Pertama, boleh mempekerjakan mereka atau menyewa jasa mereka dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak menyebabkan penguasaan mereka atas kaum muslimin. Misalnya, boleh mempekerjakan mereka sebagai karyawan pabrik, tukang bangunan, atau sebagai pembantu.
Dalil dalam masalah ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa jasa ‘Abdullah bin Uraiqith ketika hijrah karena dia sangat paham seluk beluk jalan (HR. Bukhari no. 2263). Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan orang Yahudi Khaibar untuk menanami kebun Nabi di daerah Khaibar setelah ditaklukkan. Bagi hasil untuk mereka adalah setengah dari hasil panen (HR. Bukhari no. 148). Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah memiliki pelayan seorang pemuda Yahudi (HR. Bukhari no. 5657).
Adapun mengangkat mereka sebagai pegawai yang menyebabkan mereka berkuasa atas kaum muslimin dan mengetahui detail kondisi dan rahasia kaum muslimin, maka hal ini tidak boleh dan termasuk dalam wala’ yang diharamkan. Misalnya, mengangkat mereka sebagai sekretaris gubernur atau pemimpin daerah, sebagaimana yang telah kami uraikan di seri sebelumnya.
Kedua, dianjurkan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang membutuhkan, misalnya memberikan sedekah sunnah kepada orang-orang miskin di antara mereka, atau memberikan pertolongan kepada orang kafir yang sedang sakit. Adapun sedekah yang wajib, misalnya zakat mal atau zakat fitri, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir, kecuali orang kafir yang ingin diambil hatinya (sebagaimana nanti akan disebutkan).
Hal ini berdasarkan keumuman makna firman Allah Ta’ala,
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)
Dan juga termasuk dalam cakupan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong semua makhluk bernyawa itu berpahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244)
Berbuat baik kepada mereka dengan menunjukkan akhlak-akhlak yang mulia, bisa menjadi sebab masuknya mereka ke dalam Islam. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala,
“Aku pernah berjumpa dengan seseorang dari India, yang masuk melalui perantaraannya lebih dari seribu orang beragama Hindu. Mereka semuanya masuk Islam satu per satu, artinya beliau tidaklah mendakwahi dua orang sekaligus, akan tetapi didakwahi satu-satu. Metode dakwah beliau adalah beliau memiliki penguasaan yang baik terhadap sisi-sisi kebaikan agama Islam ini, adab-adabnya dan kesempurnaannya.
Jika beliau menemui orang Hindu tersebut, dan biasanya beliau memilih orang-orang yang sedang sedih (galau) berkaitan dengan perkara yang telah, sedang atau akan terjadi, atau orang-orang yang beliau lihat sedang mendapatkan masalah tertentu, dan sedang duduk sendirian. Beliau pun duduk bersama mereka, menanyakan kondisinya, dan menanyakan masalah yang sedang dihadapi. Di sela-sela itu, beliau pun menyebutkan sisi-sisi keindahan agama Islam ini.
Dia berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya mayoritas dari mereka itu cukup diajak bicara seperempat jam, atau maksimal setengah jam, aku sebutkan kepadanya sebagian keindahan agama Islam ini. Lalu mereka pun bertanya, bagaimanakah cara masuk Islam? Bagaimana jalan untuk menjadi bagian dari kaum muslimin? Lalu aku pun tawarkan mereka agar masuk Islam dan mereka pun masuk Islam.’” (Huquuq kibaaris sinni fil Islaam, hal. 10)
Ketiga, dianjurkan untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga yang masih kafir, seperti orang tua dan saudara kandung, dalam bentuk mengunjungi mereka dan memberikan hadiah untuk mereka. Yang tidak diperbolehkan adalah menjadikan mereka sebagai teman atau sahabat akrab, karena ini termasuk wala’ yang terlarang (lihat pembahasan tentang bentuk-bentuk loyalitas kepada orang kafir yang terlarang). Lebih-lebih jika dikhawatirkan bahwa hal itu akan berpengaruh buruk terhadap agama si muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan jika keduanya (ibu dan ayah) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman [31]: 15)
Keempat, diperbolehkan untuk berbuat baik kepada mereka, misalnya dengan memberikan hadiah kepada mereka (meskipun bukan kerabat), untuk memotivasi mereka agar masuk Islam; atau pada saat mendakwahi mereka; atau untuk menghindari keburukan-keburukan mereka (misalnya, orang kafir tersebut adalah preman yang suka mengganggu); atau sebagai balasan karena mereka mau berdamai dan tidak mengganggu kaum muslimin, agar mereka terus-menerus seperti itu.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
Adapun jika pemberian hadiah itu dalam rangka menjalin persahabatan, atau karena rasa cinta atau karena ingin mencari perhatian dan cinta mereka, maka hal ini tidak diperbolekan.
Ulama besar Malikiyyah, Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Adapun yang diperintahkan atas kita untuk berbuat baik kepada orang kafir tanpa menunjukkan rasa cinta dalam hati, di antaranya adalah: bersikap lemah lembut dengan orang-orang kafir yang lemah; memenuhi kebutuhan orang kafir yang miskin (dengan sedekah); memberi makan orang kafir yang kelaparan; memberi pakaian orang kafir yang tidak memiliki pakaian; bersikap lembut dalam berbicara, karena belas kasihan kepada mereka, bukan lembut karena takut dan merendahkan diri; bersabar atas gangguan mereka dalam bertetangga dengan tetap berusaha menghilangkan gangguan tersebut dengan lemah lembut, tanpa disertai rasa takut dan mengagungkan mereka; mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah dan agar termasuk dalam orang-orang yang bahagia di akhirat (penghuni surga); menginginkan kebaikan untuk mereka dalam semua urusan mereka, baik urusan agama (dengan mendakwahi mereka) dan urusan dunia mereka (dengan tidak mendzalimi mereka); menjaga mereka ketika mereka tidak ada, ketika ada orang yang ingin menyakiti mereka (misalnya, dengan memfitnah mereka), menjaga harta, keluarga, kehormatan mereka dan semua hak-hak mereka; membantu mereka ketika mereka berupaya untuk mencegah kedzaliman dari dirinya; membantu mereka agar mendapatkan hak-hak mereka. Ringkasnya, semua bentuk kebaikan yang selayaknya dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi (atasan) kepada bawahannya (misalnya, seorang bos kepada bawahannya), atau seorang musuh kepada musuhnya, maka hal itu termasuk akhlak yang luhur (kepada orang kafir).” (Al-Furuuq, no. 119)
Secara umum, boleh bagi kita bersikap lemah lembut kepada orang kafir, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan, selama hal itu tidak merendahkan kedudukan si muslim tersebut, dan juga ketika terdapat maslahat syar’i dari perbuatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (sahabat akrab, pemimpin, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)
Yang dimaksud dengan “taqiyyah” (siasat memelihara diri) adalah menampakkan sikap lemah lembut kepada mereka, meskipun dalam hati kita tetap membenci dan memusuhi mereka karena agama.
Kelima, dianjurkan untuk memuliakan mereka ketika mereka bertamu ke rumah kita. Sebagaimana diperbolehkan bagi muslim untuk bertamu ke rumah mereka jika ada keperluan.
Keenam, diperbolehkan untuk makan bersama mereka dalam kasus-kasus tertentu (yang bersifat kasuistik), selama tidak menjadikan mereka sebagai sahabat dekat atau teman makan sehingga selalu dan terbiasa makan bersama mereka.
Oleh karena itu, boleh makan bersama mereka ketika dalam undangan walimah yang bersifat umum; atau karena orang kafir tersebut bertamu ke rumah kita; atau karena kita bertamu ke rumah mereka; atau makan bersama pembantunya yang non-muslim; selama tidak bermaksud untuk mencari-cari kecintaan mereka kepada kita, dan bukan karena kita merasa nyaman dekat-dekat dengan mereka.
Jika makan bersama mereka itu motivasinya adalah karena ingin mencari rasa cinta mereka kepada kita (misalnya, agar kita bisa masuk ke dalam pergaulan di tengah-tengah mereka), tanpa ada maslahat syar’i yang ingin diwujudkan (misalnya, mendakwahi mereka), atau karena kita merasa lebih nyaman ketika dekat dan bersama mereka, maka hal ini tidak diperbolehkan (baca: haram), bahkan di antara ulama ada yang menegaskan sebagai dosa besar (Lihat Az-Zawaajir ‘an Iqtiraafil Kabaair no. 441, karya Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Janganlah kalian bersahabat kecuali dengan orang beriman, dan janganlah makan makananmu kecuali orang-orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832, At-Tirmidzi no. 2395 dan Ahmad no. 11337, hadits hasan)
Hadits di atas melarang kita untuk makan bersama orang non-muslim jika motivasinya karena motivasi-motivasi terlarang di atas. Adapun jika memberi makan mereka karena belas kasihan, misalnya karena mereka kelaparan, atau baru tertimpa bencana dan musibah, maka diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Sebagaimana pujian Allah Ta’ala kepada orang-orang yang memberi makan orang kafir yang ditawan,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang (kafir) yang ditawan.” (QS. Al-Insan [76]: 8)
Perkara yang Hukumnya Mubah atau Dianjurkan ketika Berinteraksi dengan Orang Kafir (Lanjutan)
Ketujuh, boleh bermuamalah dengan mereka dalam urusan-urusan duniawi yang hukum asalnya mubah dalam Islam, misalnya jual beli.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan (gandum) dari orang Yahudi secara tidak tunai dan beliau memberikan baju besi beliau sebagai jaminan.” (HR. Bukhari no. 2068 dan Muslim no. 1603)
Demikian pula diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk belajar ilmu duniawi dari orang kafir, yaitu ilmu duniawi yang memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan hukum asal ilmu tersebut adalah mubah. Dalam kondisi tertentu, bisa jadi belajar kepada mereka tersebut dianjurkan atau bahkan wajib, misalnya karena satu-satunya yang bisa mengajari adalah mereka. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bagi tawanan Perang Badar yang tidak bisa membayar tebusan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wajibkan bagi mereka untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kecil dari sahabat Anshar sebagai pengganti tebusan yang seharusnya mereka bayarkan agar bisa bebas.
Adapun mempelajari ilmu agama dari orang kafir, maka tidak diperbolehkan. [1]
Kedelapan, boleh bagi seorang muslim (laki-laki) untuk menikah dengan wanita kafir ahli kitab (yaitu, wanita Yahudi dan Nasrani), dengan syarat: (1) mereka adalah wanita yang menjaga kehormatan (bukan wanita pezina atau wanita yang mudah dijamah); dan (2) jika yakin merasa aman dari madharat yang berkaitan dengan agama si laki-laki sendiri, dengan harta, dan agama anak-anaknya kelak. Dan perlu dicatat, bahwa pernikahan tersebut adalah pernikahan di rumah perempuan oleh wali si perempuan, bukan menikah di gereja dan dinikahkan oleh pendeta.
Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan manikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)
Meskipun demikian, yang lebih utama adalah tidak menikahi wanita ahli kitab, karena inilah yang lebih selamat untuk agama si laki-laki (apalagi jika si laki-laki orang awam) dan lebih selamat untuk anak-anaknya kelak, supaya anak-anaknya tidak bingung dalam memilih agama. Oleh karena itu, sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mencela Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan ahli kitab dan memerintahkannya untuk menceraikannya, yaitu dengan perintah anjuran, bukan perintah wajib.
Adapun orang kafir selain ahli kitab, maka tidak boleh dinikahi, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)
Jika nekat melakukannya, meskipun disahkan oleh negara, maka pernikahan tersebut tidak sah alias pernikahan yang batil.
Adapun wanita muslimah, maka tidak boleh menikah dengan lelaki kafir sama sekali, baik lelaki ahli kitab atau non ahli kitab, berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Kesembilan, boleh mencintai mereka sebatas cinta yang bersifat tabiat manusia. Yang dimaksud dengan cinta karena tabiat adalah rasa cinta yang muncul karena sebab-sebab yang bersifat manusiawi (naluri) dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama dan aqidah. Misalnya, seorang anak yang muslim mencintai orang tuanya yang masih kafir.
Akan tetapi, rasa cinta tersebut tidak boleh sampai derajat lebih mengutamakan mereka dibandingkan diri kita sendiri, karena hal itu bisa menjadi sebab untuk menganggap baik agama mereka, ridha dengan agama dan aqidah mereka, yang semua ini merupakan keafiran yang nyata. Juga tidaklah boleh mencintai mereka dengan cinta yang tulus dari hati (mahabbah qalbiyyah).
Bukti lainnya, Allah Ta’ala membolehkan bagi laki-laki yang beriman untuk menikah dengan wanita ahli kitab. Padahal, tidak mungkin kita menikahi seseorang dalam kondisi tidak mencintainya sama sekali. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bolehnya cinta yang bersifat thabi’i (tabiat atau naluri) kepada orang kafir. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai pamannya, yaitu Abu Thalib. Padahal kita mengetahui bahwa status Abu Thalib adalah kafir sampai meninggal dunia. Namun, cinta beliau kepada pamannya hanyalah sebatas cinta yang bersifat thabi’i (karena beliau adalah pamannya) dan tidak sampai cinta yang bersifat syar’i atau cinta atas dasar agama. [2]
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash [28]: 56)
Kesepuluh, boleh bagi kaum muslimin untuk meminta bantuan orang kafir untuk mencegah bahaya yang akan menimpa kaum muslimin. Hal ini dengan dua syarat pokok, yaitu:
- Syarat pertama, betul-betul dalam kondisi terdesak membutuhkan bantuan tersebut.
- Syarat kedua, aman dari makar dan tipu daya mereka, dalam bentuk bantuan tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol kaum muslimin, sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi kaum muslimin itu sendiri.
Contoh nyata, permintaan bantuan pemerintah Arab Saudi kepada Amerika Serikat untuk membantu mencegah invasi Saddam Husein ketika sudah sampai di perbatasan Kuwait. Permintaan bantuan ini diperbolehkan. Kalaulah termasuk dalam permintaan bantuan yang terlarang, maka bukan termasuk dalam pembatal iman, karena motivasinya bukan karena agama, akan tetapi motivasi duniawi (menjaga negara). Hal ini tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang ekstrim dalam masalah ini yang mengkafirkan pemerintah Arab Saudi karena permintaan bantuan ini.
Kesebelas, boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepada dokter yang kafir yang terpercaya (dokter yang profesional).
Kedua belas, boleh memberikan zakat kepada orang kafir yang ingin diambil hatinya (muallafati qulubuhum), yaitu orang kafir yang hampir masuk Islam sehingga perlu diambil hatinya dengan diberi zakat. Atau memberikan zakat kepada orang kafir yang suka mengganggu kaum muslimin, sehingga dia tidak lagi mengganggu kaum muslimin, meskipun dia tetap kafir.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
Ketiga belas, boleh bekerja sama dengan orang kafir dalam bisnis perdagangan, dengan syarat bahwa orang muslim-lah yang mengatur, mengurusi dan mengontrol bisnis tersebut supaya tidak terjerumus dalam aktivitas perdagangan yang haram (riba dan sejenisnya). Inilah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan perlu dicatat bahwa sebagian ulama memang melarangnya.
Keempat belas, boleh menerima hadiah dari orang kafir, selama tidak mengandung unsur pelecehan kepada si muslim atau selama tidak karena loyalitas (wala’) muslim tersebut kepada orang kafir yang memberi hadiah.
Adapun jika hadiah tersebut adalah dalam rangka perayaan hari besar keagamaan orang kafir tersebut, maka sebaiknya tidak diterima, lebih-lebih jika penerimaan tersebut dimaknai dukungan dan persetujuan kita terhadap perayaan keagamaan mereka.
Kelima belas, boleh bekerja kepada orang kafir selama pekerjaan tersebut tidak mengandung unsur penghinaan kepada kaum muslimin. Misalnya, bekerja sebagai karyawan di perusahaan orang kafir. Lebih bagus lagi kalau kedudukannya sejajar. Kalau mengandung unsur penghinaan dan perendahan terhadap si muslim, maka tidak diperbolehkan. Misalnya, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikan yang kafir.
Keenam belas, boleh menjenguk mereka ketika sakit. Lebih-lebih jika hal itu merupakan kesempatan untuk mendakwahinya agar masuk Islam. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk pemuda Yahui yang pernah menjadi pelayaknnya, kemudian mendakwahinya agar masuk Islam, dan pemuda tersebut akhirnya masuk Islam (HR. Bukhari no. 5657).
Setelah menyebutkan kisah tersebut, Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata,
“Hal ini karena mengunjungi orang sakit itu memiliki pengaruh yang baik dalam jiwa si sakit, melembutkan hatinya, dan memotivasinya menuju kebaikan.” (Fiqh Tarbiyatil Abna’, hal. 108)
Sa’id bin Al-Musayyib juga meriwayatkan dari ayahnya,
لَمَّا حُضِرَ أَبُو طَالِبٍ جَاءَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Abu Thalib hendak meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya.” (HR. Bukhari no. 5657)
Ketika itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha mendakwahi agar pamannya tersebut masuk Islam, sebagaimana kisah berikut ini.
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah.”
Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, “Apakah Engkau membenci agama ‘Abdul Muthallib?” Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama ‘Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah.’” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)
Jadi, mengunjungi orang kafir yang jatuh sakit itu diperbolehkan atau bahkan dianjurkan ketika kita juga bermaksud untuk mendakwahinya, baik dakwah secara langsung dengan mengajaknya masuk Islam, atau secara tidak langsung dengan niat untuk menampakkan keluhuran akhlak seorang muslim kepada non-muslim sekalipun.
Adapun jika menjenguk hanya semata-mata ingin mencari simpati, rasa cinta, dan kedekatan dengan mereka, hal ini tidak diperbolehkan. Misalnya, menjenguk karena semata-mata dia adalah sahabat dekatnya, maka ini tidak diperbolehkan karena termasuk wala’ yang terlarang. [3]
Boleh Memberontak Kepada Pemerintah Dholim?
Mengapa Mudah Mengkafirkan Pemerintah?
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
Bersambung ke: Wala' wal bara' #5
___
Referensi:
- Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.
Sumber: https://muslim.or.id/