Type Here to Get Search Results !

 


KEUTAMAAN DZIKIR HARIAN


Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Apakah Dzikir Itu?

Dzikrullah merupakan aktifitas ibadah seorang muslim, ibadah ini dilakukan dengan mengucapkan lafal dzikir yang mengandung pujian kepada-Nya, pensucian-Nya, pengagungan-Nya, pentauhidan-Nya, dan ungkapan syukur kepada-Nya. Salah satu perkara yang sangat dibutuhkan oleh seorang muslim dalam kehidupannya adalah dzikir terkait dengan aktifitasnya dalam sehari semalam. Aktifitas harian seorang muslim, baik terkait dengan berdiri, duduk, diam, bergerak, masuk, keluar dan aktifitas lainnya, semuanya dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah sehingga ia menjadi sosok hamba yang terhitung senantiasa berdzikr dengan memohon pertolongan kepada-Nya saja dan bertawakal kepada-Nya semata.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih nya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir pada setiap keadaan.

Dari Aisyah berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikrullah pada setiap keadaannya” (HR. Muslim: 373), maksudnya bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah meninggalkan dzikrullah dalam setiap keadaannya baik malam maupun siang, pagi maupun sore, saat safar maupun muqim, berdiri maupun duduk, dan dalam seluruh keadaannya.

Setiap beliau akan melakukan suatu amalan, baik berupa bangun ataupun tidur, keluar atau masuk, naik kendaraan maupun turun darinya serta amalan lainnya, maka beliau awali semua itu dengan dzikrullah atau berdoa kepada-Nya semata. Barangsiapa yang memperhatikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan mendapatkan dzikir pagi dan sore, dzikir tidur dan bangun darinya, dzikir shalat dan sesudahnya, dzikir makan dan minum, dzikir menaiki kendaraan dan safar, dzikir saat sedih, dzikir saat seorang muslim melihat sesuatu yang disukai atau tidak disukainya, dan dzikir-dzikir yang terkait dengan berbagai keadaan seorang muslim dalam sehari semalamnya.

Baca juga: Agar ibadah terasa nikmat dan mudah

Hikmah, Faedah, dan Makna yang Agung dibalik Dzikir Harian

Di dalam keanekaragaman dzikir yang sesuai dengan berbagai keadaan seorang muslim, terdapat beberapa hikmah, faedah, dan makna yang agung, di antaranya adalah:

  • Menguatkan tauhid di hati seorang muslim dan rasa benci kepada segala bentuk kesyirikan
  • Menguatkan hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya,
  • Menguatkan keimanan seorang hamba kepada Allah,
  • Pengakuan terhadap nikmat-Nya yang terus-menerus didapatkan oleh seorang hamba,
  • Ungkapan rasa syukur kepada-Nya,
  • Sebagai bentuk tawakkal, bersandarnya hati, dan menyerahkan urusan kebaikan kepada-Nya semata,
  • Serta berlindung kepada-Nya saja dari segala godaan setan dan dari seluruh keburukan,
  • Menguatkan ketundukan ‘ubudiyyah kepada-Nya semata,
  • Mengakui Kemahaesaan Allah dalam Rububiyyah-Nya.
  • Mengandung harapan dan tujuan yang mulia, kebaikan, manfaat, keberkahan dan faedah-faedah agung lainnya yang tidak bisa diungkapkan semuanya dengan lisan manusia.

Dengan demikian, seseorang yang memiliki perhatian besar terhadap dzikir dan do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya dalam kesehariannya, berarti ia mengakui berulangkali bahwa hanya Allah Ta’ala-lah yang menghidupkan dan mematikan makhluk, memberi makan, dan minum kepada mereka, menjadikan mereka kaya dan miskin, memberi pakaian kepada mereka, menganugerahkan hidayah kepada sebagian mereka dan menyesatkan sebagian yang lain, serta iapun berulangkali mengakui bahwa hanya Allah-lah yang berhak diibadahi dengan kecintaan, harapan, takut, ketundukan, perendahan diri, pengagungan, serta ibadah-ibadah lainnya, baik ibadah lahiriyah maupun batiniyah.     

Sumber Pertama

Kenapa Harus Menjaga Dzikir Harian?

Demikian besarnya hikmah, faedah dan makna yang terkandung dalam dzikir harian seorang muslim, maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menjaga dzikir-dzikir yang agung tersebut, setiap dzikir ia ucapkan pada waktunya sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terealisasi hikmah, faedah, dan makna yang agung dan agar ia tergolong kedalam hamba-hamba yang Allah ‘Azza wa Jalla puji mereka dalam firman-Nya:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang muslim, laki-laki dan wanita yang mukmin, laki-laki dan wanita yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusyu’, laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang berpuasa, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzaab: 35).

Kriteria Laki-Laki dan Wanita yang Banyak Berdzikir

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan tentang makna “Laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah”, beliau berkata,

المراد: يذكرون الله في أدبار الصلوات، وغدوًّا وعشيًّا وفي المضاجع، وكلما استيقظ من نومه وكلما غدا أو راح من منزله، ذكر الله تعالى

“Maksudnya mereka berdzikir kepada Allah setelah shalat, di pagi  siang, dan sore hari serta di pembaringan. Setiap kali seorang hamba bangun dari tidurnya, dan setiap kali pergi dari rumahnya di waktu pagi atau siang dan sore hari, ia pun berdzikrullah Ta’ala” (Al-Adzkar, An-Nawawi, hal.10).

Mujahid rahimahullah berkata,

لا يكون من الذاكرين الله كثيرًا والذاكرات حتى يذكر الله قائمًا وقاعدًا ومضطجعًا

“Tidaklah seorang hamba menjadi golongan laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah sampai ia berdzikrullah dalam keadaan berdiri, duduk, serta berbaring” (Al-Adzkar, An-Nawawi, hal. 10).

Berkata Atha` bin Abi Rabah rahimahullah,

ومن صلى الصلوات الخمس بحقوقها فهو داخل في قوله:  وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Barangsiapa yang shalat lima waktu dengan menunaikan hak-haknya (shalat tersebut), maka ia termasuk kedalam firman-Nya, “Dan laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah” (Tafsir Al-Baghawi).

Syaikh Al-Imam Abu Amr Ibnush-Shalah rahimahullah ditanya tentang batasan seseorang tergolong kedalam laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah, maka beliaupun menjawab:

إذا واظب على الأذكار المأثورة المثبتة صباحًا ومساء في الأوقات والأحوال المختلفة، ليلاً ونهارًا، وهي مبينة في كتاب: (عمل اليوم والليلة)، كان من الذاكرين الله كثيرًا والذاكرات

“Jika seorang hamba rutin berdzikrullah dengan dzikir-dzikir yang terdapat riwayat shahih di berbagai waktu dan keadaan, baik di waktu pagi maupun sore, siang maupun malam hari,

-dzikir-dzikir tersebut telah dijelaskan dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, maka ia termasuk kedalam golongan laki-laki dan wanita yang banyak berdzikrullah” (Al-Adzkar, An-Nawawi, hal. 10).

Nasehat Tentang Dzikir Harian

Ulama rahimahullah telah memberikan perhatian yang besar, baik secara penyampaian ilmu maupun pengamalannya, di antaranya dengan menulis kitab-kitab dzikir yang beranekaragam. Maka selayaknya ketika memilih lafal-lafal dzikir yang memang ada riwayat shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terakhir, hendaknya kita merenungkan ucapan Ibnul Qayyim tentang dzikir yang paling utama yang mencakup hati dan lisan. Lisan berdzikir hatipun memahami dan menghayati makna yang terkandung di dalam lafal dzikir yang diucapkan lisan. Beliau rahimahullah mengatakan,

و أفضل الذكر و أنفعه ما واطأ فيه القلب اللسان، و كان من الأذكار النبوية و شهد الذاكر معانيه و مقاصده

“Dzikir yang paling utama dan paling bermanfaat adalah dzikir yang berkesesuaian antara hati dan lisan, dan lafalnya berasal dari dzikir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang yang mengucapkannya menghayati makna dan maksud dari lafal dzikir tersebut” (Al-Fawaid: Ibnul Qoyyim, hal. 247).

(Diolah dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar ‘amalul yaum wal lailah, Syaikh Abdur Razzaq, hal. 7-10)  

Sumber: https://muslim.or.id/