Type Here to Get Search Results !

 


SIHIR DALAM PANDANGAN ISLAM

 

Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan “aji-aji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya.

Makna Sihir

Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ر , ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar.[1] Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan “remang-remang”.[2]

Seorang pakar bahasa, Al Azhari mengatakan, “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.[3]

Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya (pelet-pent)”.[4]

Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.”[5]

Sebenarnya Adakah Sihir Itu?

Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat semata?’

Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah (kelompok sesat-pent) mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al Baqarah : 102)

Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir  itu memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”[6]

Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al Falaq dan surat An Naas (al mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7] Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang terkena sihir.

Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat, Allahu A’laam.[8]

Hukum “Main-Main” dengan Sihir

Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1]menyekutukan Allah, [2]sihir, [3]membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4]mengkonsumsi riba, [5]memakan harta anak yatim, [6]kabur ketika di medan perang, dan [7]menuduh perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)

Kafirkah Tukang Sihir?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102)

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala.[9]

Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.

[Pertama] orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka.

[Kedua] orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.[10]

Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar.

[Pertama] Tukang sihir yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini.

[Kedua] Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.[11]

Hukuman Bagi Tukang Sihir

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun perempuan’”.[12]

Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang”[13]

Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Allahu A’laam.

Bolehkah Mengobati Sihir dengan Sihir?[14]

Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan?

Saudaraku, memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah”

Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini.

[Pertama] Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal. Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Kedua] Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut adalah perkara yang ghaib. [15]

Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang artinya), ”Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69). Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir.”[16]

Washallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala Aalihi wa Ashahabihi wa sallam.

Penulis: Hanif Nur Fauzi

_____
[1] Lihat Lisanul ‘Arab, Ibnul Mandzur, Asy Syamilah

[2] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Ibnul Jauzy, jilid 1, hal. 489.

[3] Dikutip dari Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq

[4] Al Kaafi fi Fiqh Al Imam Ahmad, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Asy Syamilah

[5] Dikutip dari Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq

[6] Dikutip dari Tafsir Ibnu Tafsir, Asy Syamilah

[7] Tafsir Ibnu Katsir, Asy Syamilah

[8] Lihat Haqiqatus Sihri wa Hukmuhu fil Kitabi was Sunnah, Syaikh Dr. ‘Iwaad bin Abdillah Al Mu’tiq

[9] Syarah Al Kabaair Lil Imam Adz Dzahabi, Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Al Kutub ‘Ilmiyah, hal. 20

[10] Al Qoulu As Sadiid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, Cet. Dar Al Qobsi, hal. 182

[11] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Ibnul Jauzy, Jilid 1, hal. 490

[12] Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[13] Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, Hakim, dan lain-lain. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih ghorib sebagaimana ta’liq Adz Dzahabi dalam At Talkhish. Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah) sebagaimana disebutkan dalam Dho’iful Jaami’ no. 2699. (ed)

[14] Penjelasan tentang sub judul ini kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Abdul Aziiz bin Muhammad As Sa’iid, dalam artikel beliau berjudul “Hukmu Hilli Sihri ‘anil Mashuuri bi Sihri Mitslihi”, lihat  http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=112

[15] Lihat penjelasan tentang syarat kaidah ini dalam Mandzumah Ushul Fiqh, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 77

[16] Lihat Ad waa’ul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, Asy Syamilah


Bahaya Sihir, Cara Mencegah, dan Mengatasinya

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 

Inilah bahaya sihir, cara mencegah, dan cara mengatasinya. Bahasan ini adalah kelanjutan dari tafsir surat Al-Falaq.

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan,

{ وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ } السَّوَاحِرُ تَنْفُثُ { فِى العُقَدِ } الَّتِي تَعْقِدُهَا فِي الخَيْطِ تَنْفُخُ فِيْهَا بِشَيْءٍ تَقُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ رِيْقٍ . وَقَالَ الزَّمَخْشَرِي مَعَهُ كَبَنَاتِ لَبِيْدَ المَذْكُوْرِ .
“(dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus), yaitu tukang-tukang sihir wanita yang menghembuskan sihirnya (pada buhul-buhul), yang dibuat pada pintalan, kemudian pintalan yang berbuhul itu ditiup dengan memakai mantra-mantra tanpa ludah. Zamakhsyari mengatakan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh anak-anak perempuan Labid yang telah disebutkan di atas.”

Yang dimaksud dengan kejahatan di sini adalah kejahatan sihir. Karena sihir itu yang dihembuskan pada benang-benang (pintalan), di mana ditiupkan pada setiap pintalan tadi. Sedangkan “naftsu” adalah tiupan dari mulut tanpa ludah. “Naftsu” inilah aktivitas tukang sihir. Sihir itu berdampak jelek pada orang yang disihir. Sihir juga meminta pertolongan pada ruh-ruh jahat. Orang bisa saja terkena sihir. Itu terjadi dengan izin Allah, walau tidak Allah sukai perbuatan tersebut. Artinya secara izin Allah yang kauni qadari itu terjadi, tetapi tidak secara izin Allah yang syari. Perbuatan sihir yang jelas adalah perbuatan yang tidak benar, walau itu bisa terjadi dengan izin Allah.
 
KENAPA DALAM AYAT DISEBUT TUKANG SIHIR PEREMPUAN?

Sebagian ulama seperti juga Jalaluddin Al-Mahalli mengatakan bahwa tukang sihir dalam ayat ini dimaksudkan untuk tukang sihir perempuan. Karena pendapat seperti ini menyatakan bahwa yang menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah putri-putri Labid bin Al-A’sham. Ini yang menjadi argumen dari Abu ‘Ubaidah dan yang semisal dengannya. Ini tidaklah tepat karena yang menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Labid bin Al-A’sham, bukan putri-putrinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim.

Sehingga yang dimaksud an-naffaatsaat adalah ruh atau sukma yang menyihir, bukan yang dimaksud adalah tukang sihir perempuan. Karena pengaruh sihir itu dari ruh jahatnya. Itulah kenapa disebut dengan lafaz muannats(perempuan), bukan lafaz mudzakkar (laki-laki). Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 704-705.
 
HIKMAH DARI GHASIQ, AN-NAFFAATSAAT, DAN HAASID

Ghasiq (gelap malam) dan haasid (orang yang hasad) dalam bentuk nakirah (tanpa alif laam) karena gelap malam tidak semuanya jelek; begitu pula hasad itu tidak semua jelek, karena ada hasad yang terpuji (disebut ghibtoh, yaitu ingin berlomba dengan yang lain dalam kebaikan). An-naffaatsat (tukang sihir, dengan bentuk makrifah, ada alif lam), artinya sihir semuanya itu berdampak jelek. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 705.
 
APA ITU SIHIR?

Sihir itu sesuau yang samar dan halus sebabnya.

Adapun pengertian secara istilah, sihir ada dua pengertian:

1- Mantra atau jimat yang digunakan oleh tukang sihir sebagai bentuk pengabdian pada setan untuk mencelakai orang yang hendak disihir.

2- Obat yang berpengaruh di badan, akal, dan pikiran orang yang disihir. Inilah yang disebut dengan shorf dan ‘athof (obat yang membuat orang lain tertarik atau benci). (Lihat Al-Mukhtashar fi Al-‘Aqidah karya Syaikh Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih, hlm. 131)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sihir adalah mantra-mantra yang dibacakan oleh tukang sihir untuk memudaratkan atau membahayakan orang lain. Di antara pengaruh sihir yaitu ada yang sampai terbunuh, jatuh sakit, atau gila. Ada juga yang pengaruhnya sampai seseorang begitu cinta pada yang lain atau ada yang pengaruhnya hingga benci pada yang lain. Intinya, sihir ada berbagai macam. Namun, semuanya itu diharamkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berlepas diri dari sihir atau meminta untuk orang lain disihir.” Demikian dijelaskan oleh Syaikh dari penjelasan beliau terhadap kitab Riyadh Ash-Shalihin karya Imam Nawawi, 6:573, terbitan Darul Wathan.
 
SIHIR DAN MACAMNYA

Tentang nyatanya sihir ditunjukkan pada firman Allah,

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al Falaq: 4). Meminta perlindungan pada Allah–Sang Khaliq–dari sihir di sini menunjukkan bahwa hakikatnya sihir itu ada.

Begitu juga firman Allah Ta’ala,

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102). Sesuatu yang dipelajari itu menunjukkan bahwa sihir itu ada. Jadi sihir hakikatnya memang ada. Sebagaimana juga ada riwayat dalam Shahih Bukhari yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena sihir di mana beliau seakan-akan melakukan sesuatu, tetapi kenyataannya tidak.

Ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwa sihir itu hanyalah tipuan pandangan, tidak ada hakikatnya. Inilah yang dipahami oleh kaum Mu’tazilah–para pengagum akal–. Mereka berdalil dengan firman Allah mengenai sihirnya Nabi Musa ‘alaihis salam,

قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى

“Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS. Thaha: 66).

Namun, yang benar sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sihir itu ada, ada hakikatnya.

Sihir pertama, sihir yang bisa membuat orang lain jatuh sakit, bahkan bisa mematikan yang lain.

Sihir kedua, sihir yang hanya menipu pandangan, seperti pada dunia sulap yang kita sering perhatikan di layar kaca. Sihir seperti ini menipu pandangan, seakan-akan si pesulap masuk api padahal tidak, seakan-akan ia menikam dirinya sendiri padahal hanyalah mengelabui.

Jika dipahami demikian, maka kita dapat mengompromikan berbagai macam dalil tentang sihir. Namun, perlu dipahami bahwa sihir atau sulap tidaklah bisa merubah bentuk suatu benda, misal batu atau besi diubah menjadi emas. Jika memang bisa demikian tentu saja tukang sihir seperti ini akan menjadi orang terkaya di jagad raya.

BAHAYA SIHIR: TUKANG SIHIR ITU KAFIR?

Apakah tukang sihir itu dihukumi kafir?

Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat.

Pendapat pertama, tukang sihir itu kafir. Inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 102). Dalil ini yang menunjukkan bahwa tukang sihir itu kafir.

Pendapat kedua, kalau sifat sihirnya ada unsur kekafiran, maka tukang sihir tersebut kafir. Jika tidak demikian, maka tidaklah kafir. Sebagaimana ada riwayat dari ‘Aisyah bahwa ia tidak membunuh tukang sihir dari budak wanita. Riwayat ini disebutkan oleh ‘Abdurrozaq, Al Baihaqi, dan Ibnu Hazm dengan sanad yang shahih. Tidak membunuh tukang sihir di sini menunjukkan tidak kafirnya. Karena hukum asalnya, Islam seseorang tetap ada.

Rincian paling bagus mengenai hukum sihir adalah:

1- Sihir yang dihukumi kafir yaitu jika ada di dalamnya meminta pertolongan pada setan. Karena ketika itu tukang sihir melakukan amalan sebagai bentuk pengabdian atau ibadah pada setan.

2- Sihir yang dihukumi dosa besar yaitu sihir dengan bantuan obat atau ramuan.
 
BAHAYA SIHIR: TUKANG SIHIR KENA HUKUMAN MATI

Antara kafirnya tukang sihir dan hukum membunuhnya adalah masalah yang berbeda. Mengenai hukuman mati untuk tukang sihir, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, tukang sihir dihukum mati.

Pendapat kedua, tidak dihukum mati kecuali jika melakukan sihir sampai derajat kekafiran. Inilah pendapat Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya.

Pendapat yang lebih tepat, tukang sihir itu dihukum mati secara mutlak, baik bentuk sihirnya dihukumi kafir atau hanya dosa besar.

Ada beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini.

Dari Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ

“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.” (HR. Tirmidzi, no. 1460, yang tepat hadits ini mawquf, hanya perkataan Jundub sebagaimana diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dengan sanad yang shahih).

Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Bajalah bin ‘Abadah, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah menulis surah dan memerintahkan membunuh setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan. Bajalah berkata, “Kami telah membunuh tiga tukang sihir.”

Namun perkataan “setiap tukang sihir” terdapat dalam Musnad Imam Ahmad, bukan dalam Shahih Al-Bukhari.

Dari Hafshah radhiyallahu ‘anha, ia memerintahkan untuk menghukum mati budak perempuan yang telah menyihirnya. Budak itu pun lantas dibunuh. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’nya.

Imam Ahmad sampai berkata, “Ada tiga sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat bahwa tukang sihir itu dihukum mati.”

Pendapat yang mengatakan tukang sihir dihukum mati, itulah yang lebih tepat. Wallahu a’lam.
 
CARA MENGOBATI ATAU MENGATASI SIHIR

Ada dua cara yang dilakukan dalam mengobati sihir, santet, kena guna-guna, atau penyebutan semisalnya:
1- Dengan membacakan Al-Qur’an, do’a atau dzikir yang mubah.

Seperti ini dibolehkan berdasarkan keumuman dalil yang membolehkan ruqyah. Di antara dalilnya adalah,

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِىِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ »

Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’iy, ia berkata, “Kami melakukan ruqyah di masa jahiliyah, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ruqyah yang kami lakukan?” Beliau bersabda, “Coba tunjukkan padaku ruqyah yang kalian lakukan. Ruqyah boleh saja selama di dalamnya tidak terdapat kesyirikan.”  (HR. Muslim, no. 2200).

Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ

“Tidak ada ruqyah kecuali pada penyakit karena mata hasad (dengki) atau karena sengatan binatang.” (HR. Abu Daud no. 3884 dan Tirmidzi no. 2057. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

2- Mengobati sihir dengan sihir yang semisal.

Para ulama berselisih pendapat mengenai cara kedua ini. Namun, yang lebih tepat adalah tidak mengobati sihir dengan sihir. Demikian pendapat Al Hasan Al Bashri, Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah (penulis kitab Taisir Al-‘Azizil Hamid) dan jadi pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim (mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam).

Di antara dalilnya adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النُّشْرَةِ فَقَالَ « هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ »

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang nusyrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu termasuk amalan setan.” (HR. Abu Daud, no. 3868 dan Ahmad, 3:294, juga dikeluarkan oleh Bukhari dalam Tarikh Kabir, 7:53. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Yang dimaksud nusyrah yang terlarang di sini adalah mantra-mantra yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah seperti dengan menggunakan jimat-jimat. Itu termasuk amalan setan. Nusyroh yang dimaksud bukanlah dengan membacakan surah ta’awudzat (surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq dan surah An-Naas) atau dengan menggunakan ramuan yang mubah. (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, 2:846)

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Yang namanya sihir di dalamnya jin mengabdi pada tukang sihir dengan syarat tukang sihir tersebut berbuat syirik kepada Allah selamanya. Begitu pula menghilangkan sihir juga harus menghilangkan sebab sihir tersebut. Sihir tersebut bisa terjadi karena pengabdian setan jin kepada tukang sihir. Nah, inilah yang perlu diatasi. Kalau sihir diatasi dengan sihir, maka mesti tukang sihir kedua juga meminta bantuan pada jin yang lain untuk mengatasi sihri yang pertama.” (At-Tamhid, hlm. 349).
 
TUKANG SIHIR BERTAUBAT

Ada dua pendapat dari para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama, taubat tukang sihir tidaklah diterima. Inilah pendapat dalam madzhab Hambali. Kalau demikian, ia tetap dikenai hukuman mati–saat diterapkan hukum Islam–. Itulah hukum secara lahiriyah. Adapun di batin, itu adalah urusan dia dengan Allah. Jika memang taubatnya benar-benar jujur, moga Allah maafkan. Bila ternyata dusta, maka ia dihukumi secara lahiriyah.

Pendapat kedua, taubat tukang sihir diterima. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).

Begitu pula dalam hadits, dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah -‘azza wa jalla- membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari yang berbuat dosa di siang hari. Dia pun membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari yang berbuat dosa di malam hari. Taubat terus diterima sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya (arah barat).” (HR. Muslim, no. 2759).

Dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537 dan Ibnu Majah, no. 4253. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalil yang menyebutkan bahwa taubat setiap orang diterima amatlah banyak. Namun tentu saja bisa dikatakan taubatnya diterima jika memang ada bukti bahwa ia jujur dalam taubatnya.
 
CARA MENCEGAH SIHIR

Sebagaimana disebutkan oleh mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ada beberapa sebab seseorang bisa mudah terkena sihir:

1- Lalai dari mengingat Allah

2- Tidak mau perhatian pada ketaatan (ibadah)

3- Tidak mau perhatian pada dzikir-dzikir syar’i (seperti dzikir pagi, dzikir petang, dzikir sebelum tidur, dzikir ketika masuk kamar mandi, -pen)

Sedangkan orang yang senantiasa berdzikir, rajin ibadah dan perhatian dengan dzikir-dzikir yang ada dasarnya, maka asalnya ia selamat dari gangguan sihir. Orang yang istiqamah menjalankan hal-hal tersebut akan selamat dari penguasaan setan. Beda halnya dengan yang gemar maksiat dan lalai dari mengingat Allah, sangat rentan sekali mendapatkan gangguan dan was-was setan. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 3:298)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf: 36).

Kalau orang Arab menyebut “ya’syu a’in”, maksudnya adalah pandangan melemah atau pandangan menjadi kabur. Sehingga maksud “ya’syu ‘an dzikrir rohman”, yaitu pandangannya tertutup dari Al Quran, artinya tidak mau memperhatikan Al Qur’an.

Akibat dari berpaling dari Al-Qur’an, akhirnya dijadikan setan tidak berpisah darinya. Lihat bahasan Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir dan Zaad Al-Masiir karya Ibnul Jauzi.

Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah, yang dimaksud dengan ayat di atas adalah yang lalai dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, itulah dzikir Ar-Rahman. Al-Qur’an tersebut itulah wujud kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Siapa yang menerima dzikir yang mulia ini, berarti ia telah menerima karunia yang besar, ia benar-benar telah beruntung. Adapun yang berpaling dari Al-Qur’an, bahkan menolaknya, dialah yang berhak mendapatkan kerugian dan tidak ada lagi kebahagiaan setelah itu selamanya. Akibat buruk pula bagi yang berpaling dari Al-Qur’an adalah akan senantiasa ditemani oleh setan, lalu setan akan menjerumuskan dalam maksiat. Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 813.

Kesimpulannya, siapa yang lalai dari Al Qur’an, lalai dari dzikir, lalai dari shalat dan ibadah, maka akan mudah diganggu setan. Sedangkan sihir itu berasal dari setan.
 
DOA MEMINTA PERLINDUNGAN DARI SIHIR DAN SANTET

Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

“’AUDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMATI MIN KULLI SYAITHONIN WA HAAMMATIN WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMATIN (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk).” (HR. Bukhari, no. 3371).

Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, dulu bapak kalian yaitu Nabi Isma’il dan Ishaq meminta perlindungan pada Allah dengan do’a tersebut.

Yang dimaksud dengan berlindung dengan kalimat Allah adalah Al-Qur’an, ada pula yang menyatakan nama dan sifat Allah. Kalimat Allah sendiri disifatkan dengan sempurna karena tak mungkin dalam nama Allah terdapat sifat kekurangan dan aib seperti pada kalam manusia. Juga ada ulama yang mengatakan bahwa maksud sempurna adalah bermanfaat, terjaga dari kekurangan dan sudah mencukupi.

Sedangkan hammah yang dimaksud dalam doa tersebut adalah kita berlindung dari segala sesuatu yang beracun yang bisa mematikan.

Adapun yang terakhir adalah meminta perlindungan dari ‘ain yang buruk, maksudnya ‘ain yang apabila mengenai seseorang bisa berdampaik buruk. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi, 6:212).