Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Talak (Perceraian)
Sebagaimana telah kita pahami dari keterangan yang telah lalu, bahwasanya Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kita juga telah mengerti beberapa tindakan solusi yang telah diajarkan Islam dalam rangka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara suami dan isteri. Akan tetapi bisa jadi usaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak berhasil dikarenakan persengketaan dan permusuhan antara keduanya sudah terlampau panas. Dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk menggunakan tindakan lain yang lebih kuat, yaitu talak. Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
Jika seorang suami telah menceraikan isterinya dengan talak pertama atau kedua, maka ia tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumah hingga masa ‘iddahnya selesai. Bahkan sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Alasan dari semua itu adalah harapan sirnanya kemarahan yang menyebabkan perceraian dan harapan akan kembalinya keadaan rumah tangga seperti sedia kala. Hal ini seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq/65: 1]
Yaitu, supaya suami merasa menyesal karena telah menceraikan isterinya dan kemudian Allah meluluhkan hatinya agar rujuk kembali. Sesungguhnya yang demikian itu akan mudah.
Pembagian Talak
Pertama : Dari segi bahasa.
Dari segi bahasa talak dibagi menjadi dua, yaitu: Sharih dan Kinayah (kiasan) Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-Thalaq. Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.
“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” [1]
Sedangkan Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya. Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika tidak, maka tidak jatuh talak. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ.
“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’” [2]
Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk mengabarkan:
أََنِ اعْتَزِلِ امْرَأَتَكَ. فَقَالَ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: بَلِ اعْتَزِلْهَا فَلاَ تَقَرَّبَنَّهَا فَقَالَ: ِلإِمْرَأَتِهِ: اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ.
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.” [3]
Kedua: Dari segi Ta’liq dan Tanjiz :
Bentuk kata talak ada dua yaitu: Munjazah (langsung) dan Mu’allaqah (menggantung) Munjazah, yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq (engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.
Adapun Mu’allaq yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.” Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya, maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66)
Ketiga: Dari segi Sunnah dan Bid’ah
Dari segi ini talak dibagi menjadi dua, yaitu: Talak yang Sunnah dan talak yang bid’ah. Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya. Allah Ta’ala berfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” [Ath-Thalaaq/65: 1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” [4]
Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.” Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar. Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.” [5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Baari, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang menyuruh Ibnu ‘Umar agar rujuk dan beliaulah yang menuntun Ibnu ‘Umar apa yang harus ia lakukan jika ingin menceraikannya setelah itu. Dan jika Ibnu ‘Umar mengatakan bahwasanya pada saat itu ia telah dihukumi satu talak, maka kemungkinan yang telah menentukan hukum itu adalah selain Rasulullah sangatlah jauh sekali, karena adanya indikasi yang mendukung dalam kisah ini. Bagaimana mungkin kita akan beranggapan bahwasanya Ibnu ‘Umar mengatakan hal itu dari pendapatnya belaka, sedangkan ia juga telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepadanya karena apa yang telah diperbuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan ia lakukan?”
Al-Hafizh berkata lagi, “Ibnu Wahb dalam musnadnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Nafi’ telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Ibnu ‘Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh, lalu ‘Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ.
‘Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci.’ Tentang hadits ini Ibnu Abi Dzi’b berkata, Yaitu satu talak. Ibnu Abi Dzi’b berkata, Handzalah bin Abi Sufyan berkata kepadaku bahwa ia telah mendengar Salim menceritakan cerita tersebut dari ayahnya. Al-Hafizh berkata lagi, ad-Daruqutni telah mengeluarkan dari jalan Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishaq yang keduanya telah mendengar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: وَهِيَ وَاحِدَةٌ. “Yaitu satu talak.” [6]
Talak Tiga
Adapun jika seorang suami mentalak isterinya dengan talak tiga dengan satu lafazh atau satu majelis, maka dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan beberapa tahun dari khilafah-nya ‘Umar, bahwa hukum talak tiga yang diucapkan dengan satu talak adalah dihukumi satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya sebagian orang telah terburu-buru dalam melaksanakan suatu perkara yang sebenarnya mereka harus berhati-hati dalam urusan ini, maka sekiranya kita berlakukan bagi mereka (bahwa talak tiga dengan satu lafazh dihukumi sebagai talak tiga)?, maka talak tersebut menetapkan hukum tersebut bagi mereka. [7] Pendapat tersebut adalah ijtihad dari ‘Umar Radhiyallahu anhu yang tujuannya adalah untuk tercapainya suatu kemashlahatan dan tidak boleh meninggalkan apa yang telah difatwakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan pada zaman para Sahabat hingga zaman kekhilafahannya.
Keempat : Dari segi rujuk dan tidaknya. Talak ada dua macam yaitu: Raj’i dan Ba-in. Sedangkan talak ba’in juga dibagi menjadi dua pula, yaitu: sughra dan kubra. Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama sekali atau baru didahului dengan talak satu kali. Allah Ta’ala berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah/2: 228]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1826)], Sunan Ibni Majah (I/658, no. 2039), Sunan Abi Dawud (VI/262, no. 2180), Sunan at-Tirmidzi (II/328, no. 1195).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3199)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 356, no. 5254), Sunan an-Nasa-i (VI/150) dan lafazh yang diriwayat-kannya adalah “ Annal Kullabiyah lamma udkhilat….”
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/113, no. 4418), Shahiih Muslim (IV/2120, no. 2769), Sunan Abi Dawud (VI/285, no. 2187), Sunan an-Nasa-i (VI/152).
[4]. Muttafaq ‘alaih (Shahiih al-Bukhari (IX/482, no. 5332), Shahiih Muslim (II/1093, no. 1471), Sunan Abi Dawud (VI/227, no. 2165) dan ini adalah lafazhnya, Sunan an-Nasa-i (VI/138).
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 128)], Shahiih al-Bukhari (IX/351, no. 5253).
[6]. Sanadnya Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (VII/134)], ad-Daruquthni (IV/9, no. 24).
[7]. Shahiih Muslim (II/1099, no. 1472).
10 KETENTUAN TALAK DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Perceraian terkadang dibutuhkan oleh sepasang suami-istri karena kemaslahatan akan lebih mereka dapatkan daripada mempertahankan mahligai rumah tangga mereka. Melalui petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah, Islam menetapkan ketentuan-ketentuan dalam talak yang akan mewujudkan maslahat bagi mereka dan menjauhkan madharat dari mereka. Inilah ketentuan-ketentuan terbaik dalam talak yang berlandaskan al-Qur`an dan Sunnah dalam persoalan tersebut, yang diadaptasi dari al-Mausû’atu al-Fiqhiyyatu al-Muyassaratu fii Fiqhil Kitâbi was Sunnatil Muthahharah, Husain al-‘Awayisyah Dar Ibni Hazm Cet. I, Th.1425H/-2004 M 5/372-382.Semoga bermanfaat.
1.Mempertimbangkan maslahat dalam menjatuhkannya, setelah memikirkannya dengan penuh kesadaran dan mengambil pandangan dua penengah dari kedua belah pihak. Al-Qur`ân telah menunjukkan disyariatkan hal tersebut tatkala muncul perpecahan antara suami-istri dengan mengutus dua penengah dari keluarga mereka berdua, yang lebih mengutamakan memperbaiki hubungan pasangan suami-sitri sehingga mereka berdua padu kembali daripada bercerai dan terjadinya talak. Dua penengah ini menasehati dan mengingatkan mereka berdua dan memberitahukan kepada mereka dampak negatif perceraian dan madharat-madharatnya serta hancurnya kehidupan rumah tangga yang telah dibina bersama, serta penyesalan dan hati mereka berdua pasca perceraian, termasuk tercerai-berainya anak-anak dan kepahitan yang akan mereka rasakan. Apabila nasehat itu tidak bermanfaat dan usaha mereka tidak membuahkan hasil, dan akhirnya dua penengah ini memandang cerai merupakan pilihan bagi mereka, dan mengizinkan suami untuk menceraikan istrinya. Uraian ini tersimpulkan dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu berkamsud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [An-Nisâ/4:35]
Allâh Azza wa Jalla tidak mensyariatkan agar suami terburu-buru menjatuhkan talak dan bersegera melakukannya atas dorongan hawa nafsu dan jeratan emosi, tanpa menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla terhadap dirinya dan dianjurkan-Nya kepadanya. Perintah yang termuat dalam firman-Nya “maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan” menunjukkan bahwa mengutus penengah itu bersifat wajib, sebab perintah maksudnya kewajiban untuk melakukannya berdasarkan pandangan banyak Ulama, dan perintah terhadap sesuatu bermakna larangan untuk tidak melakukannya. Dan melakukan larangan, yaitu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perintah, akan mengakibatkan fasâd (rusak)nya suatu tindakan dan tidak diperhitungkannya apa yang diperbuat, sebagaimana telah dibahas dalam Ilmu Ushul Fiqh. Jadi, siapa saja yang tergesa-gesa mengambil langkah dalam menghadapi perselisihan dan melontarkan kata-kata talak, tanpa menempuh jalan tahâkum (menyerahkan urusan dan putusan kepada juru damai) yang diperintahkan terlebih dulu, maka orang tersebut telah melakukan sebuah larangan dan durhaka dengan melawan perintah. Adapun orang yang menjalankan perintah, lalu menyerahkan putusan kepada dua penengah tersebut, namun mereka tidak mendapatkan pintu untuk menyatukan pasangan itu dan tidak ada jalan untuk memadukan mereka berdua kembali, maka Allâh Azza wa Jalla tidak menjadikan dosa dalam putusan tersebut. Ini berdasarkan firman-Nya:
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
"Jika keduanya bercerai, maka Allâh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allâh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. [An-Nisâ/4:130].
2. Mengeluarkan vonis talak saat takut tidak dapat menegakkan aturan-aturan Allâh Azza wa Jalla . Yaitu, dikarenakan istri merasa tersakiti oleh suaminya, lantaran ia mendapati dari diri suaminya sesuatu yang menyakitinya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan atau karena mustahil ia dapat hidup bersabar dengan suaminya tersebut. Secara konkret, di antaranya, suami mengabaikan cara muamalah yang baik dengan istri, ia cuek untuk berbuat baik kepadanya. Atau sang istri menyaksikan suaminya hanyut dalam perbuatan fâhisyah (zina) dan melakukan kemungkaran-kemungkaran, atau mendesak sang istri untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban, atau merusak keshalehan istri dengan mengajaknya melihat dosa-dosa besar yang diperbuat, atau berusaha keras untuk menyakiti istri dengan berbagai macam cara yang menyakitkan, lalu sang istri kuatir akan dosa nusyûz (membangkang suami) bila tetap mempertahankan rumah tangga dengan suaminya itu. Akibatnya, sang istri tidak mampu bertahan untuk bergaul dengan suaminya dalam bentuk apapun dan menolak dekat dengannya sedikit pun. Dalam keadaan ini, disyariatkan bagi suami untuk memberi istrinya hak khulu’, dengan menebus dirinya dengan sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ketentuan itu diisyaratkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Jika kamu kuatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allâh, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allâh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. [Al-Baqarah/2:229]
Ayat di atas dengan mafhumnya menunjukkan bahwa keduanya bila menegakkan hukum-hukum Allah dalam hidup rumah tangga mereka, maka si lelaki tidak boleh menuntut istrinya untuk khulu’ (gugat cerai) dengan meminta dan mengambil dari istri sesuatu yang ia setujui. Dan sang istri pun tidak boleh untuk berpikir untuk mengajukan khulu’ kepada suaminya. Sebab, dalam tindakan ini akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan rumah tangga mereka berdua dan anak-anak mereka bila sudah memiliki keturunan. Dan situasi demikian, tindakan ini termasuk melanggar aturan-aturan Allâh Azza wa Jalla . 3. Talak tidak boleh dijatuhkan dengan maksud menyakiti istri, sebab menimbulkan madharat kepada orang lain dilarang oleh syariat Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Tidak (boleh) ada madharat dan tidak boleh saling mencelakai. [HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah. Hadits shahih. Lihatash-Shahîhah no.250]
Dan berdasarkan kandungan umum ayat berikut: Baca Juga Istri Menuduh Suami Impoten, Menuntut Talak Karena Suami Mandul
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
"Dan'janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka [Ath-Thalâq/65:6]
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
"Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya." [ An-Nisâ/4:34]
Dan merupakan perlakuan zhalim yang paling besar, jika seorang suami mentalak istri untuk tujuan menyengsarakan, balas dendam, dan menyakitinya serta menghancurkan kehidupan rumah-tangga.
4. Mentalak karena merasa tidak tenang menjadikannya sebagai istri, dikarenakan suami melihat istrinya tidak menolak tangan lelaki lain dan tidak dapat dipercaya untuk menjaga harta dan rahasia, atau si istri tidak bisa memelihara keutuhan rumah tangga atau kehormatan suami, atau tidak taat kepada suami dan adanya akhlak-akhlak buruk lainnya yang telah menjadi bagian dari perangai kuatnya dan telah terbiasa dengannya. Maka, tidak diragukan dalam keadan demikian, istri menjadi virus penyebab kegelisahan, sumber kelemahan, dan pangkal kerusakan terhadap kewibawaan, agama dan dunia. Perangai buruk seperti ini termasuk yang menyebabkan talak disyariatkan dan bila hukumnya tidak wajib, maka setidaknya dianjurkan. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhâri dari Ibnu ‘Abbâs z bahwa ia berkata:
الطَّلَاقُ عَنْ وَطَرٍ
"Talak itu dilakukan karena kebutuhan Maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah, “Sesungguhnya tidak patut bagi lelaki mentalak istrinya kecuali dalam keadaan yang mendesak seperti karena nusyûz”.
5. Tidak mentalak tiga kali sekaligus Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam I’lâmul Muwaqqi’în , “….(Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menghendaki seseorang) menjatuhkan talak dengan cara yang memungkinkan dirinya merujuk istrinya kembali bila ia menghendaki. Namun, justru ia (suami) menjatuhkan talak dengan maksud untuk tidak dapat merujuk istrinya kembali. Demikian juga, mentalak tiga kali sekaligus bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. [Al-Baqarah/2:229].
Kata al-marratân (dua kali) dan al-marrât (berulang kali) dalam bahasa Al-Qur`ân dan Hadits, bahkan dalam Bahasa Arab dan bahasa seluruh manusia, bermakna (sesuatu) yang dilakukan sekali pada waktu tertentu dan sekali lagi dilakukan di waktu lain. Apabila yang dua kali atau yang berulang-ulang dilakukan sekaligus (dalam satu waktu), berarti melanggar ketentuan Allâh Azza wa Jalla dan kandungan yang ditunjukkan oleh Kitab-Nya…”.
6. Mempersaksikan talak kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)… [Ath-Thalâq/65:1]
Sampai firman-Nya:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
"Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, mak rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allâh [Ath-Thalâq/65:2]
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mempersaksikan kepada orang lain dalam urusan rujuk yang dibahasakan dengan al-imsâku bi ma’rûfin (memegangi dengan baik-baik) dan dalam urusan menceraikan yang diungkap dengan bahasa mufâraqah bi ma’rûfin (berpisah dengan baik-baik). 7. Talak tidak dilakukan dalam keadaan gelap mata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَلَاقَ فِي إِغْلَاقٍ
"Tidak ada talak dalam keadaan tertutup (gelap mata). [HR. Ahmad, Abu Dawud (Shahîh Sunan Abi Dâwûd no.1919), Ibnu Majah (Shahîh Sunan Ibni Mâjah no.1665), dan Al-Hâkim. Dan dinilai shahîh oleh Syaikh kami dalam al-Irwâ` no.2047.
8. Berniat mentalak Hal ini berdasarkan hadits:
إِنـَّمـَا اْلأَعْــمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنـَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung dengan niat-niat. Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan” . [HR. Al-Bukhâri]
Sesungguhnya hadits ini merupakan pedoman umum yang agung dalam perkara-perkara syariah. Al-Hâfizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Sesungguhnya hukum itu hanya terarah kepada orang berakal yang melakukan sesuatu sesuai keinginannnya, menyengaja lagi sadar”. Sedangkan dasarnya dari Al-Qur`ân ialah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [ Al-Baqarah/2:227].
Artinya, orang yang tidak punya keinginan kuat untuk mentalak, sehingga ia menggantungnya atau mempermainkannya, ia tidaklah melakukan talak yang syar’i.
9. Penjatuhan talak dalam waktu yang diperbolehkan syariat, sehingga tidak diharamkan dan menjadi talak bid’i, akan tetapi dalam masa yang diperintahkan syariat, dengan cara mengetahui waktu talak yang ditentukan. Ketentuan ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). [Ath-Thalâq/65:1]
Maksudnya, menjelang datangnya waktu iddah mereka. Yaitu menceraikan mereka dalam waktu yang akan langsung dapat dimulai iddah mereka, dengan mentalak istrinya dalam masa suci sebelum dicampuri. Jika talak itu dijatuhkan dalam masa haidh, hukumnya haram berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma’. Tidak ada perselisihan dalam pengharamannya. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Abdullâh bin ‘Umar untuk merujuk istrinya kembali ketika mentalaknya dalam keadaan haidh. Kemudian membacakan kepadanya firman Allâh Azza wa Jalla tersebut untuk menjelaskan maksud ayat dan memberitahukan bahwa syariat tidak memperbolehkan talak pada masa haidh (istri) atau masa suci yang sudah dicampuri. Talak disyariatkan dalam masa menjelang iddah datang, dengan mantalak istri dalam masa suci tanpa dicampuri. Dalam al-Mudawwanah disebutkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , “Barang siapa hendak mentalak berdasarkan Sunnah, hendaknya ia mentalak istrinya sekali dalam keadaan suci belum dicampuri, kemudian membiarkannya. Apabila ia hendak merujuknya, ia boleh merujuknya kembali. Jika ia (sang wanita) telah mengalami haidh sampai tiga kali, maka kesempatan merujuknya habis, dan ia berstatus menjadi seorang peminang kembali (jika ingin menikahinya lagi)”. 10. Talak dilakukan dengan ihsân (baik-baik), tidak dengan menyakiti, ucapan-ucapan kasar, kezhaliman dan permusuhan. Demikian ini, karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan berbuat ihsan dalam segala urusan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. [Al-Baqarah/2:229].
Imam Ibnu Jarîr t meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu ditanya tentang makna ayat tersebut, kemudian beliau mengatakan, “(Hendaknya) seorang lelaki bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam menjatuhkan talak tiga. Kalau mau, merujuknya dengan cara- ma’ruf, dengan mempergaulinya baik, atau melepasnya (menceraikannya) tanpa mengzhalimi haknya sedikit pun”. Adh-Dhahhâk rahimahullah mengatakan, “Melepasnya dengan baik maksudnya memberinya mahar jika belum dibayarkan oleh suami jika menceraikannya dan memberinya mut’ah sesuai dengan kemampuan”. Ayat ini semakna dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
"Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik [Ath-Thalâq/65:2]
Dan semakna dengan kandungan firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini juga:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Apabila kamu mentalak istri-istri kamu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allâh sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu yaitu al-Kitab (Al-Qur`an) dan al-Hikmah (Sunnah). Allâh memberi pelajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allâh serta ketahuilah bahwasanya Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah/2:231]
Perhatikanlah ancaman berat bagi orang yang menjadikan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla sebagai bahan permainan. Menjadikan apa yang telah diterangkan Allâh Azza wa Jalla tentang perkara halal, haram, perintah dan larangan dalam perintah merujuk dan menceraikan sebagai bahan permainan dengan cara melanggar dan melawannya. Ia tidak memperhatikannya dengan baik. Ia justru menyia-nyiakannya dan melanggar aturan-aturan syariat-Nya. Aneh, ia mau saja mencatatkan dirinya sendiri sebagai orang yang berbuat zhalim terhadap dirinya. Akibatnya, ia menyebabkan dosa bagi dirinya dan mengundang siksa bagi dirinya dari Allâh Azza wa Jalla. (Maka) renungilah, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengingat-ingat nikmat Allâh Azza wa Jalla yang tercurah kepadanya dalam bentuk perintah yang diarahkan-Nya kepada mereka dan larangan yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan pada mereka yang memuat sumber kebahagiaan dan keselamatan mereka!. Dan masih dalam makna yang sama dengan di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf. [Al-Baqarah/2:241]
Imam Ibnu Jarîr rahimahullah mengatakan, “Maksud Allâh Azza wa Jalla dengan ayat di atas ialah bahwa sesungguhnya wanita yang ditalak mendapat hak menerima matâ’ dari suami yang menceraikannya. Yaitu sesuatu yang menyenangkannya (menghiburnya) berupa baju, pakaian, nafkah, pembantu dan lain-lain. Dan Allâh Azza wa Jalla menegaskannya dengan firman-Nya:
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa [Al-Baqarah/2:241] Mereka itu (yang melakukannya) adalah orang-orang yang bertakwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka melaksanakannya semuanya berdasarkan tanggungan yang harus mereka pikul, karena mereka takut kepada-Nya dan khawatir terhadap siksa-Nya”.
Demikian juga firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
"Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). [Al-Baqarah/2:236]
Allâh Azza wa Jalla menguatkannya dengan firman-Nya:
مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. [Al-Baqarah/2:236]
Allâh Azza wa Jalla menjadikannya hak yang wajib ditunaikan oleh orang-orang yang berbuat baik kepada dirinya sendiri dengan bersegera untuk taat kepada Allâh dalam perkara yang Allâh Azza wa Jalla mewajibkan mereka untuk melakukannya, komitmen mereka untuk menjalankan farîdhah-farîdhah yang dibebankan-Nya pada mereka, dan mereka berbuat baik kepada istri-istri yang mereka ceraikan dengan memberi pemberian dalam bentuk yang patut menurut syariat dan norma kepatutan. Dengan mencermati ketentuan-ketentuan Ilahi di atas dalam talak, manakah orang-orang Islam yang mengaplikasikan ketentuan-ketentuan ini?. Apakah yang menimpa mereka sehingga mengesampingkan hukum-hukum Al-Qur`ân?!.
Demi Allâh!. Sesungguhnya hati ini hampir-hampir hancur berkeping-keping karena kesedihan mendalam dan mata meneteskan tetesan darah lantaran keadaan bodoh yang dialami oleh manusia. Tidak ada penuntun bagi mereka menuju fiqih dan ilmu agama. Akibatnya, pengadilan-pengadilan agama penuh dengan arus dari gelombang keluhan-keluhan wanita-wanita yang terzhalimi dan menjadi tempat datangnya tuntutan-tuntutan istri-istri. Akhirnya, kezhaliman sebagian orang Muslim dalam persoalan talak dan terampasnya hak-hak istri menjadi realita yang mencoreng Islam dan sasaran fitnah bagi orang-orang di luar Islam.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, Ya Rabb kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al-Mumtahanah/60 :5] Wallâhu a’lam.
(Didaptasi dari al-Mausû’atu al-Fiqhiyyatu al-Muyassaratu fii Fiqhil Kitâbi was Sunnatil Muthahharah, Husain al-‘Awayisyah Dar Ibni Hazm Cet. I, Th.1425H/-2004 M 5/372-382).
Sumber: https://almanhaj.or.id/