Seorang penulis mengatakan,
Sungguh Nabi SAW dalam memberitakan akan datangnya faham wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dan lainnya. Diantaranya,
الْفِتْنَةُ مِنْ هَاهُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَاهُنَا وَأَشَارَ الى الْمَشْرِقِ
“fitnah itu datangnya dari sana fitnah itu datangnya dari arah sana sambil menunjuk ke arah timur (nejed)” (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)
Nabi SAW pernah berdoa,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا
“Ya Allah berikanlah berkah dalam negara Syam dan Yaman”. Para sahabat bertanya: “dan dari Nejed wahai Rasulullah?”. Beliau berdoa: “ya Allah berikanlah kami berikanlah berkah dalam negara Syam dan Yaman”. Dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda:
هُنَالِكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ ، مِنْهَا أَوْ قَالَ بِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وفي رواية قَرْنُا الشَّيْطَانِ
“disana (Nejed) akan ada kegoncangan fitnah serta disana pula akan muncul tanduk setan. Dalam riwayat lain: “dua tanduk setan”.
Adapun mengenai sabda Nabi SAW yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Nejed) dan dua tanduk setan, sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tidak lain adalah Musailamah Al Kadzab dan Muhammad bin Abdul Wahab.
BANTAHAN:
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara penulis diatas bukanlah suatu hal yang baru. Itu hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini dari orang-orang yang hatinya disesatkan oleh Allah. Semuanya berkoar bahwa maksud Nejed dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Kebohongan ini sangat jelas bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu ditinjau dari beberapa segi.
Baca juga: Ada apa dengan Wahabi?
Hadits itu saling menafsirkan
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafadz lafadznya, niscaya tidak samar lagi baginya penafsiran yang benar tentang makna Nejed dalam hadis ini. Dalam lafadz yang dikeluarkan imam Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 12/384 no. 13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi dari Ibnu Umar dengan lafadz:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا , اللَّهُمَّ بَارِكْ فِي يَمَنِنَا ” , فَقَالَهَا مِرَارًا , فَلَمَّا كَانَ فِي الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ , قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي عِرَاقِنَا , قَالَ : ” إِنَّ بِهَا الزَّلازِلَ , وَالْفِتَنَ , وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“ya Allah berkahilah kami dalam Syam kami, ya Allah berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya para shahabat berkata: “wahai Rasulullah, dalam IRAQ kami?”. Beliau menjawab: “sesungguhnya disana terdapat kegoncangan dan fitnah dan disana pula muncul tanduk setan.”
Sanad hadis ini bagus. Ubaidullah adalah seorang yang dikenal hadisnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir (5/388/1247). Ibnu Abi Hatim juga berkata dalam Al Jarh wa At Ta’dil (5/322) dari ayahnya: “shahih bagus haditsnya”.
Dan dikuatkan dalam riwayat Yakub Al Fasawi dalam Al Ma’rifah (2/746-748), Al Mukhallis dalam Al Fawa’id Al Muntaqah (7/2-3), Al Jurjani dalam Al Fawaid (2/164), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (6/133), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (1/120 ) dari jalur Taubah Al Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafadz:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مَكَّتِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِي يَمَنِنَا ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا ، وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنَا ” . فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي عِرَاقِنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، فَرَدَّدَهَا ثَلاثًا ، كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ الرَّجُلُ وَفِي عِرَاقِنَا فَيُعْرِضُ عَنْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” بِهَا الزَّلازِلُ وَالْفِتَنُ ، وَمِنْهُا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“Ya Allah berkahilah kami dalam Makkah kami. Ya Allah berkahilah kami dalam Madinah kami. Ya Allah berkahilah kami dalam Syam kami. Ya Allah berilah kami dalam sha’ dan berkahilah kami dalam mudd kami”. Seorang berkata: “wahai Rasulullah, dalam Iraq kami?”. Lalu nabi berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Orang tersebut tetap saja mengatakan dalam: “dalam Iraq kami?”. Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda: “di sanalah kegoncangan dan fitnah dan disana pula muncul tanduk setan”. (sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim).
Imam Muslim dalam Shahih-nya (2905) merriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:
يا أهل العراق ! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة ! سمعت أبي عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الفتنة تجيء من ههنا ، وأومأ بيده نحو المشرق ، من حيث يطلع قرنا الشيطان
“wahai penduduk IRAK! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku, Abdullah bin Umar mengatakan: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini, beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur. Dari situlah muncul tanduk setan”
Riwayat ini sangat menunjukkan bahwa maksud “arah timur” adalah Irak. Sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah.
Al Khathabi berkata dalam I’lam Sunan (2/1274), “Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, NEJED-nya adalah IRAK dan sekitarnya. Asli makna Nejed adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari Ghaur yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tihamah dan Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur, dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits”.
Baca juga: Di manakah Allah???
Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti Al Aini dalam Umdah Al Qari (24/200), Al Kirmani dalam Syarah Shahih Bukhari (24/168), Al Qasthalani dalam Irsyad Sari (10/181), Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/47) dan sebagainya.
Hal ini dapat kita temukan juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti Al Qamus Al Muhith oleh Al Fairuz Abadi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur serta dalam kitab-kitab gharib hadits seperti An Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.
Dengan sedikit penjelasan diatas, maka jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan bahwa maksud Nejed dalam riwayat hadits di atas bukanlah suatu nama untuk negeri tertentu. Tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya (lihat Mu’jam Al Buldan 5/265, Taj Al Arus 2/509, Mu’jam Al Mufahras li Alfazh Hadits 8/339).
Jadi. Nejed yang merupakan tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan/fitnah adalah Irak, karena itu adalah timur dari kota Madinah Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan lafadz hadits di sini kalau digabungkan ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya. Sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama -yang terdepan adalah Salim rahimahullah putra sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anhu– dan para pakar bahasa.
Sejarah dan fakta
Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadist Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diatas bahwa Irak adalah sumber fitnah, baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, perang Jamal, dan perang Shiffin, fitnah Karbala, tragedi Tatar. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij yang muncul di kota Harura -kota dekat Kufah-, Rafidhah -hingga sekarang masih kuat-, Mu’tazilah, Jahmiyah dan Qadariyah, dimana awal munculnya mereka adalah di Irak bagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.
Dan kenyataannya kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Irak terasa begitu mahal. Banyaknya peperangan dan pertumpahan darah, dan andilnya orang orang kafir dalam menguasai Irak. Kita berdoa kepada Allah agar memperbaiki keadaan Irak, menetapkan langkah para mujahidin di Irak dan menyatukan barisan mereka. Amin.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam Al Istidzkar (27/248): “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan tentang datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar ternyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana, seperti perang Jamal, perang Shiffin, terbunuhnya Husain dan sebagainya dari fitnah yang terjadi di Irak dan Khurasan, semenjak dahulu hingga sekarang yang sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam namun ternyata dari arah timur jauh lebih banyak”.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata dalam Majmu’ah Ar Rasail wa Al Masail (4/264-265): “telah terjadi di Irak beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah terjadi di negeri Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh orang yang mempelajari sejarah, seperti keluar Khawrij, pembunuhan Husain, fitnah ibnu Asy’ats, fitnah Mukhtar yang mengaku sebagai nabi… dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Hajjaj berupa pertumpahan darah yang sangat panjang kalau mau diuraikan”.
Syaikh Mahmud Syukri Al Alusi Al Iraqi rahimahullah berkata dalam Ghayatul Amani (2/180): “Tak aneh, Irak memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu di hantam fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita fitnah ahli Harura (kelompok Khawarij, pent.) yang mencemarkan Islam, fitnah Jahmiyah -yang banyak dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf- juga muncul dan berkembang di Irak, fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan Bashri serta lima pokok ajaran mereka yang berseberangan dengan paham ahlussunnah begitu masyhur, fitnah ahli bid’ah kaum Sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang di Bashrah; serta fitnah kaum Rafidhah dan Syiah serta perbuatan ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abu Thalib, serta celaan mereka terhadap para pembesar sahabat pun sangat masyhur”.
Kabar terjadinya fitnah
Aanggaplah bahwa Nejed yang dimaksud oleh hadits di atas adalah Nejed Hijaz. Tetap saja tidak mendukung keinginan mereka. Sebab hadis tersebut hanya menggambarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak memvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Terjadinya suatu fitnah di suatu tempat tidak mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.
Bukankah Nabi juga mengabarkan bahwa akan terjadi fitnah di kota Madinah Nabawiyah? Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat mengharuskan tercelanya setiap penduduknya maka itu artinya seluruh penduduk Madinah adalah tercela. Padahal tidak seorang pun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada satu tempat pun di dunia ini -baik terjadi maupun belum- kecuali akan terjadi fitnah di dalamnya. Lantas akankah seseorang berani untuk mencela seluruh kaum muslimin seantero dunia? Jadi timbangan celaan seseorang bukanlah karena dia lahir di tempat ini atau itu, tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus fitnah berupa kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan: “bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktunya tergantung kepada penduduknya. Sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya, tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu lain. Demikian pula sebaliknya. Seandainya Nejed tercela karena Musailamah Al Kadzab setelah kemusnahannya bersama para pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad Al Ansiy yang mengaku Nabi. Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana. Dan kota Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan memusuhi dakwahnya” (Majmu’ah Ar Rasail wa Al Masail 4/265).
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis (92): “timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya. Berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunahnya. Dan sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salas shalih. Jadi keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya”.
Syaikh Hakim Muhammad Asyraf menulis buku khusus mengenai hadits ini berjudul Akmal Al Bayan fi Syarhi Hadits Nejed Qarnu Syaithan. Dalam kitab ini beliau mengumpulkan riwayat-riwayat hadits ini dan menyebutkan ucapan para ulama ahli hadits, ahli bahasa, dan ahli geografi, yang pada akhirnya beliau membuat kesimpulan bahwa maksud Nejed di dalam hadis ini adalah Irak. Berikut kami lampirkan sebagian ucapannya: “maksud dari hadist-hadist dimuka bahwa negeri negeri yang terletak di timur kota Madinah Nunawarah adalah sumber fitnah dan kerusakan, markas kekufuran dan penyelewengan, pusat kebid’ahan dan kesesatan. Lihatlah di peta Arab dengan cermat, niscaya jelas bagi anda bahwa negara yang terletak di timur Madinah adalah Irak saja, tepatnya kota Kufah, Bashrah dan Baghdad” (Akmal Bayan, 16-17, Tahqiq Abdul Qadir As Sindi).
Dalam tempat lainnya beliau mengatakan: “ucapan para pensyarah hadits, ahli bahasa dan pakar geografi dapat dikatakan satu kata. Bahwa Nejed bukanlah nama suatu kota tertentu namun setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya maka disebut Nejed” (Akmal Bayan, 21).
Komentar Syaikh Al Albani
Sebagai kesimpulan, penulis ingin menurunkan ucapkan berharga dan penjelasan ahli hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin Al Albani, yang telah menepis salah paham hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadis yang panjang:
“Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadis shahih ini serta menyebutkan jalur jalur lafadz-lafadznya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab. Dan mereka mengarahkan hadits ini kepada beliau dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh disini. Namun yang dimaksud adalah Irak sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam Al Khattabi, Ibnu Hajar Al Asqalani dan sebagainya.
Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela tidaklah melazimkan dia tercela juga kalau memang dia orang yang saleh. Demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Mekkah, Madinah dan Syam. Dan betapa banyak orang yang alim dan saleh di Irak. Alangkah bagusnya ucapan Salman Al Farisi kepada Abu Darda tatkala mengajak dirinya untuk hijrah dari Irak ke Syam: “amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun menjadi mulia namun yang membuat mulia adalah amal perbuatannya” (Silsilah Ahadits Ash Shahihah, 5/305).
Beliau juga berkata: “jalur jalur hadis ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah arah timur, yang tepatnya adalah Irak sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat. Hadis ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum muslimin. Semikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari (7/77) dan Ahmad (2/85, 153) meriwayatkan dari Inu Abi Nu’min, dia berkata, saya menyaksikan Ibnu Umar ketika ditanya oleh seorang dari Irak tentang hukum membunuh lalat bagi orang yang sedang ihram, maka dia berkata: “wahai penduduk Irak kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat. Padahal kalian telah membunuh anak dari putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sedangkan beliau sendiri bersabda: ‘keduanya (Hasan dan Husein) adalah kesayanganku di dunia‘” (Silsilah Ahadits Ash Shahihah, 5/655-656).
Beliau juga berkata: “apa yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Irak seperti peperangan antara sayyidina Ali radhiallahu’anhu dan Muawiyah radhiallahu’anhu, antara Ali radhiallahu’anhu dan Khawarij, antara Ali radhiallahu’anhu dan Aisyah radhiallahu’anha dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits ini merupakan salah satu mukjizat dan tanda-tanda kenabian beliau” (Takhrij Hadits Fadhail Syam wa Dimsyaq, 26-27)
Ddemikianlah wahai saudaraku seiman, keterangan para ulama ahli hadits tentang hadits ini, maka cukuplah mereka sebagai sumber terpercaya dan janganlah engkau lirik ucapan orang yang menyelisihi mereka!!
[dari buku “Meluruskan Sejarah Wahabi” karya Ust Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi, hal 163-175]
Sumber: https://muslim.or.id/