Type Here to Get Search Results !

 


MENJAWAB ARGUMEN: APA DALILNYA MEMBUKA HP SERELAH SHALAT?

Ketika membahas hukum salam-salaman setelah shalat, ada sebagian orang yang berpendapat salam-salaman setelah shalat bukan bid’ah dengan argumen : 

“kalau salam-salaman setelah shalat ditanya apa dalilnya, sekarang kita tanya apa dalilnya membuka handphone (HP) setelah shalat? karena orang yang membid’ahkan salam-salaman setelah shalat juga terkadang membuka HP setelah shalat”.

Artikel ini tidak bahas tentang hukum salam-salaman setelah shalat, juga tidak membahas hukum membuka HP setelah shalat, namun membahas argumen di atas yang keliru dalam memahami konsep bid’ah.

Baca juga: Bid'ah

Qiyas ma’al fariq

Tentu berbeda antara orang yang salam-salaman setelah shalat dengan orang yang membuka HP setelah shalat. Ini disebut dengan qiyas ma’al fariq, menganalogikan dua hal yang berbeda.

Perbedaan pertama: salam-salaman setelah shalat dianggap sebagian ritual yang dikaitkan dengan shalat, membuka HP setelah shalat tidak dianggap demikian

Diantara kaidah dalam mengenal bid’ah adalah

إذا ترك الرسول صلى الله عليه وسلم فعل العبادة من العبادات مع كون موجب سببها المقتضي لها قائما ثابتا والمانع لها منتفيا فإن فعلها بدعة 

“Jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melakukan suatu ibadah padahal motivasi untuk melakukannya ada, dan penghalangnya tidak ada, maka melakukan ibadah tersebut adalah bid’ah” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’ karya Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani, hal. 75).

Ini masuk dalam keumuman hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).

Juga hadits:

وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak ternukil riwayat yang shahih bahwa beliau menjadikan salam-salaman sebagai ritual yang dilakukan setelah shalat. Padahal salam-salaman itu baik, motivasinya ada. Dan tidak ada penghalangnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat mampu melakukannya. Maka tidak keliru jika ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai bid’ah.

Adapun orang yang membuka HP setelah selesai shalat, tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ritual yang dilakukan setelah shalat. Namun umumnya mereka lakukan itu karena ada keperluan tertentu dan sifatnya insidental, tidak terus-menerus dilakukan.

Perbedaan kedua: andaikan salam-salaman setelah shalat dianggap sebagai perkara muamalah (bukan ibadah), maka perkara muamalah bisa menjadi bid’ah jika niatnya untuk taqarrub (mendekatkan diri pada Allah; cari pahala). Sedangkan orang yang membuka HP, tidak ada niatan untuk taqarrub.

Diantara kaidah lain dalam mengenal bid’ah adalah

كل تقرب إلى الله بفعلشيئ من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة

“Setiap bentuk taqarrub kepada Allah dengan cara melakukan suatu perkara adat (non ibadah) atau muamalah dengan cara yang tidak dituntunkan syari’at maka perbuatan tersebut adalah bid’ah” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 106).

Contohnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang tabattul, yaitu sengaja tidak menikah untuk taqarrub kepada Allah, seperti para rahib dan pendeta. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahuanhu, ia berkata:

رَدَّ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ علَى عُثْمَانَ بنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، ولو أذِنَ له لَاخْتَصَيْنَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul. Andaikan tabattul dibolehkan, sungguh kami akan melakukan kebiri” (HR. Bukhari no.5073, Muslim no. 1402).

Baca juga: Umar bin Khottob dan imam Syafi'i berbicara tentang bid'ah hasanah

Padahal menikah atau tidak menikah itu perkara muamalah. Namun ketika tidak menikah diniatkan untuk taqarrub, maka menjadi bid’ah. Demikian juga para ulama memberi contoh : 

* Memakai pakaian shuf (wol) dalam rangka taqarrub

* Taqarrub kepada Allah dengan cara puasa berbicara

* Taqarrub kepada Allah dengan cara tidak makan makanan tertentu

* Berjemur di tengah terik matahari ketika puasa, dengan anggapan pahalanya lebih besar.

Maka perkara muamalah atau non ibadah, bisa menjadi bid’ah jika dilakukan untuk taqarrub kepada Allah, jika tidak ada tuntunannya.

Demikian juga salam-salaman setelah shalat jika dianggap muamalah, namun jika dianggap ini lebih mendekatkan diri kepada Allah, lebih afdhal, berpahala, padahal tidak ada tuntunannya maka tidak keliru jika ada ulama yang menganggapnya bid’ah.

Sedangkan, orang yang membuka HP setelah selesai shalat, tidak ada yang melakukannya dalam rangka taqarrub, atau menganggap kegiatan membuka HP itu berpahala atau lebih afdhal. Murni kegiatan muamalah yang hukumnya mubah saja.

Maka dari sini jelaslah kekeliruan argumen orang yang menyamakan salam-salaman setelah shalat dengan membuka HP. Walhamdulillah.

Mengkhususkan yang umum

Masalah salam-salaman setelah shalat juga termasuk dalam bahasan taqyidul ibadah al muthlaq, mengkhususkan ibadah yang sifatnya mutlak (umum). Diantara kaidah mengenal bid’ah adalah:

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام, فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوها بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعا من غير أن يدل الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah yang sifatnya mutlak (umum) yang dilandasi oleh dalil yang umum, jika dikhususkan pada suatu waktu atau suatu tempat tertentu atau semisalnya, sehingga disangka bahwa ibadah tersebut memang disyariatkan pada waktu atau tempat tersebut, tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya, maka ibadah tersebut adalah bid’ah” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 113).

Contohnya ibadah puasa sunnah secara dianjurkan secara mutlak, baik puasa Daud atau puasa tiga hari dalam satu bulan. Namun ketika ada orang yang mengkhususkan puasa setiap hari Rabu, atau puasa khusus tanggal 7 atau tanggal 8 setiap bulan, padahal tidak ada dalilnya, tidak ragu lagi ini adalah sebuah kebid’ahan. Demikian juga, shalat sunnah dianjurkan secara mutlak. Namun mengkhususkan shalat sunnah sekian rakaat di hari tertentu, atau pada malam tertentu tanpa dalil, ini adalah kebid’ahan (lihat Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 115).

Maka demikian juga, bersalaman memang dianjurkan dalam agama. Dari Al Barra’ bin ‘Azib radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَاَ

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani).

Namun anjuran bersalaman ini sifatnya mutlak dilakukan dimanapun dan kapanpun ketika bertemu sesama Muslim, tidak dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu. Ketika dikhususkan pelaksanaannya setelah shalat, sehingga orang-orang mengira bahwa memang dianjurkan salam-salaman ketika itu, padahal tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka tidak keliru jika ada ulama yang menganggapnya bid’ah.

Dan kasus  taqyidul ibadah al muthlaq juga tidak terjadi pada perbuatan membuka HP setelah shalat, karena telah kita bahas bahwa orang yang membuka HP setelah shalat tidak menganggapnya sebagai taqarrub kepada Allah atau ibadah.

Bersalaman setelah shalat karena baru ketemu

Berbeda kasusnya, jika bersalaman setelah shalat murni karena memang baru ketemu setelah shalat. Atau sudah ketemu sebelum shalat namun belum sempat salaman. Karena memang bersalaman itu disunnahkan kepada orang ketika bertemu. 

Al Mula Ali Al Qari rahimahullah (wafat 1014H ) mengatakan, “Jika seseorang masuk masjid dan orang-orang sudah shalat atau sudah akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai andaikan mau bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk bentuk salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).

Namun tentu saja ini tidak terjadi setiap saat dan setiap waktu, sehingga tidak mungkin alasan ini digunakan sebagai legitimasi untuk mendukung amalan salam-salaman setelah shalat.

Sebab-Sebab Menyebarnya Bid’ah

Larangan Terhadap Bid’ah Dalam Al Qur’an

Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

***

Penulis: Yulian Purnama, S. Komp.

Sumber:  https://muslim.or.id/

Tags