاءت بلا كيف
“Aku bertanya kepada (al-Imam) al-Auzai, (al-Imam) Sufyan ats-Tsauri, (al-Imam) Malik bin Anas dan (al-Imam) Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, maka mereka menjawab: “Jalankanlah (yakni: imanilah, pen) hadits-hadits tersebut apa adanya sebagaimana datangnya tanpa membahas kaifiyat (tata cara) sifat-sifat tersebut!” (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 7/149, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 1/171 dan al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 735 (2/469)).
- Keempat: al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah (wafat tahun 190 H) berkata:
كل ما وصف الله تعالى من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته ، والسكوت عليه
“Segala sifat yang mana Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, maka tafsirnya adalah bacaannya dan berdiam diri dari membahas kaifiyatnya.” (Al-Asma’ wash-Shifat lil Baihaqi: 2/412 (838)).
- Kelima: al-Imam Abbas bin Muhammad ad-Dauri rahimahullah (wafat tahun 271 H) berkata:
سمعت أبا عبيد القاسم بن سلام ، وذكر عنده هذه الأحاديث : « ضحك ربنا عز وجل من قنوط عباده ، وقرب غيره ، والكرسي موضع القدمين ، وأن جهنم لتمتلئ فيضع ربك قدمه فيها ، وأشباه هذه الأحاديث ؟ فقال أبو عبيد : » هذه الأحاديث عندنا حق يرويها الثقات بعضهم عن بعض إلا أنا إذا سئلنا عن تفسيرها قلنا : ما أدركنا أحدا يفسر منها شيئا ونحن لا نفسر منها شيئا نصدق بها ونسكت
“Aku mendengar al-Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat tahun 273 H) rahimahullah –salah satu murid al-Imam asy-Syafi’i- dan ditanyakan di hadapan beliau beberapa hadits ini; hadits: “Rabb kita azza wajalla tertawa atas hamba-hamba-Nya yang berputus asa”, hadits tentang “Kedekatan Allah kepada hamba-Nya”, hadits: “Kursi adalah tempat kedua telapak kaki (Allah, pen)”, dan hadits: “Neraka Jahanam menjadi penuh kemudian Rabb meletakkan telapak kaki-Nya di dalamnya”. Maka beliau menjawab: “Hadits-hadits ini menurut kami adalah benar, diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sebagian dari sebagian lainnya. Hanya saja jika kita ditanya tentang tafsirnya (baca: takwilnya, pen), maka kita menjawab: “Kita tidak pernah menjumpai salah seorang pun (dari kalangan Salaf, pen) yang mentakwilkan teks-teks tersebut. Dan kami pun tidak akan mentakwilkannya. Kami membenarkan (meng-imani) teks-teks tersebut dan bersikap diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 733 (2/467)).
Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa Salafus Shaleh mengimani semua sifat Allah ta’ala yang tercantum dalam al-Quran dan hadits-hadits yang shahih, tanpa melakukan takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen), tanpa tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk, pen) dan tanpa membahas kaifiyat atau tata cara sifat tersebut. Allah ta’ala memuji sikap Salafus Shaleh ini dalam ayat-Nya:
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat tersebut, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali Imran: 7)
Kewajiban Mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah Berdasarkan Pemahaman Salafus Shalih
Oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al-Jazairi
Sesungguhnya jalan yang sama sekali tidak pernah diperselisihkan oleh kaum muslimin baik di masa lampau maupun saat ini adalah jalan al-Kitab dan as-Sunnah, jalan yang senantiasa diridhai Allah Ta’ala. Pada jalan itulah mereka datang dan pada jalan itu pula mereka muncul. Meskipun mereka berselisih dalam cara-cara pengambilan dalil dari kedua sumber tersebut.
Kesepakatan mereka itu disebabkan Allah telah menjamin kelurusan bagi pengikut al-Kitab, sebagaimana yang Dia firmankan lewat lisan bangsa Jin yang beriman.
قَالُوا يَاقَوْمَنَآ إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِّمَابَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (al-qur’an) yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.[Al-Ahqaf/46:30]
Sebagaimana Allah juga telah menjamin kelurusan tersebut bagi pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti pada firman-Nya kepada beliau:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) menunjukkan kepada jalan yang lurus. [As-Syuura/42 : 52]
Akan tetapi ada perkara yang menjadikan kelompok-kelompok Islam menyimpang dari jalan-Nya, yaitu mereka lalai terhadap rukun ketiga yang telah disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah bersama-sama. Rukun ketiga itu adalah memahami al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih. Dan surat al-Fatihah juga telah mencakup tentang tiga rukun ini dengan penjelasan yang sangat sempurna. Firman Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
"Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. [Al-Fatihah/1: 6] Telah mencakup dua rukun, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana telah lewat. Sedang firman-Nya:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ
"Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat atas mereka.[Al-Fatihah/1: 7]
Telah mencakup pemahaman Salaf terhadap jalan ini. Memang tidak seorangpun merasa ragu bahwa barangsiapa berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah, berarti dia telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Akan tetapi pemahaman manusia terhadap al-Kitab dan as-Sunnah ada yang benar dan ada yang keliru. Hal itu mengharuskan adanya rukun ketiga untuk menghilangkan perselisihan yang terjadi. Rukun ketiga itu adalah mengikatkan pemahaman khalaf dengan pemahaman salaf.
Ibnul Qayyim berkata: “Perhatikanlah rahasia mengagumkan –lewat ungkapan yang lugas dan singkat– di balik penyebutan sebab dan akibat yang diperuntukkan buat tiga golongan tersebut. Karena sesungguhnya nikmat yang dianugerahkan pada mereka telah mengandung unsur nikmat hidayah yang berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh[1].
Beliau berkata lagi: “Maka setiap orang yang lebih mengenal al-haq serta lebih mengikutinya, berarti dialah yang lebih berhak mendapatkan jalan yang lurus. Dan tidak ragu lagi bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling berhak dengan status ini daripada kaum Rafidhah. Oleh karena itu Salaf menafsirkan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) dan orang-orang yang berjalan di atasnya dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].
Dalam perkara ini Ibnul Qayyim rahimahullah menetapkan bahwa orang yang paling dimuliakan Allah dengan nikmat-Nya berupa ilmu dan amal adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Karena mereka menyaksikan turunnya wahyu, mereka pula yang menyaksikan petunjuk/tuntunan Rasul mulia, yang dengan petunjuk Rasululah itu mereka memahami tafsir yang selamat. Sebagaimana yang diucapkan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa di antara kalian yang berkehendak mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang yang telah mati. Karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari fitnah (kesesatan). Mereka itulah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah umat mulia yang memiliki hati yang paling baik, ilmu paling dalam, serta paling sedikit memberat-beratkan diri. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Maka kenalilah kelebihan mereka dan ikutilah jejak mereka. Pegang teguhlah akhlak serta din mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus”[3].
Ibnu Mas’ud juga berkata: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya. Lalu Dia mendapati hati Muhammad yang terbaik daripada hati hamba-hamba-Nya yang lain. Kemudian Allah melihat lagi hati hamba-hamba-Nya setelah hati Muhammad, dan Allah mendapati hati sahabat-sahabat Muhammad yang terbaik daripada hati hamba-hamba-Nya yang lain. Sehingga Alah menjadikan mereka pendamping Nabi-Nya. Mereka berperang untuk din-Nya. Maka apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin (yakni para sahabat), baik pula di sisi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh kaum muslimin, buruk pula di sisi Allah”[4].
Jadi kaum muslimin yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud di atas adalah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Menurut pendapat kami, pokok-pokok sunnah adalah berpegang teguh dan meneladani apa yang dijalani oleh para sahabat Rasulullah”[5] .
Dan barangsiapa memperoleh ridha Allah setelah para sahabat, maka itu karena mengikuti petunjuk mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
"Orang-orang terdahulu lagi pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…[At-Taubah/9 :100][6]
Dan telah terdapat pembatasan zaman salaf, yaitu orang-orang yang tidak boleh diselisihi dengan mengada-adakan pemahaman baru yang hal itu tidak mereka pahami. Yaitu di dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
"Sebaik-baik generasi adalah generasiku. Kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah mereka lagi. Kemudian akan datang suatu kaum, kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”[7][Mutafaq ‘alaihi]
Selain dalil di atas, perkara pokok ini (yaitu kewajiban mengikuti pemahaman Salaf) mempunyai dalil-dalil lain dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
"Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang dilakukannya itu dan akan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisa’/4:115]
Dalil dalam ayat ini ada pada digabungkan sikap menjauhi jalan kaum mu’minin dengan penentangan kepada Rasul, hingga akhirnya berhak memperoleh ancaman yang dahsyat ini. Padahal hanya dengan penentangan kepada Rasul saja telah cukup untuk memperoleh ancaman tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala: Baca Juga Metode Berdalil Khawarij Dalam Timbangan Manhaj Salaf
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللهِ وَشَآقُّوا الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى لَن يَّضُرُّوا اللهَ شَيْئًا وَسَيَحْبِطُ أَعْمَالَهُمْ
"Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta menentang Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi madharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. [Muhammad/47 :32][8]
Di antara dalil lain adalah riwayat ‘Abdullah bin Luhai yang berkata, bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah kami dan berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah-tengah kami dan beliau bersabda:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, yaitu ahli kitab, telah terpecah menjadi 72 millah ( ajaran ). Dan sesungguhnya (umat) millah ini (Islam) akan terpecah menjadi 73, 72 di dalam neraka dan satu di dalam surga. Dia itu adalah Jama’ah.[Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lainnya]
Dalil dalam hadits ini adalah dalam penyifatan al-firqatun najiyah (golongan yang selamat) dengan al-jama’ah. Tidak dirangkaikannya kelompok ini (al-jama’ah) dengan al-Kitab dan as-Sunnah -padahal kelompok ini sama sekali tidak akan lepas dari al-Kitab dan as-Sunnah-, rahasianya adalah tersembunyi di balik peringatan terhadap al-jama’ah yang memahami nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah dan mengamalkannya berdasarkan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan di waktu itu tidak ada jama’ah (kelompok umat Islam) kecuali sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu para ulama menshahihkan –hadits-hadits sebagai penguat– lafadz lain yang datang dalam hadits ini dari riwayat Al-Hakim dan lainnya, yaitu sabda beliau dalam menyifati al-firqatun najiyah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحَابِي
"Apa-apa yang pada hari ini aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya. Di antara dalil lain adalah riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain), dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الهُِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ Dalil dalam hadits ini ada dalam penggabungan antara sunnah nabawiyyah dengan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin. Perhatikanlah bagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kalimat beliau ini sebagai wasiat terakhir untuk umat sesudah beliau, agar engkau mengetahui kebenaran ucapan beliau lewat keaslian manhaj ini. Kemudian perhatikan pula bagaimana beliau (memberikan wasiat) menghadapi perselisihan dengan tetap beriltizam pada manhaj ini, agar engkau mengetahui bahwa pemahaman salafus shaleh merupakan jalan keselamatan dari perpecahan. Asy-Syathiby rahimahullah berkata: “Rasulullah menggandengkan –sebagaimana engkau lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah mereka. Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah tersebut, tidak termasuk sunnah sama sekali. Karena sesungguhnya sunnah yang dilakukan oleh para sahabat tidak lepas dari dua alternatif, bisa jadi mereka hanya semata-mata mengikuti sunnah Rasulullah, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau, baik secara global maupun terperinci, menurut satu sisi yang tidak dipahami semisalnya oleh selain mereka, tidak lebih dari itu.”[9]
Aku (Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al-Jazairi) telah menjadikan nash-nash ini sebagai dalil terhadap perkara yang sedang aku bahas ini. Karena aku mendapati Ibnu Abil ‘Izzi menyebutkan nash-nash tersebut ketika menjelaskan ucapan Ath-Thahawy: “Dan kita mengikuti sunnah dan jama’ah serta menjauhi setiap syadz (menyimpang), perselisihan, dan perpecahan.”[10]
TATHBIQ (PENGAMALAN)
Karena pentingnya mengikatkan pemahaman al-Kitab dengan As-Sunnah dan mengikatkan pemahaman al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shaleh, berikut ini aku akan memaparkan kisah tentang ujian yang dialami oleh Imam Ahmad rahimahullah dengan tujuan menjelaskan dua maksud dalam satu kesempatan. Al-Ajury rahimahullah berkata:[11] “Sampai kepadaku dari Al-Muhtadi rahimahullah, bahwa dia berkata: “Tidak ada yang pernah mengalahkan ayahku –yaitu Al-Watsiq – (yaitu di dalam perdebatan) kecuali seorang Syaikh yang didatangkan dari Mashishah (beliau adalah imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Dia telah menetap di penjara salama beberapa waktu. Suatu hari Ayahku ingat kepadanya dan berkata: “Bawa Syaikh itu menghadapku!” Lalu dia didatangkan dalam keadaan terikat. Ketika dia dihadapkkan pada ayahku, dia memberi salam, akan tetapi Ayahku tidak membalasnya.
Syaikh itu berkata pada ayahku: “Wahai Amirul Mu’minin, engkau tidak melaksanakan adab (yang diajarkan) Allah dan Rasul-Nya kepadaku, Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ
“Apabila engkau diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)…” [An-Nisa/4:86]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk membalas salam. Maka Ayahku membalas salamnya: “‘Alaikas salam.“ Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “Bertanyalah padanya!“ Syaikh itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku seorang tahanan yang terikat. Aku shalat dalam tahanan dengan tayammum karena aku tidak mendapatkan air, perintahkanlah agar ikatanku dilepas dan berilah aku air agar aku dapat bersuci kemudian shalat, dan setelah itu tanyailah aku. “ Lalu Ayahku memerintahkan untuk melepas ikatannya dan memberinya air untuk berwudhu kemudian shalat. Ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “ Bertanyalah padanya!“ Tetapi Syaikh itu berkata: “Giliranku untuk bertanya, perintahkan dia agar menjawabku.“ Ayahku berkata: “Bertanyalah!“ Maka Syaikh itu menghadap kepada Ibnu Abi Du’ad bertanya padanya: “Kabarkan padaku tentang perkara yang engkau dakwahkan kepada manusia. (yaitu pendapat bid’ah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk-red) Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah?“ Ibnu Abi Du’ad menjawab: “Tidak“ Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar?“ Dia menjawab: “Tidak“ Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Umar bin Khatthab sesudanya? Dia menjawab: “Tidak“ Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sesudahnya? Dia menjawab: “Tidak“ Syaikh itu berkata lagi: “Perkara yang tidak pernah didakwahkan oleh Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, tidak pula oleh ‘Utsman maupun ‘Ali –semoga Allah meridhai mereka– tetapi engkau menyerukannya kepada manusia. Engkau hanya dapat mengatakan: “Mereka mengetahuinya atau mereka bodoh tentang hal itu”. Jika engkau katakan mereka mengetahuinya, tetapi mereka diam, berarti kitapun harus diam (dari perkara yang tidak dibicarakan oleh salafus shalih) sebagaimana mereka diam. Tetapi jika engkau katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya, tetapi aku mengetahuinya“, sungguh betapa hinanya (engkau)! Nabi beserta Khulafaur Rasyidin –semoga Allah Ta’ala meridhai mereka– tidak mengetahui perkara itu sedikitpun, sedangkan engkau beserta sahabat-sahabatmu mengetahuinya!? Al-Muhtady berkata: “Aku melihat Ayahku beranjak berdiri dan masuk ke al-Haira (semacam taman yang digenangi air) dan meletakkan bajunya pada mulut beliau yang sedang tertawa. Kemudian ayahku berkata: “Dia benar, kita hanya bisa mengatakan: “Mereka (Salafus Shalih) mengetahuinya atau tidak mengetahuinya”. Jika kita katakan: “Mereka mengetahuinya tetapi mereka diam”, sepatutnyalah kitapun diam seperti mereka. Dan jika kita katakan: “Mereka tidak mengetahuinya tetapi engkau mengetahuinya, betapa hinanya (engkau)! Nabi beserta para sahabat beliau tidak mengetahuinya, tetapi engkau dan para sahabaatmu mengetahuinya!? Lalu Ayahku memanggil: “Wahai Ahmad!“ Akupun menjawab: “Labbaika (aku memenuhi panggilanmu). Ayahku berkata: “Bukan engkau yang aku maksud, melainkan Ibnu Abi Du’ad.” Diapun lalu mendekat pada Ayahku. “ Berikan nafkah pada Syaikh ini dan keluarkan dia dari negeri kita. (yaitu Imam Ahmad dibebaskan dari penjara dan diberi harta oleh Khalifah-red)
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Adz-Dzahaby dalam kitab As-Siyar: “…dan Ibnu Abi Du’ad jatuh (martabatnya) di hadapan ayahku, dan setelah itu ayahku tidak pernah menguji siapapun. Al-Muhtady berkata: “Kemudian aku rujuk (kembali) dari pendapat ini (pendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk). Dan aku menyangka bahwa Ayahku juga telah rujuk dari pendapat tersebut sejak saat itu.“[12]
Aku (Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al-Jazairi) berkata: “Al-Ajury telah meriwayatkannya dengan sanad pada hal. 91, Ibnu Batthah juga meriwayatkan dari Al-Ajury dalam Al-Ibanah (Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah), (no:452), dan dia juga mengeluarkannya dari beberapa jalan lain di bawah no. tadi dan no:453. Juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (4/151-152) dan (10/75-79); Ibnul Jauzy dalam Manaqib Al-Imam Ahmad hal. 431-436, dan Abdul Ghani Al-Maqdisy dalam Al-Mihnah hal. 169-174 dan 168-169; serta Ibnu Qudamah dalam At-Tawwabin hal. 210-215. Aku (Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al-Jazairi) katakan: “Perhatikanlah, sesungguhnya sikap Syaikh tersebut (Imam Ahmad) dalam mengembalikan perkara yang besar ini pada sirah/perjalanan Salafus Shalih merupakan upaya melenyapkan perselisihan secara langsung. Dan sesungguhnya sebab hidayah Al-Watsiq dan Al-Muhtady telah disebutkan dalam kisah tadi. Inilah yang menunjukkan pada kita bahwa pemahaman Salafus Shalih adalah sumber asas yang cermat. Maka peliharalah ia!
TANBIH (PERINGATAN)
Jika salafus shalih berselisih dalam satu permasalahan, maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah dengan menegakkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
"Kemudian jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.[An-Nisa’/4 :59]
Kata شَىْءٍ (sesuatu) di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat), sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy[13].
Ibnul Qayyim berkata: “Dan jika tidak ada penjelasan hukum -dan tidak mencukupi- tentang perkara yang mereka perselisihkan dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Kitab dan Sunnah. Karena tidak mungkin bagi Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi kepada orang yang tidak memiliki kemampuan memutuskan perselisihan tersebut[14].
(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq dari kitab Madarikun Nazhar, hal: 27-35, Penerbit: Dar Sabilil Mu’minin, Cet:II/1418 H, karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi)
______
Footnote:
[1] Madarijus Salikin (1/13)
[2] Madarijus Salikin (1/72-73). Tafsiran ini shahih secara mauquf atas Abul ‘Aliyah dan Al-Hasan. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat (6/229) secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya). Dan Ibnu Nashr memaushulkannya (menyambungkan sanadnya) di dalam As-Sunnah, juga Ibnu Jarir dalam tafsirnya (183), Ibnu Hatim dalam tafsirnya (1/21-22), dan Al-Hakim (2/259). Al-Hakim dan Adz-Dzahaby menshahihkannya. Lihat pula pada Al-Imamah war Radd ‘alar Rafidhah oleh Abu Nu’aim (73). Di dalamnya terdapat hadits semisalnya dari Ibnu Mas’ud -semoga Allah meridhainya -.
[3] Ibnu ‘Abdil Barr mengeluarkan semisalnya dalam Jami’ul Bayan (2/97), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Ibnu Umar (1/305 )
[4] Hadits hasan diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya
[5] Syarh Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah oleh Al-Lalika’I no. 317. Lihat pula Asy-Syari’ah oleh Al-Ajury hal. 14
[6] Lihat takhrij pengambilan dalil imam Malik dengan ayat ini dalam I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim (4/94-95 )
[[7] Barangsiapa ragu dengan jumlah generasi, silakan lihat pada Ash-Shahihah oleh Al-Albany no. 700
[8] Lihat Majmu’ul Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah (19/194)
[9] Al-I’tisham (1/104)
[10] Hal. 282-283 cetakan Al-Maktabul Islamy
[11] Dalam kitab Asy-Syari’ah manuskrip Turki, lembaran 24, dan dalam kitab yang telah dicetak hal. 63-64, tetapi padanya ada beberapa kesalahan cetak, oleh karena aku (Syaikh Abdul Malik) tidak berpegang padanya kecuali sedikit
[12] Adz-Dzahaby berkata dalam As-Siyar (11/313): “Ini adalah kisah yang menarik, meskipun dalam jalannya ada perawi majhul (tidak dikenal), tetapi kisah ini mempunyai penguat.
[13] Adhwa’ul Bayan (1/ 333)
[14] I’lamul Muwaqqi’in (1/49)
Referensi: https://almanhaj.or.id/