Type Here to Get Search Results !

 


HUKUM BERMAJELIS DENGAN AHLUL BID'AH

 

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak

SOAL

Terdapat banyak atsar (riwayat) dari para salaf (ulama terdahulu) yang menganggap sama antara orang-orang yang bersahabat dengan ahli bid’ah atau bermajelis dengannya, ke dalam hukum ahli bid’ah itu sendiri (yaitu menganggap mereka termasuk ahli bid’ah -pent). Apakah hukum ini dimaknai sebagaimana apa adanya (yaitu mereka benar-benar termasuk ahli bid’ah), atau dimaknai sebagai peringatan (supaya orang-orang menjauhi majelis mereka), dan pencegahan darinya? Apakah perbedaan dari kedua hal itu? Apakah hukum (dalam atsar-atsar) tersebut berlaku pada semua majelis, atau perlu melihat sebab-sebab bermajelis?


JAWAB

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد

[ Larangan bermajelis dengan ahli bid’ah ]

Allah Ta’ala berfirman :

{وقد نزل عليكم في الكتاب أن إذا سمعتم آيات الله يكفر بها ويستهزأ بها فلا تقعدوا معهم حتى يخوضوا في حديث غيره إنكم إذاً مثلهم} [النساء: 140]

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisaa’ : 140)

Ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwasanya orang yang duduk dalam majelis yang di dalamnya ayat-ayat Allah diingkari, dan diperolok-olokkan; maka dia seperti mereka (yaitu orang-orang yang kafir lagi mengolok-olok ayat-ayat-Nya). Hukum ini juga diterapkan dalam majelis ahli bid’ah ketika mereka berbicara tentang kebid’ahan mereka dan berdakwah kepadanya, karena orang yang duduk-duduk dengan mereka, sementara mereka berkata-kata dengan kebatilan dan menyesatkan manusia, maka dia (dihukumi) seperti mereka. Hal ini disebabkan duduknya dia bersama mereka, tanpa melakukan pengingkaran, menunjukkan kerelaannya terhadap ahli bid’ah tersebut, dan terhadap kebatilan mereka.

Baca juga: Di manakah Allah?

[ Hukum-hukum terkait dengan bermajelis dengan ahli bid’ah ]

Maka barangsiapa yang tidak mampu mencegah kemungkaran itu, wajib baginya tidak menghadiri majelis tersebut, bahkan berdiri dari majelis yang bermaksiat kepada Allah (jika sebelumnya dia duduk di dalam majelis -pent). Sedangkan apabila tidak membicarakan kebatilan, baik berupa kekafiran, bid’ah, maupun maksiat; maka duduk-duduk dalam keadaan seperti ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan maksud, sebab, dan dampak yang ditimbulkan. Kadang duduk-duduk tersebut hukumnya disyariatkan, seperti apabila dimaksudkan dengannya untuk melunakkan hati dan berdakwah, tanpa adanya kekhawatiran bahaya menimpa agamanya. Kadang hukumnya makruh, dan kadang juga hukumnya mubah, jika dilakukan karena adanya keperluan yang mubah. Kadang juga hukumnya bisa menjadi haram, jika menimbulkan mafsadah yang menimpa agamanya, atau menimpa agama orang lain yang mengikuti/mencontohnya.

[ Diantara maksud hajr ]

Hajr (boikot) orang-orang yang gemar bermaksiat dan ahli bid’ah kadang dimaksudkan untuk menjaga diri dari kejelekan mereka, dan kadang dimaksudkan untuk pengingkaran, dan peringatan kepada mereka supaya bertaubat.

Atsar-atsar dari salaf berupa peringatan dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, disebabkan kekhawatiran terhadap kejelekan mereka, karena mereka akan memberikan dampak buruk kepada orang yang bermajelis dengan mereka. Dan kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu dan kekuatan iman yang menjadi penjaga diri dari kejelekan ahli bid’ah dan ahli kesesatan, sebagaimana dikatakan bahwa “pencegahan lebih baik dari pengobatan”.

Wallaahu a’lam.



Catatan : diantara tanda [ dan ] merupakan tambahan dari penerjemah.

Diterjemahkan dari : http://ar.islamway.net/fatwa/36288

____

Penerjemah : Abu Kaab Prasetyo


Penghalang Ittiba’ (7) : Duduk Bersama Ahlul Bid’ah Dan Maksiat

Termasuk penghalang ittiba’ yang paling besar adalah duduk-duduknya seorang hamba bersama ahli bid’ah dan maksiat. Dimana para pelaku keburukan akan memperindah kebatilan yang mereka lakukan dan memperlihatkannya sebagai kebenaran kepada teman-teman duduknya. Jika mereka tidak mampu membalik kebenaran yang ada pada pemikirannya dan merubah pemahamannya, maka mereka akan berusaha memaksanya untuk melakukan kebatilan mereka sebagai basa-basi kepada mereka atau karena takut akan celaan dan olok-olok mereka. Dan jika mereka tidak mampu melakukan hal itu, maka paling tidak dia akan berbasa-basi kepada mereka dengan tidak mengingkari mereka atau tidak melakukan kebenaran yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka.

Oleh karenanya, sangat keras dan besar pengingkaran ulama salaf serta peringatan mereka terhadap ahli sunnah dari bercampur dengan teman-teman duduk yang buruk. Pada kisah Umar radhiallahu’anhu dan Shabigh, Abu Utsman yang meriwayatkannya berkata, “Sesungguhnya Umar menulis surat kepada kami yang berisi, janganlah kalian duduk-duduk bersama dengannya”. Beliau (Abu Utsman-pen) berkata, “Maka jika dia datang untuk duduk bersama kami, sedangkan jumlah kami seratus orang, maka kamipun berpencar menjauh darinya”1.

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu berkata, “Janganlah engkau duduk bersama ahlul ahwa (orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya-pen). Karena duduk-duduk bersama mereka akan membuat hati sakit”2.

Mush’ab bin Sa’ad berkata, “Janganlah engkau duduk bersama orang yang terfitnah (sesat). Karena tidak akan luput darimu salah satu dari dua kemungkinan, engkau terfitnah olehnya sehingga engkau mengikutinya, atau dia akan mengganggumu sebelum engkau meninggalkannya”3.

Mufadhdhal bin Muhallil berkata, “Seandainya shahibul bid’ah (ahlu bid’ah) langsung berbicara kepadamu tentang bid’ahnya ketika engkau duduk kepadanya, tentu engkau akan waspada dan lari darinya. Akan tetapi di awal majlisnya, dia akan berbicara kepadamu dengan pembicaraan-pembicaraan sunnah, kemudian dia memasukkan bid’ahnya kepadamu, sehingga kemungkinan bid’ah itu akan menetap di hatimu. Lalu kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu?!”4.

Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin, “Sesungguhnya fulan ingin datang kepadamu dan dia tidak akan berkata sedikitpun.” Beliau berkata, “Katakan kepada fulan, tidak! Dia tidak akan mendatangiku. Karena hati anak Adam itu lemah dan aku takut mendengar satu kalimat darinya lalu hatiku tidak bisa kembali kepada keadaan semula”5.

____

Catatan Kaki

1 Al-Ibanah Al-Kubra, karya Ibnu Bath-thah (1/414) no. 329.

2 Idem (2/438) no. 371.

3 Idem (2/442) no. 385.

4 Idem (2/444) no. 394.

5 Idem (2/446) no. 399.


Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.


Tags