Type Here to Get Search Results !

 


ADAB JUAL-BELI

 

Secara garis besar, penghasilan itu ada pada tiga kelompok: industri, pertanian atau peternakan, dan perdagangan. (Faidhul Qadir, 1/547)

Pembahasan kami kali ini lebih terfokus pada perdagangan. Sebab, dengan perdagangan seseorang akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain yang majemuk. Itu berarti seseorang perlu lebih berhati-hati. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun telah banyak memberikan bimbingannya dalam masalah ini.

Adapun perdagangan sendiri pada dasarnya hukumnya mubah menurut Al-Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang bertransaksi jual-beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan menerangkan (apa adanya), keduanya akan diberi berkah dalam jual-belinya. Namun, apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat), akan dihilangkan keberkahan jual-beli atas keduanya.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

Para ulama juga bersepakat bahwa hukum jual-beli secara global adalah mubah. Qiyas juga mendukungnya karena kebutuhan manusia menuntut adanya jual-beli. Manusia senantiasa membutuhkan sesuatu yang ada di tangan orang lain, baik berupa uang atau barang. Sementara itu, seseorang tidak akan mengeluarkannya kecuali apabila ada tukar gantinya. Agar tujuan tersebut tercapai, dibolehkan berjual beli. (Lihat kitab al-Mulakhkhash al-Fiqhi)

Jadilah Pedagang yang Bertakwa

Dari Rifa’ah radhiallahu anhu,

أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

Dia keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuju Baqi’, sementara orang-orang sedang berjual-beli. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berseru, “Wahai para pedagang!” Mereka pun menyambut seruan beliau dan mengarahkan pandangan mereka kepada beliau. Beliau berkata, “Sesungguhnya para pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan sebagai orang-orang yang jahat, kecuali orang yang bertakwa, berbuat baik, dan jujur.” (HR. Ibnu Hibban, 11/277 no. 4910. Lihat juga Shahih al-Jami’ Shaghir no. 1594)

Adab dalam Mencari Rezeki

Agama Islam yang lengkap dan ajarannya yang indah telah mengatur pemeluknya untuk beradab dalam segala hal, termasuk dalam melakukan transaksi jual-beli, pinjam-meminjam, atau bentuk muamalah yang lain.

Agar usaha seorang muslim diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan terjaga dari tindak menzalimi diri sendiri ataupun orang lain, hendaklah transaksi yang dilakukan memenuhi empat perkara:
  • Sah menurut agama
  • Mengandung keadilan
  • Mengandung kebaikan
  • Sayang terhadap agamanya
Oleh karena itu, kami akan memberikan sedikit perincian atas empat hal tersebut agar seorang muslim berada di atas pengetahuan tentang agamanya.

SAH MENURUT AGAMA

Sebuah akad/transaksi dalam jual-beli menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat pada tiga rukunnya. Tiga rukun itu adalah pelaksana akad, barang yang diperjualbelikan, dan ijab kabul dalam akad jual-beli.

Rukun Pertama: Pelaksana Akad
Dipersyaratkan pada pelaksana akad beberapa hal:

a. Saling ridha antara keduanya.
Jadi, jual-beli tidak sah apabila salah satunya melangsungkan akad jual-beli karena dipaksa. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (an-Nisa: 29)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Hanyalah jual-beli itu (sah) apabila saling ridha di antara kalian.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Berbeda halnya apabila pemaksaan itu dengan cara dan alasan yang benar, jual-beli tetap sah. Misalnya, apabila pemerintah/hakim memaksa seseorang untuk menjual hartanya untuk membayar utangnya. Itu adalah bentuk pemaksaan yang benar.

b. Disyaratkan pada dua belah pihak, pelaksana akad adalah orang yang secara syariat boleh untuk ber-tasharruf (bertransaksi).

Kriterianya ialah orang yang merdeka bukan budak, mukalaf (dalam hal sini bermakna balig dan berakal), dan rasyid, yakni mampu membelanjakan harta dengan benar.

Oleh karena itu, tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz (kecuali pada barang yang sepele), safih (lawan dari rasyid), orang gila, atau seorang budak yang tanpa seizin tuannya.

c. Pelaksana akad harus seseorang yang memiliki barang yang diperjualbelikan, atau sebagai wakilnya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Hakim bin Hizam radhiallahu anhu,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu.”

Al-Wazir mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa seseorang tidak boleh menjual barang yang tidak dikuasai dan bukan miliknya. Apabila dia melangsungkan penjualan dan orang pun membelinya, transaksi tersebut batal dan tidak sah.”

Rukun Kedua: Barang yang Diperjualbelikan atau Uang/Alat Tukarnya.
Dipersyaratkan padanya tiga hal:

a. Sesuatu yang dibolehkan untuk dimanfaatkan secara mutlak menurut syariat.

Maka dari itu, tidak sah jual-beli sesuatu yang diharamkan untuk dimanfaatkan. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْمَيْتَةِ والْخَمْرِ وَالْأَصْنَامِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli bangkai, khamar (minuman keras), dan berhala.” (Muttafaqun alaihi)

Dalam hadits yang lain,

وَإِنَّ اللهَ إذا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan suatu makanan terhadap suatu kaum, Allah mengharamkan juga harganya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Di antara yang diharamkan untuk diperjualbelikan adalah khamar atau minuman keras, bangkai, babi, patung, anjing, darah, air mani pejantan, dan segala yang haram. Demikian secara global. Adapun perinciannya dibahas dalam bab hukum jual-beli.

b. Barang atau uang/alat tukarnya adalah sesuatu yang berada dalam kekuasaan pelaksana akad.

Apabila tidak demikian, hal itu serupa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Atas dasar itu, tidak sah jual-beli unta yang lari, burung di udara, atau yang semakna dengan itu.

c. Barang atau uang/alat tukar adalah sesuatu yang diketahui kadarnya oleh kedua belah pihak.

Sebab, ketidaktahuan adalah bagian dari gharar (ketidakpastian) dan itu dilarang dalam agama. Oleh sebab itu, tidak boleh jual-beli sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sudah dilihat tetapi belum dapat diketahui benar.

Rukun Ketiga: Ijab Kabul dalam Akad/Transaksi Jual-Beli
  • Ijab adalah lafaz yang diucapkan penjual, misalnya dengan mengatakan, “Saya jual barang ini.”
  • Kabul adalah lafaz yang diucapkan pembeli, misalnya dengan mengatakan, “Saya beli barang ini.”
Namun, terkadang ijab kabul ini bisa dilakukan dengan perbuatan, yaitu pedagang memberikan barang dan pembeli memberikan uang, walaupun tanpa berbicara. Bisa jadi juga, ijab kabul dilakukan dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Dengan demikian, seorang muslim harus menghindari segala bentuk transaksi yang melanggar aturan agama. Sebab, segala yang menyalahi agama adalah tertolak. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas ajaran kami, amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, di antara bentuk amalan yang tertolak dalam bidang jual-beli adalah semua akad/transaksi yang terlarang dalam syariat, baik karena barangnya tidak boleh diperjualbelikan, syaratnya tidak terpenuhi, terjadi kezaliman (kerugian) bagi pihak pelaksana transaksi dan pada barang yang ditransaksikan, atau akan menyibukkan dari zikrullah yang wajib saat waktunya terbatas (semacam saat khotbah Jumat, pent.).

Beliau menerangkan bahwa pendapat yang rajih (kuat) dalam hal hukum akad-akad tersebut ialah bilamana larangannya terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala, transaksi tersebut tidak sah. Artinya, tidak menyebabkan berpindahnya kepemilikan. Yang dimaksud dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala ialah larangan tersebut tidak gugur dengan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

Apabila larangan tersebut terkait dengan hak orang tertentu, yaitu larangan akan gugur dengan kerelaannya, keabsahan akadnya tergantung pada kerelaannya. Kalau dia rela, akadnya sah dan berakibat berpindahnya kepemilikan. Jika dia tidak rela, akad menjadi batal.
  • Contoh ketentuan di atas, untuk bagian yang pertama adalah transaksi riba. Allah subhanahu wa ta’ala telah melarangnya dengan begitu keras. Karena itu, transaksi riba tidak menyebabkan berpindahnya kepemilikan dan syariat memerintahkan untuk dikembalikan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan seseorang yang menukarkan satu sha’ (2,76 kg) kurma dengan dua sha’ kurma untuk mengembalikannya, walaupun mereka saling ridha (karena ini termasuk transaksi riba fadhl).
  • Contoh lainnya, menjual khamar (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing dan seluruh yang dilarang untuk diperjualbelikan, yang tidak boleh saling rela antara kedua belah pihak.
  • Contoh untuk bagian kedua adalah membelanjakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi semacam ini tidak batal sepenuhnya, tetapi tergantung pada izin pemilik. Jika pemiliknya mengizinkan, transaksinya sah. Jika tidak, transaksinya tidak sah.
  • Contohnya ialah jual-beli mudallas (penipuan), seperti:
transaksi yang disebut al-musharrat (membiarkan unta untuk tidak diperah susunya sehingga tampak gemuk dan susunya banyak, lalu dijual),

jual-beli najsy (penawaran barang dari sebagian pihak tetapi tidak berniat untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lain), talaqqir rukban (mencegat orang perdesaan yang tidak tahu harga, lalu membeli barang mereka sebelum sampai pasar).

Hukum yang benar terhadap contoh-contoh di atas ialah bahwa keabsahan transaksi tersebut tergantung pada izin atau kerelaan mereka yang terzalimi atau dirugikan.

Sebab, terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dalam peristiwa al-musharrat bahwa beliau memberikan khiyar (hak memilih antara membatalkan dan meneruskan) kepada pembeli hewan tersebut. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan hak khiyar kepada para pedagang yang dari pelosok tersebut apabila mereka telah sampai ke pasar (dan mengetahui harga pasar). Ini semua menunjukkan bahwa transaksi dalam jenis ini tidak batal begitu saja. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarah hadits no. 5
 
MENGANDUNG KEADILAN

Muamalah yang dia lakukan hendaklah mengandung keadilan dan jauh dari kezaliman. Yang kami maksud dengan kezaliman adalah perbuatan yang menyebabkan orang lain merugi atau tersakiti, baik terkait dengan masyarakat umum maupun terkait hanya mengenai pihak tertentu. Demikian dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin.

Di Antara Bentuk Muamalah yang Mengandung Kezaliman
  • Ihtikar
Ihtikar dalam bahasa kita berarti menimbun. Yang kami maksud dengan menimbun di sini adalah bentuk yang khusus, yaitu menahan sesuatu yang menyebabkan masyarakat rugi atau celaka, dengan tujuan menaikkan harga. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’ karya Qal’aji hlm. 46)

Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan beberapa syarat ihtikar yang diharamkan:

Ia membeli barang yang dia tahan tersebut dari daerah setempat, bukan dari luar daerah.

Barang tersebut adalah makanan pokok. Namun, pendapat yang lebih kuat ialah tidak dipersyaratkan harus berupa makanan pokok. Bahkan, segala sesuatu yang ditimbun kemudian menyebabkan kesusahan masyarakat umum, hal itu tidak boleh. Misalnya, menimbun BBM.
Dengan pembelian tersebut, manusia menjadi susah terkait barang tersebut. Jadi, syarat diharamkannya adalah bahwa saat itu barang tersebut sedang dibutuhkan oleh orang-orang. (Syarhul Buyu’ 59 dengan diringkas)

Dari Ma’mar dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidaklah melakukan ihtikar (penimbunan barang) kecuali orang yang berdosa.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Hibban dari sahabat Ma’mar radhiallahu anhu)
  • Ghisy
Ghisy berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, atau muamalah lainnya.

Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu berikut.

أَنَّ رَسُولَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؛ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati tumpukan makanan (yang dijual). Beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan mendapati tangan beliau basah. Beliau mengatakan, “Ada apa ini, wahai pemilik makanan?”

“Terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawabnya.

Beliau mengatakan, “Tidakkah engkau letakkan di bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ath-Thabarani)

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barang siapa berbuat curang kepada kami, dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.” (Hasan shahih, HR. ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam ash-Shaghir dengan sanad yang bagus; dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih at-Targhib, 2/159 no. 1768)
  • Tathfiif
Tathfiif berarti mengurangi hak orang lain dalam hal takaran atau timbangan. Perbuatan ini telah dilarang keras oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam firman-Nya,

وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِينَ ١ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ ٢ وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ ٣ أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٍ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (al-Muthaffifin: 1—6)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

“Yang dimaksud dengan tathfiif di sini adalah merugikan timbangan. Bisa dengan melebihkan timbangan ketika seseorang meminta pelunasan dari orang lain, atau dengan mengurangi timbangannya ketika sedang melunasi mereka.

Oleh karena itu, Allah menafsirkan al-muthaffifin—yang Dia ancam dengan kerugian dan kebinasaan—ialah golongan yang ketika orang lain menimbang untuk mereka, mereka meminta dipenuhi timbangannya. Artinya, mereka mengambil hak mereka sepenuhnya, bahkan melebihinya. Akan tetapi, ketika mereka menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk memenuhi timbangan dan takaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ إِذَا كِلۡتُمۡ وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Isra: 35)

وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.” (al-An’am: 152)

وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman: 9)

Allah subhanahu wa ta’ala telah membinasakan kaum Syu’aib dan menghancurkan mereka ketika mereka mengurangi takaran atau timbangan manusia. Selanjutnya, Allah berfirman mengancam mereka yang berbuat demikian,

أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ

“Tidakkah mereka yakin bahwa mereka bakal dibangkitkan pada hari yang agung?”

Maknanya, tidakkah mereka merasa takut untuk bangkit di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui rahasia dan isi kalbu, pada hari yang sangat mengerikan, sangat menakutkan, dan sangat menyusahkan? Barang siapa merugi, dia akan dimasukkan ke dalam neraka.

Firman-Nya,

يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Di hari manusia bangkit menghadap Rabb semesta alam.”

Maknanya, saat mereka bangkit dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan. Dalam situasi yang sempit lagi susah bagi seorang yang berdosa, ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala menyelimuti mereka. Sebuah keadaan yang segala kemampuan dan pancaindra tak mampu menghadapinya.

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari saat orang-orang menghadap Rabb sekalian alam, sampai-sampai seseorang tenggelam dalam keringatnya hingga pertengahan telinganya.”[1] (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim)

As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,

“Allah subhanahu wa ta’ala mengancam mereka yang mengurangi timbangan dan heran terhadap keadaan mereka serta tetapnya mereka dalam keadaan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٍ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦

“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?”

Berarti, yang membuat mereka berani untuk melakukan ini adalah mereka tidak beriman dengan hari akhir. Sebab, seandainya mereka beriman dengannya dan tahu benar bahwa mereka akan dibangkitkan di hadapan-Nya, serta Allah subhanahu wa ta’ala akan menghitung amal mereka sedikit atau banyak, tentu mereka akan berhenti melakukannya dan bertobat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata,

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ كَانُوا مِنْ أَخْبَثِ النَّاسِ كَيْلًا، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِينَ} فَأَحْسَنُوا الْكَيْلَ بَعْدَ ذَلِكَ

“Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah dalam keadaan mereka adalah orang-orang yang paling jahat dalam timbangan. Allah lalu menurunkan ayat (artinya), ‘Celakalah orang-orang yang mengurangi sukatan (takaran).’ Mereka pun memperbaiki penimbangan mereka setelah itu.” (Hasan, HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1760)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata,

أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ياَ مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسُ خِصَالٍ إِذَا ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ -وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ- …وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ…

Rasulullah menghadap kami lalu mengatakan, “Wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang apabila kalian tertimpa dengannya—dan aku berlindung kepada Allah untuk kalian tertimpa dengannya—…” Lalu beliau mengatakan, “… dan tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka tertimpa oleh paceklik, kesusahan (dalam memenuhi) kebutuhan, dan kejahatan penguasa….” (Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah dan ini lafaz beliau; al-Bazzar, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1761)
  • Najsy
Najsy adalah menaikkan harga barang oleh orang yang tidak hendak membelinya, dengan cara menawarnya dengan harga yang tinggi, dengan tujuan menguntungkan penjual, mencelakakan pembeli, atau hanya main-main.

Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, “Orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba dan pengkhianat.”

Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Ulama bersepakat bahwa pelakunya bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala apabila tahu larangan tersebut.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Larangan yang dimaksud adalah sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang kota menjualkan barang milik orang pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy, janganlah seseorang menjual atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, dan jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk menceraikan madunya demi memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi)

Apabila terjadi najsy, apakah jual-beli tersebut sah?

Jumhur ulama berpendapat bahwa bilamana terjadi penipuan yang tidak wajar, pembeli punya hak khiyar/memilih. Akan tetapi, apabila penipuannya tidak begitu besar, pembeli tidak punya hak khiyar. Oleh karena itu, pembeli semestinya juga berhati-hati dan mencari informasi terlebih dahulu. (Lihat kitab Syarhul Buyu’ hlm. 49)

Memaksa pihak lain

Jangan sampai berlangsung akad jual-beli antara penjual dan pembeli kecuali keduanya saling ridha. Ini merupakan syarat sahnya jual-beli. Islam mengharuskan demikian karena Islam hendak menghindarkan tindak kezaliman pada manusia. Jadi, tidak halal seseorang mengambil harta orang lain yang keluar tanpa kerelaannya.

Dalam hadits disebutkan,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.” (Shahih, HR. Abu Dawud. Lihat Shahih al-Jami’ no. 7662)

Tentang keharusan saling ridha ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمۡۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (an-Nisa: 29)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَفْتَرِقَنَّ اثْنَانِ إِلاَّ عَنْ تَرَاضٍ

“Janganlah sekali-kali keduanya (yakni penjual dan pembeli) berpisah kecuali saling ridha.” (Hasan shahih, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Jual-beli itu hanyalah jika saling ridha.” (Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih al-Jami’ no. 2323)

Menyembunyikan aib

Seorang muslim diharuskan untuk berkata dan berbuat jujur dalam segala perbuatannya, termasuk tentunya dalam jual-beli. Jika ia jujur, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan berkah dalam transaksi mereka. Sebaliknya, apabila tidak, keberkahan itu akan dicabut oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hizam radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا—أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا—فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا في بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar (memilih antara membatalkan atau tidak) selama mereka belum berpisah—atau: hingga keduanya berpisah. Apabila keduanya jujur dan menerangkan, jual-beli mereka akan diberkahi. Namun, apabila keduanya menyembunyikan serta berdusta, akan dicabut keberkahan jual-beli mereka.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

Ulama telah bersepakat tentang haramnya menyembunyikan aib dan bahwa pelakunya berdosa. Adapun aib yang dimaksud adalah semua aib atau cacat yang terdapat pada barang/produk yang dijual dan terhitung mengurangi barang tersebut atau mengurangi harganya dengan kadar kekurangan yang menghilangkan tujuan (pembelian). Dengan demikian, barang tersebut boleh dikembalikan apabila biasanya barang sejenis tidak memiliki aib/cacat semacam itu. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 98, 99)

Oleh karena itu, para ulama menetapkan adanya khiyar aib, yakni hak khiyar yang disebabkan adanya cacat, walaupun cacat tersebut baru diketahui setelah sekian waktu. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 102)
  • Gharar
Gharar adalah sesuatu yang tersembunyi atau belum diketahui akhirnya, apakah akan menguntungkan atau akan merugikan.

Jual-beli yang mengandung unsur gharar semacam ini dilarang. Para ulama sepakat tentang dilarangnya hal itu. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah melarang jual-beli hashat[2] dan melarang jual-beli gharar.” (Shahih, HR. Muslim)

Di antara gambaran jual-beli gharar, seseorang menjual hewannya yang lari, menjual barang yang tertutup dan belum diketahui isinya, menjual hewan yang masih dalam kandungan kecuali apabila bersama induknya, atau apa saja yang memiliki kriteria di atas.

Berbeda halnya apabila unsur gharar itu sangat sedikit dan sudah dimaklumi, semacam menyewa kamar mandi: ukuran air yang dipakai tidak sama antara satu pemakai dengan yang lain. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 24)

Termasuk gharar ialah menjual ikan yang masih dalam kolam, sementara kolamnya dalam dan besar sehingga sulit diketahui ikan yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, ulama hanya membolehkannya apabila terpenuhi tiga syarat:

Ikan itu benar-benar milik si penjual
Air kolam tidak dalam sehingga dapat dilihat dan perkiraan jumlah ikan diketahui.
Memungkinkan untuk diambil.

Menahan gaji pegawai

Apabila pekerja telah melakukan pekerjaannya, gaji merupakan haknya yang harus dipenuhi. Majikan tidak boleh menahan gaji pekerja/karyawannya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Tiga golongan manusia, yang Aku menjadi lawannya pada hari kiamat:
  • seseorang yang bersumpah (kepada orang lain) dengan nama Allah lalu mengkhianatinya, 
  • seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan
  • seseorang yang menyewa pekerja lalu pekerja itu menunaikan pekerjaannya, tetapi dia tidak memberikan gajinya.” (Shahih, al-Bukhari)
Menjual pada penjualan sesama muslim
Begitu pula membeli pada pembelian sesama muslim. Jadi, larangan tersebut mencakup penjualan dan pembelian.

Gambarannya adalah seseorang datang kepada dua orang yang sedang melangsungkan akad jual-beli. Jual-beli telah terjadi, tetapi keduanya masih dalam tempo khiyar majelis[3]. Keduanya belum berpisah sehingga keduanya masih punya hak pembatalan karena masih dalam satu majelis.

Kemudian orang ketiga ini mengatakan kepada pembeli, “Batalkan saja jual-belinya. Saya akan memberimu barang yang sama dengan harga yang lebih murah” atau “harga yang sama dengan barang yang lebih bagus.”

Atau dia mengatakan kepada penjual, “Batalkan saja penjualannya. Nanti saya akan membelinya darimu dengan harga yang lebih mahal.”

Dilarang pula menawar pada penawaran saudaranya. Gambarannya sama dengan di atas, hanya belum terjadi jual-beli antara kedua belah pihak. Kedua belah pihak sudah melakukan tawar-menawar dan sudah sama-sama cocok. Lalu datanglah pihak ketiga dan mengatakan semacam ucapan di atas.

Hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, selain merugikan, hal ini juga akan menyebabkan pertikaian. Disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ

“Janganlah seseorang dari kalian menjual/membeli atas penjualan/pembelian saudaranya.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

“Janganlah seorang muslim menawar pada penawaran saudaranya.” (Shahih, HR. Muslim)

Wallahu a’lam bish-shawab.

____

Catatan Kaki
[1] Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad.

[2] Hashat berarti kerikil. Di antara contoh jual-beli hashat adalah pembeli melemparkan sebuah kerikil ke sekumpulan baju. Baju manapun yang terkena, itulah yang dibeli dengan harga yang telah disepakati.

[3] Adapun setelah khiyar majelis, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc


Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah

Transaksi jual-beli hendaklah mengandung empat hal. Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan dua hal: sah menurut agama dan mengandung keadilan. Berikut ini akan dibahas hal yang ketiga dan keempat: mengandung kebaikan dan sayang terhadap agama

MENGANDUNG KEBAIKAN

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat baik. Di antara bentuk kebaikan ialah sikap toleransi dalam berjual-beli dan tidak menipu saat mengambil untung. Apabila terkait masalah utang-piutang, di antara bentuk kebaikan ialah meminta pelunasan utang, menganggap lunas utang orang lain, menggugurkan sebagiannya, memberi tempo, dan bersikap lunak. Demikian pula apabila ada orang yang hendak meminta dibatalkan transaksinya, ia menerimanya.

Demikian ringkasan penjelasan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin.

Apa yang beliau sebut adalah gambaran sikap toleransi seorang muslim dalam bermuamalah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan sikap demikian karena hal itu akan menjalin hubungan yang baik di antara sesama anggota masyarakat.

Namun, kebaikan itu dilakukan oleh semua pihak, baik pihak penjual maupun pembeli; pihak yang mengutangi dan yang berutang; yang menyewakan dan yang menyewa. Hal ini hendaklah menjadi perhatian semua pihak, bukan hanya sebagian pihak sehingga terjadi ketimpangan.

Pada pembahasan ini kami akan memberikan sedikit perincian sikap-sikap ihsan atau baik dalam hal bermuamalah.
  • Khiyar
Khiyar adalah opsi atau pilihan antara melangsungkan akad dan membatalkannya. Di antara bentuk toleransi Islam dalam perkara jual-beli adalah adanya khiyar.

Khiyar ini bisa terjadi saat keduanya masih dalam majelis jual-beli—belum berpisah—sehingga keduanya masih memiliki kesempatan berpikir pada transaksi yang mereka langsungkan. Ini disebut khiyar majelis.

Khiyar bisa juga disebabkan adanya cacat pada barang yang dibeli. Ini disebut khiyar aib.

Bisa jadi pula, khiyar disebabkan adanya penipuan sehingga pembeli membelinya dengan harga terlalu tinggi. Ini disebut khiyar ghabn.

Masih ada jenis khiyar yang lain selain yang disebutkan di atas.

Seorang muslim yang taat mestinya tunduk pada aturan ini, baik dia sebagai pihak penjual maupun pembeli. Aturan ini ditetapkan tidak lain demi kemaslahatan semua pihak sehingga saling ridha dapat terwujud dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hiradhiallahu anhuam radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا

“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar selama mereka belum berpisah.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
  • Menerangkan Aib/Cacat
Pada pembahasan yang telah lewat telah diterangkan tentang larangan menutupi cacat pada barang dagangan. Telah dijelaskan pula bahwa perbuatan itu merupakan salah satu perbuatan zalim yang dapat menghilangkan keberkahan perdagangan.

Sebaliknya, di antara sikap ihsan atau kebaikan pedagang adalah menerangkan aib apabila barang yang dia jual memiliki cacat. Hal ini akan menyebabkan keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala pada apa yang diperdagangkan.
  • Menepati Janji
Dalam perdagangan terkadang terdapat suatu perjanjian. Perjanjian ini bisa berupa prasyarat dalam jual-beli yang mereka sepakati. Selama persyaratan tersebut tidak mengandung pelanggaran terhadap agama, kedua belah pihak wajib memenuhinya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Kaum muslimin itu berada pada persyaratan-persyaratan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Misalnya dalam bentuk jual-beli salam, yaitu pembelian dengan cara memesan suatu barang kepada pedagang dengan spesifikasi yang jelas dengan terlebih dahulu memberikan uangnya. Transaksi yang semacam ini tentu sangat menuntut adanya kejujuran dan menepati janji.

Segera Memberikan Gaji Pegawai
Setelah pegawai melakukan pekerjaannya, segeralah memberikan gajinya. Sebab, hal itu merupakan haknya, sedangkan si pegawai telah memberikan hak majikannya dengan ia melakukan pekerjaannya.

Oleh karena itu, apabila majikan menahan haknya, pada hari kiamat nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi lawannya sebagaimana hadits yang telah lalu.
  • Jujur
Kejujuran merupakan sifat yang terpuji. Jujur akan membawa kepada kebaikan.

Seorang pedagang dituntut untuk jujur dalam bertutur kata, menerangkan cacat yang ada pada barang yang diperdagangkan, dan tidak mengada-ada. Karena itu, dia tidak mengatakan bahwa barang itu telah ditawar sekian, sementara belum ditawar dengan harga tersebut atau bahkan belum ditawar sama sekali. Apabila dia harus mesti menyebutkan harga modalnya, dia sebutkan sejujurnya tanpa meninggikannya.

Dengan kejujuran tersebut Allah subhanahu wa ta’ala akan memberkahi perniagaannya, sebagaimana hadits yang lalu. Dalam hadits yang lain dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiallahu anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِلَيْنَا وَكُنَّا تُجَّارًا وَكَانَ يَقُولُ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami adalah para pedagang. Beliau mengatakan, “Wahai para pedagang, jauhi oleh kalian kedustaan.” (Shahih lighairihi, HR. at-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib, 2/164 no. 1793)
  • Amanah
Amanah juga merupakan sifat yang sangat terpuji. Amanah adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang mulia. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah dijuluki sebagai al-Amin, orang yang sangat amanah, sejak sebelum diangkat sebagai nabi. Sementara itu, lawannya, yaitu khianat, adalah sifat orang-orang munafik.

Sifat amanah sangat dibutuhkan dalam praktik jual-beli, terlebih pada zaman ketika amanah telah diangkat dari umat ini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkisah,

“Sesungguhnya amanah itu turun pada pangkal kalbu orang-orang. Lalu turunlah Al-Qur’an sehingga mereka mengetahui ilmu dari Al-Qur’an dan dari As-Sunnah.”

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan kepada kami tentang tercabutnya amanah. Beliau berkata,

“Seseorang tidur satu kali lalu dicabutlah amanah dari kalbunya, tetapi masih tersisa bekasnya sedikit. Lalu dia tidur sekali (lagi) dan dicabutlah amanah dari kalbunya hingga masih tersisa bekasnya seperti bekas kulit yang menonjol dan berair, seperti bara yang kamu jatuhkan pada kakimu lalu (kulitnya) menjadi berair. Kamu melihatnya meninggi, tetapi tidak ada apa-apanya.”

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil kerikil dan beliau jatuhkan di kakinya.

“Sampai orang-orang saling berjual-beli, hampir-hampir tidak seorang pun yang menunaikan amanah. Sampai-sampai disebut bahwa ada seorang yang amanah dari bani Fulan. Orang pun mengatakan, ‘Betapa pandainya dia, betapa berakalnya dia’, padahal tidak ada dalam kalbunya sebiji sawi pun iman.” (Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat sedikit penjelasan dalam Shahih at-Targhib no. 2994)

Sedemikian mahalnya amanah. Oleh karena itu, Anas radhiallahu anhu menyebutkan,

مَا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami kecuali berkata, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (Shahih, HR. Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabarani, dan Ibnu Hibban; akan tetapi dalam lafaz beliau, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami dan mengatakan dalam khutbahnya, ‘Tidak ada iman…’ dst.” Lihat Shahih at-Targhib no. 3004)

Atas dasar itu, tak mengherankan apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan kedudukan yang tinggi bagi pedagang yang amanah. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

التَّاجِرَ الْأَمِيْنُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang pedagang yang amanah, jujur, dan muslim, dia akan bersama para syuhada pada hari kiamat.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih at-Targhib, 2/162 no. 1783)

Seorang pedagang harus amanah dalam segala hal yang terkait dengan perdagangan, termasuk tentunya dalam hal takaran dan timbangan. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata,

الصَّلاَةُ أَمَانَةٌ، وَالْوُضُوءُ أَمَانَةٌ، وَالْوَزْنُ أَمَانَةٌ، وَالْكَيْلُ أَمَانَةٌ، -وَأَشْيَاءُ عَدَّهَا- وَأَشَدُّ ذَلِكَ الْوَدَائِعُ

“Shalat adalah amanah. Wudhu adalah amanah. Timbangan adalah amanah. Takaran adalah amanah—beliau menyebutkan beberapa hal lain—dan yang paling berat adalah (amanah) titipan-titipan.” (Hasan, diriwayatkan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1763)

Karena pentingnya amanah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk tetap amanah walaupun kepada orang yang berkhianat kepada kita. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah kewajiban amanah kepada orang yang mengamanahimu. Jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 3535, lihat Shahih Sunan Abi Dawud)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa: 58)
  • Tidak Menjual Barang kepada Orang yang Menggunakannya untuk Maksiat
Apabila kita mengetahui bahwa orang yang membeli barang dagangan kita akan mempergunakannya untuk maksiat, kita tidak boleh bagi menjualnya kepadanya. Sebab, hal itu termasuk tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)

Tidak boleh juga menjual senjata saat terjadi pertikaian di antara muslimin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang dia ketahui bahwa akan menggunakannya untuk membunuh seorang muslim, hukumnya haram, tidak sah. Sebab, hal ini mengandung bantuan dalam perkara dosa dan permusuhan. Apabila dia menjualnya kepada orang yang menggunakannya untuk berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, hal itu merupakan ketaatan dan ibadah.” (al-Mulakhkhas al-Fiqhi, 2/12)
  • Iqalah
Iqalah artinya pembatalan akad jual-beli dengan kerelaan penjual dan pembeli. Ini merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Penjual dengan rela mau membatalkan akad jual-beli ketika diminta oleh pembeli, saat pembeli membutuhkannya, sekalipun akad telah sah.

Sebagai gambarannya, disebutkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud,

“Apabila seseorang membeli sesuatu dari orang lain lalu menyesali pembeliannya, mungkin karena ada penipuan, tidak lagi membutuhkannya, tidak punya uang lagi, sehingga ia mengembalikan barang kepada penjual dan penjual pun menerimanya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghilangkan kesusahannya pada hari kiamat nanti. Hal itu merupakan kebaikannya terhadap pembeli. Sebab, akad telah sempurna sehingga pembeli tidak dapat membatalkannya.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتَهُ أَقَالَهُ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa mau membatalkan akad penjualan seorang muslim, Allah akan lepaskan dia dari kesulitannya pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan ini lafaznya, al-Baihaqi, dan yang lain; lihat Shahih at-Targhib no. 1758)
  • Samahah
Samahah berarti toleransi atau memudahkan urusan. Kita dianjurkan memiliki sikap toleransi terhadap orang lain dalam urusan jual-beli atau utang-piutang dan memudahkan urusan muamalah dengan mereka.

Dari Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ الله رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang memudahkan urusan saat menjual, memudahkan urusan saat membeli, dan memudahkan urusan saat menagih haknya.” (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat Ibnu Hibban rahimahullah ada tambahan lafaz, “Memudahkan saat melunasi.”

Dalam riwayat lain dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

غَفَرَ اللهُ لِرَجُلٍ كَانَ قَبْلَكُمْ، كَانَ سَهْلًا إِذَا بَاعَ سَهْلاً إِذَا اشْتَرَى سَهْلاً إِذَا قَضَى سَهْلاً إِذَا اقْتَضَى

“Allah mengampuni seseorang sebelum kalian. Apabila menjual, dia memudahkan urusan. Apabila membeli, dia memudahkan urusan. Apabila melunasi, dia memudahkannya. Apabila menagih, dia juga memudahkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 5/357)

Dalam hadits lain dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَدْخَلَ اللهُ الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا بَائِعًا وَمُشْتَرِيًا

“Allah memasukkan ke dalam surga, seorang penjual atau pembeli yang memudahkan urusan.” (HR. Ibnu Majah)

Dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرَ وَافٍ

“Barang siapa menuntut hak, hendaklah dia menuntut dengan menjaga (dari yang tidak halal), terpenuhi atau tidak terpenuhi.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan tentang hadits Jabir radhiallahu anhu di atas,

“Di dalamnya terdapat anjuran untuk mempermudah urusan muamalah dan berakhlak yang luhur. Tidak musyahah (saling menyulitkan) dan tidak menekan orang dalam menuntut hak, serta memaafkan mereka.” (Fathul Bari)
  • Wadh’ul Ja’ihah
Ini adalah sebuah istilah ahli fikih. Ja’ihah berarti bencana alam, bukan upaya manusia, semacam angin, hujan, atau hama. Wadh’u berarti menggugurkan. Maksud istilah ini ialah pengguguran akad karena tanaman/buah yang dibeli terkena hama atau bencana sehingga tidak panen.

Apabila terjadi hal semacam ini, kerugian ditanggung penjual. Jadi, penjual mengembalikan uang kepada pembeli sebesar kerugiannya. (Lihat penjelasan dalam kitab al-Mulakhkhas al-Fiqhi 2/41, Syarhul Buyu’ hlm. 64)

Hal tersebut adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟

“Seandainya engkau menjual buah kepada saudaramu lalu hama atau bencana menimpanya, tidak halal bagimu untuk mengambil apa pun darinya (pembeli). Dengan (imbalan) apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim)
  • Tidak Sering Bersumpah
Maksudnya, sering/banyak bersumpah demi melariskan dagangannya.

Seandainya pun sumpah ini dilakukan dengan jujur, ini adalah sifat tercela. Terlebih lagi jika bersumpah dengan kedustaan.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ: رَجُلٌ حَلَفَ بَعْدَ الْعَصْرِ عَلَى مَالِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ فَاقْتَطَعَهُ، وَرَجُلٌ حَلَفَ لَقَدْ أَعْطَى بِسِلْعَتِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى، وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ، يَقُولُ اللهُ :الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْهُ يَدَاكَ

“Tiga golongan manusia yang didak akan diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah:

seseorang yang bersumpah setelah asar[1] atas harta seorang muslim sehingga ia dapat mengambilnya,
seseorang yang bersumpah bahwa ia telah memberikan barangnya dengan harga lebih mahal daripada yang ia berikan, dan
seseorang yang menghalangi (orang lain) dari kelebihan airnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, ‘Hari ini Aku halangi kamu dari karunia-Ku sebagaimana kamu halangi (orang) sisa dari sesuatu yang tidak diupayakan oleh kedua tanganmu’.” ( Ibnu Hibban)

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu berkata,

مَرَّ أَعْرَابِيٌّ بِشَاةٍ فَقُلْتُ: تَبِيعُنِيهَا بِثَلاثَةِ دَرَاهِمَ. قَالَ: لاَ، وَاللهِ. ثُمَّ بَاعَنِيهَا، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بَاعَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَاهُ

Seorang Arab badui melewatiku dengan membawa seekor kambing. Aku katakan, “Juallah kepadaku kambing itu dengan harga tiga dirham.” Ia menjawab, “Demi Allah, tidak.” Namun, setelah itu ia menjualnya kepadaku (dengan harga tersebut). Kutanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu. Beliau menjawab, “Dia telah menjual akhiratnya dengan imbalan dunianya.” (Hasan, HR. Ibnu Hibban, lihat Shahih at-Targhib no. 1792)

Dari Abdurrahman bin Syibl radhiallahu anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ. قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah para penjahat.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”

Beliau menjawab, “Ya, tetapi mereka berbicara lalu berdusta dan mereka bersumpah lalu mereka berdosa.”
(Shahih, HR. Ahmad, lihat Shahih at-Targhib no. 1786)

Dari Salman radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa telah bersabda,

ثَلاثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أُشَيْمِطٌ زَانٍ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَرَجُلٌ جَعَلَ اللهَ بِضَاعَةً لاَ يَشْتَرِي إِلاَّ بِيَمِينِهِ وَلا يَبِيعُ إِلاَّ بِيَمِينِهِ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat:

orang tua yang berzina,
orang miskin yang sombong, dan
seseorang yang menjadikan Allah sebagai dagangannya; dia tidak membeli kecuali dengan sumpah dan tidak menjual kecuali dengan sumpah.” (Shahih, ath-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib no. 1788)
Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata,

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَقُلْتُ: خَابُوا وَخَسِرُوا وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْـمُسْبِلُ، وَالْـمَنَّانُ، وَالْـمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ

“Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka dan mereka mendapat azab yang pedih.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya tiga kali. Aku katakan, “Rugi mereka. Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang memanjangkan kainnya (sampai bawah mata kaki), orang yang mengungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (Shahih, HR. Muslim dan Ashabus Sunan)\

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْحَلْفُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْكَسْبِ

“Sumpah itu (biasanya) membuat laris dagangan dan (biasanya) menghancurkan penghasilan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Menghancurkan berkah.” (Lihat Shahih at-Targhib no. 1794)

SAYANG TERHADAP AGAMANYA

Di antara bentuk sikap sayang seorang pedagang terhadap agamanya, baik yang terkait dengan dirinya atau yang mencakup urusan akhiratnya, ialah tidak semestinya ia tersibukkan dari urusan akihratnya karena urusan dunianya. Justru semestinya ia memperhatikan agamanya.

Rasa sayang terhadap agama itu akan terwujud sempurna dengan memperhatikan enam perkara:

Pertama, niat yang baik dalam berwirausaha.

Hendaklah ia meniatkan dengan wirausaha tersebut untuk menjaga dirinya agar meminta-minta dan mencegah rasa tamaknya terhadap milik orang lain. Dia berniat untuk mencukupi keluarganya agar dengan itu ia termasuk golongan mujahidin. Dia juga berniat untuk berbuat baik terhadap sesama muslimin.

Kedua, dengan usahanya dia meniatkan untuk menunaikan salah satu fardu kifayah.

Sebab, apabila perindustrian atau perdagangan terhenti, tentu kehidupan pun akan macet. Namun, di antara industri ada yang sangat penting, ada juga yang kurang perlu, misalnya terkait dengan perhiasan atau sekadar untuk bermewah-mewah. Maka dari itu, bekerjalah pada industri yang penting supaya usahanya bisa mencukupi kaum muslimin. Jauhilah segala industri yang dibenci oleh agama, apalagi yang maksiat.

Ketiga, janganlah pasar dunianya menyibukkannya dari pasar akhiratnya.

Pasar akhiratnya adalah masjid-masjid. Maka dari itu, hendaklah ia menjadikan awal siangnya untuk akhiratnya sampai ia masuk ke pasar dunia atau usahanya. Ia biasakan wirid-wiridnya.

Dahulu orang-orang yang saleh dari kalangan ulama salaf yang berprofesi pedagang menjadikan awal siangnya dan akhirnya untuk akhiratnya. Apabila mendengar azan Zuhur dan Asar, hendaklah dia meninggalkan usahanya dan menyibukkan diri untuk melakukan yang wajib.

Keempat, hendaknya senantiasa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala di pasar atau di tempat usahanya yang lain, membaca tasbih atau tahlil.

Kelima, tidak terlalu berambisi dengan pasar dan perdagangan.

Jadi, dia tidak menjadi orang yang pertama masuk pasar dan yang terakhir keluar darinya.

Keenam, tidak hanya menjauhi yang haram, tetapi juga menjauhi hal-hal yang syubhat.

(Diringkas dari penjelasan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)

Para Pedagang, Bersedekahlah…
Dalam praktik jual-beli, hampir tak lepas dari kata-kata yang tidak ada manfaatnya atau bermudah-mudah dalam bersumpah. Lebih parah, terkadang tercampuri oleh kata-kata yang haram, sumpah palsu, dan beragam ucapan dusta.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan para pedagang untuk bersedekah. Sebab, sedekah akan meredam kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hadits dari Qais bin Gharazah radhiallahu anhu disebutkan,

كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ، فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kami disebut samasirah (yakni sebutan bukan dari bahasa Arab, artinya makelar). Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati kami dan menyebut kami dengan sebutan yang lebih bagus darinya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai para tujjar (kata berbahasa Arab yang berarti ‘para saudagar’), sesungguhnya jual-beli itu tercampuri kata-kata yang tidak manfaat dan sumpah-sumpah, maka campurilah dengan sedekah.” (Shahih, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Lihat Shahih al-Jami’ no. 7974)

Dalam riwayat lain, “Tercampur dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan dusta.”

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa mendatangi proses jual-beli. Maka dari itu, campurilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (Shahih, HR. at-Tirmidzi, Shahih al-Jami’ no. 7973)

Wallahu a’lam bish-shawab.
____

Catatan Kaki
[1] Penyebutan setelah asar secara khusus adalah karena mulianya waktu tersebut. Pada waktu itu berkumpul malaikat malam dan siang. (Fathul Bari)

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.