Type Here to Get Search Results !

 


MEMBACA KALAMULLAH DENGAN BENAR

Tipe Manusia dalam Membaca Al-Quran

Para ulama qurro'(ahli baca Al-Quran –muslimah) yang mu’tabar (diakui keilmuannya –muslimah) telah membagi tipe-tipe manusia dalam membaca Al-Quran menjadi tiga macam:

1. Muhsin ma’jur

Muhsin ma’jur adalah orang yang baik dalam membaca Al-Quran dan mendapat pahala, yaitu orang-orang yang membaca Al-Quran dengan baik dan sempurna sebagaimana yang telah diturunkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka orang seperti ini akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

اَلْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَ الَّذِيْ يَقْرَؤُهُ وَ يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَ هُوِ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang yang pandai dalam membaca Al-Quran itu akan bersama dengan para malaikat yang mulia, dan barangsiapa yang membaca Al-Quran dengan tersendat-sendat (terbata-bata) dan merasa keberatan maka baginya dua pahala.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Musi’ ma’dzur

Musi’ ma’dzur adalah orang yang jelek bacaannya tapi dimaklumi, yaitu orang-orang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk belajar Al-Quran tetapi dia tidak mampu membaca dengan baik, tidak ada orang yang mengajarinya dengan benar, atau situasi yang tidak memungkinkan untuk belajar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesangupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Namun hendaknya dia terus berusaha memperbaiki bacaan Al-Quran. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan sehingga dia mampu membaca dengan baik.

3. Musi’ atsim

Musi’ atsim adalah orang yang jelek bacaannya dan mendapatkan dosa dari Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu orang-orang yang merasa cukup dengan dirinya, mengandalkan otaknya atau hanya bersandar pada buku-buku yang ada dan merasa sombong untuk kembali kepada orang yang mengetahui ilmu ini secara mendalam. Maka tidak diragukan lagi bahwa orang seperti ini akan mendapatkan dosa dan kesalahannya tidak bisa dimaklumi. (Panduan Praktis Tajwid, hlm. 150–151)

Nasihat Para Ulama Ahlus Sunnah

Berkut ini adalah beberapa nasihat dari para ulama:

    Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah selalu meminta pada orang-orang yang bagus bacaannya untuk tampil di depan murid-muridnya guna mengalunkan ayat-ayat Al-Quran, terlebih lagi terhadap merka yang punya suara yang bagus. Beliau sangat senang dengan murid-murid seperti ini.

    Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah selalu menguji muridnya tentang Al-Quran. Beliau membaca sebagian ayat-ayat Al-Quran lalu muridnya disuruh menjawab surat apa yang telah dibaca Syekh Muqbil tersebut.

    Syekh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah menasihati muridnya untuk belajar ilmu tajwid. Berkali-kali beliau menasihatkan hal ini dalam majelis yang dihadiri oleh ribuan murid-muridnya.

    Syekh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah selalu mengumandangkan perkataan dengan mengatakan bahwa tidak selayaknya ada seorang da’i atau pengarang buku atau pentahqiq kitab, namun dia tidak mampu membaca Al-Quran dengan baik. Ini adalah suatu hal yang memalukan.

    Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Bazz rahimahullah pernah ditanya, “Wahai Syekh, matan (suatu kitab) apa yang paling bagus untuk dihapal?” Beliau menjawab, “Sebaik-baik matan yang harus dihapal adalah Al-Quran.”

    Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah mengatakan bahwa sebaik-baik buku tentang ilmu akidah adalah Al-Quran Al-Karim. Syekh Yahya menambahkan bahwa sebaik-baik buku tentang ilmu akidah adalah Al-Quran, sebaik-baik buku tentang ilmu fikih adalah Al-Quran, dan sebaik-baik penjelas tentang orang-orang yang berbuat kedustaan adalah Al-Quran.

    Syekh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullah selalu menganjurkan muridnya untuk menghapal Al-Quran dan As-Sunnah, dan melarangnya untuk langsung terjun ke perpustakaan karena orang seperti ini akan merasa kecil hati ketik bertemu dengan para huffazh (penghapal Al-Quran –muslimah). Bahkan beliau sempat mengatakan bahwa murid-murid yang sudah dua tahun lalu belajar di pesantren belum hapal Al-Quran, itu merupakan hal yang memalukan. Apalagi muridnya yang sudah duduk di majelis ilmu, maka beliau menjuluki murid yang seperti ini sebagai murid-murid yang la’ab (banyak main). (Panduan Praktis Tajwid, hlm. 152–155)

Sumber Pertama

1. Menurut bahasa

Menurut bahasa, kata “tajwid” diambil dari “sesuatu yang baik”, lawannya adalah “jelek”. Diambil dari kata جَوَّدَيُجَوِّدُتَجْوِيْدًا yang artinya adalah perbaikan, penyempurnaan, pemantapan. (Qowaid Attajwid hlm. 24). Serta, dikatakan bagi orang yang baik dalam bacaan Al-Quran dengan mujawwid.

2. Menurut istilah

Menurut istilah, tajwid adalah keluarnya semua huruf hijaiyah dari makhraj-nya (tempat keluarnya) dengan memberikan hak dan keharusannya dari sifat tersebut.

    Adapun hak dari sifat itu adalah sifat permanen yang tidak berubah dalam semua keadaannya, seperti: sifat jahr, syiddah, istifal, ithbaq, qolqolah, dan sebagainya.

    Sedangkan keharusan dari sifat-sifatnya tersebut adalah sifat yang bisa berubah, seperti: idzhar, idgham, iqlab, ikhfa`, tarqiq, tafkhim.

3. Peletak dasar ilmu tajwid

Ditinjau dari sisi amalan, praktik bacaan Al-Quran adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla yang disampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Jibril ‘alaihis salam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat, lalu para sahabat menyampaikan kepada tabi’in, dan begitu seterusnya, sampai ilmu itu kepada kita. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang diperbolehkan berijtihad dalam hal bacaan Al-Quran tersebut. (Lihat Hidayah Al-Qori, hlm. 38)

Kemudian, terjadi perselisihan siapa yang mulai meletakkan kaidah dan ushul ilmu tajwid. Sebagian mengatakan Abu ‘Amr Hafs bin ‘Umar Ad-Dury, Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibnu Sallam, Abul Aswad Ad-Dualy, Al-Kholil ibn Ahmad, dan sebagian mengatakan yang lainnya.

Kemudian, kaidah itu bukanlah suatu bid’ah yang tercela dalam agama Islam bahkan merupakan suatu maslahat mursalah (Lihat al-I’tisham 2/111—112). Demikian pula ilmu nahwu, ilmu mushtholah, ilmu ushul fikih, dan sebagainya, yang semua itu tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun sebab yang mendorong ulama untuk meletakkan kaidah serta ushul tersebut, adalah karena tersebarnya bahasa orang-orang non Arab yang merusak ilmu Al-Quran. Lihatlah betapa banyak orang tidak bisa membedakan د (dal) dengan ذ (dzal), ظ (dzo`) dengan ض (dho’). Demikian pula س (sin) dengan ش (syin) atau denganث (tsa’), dan seterusnya. Maka kaidah merupakan salah satu jalan dalam upaya mempermudah bacaan Al-Quran.

4. Sumber dan Asal Muasal Ilmu Tajwid

Ilmu tajwid diambil dari Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran, serta para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in demikian seterusnya. Sampailah kepada ulama-ulama yang ahli dalam Al-Quran sehingga sampai ilmu qiro’at tersebut dengan cara yang mutawatir.

5. Nama

Ilmu tersebut dinamakan dengan ilmu tajwid, sedangkan tajwidnya sendiri ada dua, yaitu:

    Syafawi ‘Amali, yaitu bacaan Al-Quran yang bagus yang diambil dari orang yang ahli dalam membaca Al-Quran.

    Nadzory ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang diajarkan secara turun-temurun menurut kaidah yang diletakkan oleh para ulama.

6.  Keutamaannya

Tajwid adalah ilmu yang mulia, karena seorang muslim dituntut untuk membaca Al-Quran pada tiap harinya, minimal (dalam) shalat sehari semalam. Demikan pula orang yang ahli dalam ilmu ini akan masuk surga bersama para malaikat yang mulia, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اَلْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَ الَّذِيْ يَقْرَؤُهُ وَ يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَ هُوِ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Seorang yang pandai dalam Al-Quran akan bersama dengan para malaikat yang mulia lagi taat, dan seorang yang membaca Al-Quran dengan tersendat-sendat (terbata-bata) dan merasa keberatan maka baginya dua pahala.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

7. Manfaat

Manfaat bagi seseorang yang mempelajari ilmu tajwid adalah akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dunia akan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, demikian pula di akhirat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat suatu kaum dengan Al-Quran dan merendahkan sebagian yang lainnya juga dengan al-Qur’an.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Tujuan

Tujuan ilmu tajwid yang paling utama adalah lancarnya seseorang dalam pengucapan lafal Al-Quran dengan ilmu yang telah disampaikan oleh ulama kita dengan memberikan sifat tarqiq (tipis), tebal, mendengung, panjang, serta pendeknya, dan seterusnya. Maka ilmu ini tidak akan bisa diketahui dengan sempurna kecuali harus berguru secara langsung kepada ulama yang ahli dalam ilmu ini.

9. Bahasan Ilmu Tajwid

Bahasan mencakup kaidah-kaidah dan hukum tajwid secara terperinci yang harus diketahui oleh seseorang yang belajar dalam ilmu ini.

Penyusun: Ummu Asiyah Athirah (dengan perubahan aksara dan ejaan seperlunya)

Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

____

Sumber:

Panduan Praktis Tajwid dan Bid’ah-bid’ah Seputar Al-Qur’an

250 Kesalahan Dalam Membaca Al-Fatihah, karya Al-Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashory, Cetakan Keenam (1429 H/2008 M),Maktabah Daarul Atsar Al Islamiyah, Magetan

Sumber: https://muslimah.or.id/

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.