Type Here to Get Search Results !

 


I'RAB LAA ILAAHA ILLALLAH DAN PENGARUH MAKNANYA

 

Keutamaan Kalimat ikhlas Lā ilāha illallāh

Ibnu Rajab raḥimahullāh menulis sebuah kitab yang sangat indah berjudul Kalimatul Ikhlāṣ. Di dalam kitab dijelaskan keutamaan-keutamaan kalimat ikhlas, yaitu Lā ilāha illallāh.

Dalam kitab tersebut terdapat pasal “Penjelasan keutamaan-keutamaan kalimat Lā ilāha illallāh”. Ibnu Rajab menjelaskan bahwa kalimat tauhid memiliki keutamaan-keutamaan yang agung, tidak mungkin di dalam (pasal) ini dibahas semuanya, maka kami sebutkan beberapa keutamaan-keutamaannya.

Kalimat tersebut adalah kalimat taqwa sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar raḍiyallāhu‘anhu dan sahabat lainnya. Kalimat tersebut merupakan kalimat ikhlas, persaksian yang haq, dakwah yang haq, (kalimat yang mengandung) berlepasnya diri dari kesyirikan dan merupakan sebab selamat darinya. Kalimat ini adalah sebab makhluk diciptakan, sebagaimana Allah Ta’ālā berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (semata)” (QS. AŻ-Żariyat: 56).

Kalimat ini adalah sebab diutusnya para rasul dan diturunkan kitab-kitab Allah, sebagaimana Allah Ta’ālā berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

Dan Allah Ta’ālā berfirman,

يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku” (QS. An-Naḥl: 2).

Dan ayat yang semisal ayat-ayat tersebut. Begitu pula, nikmat yang Allah sebutkan kepada hamba-hamba-Nya di dalam surat tentang “Nikmat-nikmat (Allah)”, surat An-Naḥl. Oleh karena itulah Ibnu ‘Uyainah mengatakan,

ما أنعمَ اللَّهُ على عبدٍ من العبادِ نعمةً أعظمُ من أن عرَّفهم لا إلهَ إلا اللَّهُ

“Tidaklah Allah memberi nikmat yang lebih besar daripada diajarkan-Nya kepada mereka (makna) Lā ilāha illallāh” [1. Kalimatul Ikhlash, Ibnu Rajab, hal. 52-53].
Fenomena Ironis

Orang-orang kafir di zaman Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tahu makna Lā ilāha illallāh, terbukti ketika dahulu mereka diseru untuk mengucapkan Lā ilāha illallāh, mereka menjawab,

أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَـهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan (kami) itu (harus ditinggalkan dan hanya menyembah) Sesembahan Yang Satu saja (Allah)? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 5).

Syaikh Muhammad At-Tamimi raḥimahullāh dalam kitabnya Kasyfusy Syubuḥat menjelaskan bahwa jika anda telah mengetahui bahwa orang-orang kafir yang awam (saja) mengetahui (makna Lā ilāha illallāh), maka sungguh mengherankan orang yang mengaku beragama Islam sedangkan ia tidak mengetahui tafsir kalimat ini, (padahal itu) sesuatu yang diketahui oleh orang-orang kafir yang awam. Bahkan ada prasangka bahwa (kalimat Lā ilāha illallāh) itu sekedar diucapkan huruf-hurufnya tanpa diyakini sedikitpun maknanya. Sedangkan kaum intelektual mereka (ada yang) menyangka maknanya hanya sebatas tidak ada yang menciptakan, memberi rezeki, mengatur urusan kecuali Allah. Tidak ada kebaikan pada diri seseorang yang pemahamannya terhadap Lā ilāha illallāh tidak lebih baik daripada orang-orang kafir.



Makna Lā ilāha illallāh Berdasarkan I‘rabnya

Memahami makna Lā ilāha illallāh tidaklah bisa lepas dari i’rab kalimat Lā ilāha illallāh. Salah dalam mengi‘rabnya dapat menyebabkan salah dalam memahami tafsir dan kandungannya. Hal ini dapat menuntun seseorang menuju pada pemahaman yang keliru, namun dirasa benar.
I‘rab

I‘rab adalah perubahan yang terjadi pada akhir kata, baik nampak ataupun tidak nampak dengan sebab ‘āmil (unsur pengubah). I‘rab dapat terjadi pada ism (nomina) atau fi‘l (verba). I‘rab kalimat Lā ilāha illallāh hanya terjadi pada ism. I‘rab tersebut berfungsi menunjukkan kedudukan/fungsi ism dalam sebuah kalimat, misalnya ism itu sebagai subjek, predikat, atau objek.

I‘rab Lā ilāha illallāh

Kalimat tauhid Lā ilāha illallāh terdiri dari empat unsur sebagaimana dalam tabel berikut.

لاَ  إِلَٰهَ  إِلّاَ  اللهُ
Lā  ilāha  illā  ِِAllāh

Huruf Lā di sini adalah nafiyyah liljinsi (peniadaan jenis). Huruf tersebut memiliki ism dan khabar. Disebut nafiyyah liljinsi (peniadaan jenis) karena meniadakan khabarnya dari seluruh yang termasuk kedalam jenis ismnya, sehingga Lā nafiyyah liljinsi merupakan bentuk peniadaan yang paling luas cakupan peniadaannya. Huruf ini disebut juga Lā istigraqiyyah, karena cakupan peniadaannya mencakup seluruh jenis ismnya dan disebut pula Lā littabriah, karena melepaskan jenis ismnya dari makna khabarnya. Contoh

لا كافر ناج من النار

Tidak ada seorangpun dari orang kafir yang selamat dari neraka.

Lā nafiyyah liljinsi disini meniadakan khabarnya (selamat dari neraka) dari jenis isimnya (jenis/seluruh orang kafir). Artinya, tidak ada keselamatan dari api neraka bagi orang-orang kafir.

Adapun  ism Lā nafiyyah liljinsi dalam kalimat tauhid Lā ilāha illallāh adalah ilāha (إله), sementara khabarnya tidak disebutkan (mahdzuf) dan taqdirnya adalah ḥaqqun (حقٌّ).


Ilāha (إِلَٰهَ)

Ilāha adalah ism lā nafiyyah liljinsi berharakat fatḥah (mabniyyun ‘alal fatḥi) karena isim mufrad (kata tunggal). Ilāha itu berpola fi‘āl. Pola tersebut  ditafsirkan dalam bentuk lain, yaitu bentuk maf‘ūl atau fā‘il. Penafsiran yang benar dari kata ilāha adalah ma‘būd  berpola maf‘ūl bermakna sesembahan. Hal ini karena kata ilāha diambil dari kata ālahu, ya`lahu, ilāhatan, `alwahatan, `alwahiyyatan. Semua kata tersebut bermakna ‘abada, ya‘budu, ‘ibādatan, ‘ubūdiyyatan. Hal ini berdasarkan bacaan pakar tafsir di kalangan sahabat, Ibnu Abbas raḍiyallāhu‘anhu ketika membaca firman Allah Ta‘ālā,

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ

wa qālal mala`u min qaumi Fir‘auna atażaru mūsa wa qaumahu liyufsidū fil `arḍi wa yażaraka wa `ālihataka (QS. Ṣād: 235).

“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir‘aun (kepada Fir‘aun), ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?’”

Ibnu ‘Abbas membaca hamzah pada `ālihataka dengan kasrah, sehingga dibaca `ilāhataka. Oleh karena itu, wa yażaraka wa `ālihataka dibaca wa yażaraka wa `ilāhataka bermakna ‘dan meninggalkan kamu serta penyembahan (kepada) mu’. Dengan demikian Ibnu ‘Abbas memahami `ilāhata sebagai ‘ibādata ‘penyembahan’.

Terkait dengan kata Allāh yang menurut sebagian ulama, secara bahasa, proses pembentukan katanya sebelum menjadi kata Allāh terlebih dahulu berbentuk kata al-`ilāha, Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu‘anhu menjelaskan, bahwa kata Allāh mengacu pada seuatu yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) atas seluruh makhluk-Nya.

Secara konteks kalimat tauhid Lā ilāha illallāh memang menunjukkan bahwa makna kata ilāha adalah sesembahan. Makna inilah yang dipahami oleh kaum Arab saat itu. Mereka memahami bahwa kalimat tauhid ini meniadakan seluruh sesembahan batil selain Allah yang selama ini mereka sembah dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah. Oleh karena itulah kaum musyrikin menolak bersyahadat dengan dengan Lā ilāha illallāh.

_____
Catatan:

    Mabnī  ‘alal fatḥi ketika `ism lā adalah mufrad (tunggal) atau jam‘ taksīr, mabnī  ‘alal yā` jika `ism lā muṡanna dan jam‘ mużakkar salim, dan mabni ‘alal kasri jika ism lā jam‘ mu`annaṡ sālim.
    Dalam bahasa Arab dinamakan tabāduluṣ ṣiyag (pergantian bentuk kata dalam memaknai), maksudnya suatu kata dengan ṣigah tertentu lalu dimaknai dengan ṣigah lainnya, misalnya: QS. Ash-Shaaffaat: 107.
    Contoh : كتاب (kitāb),  بساط  (bisāṭ), فراش (firāsy), dan مهاد (mihād).
    At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh, hal. 74.
    Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
    Ulama Nahwu rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah kata “Allah” itu musytaq atau jamid, pendapat yang terkuat -wallahu a’lam- yang menyatakan musytaq, lihat: http://madrasato-mohammed.com/mawsoaat_tawheed_03/pg_033_0009.htm.
    Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307


Penafsiran Kata ilāha  yang Salah

Mutakallimin, asy‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu Yunani menyatakan bahwa kata ilāha dipahami dengan makna fā‘il, sehingga maknanya adalah ālih, yang mengacu pada kata qādir  ‘Yang Maha Kuasa’, maksudnya  Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk.

Di antara mereka menafsirkan kata ilāha dengan makna ghanī  ‘Yang Maha Kaya’, tak membutuhkan kepada selain-Nya, malah selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah. Hal ini tertulis di kitab-kitab aqidah asy‘ariyyah, sebagaimana dalam syarah Al-Aqidah As-Sanusiyyah yang disebut dengan Ummul Barahin,

الإله هو المستغني عما سواه، المفتقر إليه كل ما عداه

“Al-Ilāha adalah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya.”

Jadi, tafsiran makna Lā ilāha illallāh menurut mereka adalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah.

Tafsiran Salah Membuka Pintu Kesyirikan

Menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah, sebagaimana tafsiran di atas membuka pintu kesyirikan. Mereka menyangka bahwa tauhid itu sebatas mengesakan Allah dalam rubūbiyyah-Nya semata. Hal ini menunjukkan jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk, ia telah mentauhidkan-Nya. Demikian pula, jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya, ia telah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.

Ini merupakan keyakinan yang salah. Kaum musyrikin Quraisy dahulu meyakini keesaan Allah Ta‘ālā  dalam rubūbiyyah-Nya, namun hal itu tidak lantas menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mentauhidkan Allāh.

Perhatikanlah firman Allah Ta‘ālā berikut ini,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Wala`insa`altahum man khalaqas samāwāti wal`arḍa wa sakhkharasy syamsa wal qamara layaqūlunnallāhu fa`annā yu`fakūn

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka,‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadahan)” (Al- ‘Ankabūt: 61).

Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah Ta‘ālā membatasi makna Lā ilāha illallāh. Hal ini berkenaan dengan kaum musyrikin yang mengakui bahwa Allah itu Maha Esa dalam rubūbiyyah-Nya, namun masih saja mereka menyembah dan beribadah kepada selain-Nya.

Maka Allah Ta‘ālā ingkari mereka, fa`annā yu`fakūn ‘maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadatan)?’ Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh menafsirkan maka mengapa mereka menyembah selain-Nya? [1. Inti penjelasan dalam Tafsir Ibnu Katsir, jilid: 4 , hal. 165].


Khabar Lā nafiyyah liljinsi pada Lā ilāha illallāh

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Ilāh adalah ism lā nafiyyah liljinsi. Adapun khabar lā nafiyyah liljinsi dalam kalimat lā ilāha illallāh tidak disebutkan. Hal ini karena khabar tersebut telah diketahui dari Alquran dan As-Sunnah dan dari konteks kalimat lā ilāha illallāh. Begitulah dalam bahasa Arab, khabar lā nafiyyah liljinsi banyak tidak disebutkan.

Ibnu Malik menjelaskan bahwa banyak tersebar dalam bab (lā nafiyyah liljinsi) penghilangan khabar, jika telah jelas maksud khabar dengan penghilanganya tersebut.

Demikianlah, khabar lā itu banyak dihilangkan (tidak disebutkan), dan ditentukan khabar yang tidak disebutkan tersebut sesuai dengan konteksnya. Hal ini sebagaimana dalam contoh berikut.

أ: هل في البيت من رجل؟

A: Hal filbaiti min rajulin?

“Apakah ada seorang pria di rumah itu?”

ب: لا رجل

B: Lā rajula

“Tidak ada seorang pria pun!”

Maksud jawaban itu adalah tidak ada seorang pria pun di rumah itu. Tidak disebutkannya filbaiti ‘dalam rumah itu’ karena telah jelas maksudnya. Apakah khabar lā nafiyyah liljinsi pada lā ilāha illallāh? Khabar lā pada lā ilāha illallāh adalah ḥaqqun ‘benar’ atau biḥaqqin ‘dengan benar’. Oleh karena itu makna lā ilāha illallāh adalah lā ilāha ḥaqqun illallāh ‘tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah.’ Oleh karena itu, salah jika seseorang menentukan khabar lā pada lā ilāha illallāh itu dengan maujūd ‘ada’, sebagaimana diungkapkan oleh mutakallimin, asya’ariyyah, mu’tazilah dan para filsuf. Menurut mereka makna lā ilāha illallāh adalah lā ilāha maujūdun illallāh ‘tiada sesembahan yang ada kecuali Allah’ atau dengan kata lain tidak ada tuhan kecuali Allah. Ini adalah tafsiran yang salah karena sesuatu yang disembah selain Allah itu ada, bahkan banyak.

Alasan khabar lā pada lā ilāha illallāh adalah ḥaqqun ‘benar’ atau biḥaqqin ‘dengan benar’ adalah sebagai berikut.

1. Dalam surat Al-Ḥajj: 62 disebutkan secara jelas bahwa satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah semata, sementara selain-Nya adalah sesembahan yang salah, Allah berfirman,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

ẓālika bi `annallāha huwalḥaqqu wa `anna mā yad‘ūna mindūnihi huwalbāṭilu wa`annallāha huwal‘aliyyulkabīr

“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah, itulah (sesembahan) yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Al-Ḥajj: 62).


Kaum musyrikin tidak pernah mengingkari adanya sesembahan-sesembahan selain Allah. Mereka tahu bahwa terdapat banyak sesembahan-sesembahan selain Allah di dunia ini. Oleh karena itu, ketika diseru untuk mengucapkan lā ilāha illallāh, mereka menjawab sebagaimana dalam firman Allah berikut.

أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَـهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

`Aja‘alal `ālihata ilāhan wāḥidan `inhāża lasyai`un ‘ujāb

“Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan (kami) itu (harus ditinggalkan dan hanya menyembah) Sesembahan Yang Satu saja (Allah)? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Ṣād: 5).

Seandainya makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada sesembahan kecuali Allah, maka kaum musyrikin dahulu akan menjawab “Ucapanmu salah, sesembahan-sesembahan itu banyak jumlahnya!”
Lā ilāha illallāh adalah Inti Ajaran Islam

Lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah adalah inti ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang ditentang oleh kaum musyrikin. Mereka menentangnya karena makna kalimat tauhid tersebut mengharuskan mereka meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah dan hanya menyembah Allah saja. Maka sangat pas dengan kenyataan penentangan mereka terhadap kalimat tauhid ini, ketika kalimat tersebut ditafsirkan dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah.

Inilah inti ajaran para rasul ‘alaihimuṣ ṣalātu was sallam semenjak dahulu kal. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian’” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

Memaknai Khabar Lā ilāha illallāh

Menurut penafsiran mutakallimin, asya‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu yunani khabar lā ilāha illallāh adalah maujūd. Mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan tafsiran sebatas makna rubūbiyyah, sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena itu makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya dan (justru) selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah ” atau “Tidak ada Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk kecuali Allah”. Atau dengan kata lain “Tidak ada Rabb kecuali Allah”, yang berarti maknanya adalah sebatas tauḥīd rubūbiyyah.

Jika ditafsirkan kata ilāha dengan makna rubūbiyyah dan khabar lā adalah maujūd, tentulah kaum musyrikin Quraisy zaman dahulu ketika diajak mengucapkan lā ilāha illallāh akan mengucapkannya dengan mudah, karena mereka tidak mengingkari rubūbiyyah Allah.

Penafsiran lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang ada kecuali Allah mengandung makna yang sangat batil, yaitu seluruh sesembahan selain Allah itu adalah Allah Ta’ālā. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ṣāliḥ Al- ‘Uṡaimin  raḥimahullāh ketika mengingkari penafsiran tersebut,

Jika Anda mengatakan lā ma‘būda maujūdun ilallāh maka patung-patung itu semuanya adalah Allah dan (ucapan) ini adalah kemungkaran yang (sangat) besar[1. BayenahSalaf.com/vb/showthread.php?t=13853].

Kenyataan membuktikan bahwa terdapat sesembahan-sesembahan selain Allah, namun jelas itu adalah sesembahan-sesembahan yang batil dan tidaklah memiliki hak untuk diibadahi.


Perbedaan Ḥaqqun dan Biḥaqqin

Syaikh Muḥammad bin Shaliḥ Al-‘Utsaimin raḥimahullāh menjelaskan bahwa ḥaqqun lebih sesuai dengan Al Quran. Hal ini sebagaimana firman Allah,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ

Żālika bi`annallāha huwalḥaqq

“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).

Adapun biḥaqqin, maka jār dan majrūr adalah khabar yang berhubungan dengan kata yang tidak disebutkan, yaitu kā`in ‘ada’. Dari penjelasan Syaikh Al-‘Uṡaimin di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penafsiran lā ilāha illallāh dengan lā ma‘būda ḥaqqun illallāh lebih utama, karena lebih sesuai dengan Alquran dan tidak membutuhkan kata yang tidak disebutkan. Wallahu a’lam.

3. Huruf Illā

Huruf illā berfungsi sebagai alat eksepsi (pengecualian). Huruf illā yang disebutkan setelah huruf lā berfungsi untuk membatasi sesuatu. Bentuk pembatasan yang seperti ini termasuk bentuk pembatasan yang terkuat dalam gaya bahasa Arab. Dalam lā ilāha illallāh, huruf  illā memiliki dua fungsi, yaitu alat eksepsi dan alat pembatas. Hal ini menunjukkan bahwa lā ilāha illallāh bermakna sesembahan yang benar hanyalah Allah semata, bukan selain-Nya atau tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

4. Lafadz Allāh

Kata Allāh berkasus nominatif (marfū‘). Kedudukannya sebagai badal (pengganti) dari khabar lā (1), yaitu ḥaqqun, bukan sebagai badal (pengganti) dari ism lā, yaitu ilāh karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ

Żālika bi`annallāha huwalḥaqq

“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).

Kata Allāh pada lā ilāha illallāh tidak berfungsi sebagai khabar lā, karena lā nafiyyah liljinsi hanya member pengaruh pada ism nakirah (nomina indefinit) (2).

Makna Lafadz Allāh

Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu ‘anhu menjelelaskan bahwa makna lafaẓ Allāh adalah yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) dari seluruh makhluk-Nya (3).

_____

Rujukan

    Syarh Ath-Thohawiyyah, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, http://shamela.ws/browse.php/book-934/page-28
    Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, hal.21.
    Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307


Rukun Lā ilāha illallāh dan Kandungannya

Sebagaimana telah diketahui, bahwa makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah atau diibadahi kecuali Allah. Di dalam kandungan kalimat tauhid tersebut terdapat dua rukun, yaitu:  

    An-Nafyu (Peniadaan/penolakan), rukun ini diambil dari petikan kalimat tauhid lā ilāha. rukun peniadaan di sini maksudnya adalah:
        Meniadakan seluruh sesembahan selain Allah.
        Menolak mempersembahkan ibadah kepada selain Allah.
    Rukun Iṡbāt (Penetapan), rukun ini diambil dari petikan kalimat tauhid illallāh. Rukun penetapan disini maksudnya:
        Menetapkan satu-satunya Sesembahan yang benar adalah Allah Ta‘ala.
        Menetapkan bahwa peribadatan hanya ditujukan kepada Allah saja.

Faedah:

    Ibadah, sebagaimana didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah raḥimahullāh adalah sebuah nama yang mencakup seluruh yang dicintai Allah dan diridai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.
    Tauhid itu mencakup ucapan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, demikian pula syirik dan kekufuran pun mencakup ucapan dan perbuatan lahir maupun batin.
    An-Nafyu saja bukan tauhid dan Al-Itsbat saja bukan tauhid, karena tauhid adalah An-Nafyu dan Al-Iṡbāt. Sudah seharusnyalah dalam mendidik umat Islam ini dengan pendidikan An-Nafyu dan Al-Iṡbāt sekaligus, yaitu dengan penolakan,berlepas diri, benci karena Allah, membenci kesyirikan dan kekafiran serta pelakunya, juga menyatakan kekafiran orang yang dikafirkan Allah dalam Alquran dan As-Sunnah, tanpa berlebihan ataupun mengurangi dari batasan yang telah disebutkan dalam Alquran dan As-Sunnah. Demikian pula mendidik masyarakat dengan  Al-Iṡbāt, Al-Walā`, cinta Allah, cinta karena Allah dan cinta kepada tauhid dan Ahli Tauhid.

Konsekuensi Kalimat Tauhid

Seseorang yang bersaksi dengan kalimat tauhid lā ilāha illallāh ini punya konsekuensi sebagai berikut.

    Mencintai Allah di atas segala sesuatu.
    Mencintai tauhid.
    Mencintai dan menolong ahli tauhid.
    Membenci syirik.
    Membenci musuh Allah, orang musyrik dan orang kafir.

Tentunya bentuk cinta dan benci disini, sesuai dengan aturan syari’at Islam yang agung tanpa bersikap melampaui batas syari’at atau menguranginya, sebagaimana dalam syahadat yang kedua. Di dalamnya terdapat penjagaan dari dua sikap yang tercela tersebut, yaitu dari sikap melampaui batasan syari’at atau menguranginya, karena dalam syahadat yang kedua seorang bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat tersebut mengandung keyakinan bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah adalah hanya sebatas hamba Allah, tidak boleh dilebihkan dari batasan syar’i sampai melampaui batasan hamba, sehingga menjadi sesembahan. Ini dari satu sisi.

Dari sisi lain, syahadat yang kedua mengandung keyakinan bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah adalah sosok utusan Allah -bahkan utusan Allah yang paling mulia-, sehingga tidak boleh dikurangi derajatnya dari batasan syar’i ini.


    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah raḥimahullāh menjelaskan bahwa Al-Ilāh (Tuhan yang benar) adalah Yang Diibadahi (Al-Ma‘būd) dan Yang Ditaati (Al-Muṭā‘), karena Al-Ilāh adalah Al-Ma`lūh sedangkan Al-Ma`lūh adalah Yang Berhak untuk diibadahi. Dia berhak diibadahi (disembah) karena bersifat dengan sifat-sifat yang mengandung konsekuensi, yaitu Dia menjadi (Sesembahan) yang dicintai dengan puncak kecintaan dan ditaati dengan puncak ketundukan.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah raḥimahullāh juga menjelaskan bahwa Al-Ilāh (Tuhan yang haq) adalah Tuhan yang dicintai lagi disembah, yang dipertuhankan oleh hati dengan mencintai-Nya, mematuhi-Nya, merendahkan diri, takut dan berharap kepada-Nya, kembali kepada-Nya dalam kesulitan, berdoa kepada-Nya dalam terkait berbabgai urusan, bertawakkal kepada-Nya untuk meraih berbagai kemaslahatan, berlindung kepada-Nya, merasa tentram dengan menyebut-Nya, merasa tenang dengan mencintai-Nya, semua ibadah ini hanya untuk Allah semata[1. Fatḥul Majīd, hal. 53].

    Ibnu Rajab raḥimahullāh menjelaskan bahwa realisasi kalimat lā ilāha illallāh yang mengandung dua rukun tersebut adalah dengan mewujudkan tauhid dengan hatinya, maka ia akan mengeluarkan segala sesuatu (segala bentuk peribadatan kepada) selain Allah, seperti kecintaan, pengagungan, penghormatan, pemuliaan, rasa takut dan tawakkal (kepada selain Allah dari hatinya), pada saat itu seluruh dosa-dosa dan kesalahanya dihapuskan, walaupun seperti buih di lautan[2. Fatḥul Majīd, hal. 72.].

    Lihatlah, bagaimana beliau memaparkan rukun An-Nafyu dengan mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari hati seorang hamba! Tentunya rukun An-Nafyu haruslah dipahami dalam konteks An-Nafyu yang mengandung Al-Iṡbāt, sehingga nampak nilai pengesaan Allah (tauhid) dengan kedua rukun sekaligus.

    Demikianseorang hamba yang benar-benar memahami dan mengamalkan tuntutan kalimat tauhid ini adalah sosok hamba yang tidak mencintai dengan jenis cinta yang ibadah kecuali kepada Allah, tidaklah takut dengan jenis takut yang ibadah kecuali kepada Allah, tidaklah mengharap dengan jenis harapan yang ibadah kecuali kepada Allah, dan seterusnya dari berbagai macam ibadah ia hanya persembahkan kepada Allah semata, bahkan ia sempurnakan peribadatan kepada Rabbnya tersebut.

    Syaikh Abdur Rahman Alusy-Syaikh raḥimahullāh menjelaskan dalam kitabnya Fathul Majid bahwa orang yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat tauhid ini adalah yang mengucapkan kalimat tauhid tersebut dengan ikhlas dan keyakinan sempurna, maka dalam keadaan yang seperti ini -pada asalnya- tidaklah ia terus-menerus melakukan suatu dosa, karena kesempurnaan ikhlas dan keyakinannya mengharuskan Allah lebih ia cintai dari segala sesuatu dan lebih ia takuti dari segala sesuatu, maka ketika itu tidak tersisa dalam hatinya kehendak terhadap apa yang Allah haramkan dan tidak terdapat pula ketidaksukaan terhadap apa yang Allah perintahkan[3. Fatḥul Majīd, hal. 5].


Jika demikian agungnya kandungan kalimat tauhid lā ilāha illallāh, maka pantaslah jika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kalimat tauhid lā ilāha illallāh adalah kebaikan yang paling utama. Abu Żar mengkisahkan bahwa beliau berkata pada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ أَوْصِنِي

‘Wahai Rasulullah, beri wasiat kepadaku’

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنةً تَمْحُهَا

“Apabila engkau melakukan keburukan, maka iringilah dengan melakukan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapusnya.”

Ditanyakan kepada beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ أَمِنَ الْحَسَنَاتِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؟

“Wahai Rasulullah, apakah  kalimat lā ilāha illallāh termasuk kebaikan?”

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَاتِ

“Kalimat itu merupakan kebaikan yang paling utama” (HR. Imam Aḥmad, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥiḥah).

Demikian agung kandungannya, sehingga pantas pula jika kalimat tauhid lā ilāha illallāh berstatus pula sebagai zikir yang paling utama, sebagaimana sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,

أفضل الذكر لا إله إلا الله

“Zikir yang paling utama adalah lā ilāha illallāh” (Hadis Marfu’ dari Jābir raḍiyallāhu ‘anhu dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani raḥimahullāh).
Begitu Kejamnya Syirik dan Pelakunya

Sangatlah pantas jika orang yang menentang kalimat tauhid lā ilāha illallāh menjadi musuh Allah yang paling dibenci oleh-Nya. Kebencian Allah terhadap kesyirikan dan pelakunya tercermin dalam beberapa firman Allah berikut ini.

Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang (paling) besar” (QS. Luqman: 13).

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa dibawah (dosa syirik) tersebut, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An-Nisā : 48).

Allah berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65).

Allah berfirman,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS.Al-Maaidah: 72).

Semoga Allah melindungi kita dari kesyirikan yang lahir maupun batin, āmīn.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Tags