Urusan-urusan yang dihadapi manusia sehari-hari tidak sedikit. Kewajiban-kewajiban yang mesti ia tunaikan pun banyak. Meskipun demikian, tingkat urgensi dan kewajiban tersebut berbeda-beda, tidak berada dalam satu level. Untuk itu, perlu mempertimbangkan sejauh mana urgensi suatu perkara dalam menentukan amalan mana yang harus didahulukan?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada umat untuk memperhatikan skala prioritas dalam kehidupan mereka.
Ketika mengutus Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya dengan bersabda,
إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ. فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ تَعَالَى
"Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari Ahli Kitab. Maka, jadikanlah dakwah pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allâh.."[1]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyoroti pentingnya dakwah tauhid saat berpesan kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam utus untuk berdakwah di Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkannya untuk menjadikan persoalan tauhid sebagai bahasan utama dan pertama dalam dakwahnya.
Hadits ini menunjukkan, perkara tauhid harus lebih diutamakan di atas seluruh amal kebaikan lainnya yang berhubungan dengan hak-hak Allâh Azza wa Jalla maupun hak-hak sesama manusia, dan sesungguhnya pembahasan tauhid menjadi materi pertama dalam dakwah dikarenakan keutamaan dan kemuliaannya.[2]
Pernyataan Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang surat-surat al-Qur`an yang pertama turun juga menguatkan pentingnya skala prioritas dalam berdakwah dengan mengawali penanaman tauhid dalam hati orang yang didakwahi. Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Sesungguhnya surat yang pertama diturunkan adalah surat mufashshal, yang di dalamnya ada berita tentang surga dan neraka. Tatkala manusia telah tulus menuju Islam, turunlah hukum halal dan haram. Sekiranya, yang pertama kali diturunkan adalah, “Janganlah kalian minum khamr”, maka mereka akan merespon, “Kami tidak akan meninggalkannya selamanya”, atau seandainya turun, “Janganlah kalian berzina”, maka mereka akan berkata, “Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya”. [3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah menyimpulkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anhuma telah mengisyaratkan mengenai hikmah urutan turunnya surat-surat al-Qur`an dan kandungan yang pertama kali diturunkan adalah seruan kepada tauhid, kabar gembira bagi orang Mukmin dan orang yang taat dengan Surga, dan peringatan bagi orang yang kafir dan pelaku maksiat dengan Neraka. Ketika jiwa-jiwa mereka telah mapan menerimanya, barulah diturunkan ayat-ayat yang berisi hukum-hukum. [4]
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa materi yang dinafkahkan kepada keluarga merupakan pembelanjaan uang yang terbaik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ
Uang dinar yang paling utama ialah dinar yang dinafkahkan seseorang bagi keluarganya.[5]
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Menjadi kewajiban seorang Muslim untuk memulai dengan melakukan kewajiban yang mesti dijalankan oleh dirinya. Baru kemudian, ia melakukan yang sunnah yang ia inginkan. Karena syaithan ingin sekali manusia melakukan amalan sunnah dan membuatnya meremehkan amalan yang wajib”. [Syarh Riyâdhish Shâlihîn 1/678].
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَ خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dengan orang yang engkau tanggung. [HR. Al- Bukhâri no.1427]
Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salâm rahimahullah mengatakan, “Kita harus mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah, amalan yang waktunya terbatas daripada amalan yang waktunya longgar, amalan yang lebih wajib daripada yang wajib, amalan yang lebih utama daripada yang utama…”. [Syajaratul Ma’ârif wal Ahwâl 351-352, Kutipan dari Kunûz Riyâdhish Shâlihîn 5/321].
Demikianlah petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya, agar mendahulukan sesuatu yang didahulukan oleh Allâh dan Rasul-Nya lebih mengutamakan perhatian terhadap perkara-perkara yang digarisbawahi oleh syariat.
Dengan itu, seorang hamba telah berjalan di atas lintasan yang benar dalam menjalankan perintah agama dengan memperhatikan perkara yang paling wajib dan paling ditekankan oleh agama. Ia pun akan menjadi orang yang terdepan dalam memperoleh karunia dari Allâh dan merealisasikan mutâba’ah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallâhu a’lam.
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri no.7372 dan Muslim no.19.
[2] Tajrîdu al-Ittibâ fî Bayâni Asbâbi Tafâdhuli al-A’mâl, Dr. Ibrahim ar-Ruhaili, hlm. 41.
[3] HR. Al- Bukhâri no.4993.
[4] Fathul Bâri 9/40.
[5] HR. Muslim.
Referensi: https://almanhaj.or.id/