Syubhat: Zaman Sekarang Boleh Memotong Jenggot karena Kaum Musyrikin Berjenggot
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa ‘illah (sebab) diperintahkannya memanjangkan jenggot adalah untuk membedakan diri dengan orang majusi dan nasrani, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Apakah ‘illah tersebut tetap berlaku di zaman sekarang? Karena mereka sekarang sudah memanjangkan jenggot.
Jawaban:
Jawaban kami terhadap pertanyaan ini dibagi menjadi beberapa poin:
Pertama
Wajibnya membiarkan jenggot bukan hanya karena untuk membedakan diri dengan orang musyrikin saja. Namun, juga karena ia merupakan sunnah fitrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim. Maka, membiarkan jenggot merupakan fitrah yang Allah Ta’ala tetapkan kepada lelaki. Sehingga Allah Ta’ala menganggap baik hal tersebut dan menganggap buruk lawannya (yaitu mencukur jenggot).
Kedua
Kaum Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang, tidak semua dari mereka yang memanjangkan jenggot. Bahkan tidak sampai seperempat dari total jumlah mereka. Bahkan yang lebih banyak di kalangan mereka adalah orang-orang yang mencukur habis jenggotnya. Dan ini nyata dalam realita.
Ketiga
Jika ada suatu hukum syar’i dahulu (di masa Nabi) ditetapkan karena sebab A misalnya. Dan hukum syar’i ini sesuai dengan fitrah atau sesuai dengan syi’ar-syi’ar Islam, maka perintah tersebut tetap berlaku walaupun sebab A sudah hilang.
Tidakkah Anda mengetahui tentang anjuran ar-romal (berjalan cepat) ketika thawaf. Dahulu diperintahkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ingin menampakkan ketangguhan dan kekuatan di depan kaum Musyrikin. Karena disebarkan gosip bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya datang dengan membawa penyakit demam dari Madinah yang membuat mereka lemah.
Namun setelah itu, tidak ada lagi motivasi yang demikian, tapi ar-romal tetap berlaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tetap melakukan ar-romal ketika haji wada’.
Kesimpulannya, seorang Mukmin ketika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, wajib bagi mereka untuk “sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan kami taat). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata, ‘Sami’na Wa Atha’na’ (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. An Nuur: 51)
Dan janganlah menjadi orang-orang yang mengatakan “sami’na wa ‘ashoyna” (kami mendengar namun kami akan durhakai). Atau orang yang mencari-cari alasan yang lemah atau udzur yang tidak ada asalnya. Sikap seperti ini menunjukkan ia tidak berserah diri secara total kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيم
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan Engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa: 65)
Dan saya tidak mengetahui bagaimana keadaan orang yang mengatakan syubhat seperti ini, apakah kelak di hari Kiamat ia bisa beralasan di depan Rabbnya. Maka wajib bagi kita untuk mendengar dan taat serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya di setiap keadaan.
Referensi: Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin (11/129 – 130).
Penerjemah: Yulian Purnama
Read more: Manhaj
Sumber: https://muslim.or.id/