Baca pembahasan sebelumnya: Wala wal baro #4
Melayat (takziyah) kepada non-muslim yang meninggal dunia.Sebelumnya, ketika mendengar berita kematian orang non-muslim, boleh bagi kita untuk mengucapkan istirja’, yaitu mengucapkan kalimat,
إنا لله وإنا إليه راجعون
“Innaa lillaahi wa inna ilaihi raji’uun” [Sesungguhnya, kita milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita kembali]
Karena pada hakikatnya, semua manusia, baik muslim atau non-muslim, semuanya milik Allah Ta’ala dan akan kembali kepada Allah Ta’ala. Sehingga tidak masalah dengan kalimat tersebut ketika ditujukan kepada orang kafir yang meninggal dunia. Demikianlah yang difatwakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala. [1]Adapun bertakziyah kepada kerabat orang kafir yang meninggal dunia, khususnya kedua orang tuanya, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Yang lebih tepat adalah bolehnya perbuatan tersebut.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,
قال أصحابنا: ولا يكره للمسلم اتباع جنازة قريبه الكافر
“Sahabat kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata, “Tidaklah makruh (boleh) bagi seorang muslim untuk mengiringi jenazah kerabat yang kafir.”” (Raudhatuth Thalibiin, 1: 630)
Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau menceritakan,
قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ، قَالَ: اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ، ثُمَّ لَا تُحْدِثَنَّ شَيْئًا، حَتَّى تَأْتِيَنِي. فَذَهَبْتُ فَوَارَيْتُهُ وَجِئْتُهُ فَأَمَرَنِي فَاغْتَسَلْتُ وَدَعَا لِي
“Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya pamanmu yang sudah tua dan sesat (yaitu Abu Thalib, pen.) telah meninggal dunia.’”
Beliau bersabda, “Pergilah dan kuburkan ayahmu. Kemudian janganlah Engkau mengadakan sesuatu hingga aku datang kepadamu!”
Kemudian aku pun pergi, menguburkannya dan mendatangi Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali. Lalu beliau memerintahkanku untuk mandi dan mendoakanku.” (HR. Abu Dawud no. 3214, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin berkata, “Boleh bagi seorang muslim untuk berta’ziyah kepada orang kafir jika melihat ada maslahat syar’iyyah di dalamnya. Akan tetapi, tidak sampai mendoakan ampunan untuk orang kafir yang sudah meninggal tersebut. Hal ini karena tidak boleh mendoakan orang kafir yang sudah meninggal dunia dengan doa rahmat dan ampunan.” (Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 213-214)
Kesimpulan, bertakziyah kepada orang kafir yang sudah meninggal dunia itu diperbolehkan, baik kerabat atau bukan kerabat. Namun sebaiknya diiringi dengan niat berdakwah dengan menunjukkan akhlak luhur seorang muslim kepada mereka.
Catatan lainnya, jika pemakaman tersebut diiringi dengan prosesi ritual ibadah keagamaan mereka, maka sebaiknya dihindari. Sehingga dalam kondisi tersebut, kita bertakziyah kepada mereka pada waktu sebelum atau sesudah ritual ibadah tersebut dilaksanakan. [2] Wallahu Ta’ala a’lam.
Mengurus jenazah orang kafir
Terhadap jenazah orang kafir yang bukan kerabat, jika tidak terdapat sesama orang kafir yang mengurus jenazahnya, maka boleh bagi kaum muslimin untuk memandikan, mengkafani dan memakamkannya.
Adapun orang kafir yang masih kerabat, maka boleh bagi seorang muslim untuk memandikan, mengkafani dan memakamkannya, baik dijumpai orang kafir yang mengurusnya ataukah tidak. Karena hal ini termasuk dalam bab menyambung hubungan kekerabatan (silaturahmi). Dan juga, tidak ada dalil yang melarangnya. Lebih-lebih lagi jika orang kafir yang meninggal tersebut bukan termasuk orang kafir harbi.
Dalil dalam masalah ini adalah riwayat dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib yang telah kami sebutkan di atas. Yaitu, ketika ayahnya (Abu Thalib) meninggal dunia, beliaulah yang mengurus jenazah ayahnya, mulai dari memandikan dan memakamkannya, dengan ijin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun jika bukan kerabat, maka yang lebih selamat dan lebih utama adalah tidak mengurusnya, kecuali jika terdapat maslahat syar’iyyah di dalamnya, atau jika tidak terdapat sesama orang kafir yang mengurusi jenazah tersebut, dalam rangka menjaga hak-hak kemanusiaan. [3]
Terdapat riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memberikan kain (gamis) untuk mengkafani gembong orang munafik, ‘Abdullah bin Ubay ibnu Salul, berdasarkan permintaan anaknya, ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay Al-Anshari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, salah seorang sahabat yang mulia [4]. Hal ini bisa jadi dalam rangka menentramkan hati sang anak, dan juga dalam rangka memuliakan sang anak yang merupakan sahabat yang mulia.
Sedangkan menshalati jenazah orang kafir dan mendoakan ampunan untuk mereka, hal ini hukumnya haram, tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’ para ulama. Karena doa dan syafa’at untuk orang kafir yang sudah meninggal dunia, tidak akan Allah Ta’ala terima.
Allah Ta’ala juga melarang mendoakan ampunan untuk orang kafir ketika mereka meninggal dunia. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah [9]: 84)
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,
وأما الصلاة علي الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والاجماع
“Adapun menshalati (jenazah) orang kafir dan mendoakan ampunan untuk mereka, maka hukumnya haram berdasarkan dalil tegas (nash) dari Al-Qur’an dan ijma’.” (Al-Majmu’, 5: 144)
Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daimah, “Bolehkah bagi seorang muslim untuk menshalatkan orang kafir yang meninggal dunia?”
Lajnah Daimah yang ketika itu diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala menjawab,
لا تجوز صلاة الجنازة على الميت الكافر ولا الدعاء له، قال تعالى: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى}
“Tidak boleh melakukan shalat jenazah kepada orang kafir, tidak boleh juga mendoakan mereka (ketika sudah meninggal dunia, pen.). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya).” (QS. At-Taubah [9]: 113) (Fatawaa Al-Lajnah Ad-Daa’imah, 7: 251)
Berziarah ke makam orang kafir
Adapun berziarah ke makam orang kafir, yang tepat adalah bahwa hal ini diperbolehkan. Sebagian ulama melarangnya, namun pendapat ini lemah. (Lihat Al-Majmu’, 5: 144)
Hal ini karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
“Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampunan kepada ibuku, namun aku tidak diizinkan. Dan aku meminta izin untuk berziarah ke makamnya, maka aku pun diijinkan.” (HR. Muslim no. 976)
___
Catatan kaki:
[1] https://binbaz.org.sa/old/28971
[2] Tambahan faidah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar hafidzahullahu Ta’ala ketika menjelaskan masalah ini dalam salah satu majelis beliau.
[3] Lihat Al-Khulashah fi Fiqhil Aqliyyaat, 1: 247 (Maktabah Asy-Syamilah).
[4] Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 4670, 4672, dan 5796) dan At-Tirmidzi (no. 3098) dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.
Terdapat perbedaan hukum antara mendatangi undangan walimah dari sesama muslim dengan undangan dari non-muslim.
Jika yang mengundang adalah sesama muslim, maka hukum asalnya adalah wajib, menurut pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Kecuali jika terdapat penghalang syar’i, sehingga tidak perlu (atau bahkan haram) didatangi.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ العَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima, (1) menjawab salam; (2) menjenguk yang sakit; (3) mengiringi jenazah; (4) memenuhi undangan; dan (5) mengucapkan tasymit [1] kepada orang yang bersin.” (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بِئْسَ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ، فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ، فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ
“Sejelek-jelek jamuan adalah jamuan pesta pernikahan (walimah), yaitu (walimah) yang hanya mengundang orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan (walimah), maka sungguh dia telah durhaka (bermaksiat) kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 5117 dan Muslim no. 1432. Lafadz hadits ini milik Muslim.)
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan (walimah), maka sungguh dia telah durhaka (bermaksiat) kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya”, maka pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan wajibnya mendatangi undangan walimah dari saudara muslim. Karena dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka yang tidak memenuhi undangan itu dinilai durhaka (maksiat). Sedangkan istilah “maksiat” itu hanya diberikan jika seseorang meninggalkan sebuah kewajiban.
Namun, para ulama telah menetapkan beberapa syarat undangan walimah yang wajib didatangi. Jika syarat tersebut terpenuhi, hukum mendatangi walimah tersebut wajib, dan jika tidak terpenuhi, maka mendatanginya tidaklah wajib atau bahkan haram.
Di antara syarat tersebut adalah jika dalam acara walimah tersebut tidak terdapat kemungkaran. Misalnya, adanya acara musik dangdut dengan penyanyi yang tabarruj diiringi joget-joget, atau jika walimah tersebut menyediakan makanan atau minuman yang haram, seperti khamr, babi, rokok, dan sejenisnya. Jika orang yang diundang tersebut mampu untuk mengubah kemungkaran tersebut (misalnya, karena dia adalah tokoh masyarakat setempat yang didengar dan dipatuhi perintahnya), maka dia tetap wajib mendatanginya karena dua sebab:
- Kewajiban memenuhi undangan walimah dan
- Dalam rangka mengubah atau menghentikan kemungkaran. Jika tidak mampu, maka haram mendatangi acara walimah tersebut. [2]
Adapun hukum asal mendatangi undangan walimah dari non-muslim adalah tidak wajib. Karena dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima”. Artinya, jika yang mengundang bukan muslim, maka pada asalnya tidak ada kewajiban bagi kita untuk memenuhi undangan walimah tersebut. [3]
Akan tetapi, mendatangi undangan walimah non-muslim itu diperbolehkan, lebih-lebih jika terdapat maslahat syar’iyyah dalam memenuhi undangan tersebut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,
فإن لم يكن مسلما لم تجب الإجابة ولكن تجوز الإجابة لاسيما إذا كان في هذا مصلحة يعني لو دعاك كافر إلى وليمة عرسه فلا بأس أن تجيب لاسيما إن كان في ذلك مصلحة كتأليفه إلى الإسلام وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أن يهوديا دعاه في المدينة فأجابه وجعل له خبزا من الشعير
“Jika (yang mengundang walimah) bukan muslim, maka tidak wajib dipenuhi. Akan tetapi, boleh untuk memenuhi undangan tersebut, lebih-lebih jika di dalamnya terdapat maslahat. Maksudnya, jika orang kafir mengundangmu ke pesta pernikahannya, tidak mengapa Engkau penuhi, lebih-lebih jika terdapat maslahat di dalamnya, seperti melembutkan hatinya agar (masuk) Islam. Terdapat riwayat yang valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seorang Yahudi mengundang beliau di Madinah, dan beliau memenuhi undangan tersebut. Orang Yahudi tersebut membuatkan roti dari gandum kasar (sya’ir) untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1: 313)
Namun, karena pesta walimah orang non-muslim di tempat kita banyak terdapat kemungkaran di dalamnya, maka bisa jadi hukumnya haram untuk didatangi, sama seperti undangan walimah dari sesama muslim yang tidak memenuhi syarat di atas. Jika kondisinya semacam ini, namun dikhawatirkan ada masalah jika undangan tersebut tidak dipenuhi (misalnya, yang mengundang tersebut adalah atasan atau bos di tempat si muslim tersebut bekerja), maka hal ini bisa disiasati dengan memenuhi undangan tersebut sebelum [4] atau sesudah pesta walimah selesai (atau hampir selesai), dan tidak berlama-lama di tempat tersebut. [5]
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah dan taufik kepada kita semua.
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
Referensi:
Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.
___
Catatan kaki:
[1] Tasymit adalah ucapan “yarhamukallah” kepada saudara yang bersin dan dia mengucapkan “alhamdulillah.”
[2] Lihat fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid di: https://islamqa.info/ar/22006
[3] Idem.
[4] Dalam tradisi di daerah penulis, yang memiliki hajatan pernikahan biasanya sudah “membuka rumahnya” beberapa hari sebelum hari H undangan, jika di antara undangan ada yang tidak bisa datang di hari H walimah. Jika pengundang tidak menerima tamu di rumah beberapa hari sebelum pesta walimah, biasanya akan ditulis secara eksplisit di kertas undangan yang disampaikan kepada kita.
[5] Tambahan faidah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar hafidzahullahu Ta’ala ketika menjelaskan masalah ini dalam salah satu majelis beliau.
Kembali ke Pembahasan pertama: Wala wal baro #1
Sumber: https://muslim.or.id/