Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid. Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail. Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِيْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5] Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya. Allah Ta’ala berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ.
“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مُقْبِلَةٌ مُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَتْ فِي الْفَرْجِ
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja • Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]
• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِيْ نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya – atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
يَا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ
"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا: فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا
"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ أَوْ نِصْفِ دِيْنَارٍ
“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاح
"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرَبَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing. Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri. Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang. Allah Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178). [14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212)
Apa Yang Disunnahkan Bagi Suami Jika Hendak Mendatangi Isterinya?
Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Kapan Disunnahkan Bagi Suami Untuk Membawa Isterinya?
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata.
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟ وَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal dan membawaku (kerumah beliau) di bulan Syawwal, siapakah di antara isteri Rasulullah yang lebih beruntung dariku?” Perawi berkata, “Dan ‘Aisyah senang jika para isteri Rasulullah yang lain mulai tinggal serumah dengan beliau pada bulan Syawwal.” [1]
Apa Yang Disunnahkan Bagi Suami Jika Hendak Mendatangi Isterinya ?
Disunnahkan bagi suami untuk bersikap lemah lembut terhadap isteri, seperti dengan menyuguhkan minuman atau yang sejenisnya kepada sang isteri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anha bahwasanya ia berkata:
إِنِّيْ قَيَّنْتُ عَائِشَةَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جِئْتُهُ فَدَعَوْتُهُ لِجَلْوَتِهَا، فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِهَا، فَأُتِيَ بِعُسِّ لَبَنٍ، فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَخَفَضَتْ رَأْسَهَا وَاسْتَحْيَتْ. قَالَتْ أَسْمَاءُ: فَانْتَهَرْتُهَا وَقُلْتُ لَهَا: خُذِيْ مِنْ يَدِ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ! قَاَلتْ: فَأَخَذَتْ فَشَرِبَتْ شَيْئاً.
“Sesungguhnya akulah yang menemani dan mendandani ‘Aisyah. Kemudian aku mendatangi Rasulullah, aku panggil beliau, tidak lama kemudian beliau datang, lalu duduk di samping ‘Aisyah. Seorang pelayan menyuguhkan gelas besar berisi susu kepada beliau. Setelah beliau meminumnya sedikit, lalu menyerahkannya kepada ‘Aisyah, tetapi ia merasa malu dan menundukkan kepala. Melihat itu aku bentak ‘Aisyah dan aku berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka akhirnya ia mau mengambil gelas itu dan meminumnya sedikit.”[2]
Disunnahkan bagi suami untuk meletakkan tangannya di atas dahi isteri seraya menyebut Nama Allah Ta’ala dan mendo’akannya dengan keberkahan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, maka hendaklah ia memegang dahinya seraya menyebut Nama Allah Azza wa Jalla dan berdo’a keberkahan dengan membaca:
اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau ciptakan padanya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang Engkau ciptakan padanya.’” [3]
Disunnahkan bagi keduanya untuk shalat dua raka’at secara berjama’ah, karena hal tersebut telah dicontohkan oleh para Salaf. Ada dua atsar yang menjelaskan tentang hal tersebut :
Pertama: Dari Sa’id, maula (budak yang dibebaskan) Abu Usaid, ia berkata.
تَزَوَّجْتُ وَأَنَا مَمْلُوْكٌ، فَدَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِمُ ابْنُ مَسْعُوْدٍ وَأَبُو ذَرٍّ وَحُذَيْفَةُ، قَالَ: وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ، قَالَ: فَتَقَدَّمْتُ بِهِمْ وَأَنَا عَبْدٌ مَمْلَوْكٌ، وَعَلَّمُوْنِيْ فَقَالُوْا: إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلِ اللهَ مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ ثُمَّ شَأْنُكَ وَشَأْنُ أَهْلِكَ.
“Aku menikah ketika statusku masih sebagai budak. Aku mengundang beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah Radhiyallahu anhum. Ketika terdengar iqamat shalat aku maju sebagai imam padahal statusku waktu itu masih sebagai seorang budak. Setelah selesai shalat, mereka mengajariku seraya berkata, ‘Apabila isterimu telah menemuimu, maka shalatlah dua raka’at, kemudian mohonlah kepada Allah Ta’ala dari kebaikan isterimu yang akan dipertemukan denganmu, dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari kejahatannya. Selanjutnya terserah kamu dan isterimu.’” [4]
Kedua: Dari Syaqiq ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki bernama Abu Hariz seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku telah menikahi seorang gadis dan aku takut kalau dia membenciku.’ Maka ‘Abdullah (yaitu ‘Abdullah bin Mas’ud) berkata, ‘Sesungguhnya rasa kasih itu dari Allah dan kebencian itu dari syaitan, ia ingin kalian benci terhadap apa yang Allah halalkan bagi kalian. Maka jika engkau dipertemukan dengan isterimu ajaklah ia agar shalat di belakangmu dua raka’at.’” Dalam riwayat yang lain ada tambahan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Kemudian berdo’alah kepada Allah dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اللّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ بِخَيْرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ.
‘Ya Allah, berkahilah aku pada keluargaku dan berkahilah keluargaku pada diriku. Ya Allah, himpunlah kami dalam kebaikan dan jika Engkau memisahkan kami, pisahkanlah kami dalam kebaikan.’” [5]
Dan tatkala hendak menggauli isteri hendaknya ia berdo’a:
بِسْمِ اللهِ، اللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا.
“Dengan menyebut Nama Allah, Ya Allah jauhkanlah syaitan dari kami dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau akan anugerahkan kepada kami.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنْ قُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا.
“Maka jika ditakdirkan dari hubungan keduanya itu menghasilkan seorang anak, syaitan tidak akan mengganggunya selamanya.” [6]
Diperbolehkan bagi suami untuk mendatangi isterinya (berjima’) dari arah mana saja yang ia kehendaki selama tetap pada arah kemaluannya, baik dari arah depan maupun bela-kang, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. ” [Al-Baqarah/2: 223]
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كَانَتِ الْيَهُوْدُ تَقُوْلُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا فِيْ قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلُ. نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“Orang Yahudi beranggapan bahwa apabila seorang laki-laki menyetubuhi isterinya melalui arah belakang, maka anaknya akan bermata juling. Lalu turunlah firman Allah Ta’ala yang artinya, ‘Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu bagaimana saja kamu kehendaki’ [Al-Baqarah/2: 223].” [7]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ، وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلاً عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لاَ يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلاَّ عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ، فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ، وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْـشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَـرًا، وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلاَتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنَ اْلأَنْصَارِ، فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ، وَقَالَتْ: إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلاَّ فَاجْتَنِبْنِي، حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عزوجل: ((نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ)) أَيْ مُقْبِلاَتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ.
“Kaum Anshar pada mulanya adalah ahli watsan (penyembah berhala), sedangkan golongan lainnya adalah orang-orang Yahudi yang merupakan ahli kitab. Orang-orang Anshar berpandangan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai keutamaan lebih dari mereka dalam hal ilmu. Oleh sebab itu, dalam kebanyakan hal, orang-orang Anshar mengikuti cara-cara mereka. Tersebutlah bahwa termasuk perkara ahli kitab ialah mereka tidak menda-tangi isteri-isterinya melainkan hanya dengan satu posisi saja, cara yang demikian lebih menutupi tubuh si isteri. Lalu orang-orang Anshar meniru cara mereka dalam hal tersebut. Sedangkan kebiasaan orang-orang Quraisy dalam mendatangi isterinya memakai berbagai macam cara dan posisi yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Anshar. Mereka menikmati persetubuhannya dengan isteri-isteri mereka secara maksimal, baik dari arah depan, belakang, dengan cara terlentang dan lain sebagainya. Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, lalu seseorang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari kalangan Anshar. Selanjutnya si lelaki itu melakukan terhadapnya sebagaimana ia biasa melakukannya dengan berbagai macam posisi, tetapi isterinya yang Anshar itu menolak dan mengatakan, ‘Sesungguhnya kebiasaan yang berlaku di kalangan kami, kami biasa didatangi dari arah depan saja, maka lakukanlah itu! Jika engkau tidak mau, maka menjauhlah dariku. Kemudian perihal keduanya tersebar, akhirnya sampailah berita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: ‘Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu bagai-mana saja kamu kehendaki.’ [Al-Baqarah: 223] yaitu dari arah depan, belakang maupun dengan terlentang selama tetap ke arah tempat dilahirkannya anak (kemaluan).” [8]
Dan diharamkan bagi suami untuk menggauli isteri pada duburnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِيْ دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
"Barangsiapa yang menggauli isterinya dalam keadaan haidh atau pada duburnya atau mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (al-Quran).” [9]
Hendaknya niat seseorang dalam pernikahan adalah untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dan sesungguhnya persetubuhan antara suami isteri mengandung nilai sedekah bagi keduanya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَبكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
"Bahwasanya beberapa Sahabat pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan banyak membawa pahala. Selain bisa shalat dan puasa seperti kami, mereka juga bisa menyedekahkan kelebihan hartanya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran adalah sedekah dan pada kemaluan salah seorang dari kalian juga ada sedekah.” Para Sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah benar salah seorang di antara kami yang melampiaskan nafsu seksualnya itu bisa mendapatkan pahala?” Rasulullah bersabda, “Bukankah jika ia melampiaskannya pada yang haram, maka ia akan berdosa? Demikian pula kalau ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia pun mendapat pahala.” [10]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1619)], Shahiih Muslim (II/1039, no. 1423), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1099) tanpa kalimat yang di tengah, Sunan an-Nasa-i (VI/130) tanpa kalimat yang terakhir, Sunan Ibni Majah (I/641, no. 1990).
[2]. Al-Humaidi (I/179, no. 367), Ahmad (VI/438,452,453,458) dengan lafazh yang panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan. Disebutkan oleh al-Albani dalam kitab ‘Aadaabuz Zifaaf.’
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah, (no. 1557)], Sunan Abi Dawud (VI/196, no. 2146), Sunan Ibni Majah (I/617, no. 1918).
[4]. Sanadnya Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 22], Ibnu Abi Syaibah (IV/ 311).
[5]. Sanadnya shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 23], Ibnu Abi Syaibah (IV/ 312).
[6]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/228, no. 5165), Shahiih Muslim (II/1058, no. 1434), Sunan Abi Dawud (VI/197, no. 2147), Sunan at-Tirmidzi (II/277, no. 1098), Sunan Ibni Majah (I/618, no. 1919).
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/189, no. 4528), Shahiih Mus-lim (II/1058, no. 1435), Sunan Abi Dawud (VI/203, no. 2149), Sunan Ibni Majah (I/620, no. 1925).
[8]. Sanadnya Hasan: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 28], Sunan Abi Dawud (VI/ 204, no. 2150).
[9]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2006)], Sunan Ibni Majah (I/209, no. 639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no. 135), Sunan Abi Dawud (X/398, no. 3886).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2588)], Shahiih Muslim (II/697, no. 1006).
Referensi: https://almanhaj.or.id/