Type Here to Get Search Results !

 


TAK SEMUA KHILAFIYAH DI TOLERANSI


Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”.

Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah.

Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah.

Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil

Para ulama berkata:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang  masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Sulaiman At Taimi berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.

Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi

1. Qunut Subuh
  • Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

Hadits Bara’ bin ‘Adzib:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ، وَالْمَغْرِبِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)

Hadits dari Muhammad bin Sirin:

سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ: «بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا»

“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)

Hadits Anas bin Maalik:

قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.
  • Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

Hadits Anas bin Maalik:

قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَيَقُولُ: عُصَيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.

Hadits Abu Hurairah:

“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:

اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ

Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)

Hadits Abu Malik Al Asyja-‘i

عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:

سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال : ما شعرت ان احدا يفعله

“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).

Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  • Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.

Faidah:

Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
  • Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

Hadits Jabir bin Abdillah:

أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ»

“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)

Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.
  • Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka. 

Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam.

Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam.

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in. 
Faidah:

Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
  • 1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122).

Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)

Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَل بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَل مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)

Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

لاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُنْكِحُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا

“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain.

 Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. 

Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
  • 2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107).

Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

Hadist dari Abu Hurairah:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك

“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: 

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. 

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. 

Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.
  • 3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf, kecuali hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas.

Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang fundamental, diantaranya:

Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
Para ulama bersepakat atas kaidah:

لا قياس ف  إثبات العبادة

“Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.

Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.

Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Penulis: Yulian Purnama, S. Komp.