JUDUL ASLI: APAKAH BENAR, SALAFI/WAHABI MENYURUH ORANG AWAM BERIJTIHAD DAN MENGHARAMKAN BERMAZHAB? PERSPEKTIF SEORANG AWAM
By Fajri Matahati Muhammadin
Seringkali saya mendengar ada yang menyampaikan bahwa Salafi/Wahabi itu menyuruh orang awam berijtihad langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan bermazhab adalah sesuatu yang dianggap salah dan tidak boleh dilakukan. Apakah memang betul seperti itu?
Saya pribadi mengambil ilmu dari banyak orang, dan banyak di antaranya adalah yang dikatakan sebagai Salafi/Wahabi. Kesemua guru saya yang berlatar belakang Salafi/Wahabi kok tidak ada yang menyuruh orang awam berijtihad atau mengharamkan bermazhab ya?
Beberapa pendapat dari ulama-ulama besar yang dianggap sebagai tokoh Salafi/Wahabi adalah sebagai berikut:
Pertama, Sang Shaykh al-Wahabi sendiri, yaitu Shaykh Muhammad ibn Abdil Wahab at-Tamimi (rh) sendiri, menyatakan dalam al-Durar al-Saniyyah bahwa beliau sendiri mengikuti mazhab Imam Ahmad, dan bahkan mengatakan bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada mazhab. Katanya barulah kalau ada pendapat mazhab yang bertentangan dengan dalil yang jelas barulah pendapat tersebut ditinggalkan, sedangkan beliau (Shaykh Muhammad) berkata bahwa hal ini sangatlah jarang.
Baca juga: Ada apa dengan Wahabi?
Kedua, Shaykh Muhammad ibn Shalih al-Uthaymin (rh) berkata dalam Al-Usul min ‘Ilmi al-‘Usul bahwa seseorang yang tidak memiliki ilmu boleh bertaqlid. Sedangkan, sederet syarat beliau terapkan sebagai syarat ijtihad termasuk menguasai dalil, nasikh Mansukh, Bahasa Arab, usul al-fiqh, dan lain sebagainya (ini juga menepis tuduhan bahwa wahabi hanya mengambil Qur’an dan Hadits saja tanpa ilmu-ilmu alat). Beliau mengatakan juga bahwa boleh mengikut salah satu Imam mazhab. Akan tetapi, apabila seseorang telah memiliki ilmunya kemudian ia menemukan bahwa ada pendapat Imam mazhab lain (yang tidak diikutinya) yang baginya lebih rajih maka pendapat yang lebih rajihlah yang baiknya diikuti.
Ketiga, Shaykh Nassirudin Al-Albani (rh) pun mengatakan hal senada, yaitu boleh bertaqlid bagi yang tidak punya ilmunya. Katanya beliau tidak mengetahui dalil yang melarang hal tersebut, dan malah taqlid diperlukan bagi mereka yang tidak memiliki ilmunya. Dalam Sifatu al-Salat al-Nabi, beliau mengatakan bahwa yang ditolaknya bukanlah mazhab melainkan “menuhankan mazhab” seakan-akan agama hanya terbatas pada satu mazhab saja. Maksudnya sama dengan ulama-ulama lain, yaitu apabila seseorang memiliki ilmu dan menemukan pendapat yang lebih rajih dari luar mazhabnya maka tentu ia harus mengikuti pendapat yang lebih rajih tersebut.
Baca juga: Bolehkah mengamalkan hadits dha'if yang tak diketahui derajatnya? || Wacana penggunaan hadits dha'if
Keempat, Shaykh Abdul Aziz ibn Baz (rh) menyatakan hal yang sama. Dalam Fatwa al-Lajnah Da’imah (yang beliau keluarkan bersama-sama dengan Shaykh Abdullah bin Ghudayaan dan Shaykh Abdul Razaq al-Afifi), intinya mujtahid saja yang boleh berijtihad dan orang awam taqlid saja.
Kelima, Shaykh Shalih ibn Fauzan al-Fauzan pun senada. Dalam kitab beliau Al-Ijabat Al-Muhimmad beliau menjelaskan bahwa orang awam atau penuntut ilmu pemula boleh bertaqlid, dan kalau sudah punya ilmu yang mapan tapi belum mencapai derajat mujtahid maka bolehlah ia menyandarkan dirinya pada suatu mazhab tapi kalau menemukan pendapat di luar mazhabnya yang lebih rajih maka itu yang harus ia pilih. Selain itu, beliau mengatakan bahwa orang yang tidak mau bermazhab adalah sesat!
Mereka inilah nama-nama paling besar dalam mazhabnya “Wahabi” dan tidak ada satu pun di antara mereka yang melarang taqlid bagi orang awam apalagi sampai mengharamkan bermazhab. Justru, apabila melihat syarat-syarat ijtihad akan tampak bahwa bukan sekedar Qu’ran Hadits saja (sebagaimana banyak yang menduga), melainkan juga banyak hal lagi.
PENUTUP
Dr Jonathan Brown, seorang mualaf yang kini telah menjadi pakar hadits dan peradaban Islam di Georgetown University, menulis sebagai berikut:
“All the above proto-Salafi and Salafi scholars have consistently maintained that the masses of the Muslims are unqualified to approach the scriptural sources of Islam in any authoritative way. Moreover, like their mainstream Sunni opponents, Salafis have affirmed that ‘the layperson has no legal school’. His school is whatever a qualified local scholar says it is.”
(Jonathan A. C. Brown, “Is Islam Easy to Understand or Not? Salafis, the Democratization of Interpretation and the Need for the Ulema”, Journal of Islamic Studies 26, 2 (2015), pp. 117-144.
Melihat beberapa contoh di atas telah jelas posisi salafi wahabi menurut para ulamanya. Apabila ada yang mengatakan bahwa salafi/wahabi melarang bermazhab dan menyuruh orang awam berfatwa, maka itu adalah suatu kekeliruan.
Tapi yang mengatakan “haram bermazhab” dan “awam boleh ijtihad” bukan hanya para pengkritik salafi/wahabi melainkan sebagian jamaah salafi/wahabi sendiri. Kenapa bisa demikian? Mungkin salah faham. Yang benar adalah salafi-wahabi menyuruh orang awam untuk ikut ulama. Inilah pendapat ulama-ulama salafi wahabi.