Type Here to Get Search Results !

 


MUQADIMAH AQIDAH WASHITIYAH


Mengapa Kita Perlu Mempelajari Al-Aqidah Al-Washitiyyah?

Alim ulama dan penuntut ilmu tidaklah asing dengan kedudukan risalah al-Aqidah al-Wasithiyah yang merupakan karya Syaikh al-Islam Ahmad bin Abdil Haliim Ibnu Taimiyah rahimahullah. Meskipun ringkas, risalah ini menjelaskan prinsip-prinsip keimanan dan akidah yang menjadi pijakan generasi terbaik umat ini dengan sangat baik, sehingga dikatakan bahwa setiap keyakinan yang bertentangan dengan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah dalam risalah ini berarti telah menyelisihi jalan yang lurus.

Di masa yang semakin jauh dari masa kenabian Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, dimana semakin banyak kesesatan dalam akidah, maka kaum muslimin perlu mempelajari rincian akidah dan prinsip iman yang tertuang dalam risalah ini. Setidaknya ada empat alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama

Kandungan risalah ini berpijak pada al-Qur’an al-Karim, as-Sunnah, dan ijmak salaf, dalam lafazh dan maknanya. Syaikh al-Islam telah menerangkan keistimewaan itu ketika terjadi debat yang berlangsung antara beliau dan orang yang menentang risalah ini.

Beliau rahimahullah mengatakan,

وأنا تحريت في هذه العقيدة اتباع الكتاب والسنة

“Saya berupaya mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menyusun kitab al-Aqidah al-Wasithiyah ini.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 165]

Beliau rahimahullah juga mengatakan,

وكلّ لفظ ذكرته، فأنا أذكر به آية، أو حديثاً، أو إجماعاً سلفياً

“Saya senantiasa menyertakan ayat al-Quran, hadits, dan ijmak salaf untuk mendukung setiap lafazh yang disampaikan dalam risalah ini.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 189]

Kedua

Kandungan risalah ini merupakan hasil dan buah penelitian Syaikh al-Islam terhadap akidah salaf terkait Tauhid Asma’ wa Shifat dan prinsip keimanan yang mencakup keimanan pada hari akhir, takdir, sikap terhadap sahabat Nabi, dan pokok akidah dan keimanan lainnya. 

Beliau rahimahullah mengatakan,

ما جمعت إلا عقيدة السلف الصالح جميعهم

“Dalam risalah ini, saya hanya mengumpulkan seluruh akidah yang diyakini generasi salaf.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 169]

Ketiga

Ibnu Taimiyah rahimahullah telah mengerahkan jerih payah dalam mengompilasi thariqah, jalan beragama yang ditempuh oleh al-Firqah an-Naajiyah al-Manshuurah, Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, dalam risalah al-Aqidah al-Wasithiyah ini dengan sangat teliti. Bahkan beliau memberikan waktu bagi berbagai pihak yang tidak menyetujui risalah ini agar bisa mendatangkan hujjah bahwa akidah yang ditulis dalam risalah itu tidak sejalan dengan akidah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Beliau rahimahullah mengatakan,

قد أمهلت كل من خالفني في شيء منها ثلاث سنين فإن جاء بحرف واحد عن أحد من القرون الثلاثة -التي أثنى عليها النبي صلى الله عليه وسلم حيث قال: «خير القرون القرن الذي بعثت فيه ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم»- يخالف ما ذكرته فأنا أرجع عن ذلك

“Saya telah memberikan waktu tiga tahun kepada setiap orang yang tidak menyetujui apa yang tertulis dalam risalah ini. Apabila ia mampu mendatangkan satu bukti yang menyelisihi isi risalah ini dari tiga generasi terbaik umat yang dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya saya akan rujuk.” [Majmuu’ al-Fataawa, 3: 169]

Keempat  

Meskipun risalah ini tipis, namun isinya mencakup sebagian besar permasalahan akidah dan pokok-pokok akidah, yang dilengkapi dengan perilaku dan akhlak yang musti dijalani oleh Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Risalah ini banyak dipuji oleh alim ulama, di antara mereka adalah:

Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan,

وقع الإتفاق على أن هذه معتقد سلفي جيد

“Ada kesepakatan bahwa apa yang tertuang dalam risalah al-Aqidah al-Wasithiyah adalah mu’taqad salafi yang benar.” [al-Uqud ad-Durriyah, hlm. 212]

Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan,

وقع الإتفاق على أن هذه عقيدة سلفي سنية سلفية

“Ada kesepakatan bahwa akidah yang tertuang dalam risalah ini adalah akidah sunniyah salafiyah.” [ad-Dzail ‘alaa Thabaqaat al-Hanaabilah, 2: 396]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’diy rahimahullah mengatakan,

جمعت على اختصارها ووضوحها جميع ما يجب اعتقاده من أصول الإيمان وعقائده الصحيحة

“Dengan keringkasan isi dan kejelasan bahasa, risalah ini mengumpulkan seluruh keyakinan dalam pokok-pokok keimanan dan akidah shahihah yang wajib diyakini.” [at-Tanbiihaat al-Lathiifah, hlm. 6]

Alasan-alasan di atas setidaknya cukup memotivasi kaum muslimin untuk mempelajari risalah ini agar tidak keluar dari jalan yang lurus, karena setiap orang yang mempelajari isi risalah al-Aqidah al-Wasithiyah maka dia telah menguasai pokok-pokok keimanan yang menjadi inti Rukun Iman. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Firanda Andirja hafizahullah [Kajian Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah].

Demikian yang dapat dituliskan. Semoga bermanfaat.


Tanya Jawab Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Dimana Allah ?

Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad ibnu Taimiyyah rohimahulloh pernah ditanya mengenai dua orang yang berselisih tentang masalah akidah/keyakinan. Seorang di antaranya berkata, “Orang yang tidak meyakini Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit adalah orang sesat.” Sedangkan yang satunya berkata, “Sesungguhnya Alloh itu tidak dibatasi oleh suatu tempat.” Padahal mereka berdua adalah sama-sama pengikut mazhab Syafi’i. Maka, jelaskanlah kepada kami tentang akidah Imam Syafi’i rodhiallohu ‘anhu yang kami ikuti dan bagaimanakah akidah yang benar?

Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

Segala puji bagi Alloh, keyakinan Asy Syafi’i rohimahulloh dan keyakinan para pendahulu Islam seperti Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan juga menjadi keyakinan para guru yang ditiru seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Abu Sulaiman Ad Darani, Sahl bin Abdullah At Tusturi dan selain mereka adalah sama. Sesungguhnya di antara ulama tersebut dan yang seperti mereka tidak terdapat perselisihan dalam pokok-pokok agama.

Begitu pula Abu Hanifah rohmatullohi ‘alaihi, sesungguhnya keyakinan beliau dalam masalah tauhid, takdir dan perkara lainnya adalah sesuai dengan keyakinan para ulama di atas. Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para ulama itu adalah keyakinan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, itulah keyakinan yang dikatakan oleh Al Kitab dan As Sunnah. Asy Syafi’i mengatakan di bagian awal Muqoddimah Kitab Ar Risalah:

الحمد لله الَّذِي هُوَ كَمَا وصف بِهِ نفسه، وفوق مَا يصفه بِهِ خلقه

“Segala puji bagi Alloh yang (terpuji) sebagaimana sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sifat-sifat yang tidak bisa digambarkan oleh makhluknya.”

Dengan demikian beliau rohimahulloh menerangkan bahwa Alloh itu memiliki sifat sebagaimana yang Dia tegaskan di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal. Beliau mengatakan: Alloh tidak diberi sifat kecuali dengan yang Dia tetapkan sendiri, atau sifat yang diberikan oleh Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai tahrif (penyelewengan makna), tanpa takyif (memvisualisasikan), tanpa tamsil (menyerupakan dengan makhluk), tetapi mereka menetapkan nama-nama terbaik dan sifat-sifat luhur yang Dia tetapkan bagi diri-Nya. Mereka yakini bahwasanya:

لَيْسَ كمثله شيء وَهُوَ السميع البصير

“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai dengan-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” baik dalam sifat-sifatNya, Zat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatanNya. Kemudian beliau berkata: Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dalam waktu enam masa kemudian Dia bersemayam di atas Arsy; Dialah yang telah benar-benar berbicara dengan Musa; Dialah yang telah menampakkan diri kepada gunung dan gunung itu pun menjadi hancur terbelah karenanya, tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat sama persis dengan-Nya, ilmu-Nya tidak sama dengan ilmu siapa pun, kemampuan-Nya tidak sama dengan kemampuan siapa pun, dan kasih sayang-Nya juga tidak sama dengan kasih sayang siapa pun, bersemayam-Nya juga tidak sama dengan bersemayamnya siapa pun, pendengaran dan penglihatan-Nya juga tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan siapa pun. Ucapan-Nya tidak sama dengan ucapan siapa pun, penampakan diri-Nya tidak sebagaimana penampakan siapa pun.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menginformasikan kepada kita di surga itu ada daging, susu, madu, air, sutera dan emas. Dan Ibnu Abbas telah berkata,

لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مما فِي الآخرة إِلاَّ الأسماء.

“Tidak ada suatu pun di dunia ini yang ada di akhirat nanti kecuali hanya sama namanya saja.”

Apabila makhluk-makhluk yang gaib ini ternyata tidak sama dengan makhluk-makhluk yang tampak ini -padahal namanya sama- maka Sang Pencipta tentu sangat jauh berbeda dibandingkan dengan makhluk-Nya, inilah perbedaan Pencipta dengan makhluk yang diciptakan, meskipun namanya sama.

Alloh telah menamai diri-Nya Hayyan ‘Aliiman (Maha Hidup, Maha Mengetahui), Samii’an Bashiiran (Maha Mendengar, Maha Melihat), dan nama-Nya yang lain adalah Ra’uuf Rahiim (Maha Lembut, Maha Penyayang); Alloh itu hidup tidak seperti hidup yang dialami oleh makhluk, pengetahuan Alloh tidak seperti pengetahuan makhluk, pendengaran Alloh tidak seperti yang dialami pendengaran makhluk, penglihatan Alloh tidak seperti penglihatan makhluk, kelembutan Alloh tidak seperti kelembutan makhluk, kasih sayang Alloh tidak seperti kasih sayang makhluk.

Nabi bersabda dalam konteks hadits budak perempuan yang cukup populer: “Di mana Alloh?” Budak tersebut menjawab, “(Alloh) di atas langit.” Akan tetapi bukan berarti maknanya Alloh berada di dalam langit, sehingga langit itu membatasi dan meliputi-Nya. Keyakinan seperti ini tidak ada seorang pun ulama salaf dan ulama yang mengatakannya; akan tetapi mereka semuanya bersepakat Alloh berada di atas seluruh langit ciptaan-Nya. Dia bersemayam (tinggi) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya; tidak terdapat sedikit pun unsur Dzat-Nya di dalam makhluk-Nya, begitu pula, tidak terdapat sedikit pun unsur makhluk-Nya di dalam Dzat-Nya.

Malik bin Anas pernah berkata:

إن الله فَوْقَ السماء، وعلمه فِي كلّ مكان

“Sesungguhnya Alloh berada di atas langit dan ilmu-Nya berada (meliputi) setiap tempat.”

Maka barang siapa yang meyakini Alloh berada di dalam langit dalam artian terbatasi dan terliputi oleh langit dan meyakini Alloh membutuhkan ‘Arsy atau butuh terhadap makhluk lainnya, atau meyakini bersemayamnya Alloh di atas ‘Arsy-Nya sama seperti bersemayamnya makhluk di atas kursinya; maka orang seperti ini adalah sesat, pembuat bid’ah dan jahil (bodoh). Barang siapa yang meyakini kalau di atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan yang disembah, di atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan yang orang-orang sholat dan bersujud kepada-Nya, atau meyakini Muhammad tidak pernah diangkat menghadap Tuhannya, atau meyakini kalau Al Quran tidak diturunkan dari sisi-Nya, maka orang seperti ini adalah Mu’aththil Fir’auni (penolak sifat Alloh dan pengikut Fir’aun), sesat dan pembuat bid’ah.

Ibnu Taimiyah berkata setelah penjelasan yang panjang, Orang yang mengatakan, “Barang siapa tidak meyakini Alloh di atas langit adalah sesat”, jika yang dimaksudkan adalah “barang siapa yang tidak meyakini Alloh itu di dalam lingkup langit sehingga Alloh terbatasi dan diliputi langit” maka perkataannya itu keliru. Sedangkan jika yang dimaksudkan dengan ucapan itu adalah “barang siapa yang tidak meyakini apa yang tercantum di dalam Kitab dan Sunnah serta telah disepakati oleh generasi awal umat ini dan para ulamanya -yaitu Alloh berada di atas langit bersemayam di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya- maka dia benar. Siapa saja yang tidak meyakininya berarti mendustakan Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti selain orang-orang yang beriman. Bahkan sesungguhnya dia telah menolak dan meniadakan Tuhannya; sehingga pada hakikatnya tidak memiliki Tuhan yang disembah, tidak ada Tuhan yang dimintainya, tidak ada Tuhan yang ditujunya.”

Padahal Alloh menciptakan manusia -baik orang Arab maupun non-Arab- yang apabila berdoa maka akan mengarahkan hatinya ke arah atas, bukan ke arah bawah. Oleh karena itu ada orang bijak mengatakan: Tidak pernah ada seorang pun yang menyeru: “Ya Alloh!!” kecuali didapatkan di dalam hatinya -sebelum lisan tergerak- dorongan ke arah atas dan hatinya tidak terdorong ke arah kanan maupun kiri.

Ahlu ta’thil dan ta’wil (penolak dan penyeleweng sifat Alloh) memiliki syubhat dalam hal ini. Mereka benturkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan syubhat ini, mereka tentang kesepakatan salaful ummah dan para ulama. Mereka tentang fitrah yang telah Alloh anugerahkan kepada hamba-hambaNya, mereka tentang sesuatu yang telah terbukti dengan akal sehat. Dalil-dalil ini semua bersepakat bahwa Alloh itu berada di atas makhluk-Nya, tinggi di atasnya. Keyakinan semacam ini Alloh anugerahkan sebagai fitrah yang dimiliki oleh orang-orang tua bahkan anak-anak kecil dan juga diyakini oleh orang badui; sebagaimana Alloh menganugerahkan fitrah berupa pengakuan terhadap adanya (Alloh) Pencipta Yang Maha tinggi. Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih:

كلّ مولود يولد عَلَى الفطرة؛ فأبواه يهودانه، أَوْ ينصّرانه، أَوْ يمجسانه، كَمَا تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هَلْ تحسّون فِيهَا من جدعاء؟

“Semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah; Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang melahirkan anak dengan utuh tanpa ada anggota tubuh yang hilang, apakah menurutmu ada yang hilang telinganya (tanpa sebab sejak dari lahirnya)?”

Kemudian Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu berkata: Jika kalian mau bacalah,

فطرة الله الَّتِي فطر النَّاس عَلَيْهَا، لاَ تبديل لخلق الله

“Itulah fitrah Alloh yang manusia diciptakan berada di atasnya, tidak ada penggantian dalam fitrah Alloh.”

Inilah maksud dari perkataan Umar bin Abdul ‘Aziz: “Ikutilah agama orang-orang badui dan anak-anak kecil yang masih asli, yakinilah fitrah yang telah Alloh berikan kepada mereka, karena Alloh menetapkan bahwa fitrah hamba fitrah dan untuk memperkuat fitrah bukan untuk menyimpangkan dan juga bukan untuk mengubahnya.”

Sedangkan musuh-musuh para rosul seperti kaum Jahmiyah Fir’auniyah dan lain-lain itu bermaksud mengganti dan mengubah fitrah yang Alloh berikan, mereka lontarkan berbagai syubhat/kerancuan dengan kalimat-kalimat yang tidak jelas sehingga banyak orang itu tidak mengerti maksudnya; dan tidak bisa membantah mereka.

Sumber kesesatan mereka adalah penggunaan istilah-istilah yang bersifat global dan tidak bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah pula dikatakan oleh salah seorang ulama kaum muslimin, seperti istilah tahayyuz, jisim (jasad/raga), jihhah (arah) dan lain sebagainya.

Barang siapa yang mengetahui bantahan syubhat mereka hendaklah dia menjelaskannya, namun barang siapa yang tidak mengetahuinya hendaknya tidak berbicara dengan mereka dan janganlah menerima kecuali yang berasal dari Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana yang difirmankan Alloh,

وَإِذَا رأيت الَّذِينَ يخوضون فِي آياتنا فأعرض عنهم حتّى يخوضوا فِي حديثٍ غيره

“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Kami maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mengganti pembicaraan.”

Barang siapa berbicara tentang Alloh, Nama dan Sifat-Nya dengan pendapat yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah maka dia termasuk orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Alloh secara batil.

Kebanyakan dari mereka itu menisbatkan kepada para ulama kaum muslimin pendapat-pendapat yang tidak pernah mereka katakaberbagai hal yang tidak pernah mereka katakan, kemudian mereka katakan kepada para pengikut imam-imam itu: inilah keyakinan Imam Fulan; oleh karena itu apabila mereka dituntut untuk membuktikannya dengan penukilan yang sah dari para imam niscaya akan terbongkar kedustaannya.

Asy Syafi’i mengatakan, “Hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada Ahli ilmu kalam (baca: ahli filsafat) menurutku adalah dipukuli dengan pelepah kurma dan sandal lalu diarak mengelilingi kabilah-kabilah dan kaum-kaum sambil diumumkan: ‘Inilah balasan/hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan malah menekuni ilmu kalam.'”

Abu Yusuf Al Qadhi berkata, “Barang siapa menuntut ilmu agama dengan belajar ilmu kalam dia akan menjadi zindiq (baca: sesat).”

Ahmad mengatakan “Tidak akan beruntung orang yang menggeluti ilmu kalam.”

Sebagian ulama mengatakan: Kaum mu’aththilah/penolak sifat Alloh itu pada hakikatnya adalah penyembah sesuatu yang tidak ada, sedangkan kaum mumatstsilah/penyerupa sifat Alloh dengan sifat makhluk itu adalah penyembah arca. Mu’aththil itu buta, dan mumatstsil itu rabun; padahal agama Alloh itu berada antara sikap melampaui batas/ghuluw dan sikap meremehkan.

Alloh ta’ala berfirman,

وكذلك جعلناكم أمّة وسطاً

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.”

Posisi Ahlusunnah di dalam Islam seperti posisi Islam di antara agama-agama.

Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

(Majmu’ Fatawa V/256-261)

Dialihbahasakan oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi, S. Si


Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Nasab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.

Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 661 Hijriyyah di Haron. Ketika berumur 7 tahun, beliau berpindah ke Damaskus bersama ayahnya dalam rangka melarikan diri dari pasukan Tartar yang memerangi kaum muslimin. Beliau tumbuh di keluarga yang penuh ilmu, fiqih, dan agama. Buktinya adalah banyak dari ayah, kakek, saudara, dan banyak dari paman beliau adalah ulama yang terkenal. Di antaranya adalah kakek beliau yang jauh (kakek nomor 4), yaitu Muhammad bin Al Khodr, juga Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyyah dan Abdul Ghoni bin Muhammad bin Taimiyyah. Juga kakek beliau yang pertama, yaitu Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Majdud Diin -nama kunyahnya adalah Abul Barokaat-, memiliki beberapa tulisan di antaranya : Al Muntaqo min Al Ahadits Al Ahkam (kitab ini disyarh oleh Imam Syaukani dengan judul Nailul Author, pen), Al Muharror dalam bidang fiqih, Al Muswaddah dalam bidang ushul fiqih, dan lainnya. Begitu juga dengan ayah beliau, Abdul Halim bin Abdus Salam Al Haroni dan saudaranya, Abdurrahman dan lain-lain.

Di lingkungan ilmiah dan sholihah ini, beliau tumbuh. Beliau memulai menuntut ilmu pertama kali pada ayahnya dan juga pada ulama-ulama Damaskus. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sejak kecil. Beliau juga telah mempelajari hadits, fiqih, ilmu ushul, dan tafsir. Beliau dikenal sebagai orang yang cerdas, memiliki hafalan yang kuat dan memiliki kecerdasan sejak kecil. Kemudian beliau intensif mempelajari ilmu dan mendalaminya. Sehinggga terkumpul dalam diri beliau syarat-syarat mujtahid ketika masa mudanya. Maka tidak lama kemudian beliau menjadi seorang imam yang diakui oleh ulama-ulama besar dengan ilmu, kelebihan, dan keimamannya dalam agama, sebelum beliau berusia 30 tahun.

Karya Ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Dalam bidang penulisan buku dan karya ilmiah, beliau telah meninggalkan bagi umat Islam warisan yang besar dan bernilai. Tidak henti-hentinya para ulama dan para peneliti mengambil manfaat dari tulisan beliau. Sampai sekarang ini telah terkumpul berjilid-jilid buku, risalah (buku kecil), fatawa dan berbagai masa’il (pembahasan suatu masalah) dari beliau dan ini yang sudah dicetak. Sedangkan yang tersisa dari karya beliau yang masih belum diketahui atau tersimpan dalam bentuk manuskrip masih banyak sekali.

Beliau tidaklah membiarkan satu bidang ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi umat dan mengabdi pada umat, kecuali beliau menulisnya dan berperan serta di dalamnya dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Hal seperti ini jarang sekali ditemui kecuali pada orang-orang yang jenius dan orang yang jenius adalah orang yang sangat langka dalam sejarah.

Teman dekat, guru, murid beliau bahkan musuh beliau, telah mengakui keluasan penelaahan dan ilmu beliau. Buktinya jika beliau berbicara tentang suatu ilmu atau cabang ilmu, maka orang yang mendengar menyangka bahwa beliau tidak mumpuni pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan ketelitian dan pendalaman beliau terhadap ilmu tersebut. Jika seseorang meneliti tulisan dan karya beliau dan mengetahui amal beliau berupa jihad dengan menggunakan tangan dan lisan, dan pembelaan terhadap Islam serta mengetahui tentang ibadah dan dzikir beliau, maka sungguh dia akan sangat terkagu-kagum dengan keberkahan waktu dan kuatnya kesabaran beliau. Maha Suci Allah yang telah mengkarunia beliau berbagai karunia tersebut.

Jihad dan Pembelaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk Islam
Banyak orang tidak mengetahui sisi amaliyyah dari kehidupan beliau. Banyak orang hanya mengenal beliau sebagai ulama, penulis, dan ahli fatwa melalui karya beliau yang tersebar. Padahal beliau memiliki sikap-sikap yang diakui dalam berbagai bidang yang lain, yang beliau  ikut berperan serta dalam menolong dan memuliakan kaum muslimin. Di antaranya : beliau berjihad dengan pedang dan menyemangati kaum muslimin untuk berperang, baik dengan perkataan dan perbuatan beliau. Beliau berputar-putar dengan pedangnya di medan pertempuran dengan menunggang kuda dengan sangat lihai dan berani. Orang-orang yang menyaksikan beliau dalam peperangan penaklukkan kota ’Ukaa, terkagum-kagum dengan keberaniannya dan serangannya terhadap musuh.

Adapun jihad beliau dengan pena dan lisan. Maka beliau rahimahullah telah berdiri di depan musuh-musuh Islam dari penganut berbagai agama, aliran, isme yang bathil, dan ahlul bid’ah bagaikan gunung yang kokoh. Kadang dengan perdebatan langsung, terkadang pula melalui tulisan. Beliau menghancurkan syubhat-syubhat (racun pemikiran) mereka dan mengembalikan tipu daya mereka –bilhamdillah-. Beliau menghadapi ahli filsafat, bathiniyyah baik dari golongan sufiyyah, isma’iliyyah, , nashiriyyah, dan selain mereka. Sebagaimana beliau juga menghadapi rofidhoh dan golongan yang sesat (atheis). Beliau hancurkan syubhat-syubhat ahlul bid’ah yang diadakan di sekeliling masyahid (kuburan yang ramai untuk diziarahi), kuburan secara umum, dan semacamnya. Sebagaimana beliau menghadapi jahmiyyah, mu’tazilah, dan beliau membantah ahlul kalam dan asya’iroh.

Orang yang melihat sisi ini dari kehidupan beliau hampir-hampir menegaskan tidak ada lagi yang waktu yang sia-sia yang tersisa dalam kehidupan beliau. Beliau diperangi, diusir, disakiti, dan dipenjara berkali-kali di jalan Allah. Bahkan tatkala menghadapi ajal, beliau berada di penjara Al Qol’ah, di Damaskus.

Tak ada  henti-hentinya –bilhamdillah– bantahan beliau selalu menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi musuh kebenaran dan orang yang menyimpang. Karena bantahan beliau ini selalu disandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam serta petunjuk salafush sholih, dengan kuatnya istinbath (penyimpulan hukum), pendalilan yang sangat bagus, alasan (argumen) secara syar’i dan akal, dan luasnya ilmu beliau yang telah Allah karuniai.

Banyak dari paham yang merusak yang laris manis pada hari ini di tengah-tengah kaum muslimin merupakan perpanjangan tangan dari firqoh-firqoh dan isme-isme (pemahaman-pemahaman) yang beliau hadapi dan semisalnya pula dihadapi oleh pendahulu kita yang sholih. Oleh karena itu, semestinya para da’i yang ingin memperbaiki umat jangan sampai lalai dari sisi ini. Seharusnya mereka mengambil faedah dari bantahan-bantahan yang terlebih dahulu dibuat oleh para pendahulu mereka yang sholih.

Tidaklah aku (Syaikh Nashir Al Aql, pen) berlebih-lebihan dengan yang akan aku katakan. Bahwasanya tak henti-hentinya kitab-kitab dan bantahan-bantahan beliau adalah senjata yang paling kuat untuk menghadapi firqoh-firqoh sesat dan isme-isme yang merusak ini, yang laris manis yang mulai muncul lagi pada hari ini. Firqoh dan isme ini merupakan perpanjangan dari masa lalu. Akan tetapi di antara firqoh-firqoh itu ada yang berbaju dengan baju modern dan hanya merubah nama mereka saja. Misalnya Ba’tsiyyah (sebuah aliran sosialis/sekuler, pen), Isytiroqiyyah (sosialisme), nasionalisme, Qodaniyyah (Ahmadiyyah), Baha’iyyah (aliran sesat di India) dan firqoh-firqoh yang lain. Dan ada pula yang masih tetap dengan slogannya yang dulu seperti Syi’ah, Rofidhoh, Nashiriyyah, Isma’iliyyah, Khowarij dan lain-lain.

Sifat-Sifat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Di samping aspek ilmu, pemahaman agama, dan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan yang baik dan melarang dari kemungkaran) yang terkenal dari beliau, sungguh Allah telah mengkaruniai beliau sifat yang terpuji yang sudah dikenali dan diakui oleh banyak orang. Beliau adalah orang yang dermawan dan mulia, selalu mengutamakan orang-orang yang membutuhkan melebihi dari diri beliau sendiri, baik dalam hal makanan, pakaian, dan selainnya. Beliau adalah orang yang sering beribadah dan membaca Al Qur’an. Beliau adalah orang yang wara’ dan zuhud, hampir-hampir beliau tidak memiliki sesuatu pun dari kesenangan dunia, kecuali yang merupakan kebutuhan pokok (primer) dan sifat seperti ini sudah diketahui oleh orang-orang pada zamannya, sampai-sampai orang awam pun mengetahuinya. Beliau juga orang yang tawadhu’ dalam penampilan, pakaian, dan interaksi beliau dengan orang lain. Beliau tidak pernah memakai pakaian yang mewah atau pun  jelek (beliau selalu berpakaian yang tengah-tengah, tidak mewah dan tidak jelek,pen). Beliau tidaklah memaksa-maksakan diri (berbasa-basi) terhadap orang yang beliau temui. Beliau terkenal sebagai orang yang karismatik dan keras  dalam membela kebenaran. Beliau memiliki karisma yang luar biasa di depan penguasa, ulama, dan orang awam. Setiap orang yang melihat beliau, akan langsung mencintai, segan, dan menghormati beliau, kecuali ahlil bid’ah yang diliputi rasa dengki.

Sebagaimana beliau terkenal sebagai orang yang sangat sabar di jalan Allah, beliau juga memiliki firasat yang kuat dan memiliki do’a yang mustajab. Beliau juga memiliki karomah lain yang diakui. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan menempatkannya di surga-Nya.

Masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Sungguh beliau –rahimahullah– telah hidup di suatu masa yang terdapat banyak bid’ah dan kesesatan. Banyak isme-isme yang batil berkuasa. Semakin bertambah pula syubhat (racun pemikiran). Dan kebodohan, ta’ashub (fanatik) dan taqlid buta (mengikuti seseorang tanpa dalil) semakin tersebar. Pada saat itu pula, kaum muslimin diperangi oleh pasukan Tartar dan pasukan Salib (dari orang-orang Eropa).

Kita akan mendapati potret masa beliau dengan jelas dan gamblang melalui buku-buku beliau yang ada di hadapan kita. Karena beliau sangat perhatian dengan urusan kaum muslimin. Beliau juga berperan serta menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan pena, lisan dan tangannya. Barang siapa yang memperhatikan tulisan-tulisan beliau, maka akan mendapati gambaran bentuk ini pada masa beliau:
  • Semakin banyaknya bid’ah dan syirik, lebih-lebih kesyirikan yang terdapat di sekitar masyahid dan kuburan yang diziarahi dan palsu. Juga i’tiqod (keyakinan) yang batil terhadap orang yang hidup dan yang mati. Mereka diyakini dapat memberi manfaat dan dapat memberi kesusahan. Maka mereka diseru/didoai sebagai sesembahan selain Allah.
  • Tersebarnya filsafat, penyimpangan, dan perdebatan.
  • Tasawuf dan toriqoh-toriqoh sufiyah yang sesat mengusasai orang-orang awam. 
  • Tersebar pula di sana isme-isme dan pemikiran bathiniyyah.
  • Rofidhoh semakin berperan dalam urusan kaum muslimin. Mereka menyebarkan bid’ah dan kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka mengendorkan semangat umat untuk berjihad. Bahkan mereka membantu pasukan Tartar yang merupakan musuh kaum muslimin.
Pada akhirnya, kita lihat semakin kuatnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan sebab beliau. Beliau memotivasi dan memberikan semangat kepada Ahlus Sunnah. Hal ini memiliki pengaruh yang bagus bagi kaum muslimin hingga saat ini dalam menghadapi bid’ah dan kemungkaran, amar ma’ruf nahi munkar, menasehati pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.

Syaikhul Islam di zamannya tegar dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan ini dengan sikap yang telah diakui. Beliau memerintahkan, melarang, menasehati, menjelaskan sehingga Allah memperbaiki banyak keadaan kaum muslimin dengan tangan beliau. Allah telah menolong sunnah dan ahlus sunnah melalui beliau, –walhamdulillah-.

Wafat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Sesungguhnya di antara tanda kebaikan orang sholih dan diterimanya dia di tengah-tengah kaum muslimin adalah : orang-orang merasa kehilangannya tatkala dia meninggal dunia. Oleh karena itu, para salaf menilai banyaknya orang yang menyolati merupakan tanda kebaikan dan diterimanya orang tersebut. Oleh karena itu, Imam Ahmad –rahimahullah– mengatakan : ”Katakan pada Ahlul Bid’ah, perbedaan antara kami dan kalian adalah pada hari kematian”, yaitu orang-orang akan merasakan kehilangan Imam Ahlus Sunnah, apabila imam itu meninggal akan terlihat banyaknya orang yang mengiringi jenazahnya ke pemakaman. Dan sungguh realita telah menunjukkan hal itu. Belum ada yang pernah terdengar seperti kematian dua imam (yang sama-sama bernama Ahmad, pen) yaitu Imam Ahmad bin Hanbal dan Ahmad bin Taimiyyah ketika keduanya meninggal. Begitu banyak orang yang mengiringi ke pemakaman dan keluar bersama jenazah keduanya serta menyolati keduanya. Ini bukanlah suatu yang aneh karena kaum muslimin adalah saksi Allah di bumi ini.

Demikianlah Syaikhul Islam –rahimahullah– wafat, dalam keadaan beliau dipenjara di penjara Al Qol’ah, Damaskus, pada malam Senin, 20 Dzulqo’dah 728 Hijriyah. Seluruh penduduk Damaskus dan sekitarnya merayap untuk menyolati dan mengiringi jenazah beliau ke pemakaman. Berbagai referensi yang menyebutkan kematian beliau sepakat bahwa yang menghadiri pemakaman beliau adalah jumlah yang sangat besar sekali yang tidak bisa dibayangkan jumlahnya.

Semoga Allah merahmati dan memberi balasan dengan kebaikan yang banyak atas jasa beliau terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sumber penulisan biografi ini :
  • Al I’lam, Khoiruddin Az Zarkali. (1/144)
  • Al A’laam Al ’Aliyyah fii Manaqib Ibnu Taimiyyah, Al Hafidz Umar Al Bazzar, ditahqiq oleh Asy Syawisy
  • Al Bidayatu wan Nihayah, Ibnu Katsir. (135-139/14)
  • Syadzarotudz Dzahab, Ibnul ’Ammaad. (80-86/6)
  • Fawatul wifayaat, Muhammad Ibnu Syakir Al Kutubi. (74-80/1)
  • Kitabudz Dzail ’ala Thobaqotil Hanabilah, Abul Faroj Abdurrahman bin Ahmad Al Baghdady. (387 – 408)
  • Manaqib Al Imam Ahmad bin Hanbal. Ibnul Jauzi, ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki.
Diterjemahkan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim Li Mukholafatil Ashabil Jahim

yang ditahqiq dan dita’liq oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ’Aql -hafidzhohullah-

– Alhamdu lillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat –

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc 



Pujian Para Ulama Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

(Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Keharuman nama beliau tidak hanya diakui oleh sahabat dan murid-murid beliau. Bahkan sebagian seteru beliau juga memberikan sanjungan tidak hanya berkaitan dengan keilmuan beliau tapi juga pribadinya.

Di antara mereka adalah Al-Qadhi Ibnu Makhluf yang juga lawan beliau, sebagaimana telah dinukil sebelumnya.
Ibnu Daqiqil ‘Ied, seorang ulama yang ahli dalam dua mazhab; Maliki dan Syafi’i, menceritakan pengalamannya ketika berkumpul dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Saya lihat dirinya, dalil itu seolah-olah ada di depan matanya. Dia ambil mana yang dia mau dan dia tinggalkan mana yang dikehendakinya.”

Ibnu Az-Zamlakani, juga mengatakan: “Terkumpul pada dirinya (Ibnu Taimiyah) syarat-syarat seorang mujtahid secara sempurna. Dia mempunyai andil besar dalam karya-karya bermutu, ungkapannya yang bernas dan sistematis.”
Secara khusus, beliau memberi pujian terhadap karya Syaikhul Islam yang berjudul Raf’ul Malam ‘an A’immatil A’lam. Kata beliau: “(Ini) adalah karya tulis Asy-Syaikh Al-Imam, Al-‘Alim Al-‘Allamah, tidak ada tandingannya, hafizh mujtahid, tokoh zahid ahli ibadah, teladan, imam para imam, panutan umat, keagungan ulama, pewaris para Nabi, barakah Islam, hujjatul Islam, pemberantas bid’ah, menghidupkan sunnah. Bagian dari anugerah besar yang Allah berikan kepada kita, yang dengannya tegaklah hujjah terhadap musuh-musuh-Nya.”

Lalu beliau menulis beberapa bait memuji Syaikhul Islam:

مَاذَا يَقُولُ الْوَاصِفُوْنَ لَهُ * وَصِفَاتُهُ جَلَّتْ عَنِ الْحَصْرِ
هُوَ حُجَّةٌ للهِ قَاهِرَةٌ *  هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَةُ الدَّهْرِ
هُوَ آيَةٌ ِللْخَلْقِ ظَاهِرَةٌ * أَنْوَارُهَا أَرْبَتْ عَلَى الْفَجْرِ

Apa yang kan diuraikan mereka yang mensifatkannya

Sedangkan sifat-sifatnya melampaui batasan

Dia adalah hujjah Allah yang menaklukkan

Dia adalah keajaiban masa di tengah-tengah kita

Dia adalah satu ayat Allah yang nyata bagi makhluk-Nya

Cahayanya mengalahkan kemilau fajar

Ibnu Az-Zamlakani juga menyatakan: “Apabila dia ditanya tentang satu cabang ilmu, niscaya orang yang mendengar dan melihatnya pasti menyangka Ibnu Taimiyah tidak punya ilmu lain kecuali itu, dan memastikan bahwa tidak ada satupun yang memahami seperti dia. Ahli fikih dari berbagai mazhab, jika berdiskusi dengannya, niscaya mereka memetik faedah dari beliau hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui. Tidak pula pernah terdengar bahwa beliau berdebat dengan seseorang lalu kalah. 

Jika dia membahas satu cabang ilmu –baik ilmu syariat atau lainnya–, niscaya beliau mengungguli orang-orang yang ahli di bidang tersebut. Beliau memiliki kelebihan dalam karya tulis, ungkapan yang berisi, runut, juga dalam pembagian dan pejelasan.”

As-Subki, setelah mendapat teguran dari syaikhnya, Al-Imam Adz-Dzahabi, dia mengatakan: “Adapun ucapan sayyidi (tuanku) tentang syaikh (Ibnu Taimiyah), maka hamba menyaksikan besarnya kedudukan beliau, luasnya ilmu beliau dalam hal syariat maupun logika, juga kejeniusannya, ijtihadnya, yang semua itu beliau capai melampaui keadaan yang disifatkan orang. 

Hamba senantiasa mengatakan bahwa kedudukan beliau dalam diri hamba amatlah agung dan lebih mulia dari itu. Seiring dengan apa yang Allah  berikan kepada beliau, berupa sifat zuhud, wara’, diyanah (pengamalan terhadap agama), membela al-haq, berdiri di atas kebenaran tanpa tujuan lain, serta perjalanannya di atas cara hidup kaum salaf, serta capaiannya yang luar biasa, yang sangat jarang ditemukan seperti itu di zaman ini, bahkan di zaman kapanpun.”

Tajuddin As-Subki sendiri merasa bangga ketika Al-Mizzi menulis biografi ayahnya Taqiyuddin As-Subki dengan gelar Syaikhul Islam, dan tidak menuliskan gelar ini kecuali hanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ayahnya As-Subki. Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang mubtadi’, zindiq apalagi kafir, tentulah dia tidak rela ayahnya disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah.

Al-‘Allamah Al-Imam Qadhi Qudhah Mesir dan Syam, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ash-Shafi ‘Utsman Ibnul Hariri Al-Anshari Al-Hanafi menegaskan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul Islam, siapa lagi?”

Al-Imam Al-Mizzi (penyusun Tahdzibul Kamal) menyatakan pujiannya: “Saya tidak pernah melihat tokoh seperti dia. Diapun tidak melihat ada yang seperti dirinya. Saya tidak pernah melihat tokoh yang paling tahu tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah serta paling teguh mengikuti keduanya daripada beliau.”

Seorang syaikh yang shalih, ahli ibadah, Abu Thahir Muhammad Al-Ba’li Al-Hanbali t membawakan beberapa bait syair, memuji Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara pujian beliau:

يَا ابْنَ تَيْمِيَّةَ ياَ أَنْصَحَ الْعُلَمَا * يَا مَنْ لِأَسْرَارِ دِيْنِ اللهِ قَدْ فَهِمَا
يَا آيَةً ظَهَرَتْ فِي اْلكَوْنِ بَاهَرَةً   * لاَ ِزلْتَ فِي سِلْكِ دِيْنِ اللهِ مُنْتَظِمًا
وَكُنْتَ وَاسِطَةً فِي عَقْدِهِ أَبَدَا  * تُزِيْلُ مِنْهُ اْلأذَىَ وَاْلفَحْشَ وَالسَّقَمَا
جَمَعْتَ مِنْهُ الَّذِي قَد كَانَ فَرَّقَهُ   * قَوْمٌ رَأَوْهُ هُدًى مِنْهُ وَكَانَ عَمَى

Hai Ibnu Taimiyah, hai ulama yang banyak memberi nasihat

Hai orang yang paham rahasia dien Allah

Hai ayat yang nampak cemerlang di alam semesta

Engkau senantiasa tersusun di dalam dien Allah ini

Engkau menjadi perantara dalam menguatkannya selamanya

Engkau lenyapkan kotoran darinya, juga kekejian dan kerusakan

Engkau kumpulkan dari dien ini apa yang dahulu diserakkan

Oleh kelompok yang menyangkanya hidayah padahal dia buta

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani juga mengatakan (Fathul Bari 6/289): “…tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam buku-buku hadits. Hal ini telah diperingatkan oleh Al-‘Allamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.”

Di dalam kitab lainnya (At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai Al-Hafizh.

Jalaluddin As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain) mengatakan: “Demi Allah, belum pernah kedua mata saya melihat orang yang paling luas ilmunya dan paling kuat kecerdasannya daripada seseorang yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap zuhudnya dalam berpakaian, makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq (kebenaran) dan berjihad dengan segenap kemampuannya.”

Kata beliau juga: “Ibnu Taimiyah adalah seorang syaikh, imam, Al-‘Allamah, hafizh, kritikus, ahli fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan, salah seorang tokoh yang langka di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius dan ahli zuhud yang sulit dicari tandingannya.”

Terakhir, perhatikanlah ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki) tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika menegur orang yang mencerca Ibnu Taimiyah: 

“Demi Allah, hai Fulan. Tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa nafsunya dari al-haq setelah dia mengetahuinya.”
Jadi, hanya ada dua kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah; Orang jahil yang tidak mengerti apa yang dia katakan, atau orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sehingga ilmu dan kebenaran yang diketahuinya, tentang pribadi Syaikhul Islam atau pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat, kedengkian, dan kesesatan bid’ah yang diyakininya. 

Wallahul musta’an.

Wafat dalam Penjara. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menghabiskan hidupnya dengan penuh kesabaran, rasa syukur dan perjuangan, baik dalam keadaan susah maupun senang. Tidak sekalipun beliau ber-mujamalah (menjilat) dalam amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak pernah beliau mundur dari perkataan yang haq, selamanya. Sikap terus terang dan keberanian beliau dalam menyuarakan yang haq, berkali-kali menyeret beliau ke penjara. Mungkin itu pula salah satu sebab beliau tidak menikah.

Pada tahun 726 H, adalah akhir dari hukuman penjara yang beliau terima. Ini disebabkan pemalsuan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya terhadap fatwa beliau tentang ziarah kubur. Sehingga seolah-olah Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur terlebih lagi makam Rasul. Ditambah lagi, sikap beliau kepada Sultan Nashir Al-Qalawun yang beliau perlakukan sebagai murid. Beliau tidak segan-segan menegur dan membimbingnya, sehingga sering Baginda merasa berat. Apalagi setelah Syaikhul Islam menulis As-Siyasah Asy-Syar’iyah.

Akhirnya, musuh-musuh beliau berusaha mencari kesempatan melepaskan kekuasaan pemerintah (Sultan) dari pengaruh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang tidak pernah bersikap munafik, riya, atau menjilat demi mencari keselamatan pribadi.

Ibnu Taimiyah kembali dipenjarakan. Tapi yang terakhir ini lebih berat beliau rasakan. Perlakuan yang beliau terima lebih buruk dari sebelumnya. Beliau dijauhkan dari semua alat tulis dan dilarang melakukan penelitian (membaca). Hanya saja, penderitaan itu tidak berlangsung lama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah akhirnya sakit keras beberapa hari. Hal itu mulai dirasakan sejak dikeluarkannya semua perlengkapan tulis menulis dan membaca dari sisi beliau selama di penjara.

Begitu mengetahui beliau sakit, Syamsuddin Al-Wazir meminta izin menjenguk beliau. Melihat keadaan beliau, dia meminta maaf atas semua kesalahannya selama ini. Oleh Syaikhul Islam, dia dimaafkan bahkan semua yang memusuhinya, termasuk Sultan Nashir Al-Qalawun yang memenjarakannya.
Kemudian, pada malam 22 Dzul Qa’dah 728 H, wafatlah Syaikhul Imam, Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Hafizh Az-Zahid, Al-Mujahid Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Imam Syihabuddin Abul Mahasin ‘Abdul Halim bin Syaikhul Islam Abul Barakat ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Al-Khidhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi, di dalam tembok penjara Damaskus.

Berita ini mulanya hanya diketahui orang-orang yang di dalam penjara. Kemudian, berita ini meluas hingga didengar oleh kaum muslimin. Mereka terenyak. Berita itu betul-betul menggemparkan.

Akhirnya, berduyun-duyun mereka menuju ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau. Setelah itu mereka keluar, kemudian masuklah kaum wanita seperti itu juga.

Setelah selesai dimandikan oleh sebagian tokoh seperti Al-Mizzi, jenazah beliau dibawa ke luar penjara. Masyarakatpun berkumpul ikut menyaksikan prosesi jenazah beliau. Mereka rela menutup pintu toko dan menghentikan aktivitas mereka demi mengiringi jenazah beliau. Kaum wanita yang tidak ikut serta, berdiri di atas rumah-rumah mereka melepas jenazah sang imam. Sebagian mereka membagi-bagi daun bidara yang dipakai untuk memandikan beliau.

Ibnu Katsir t memperkirakan dalam Al-Bidayah, ada sekitar 15.000 orang wanita ikut mengantar jenazah beliau. Belum lagi yang ada di atas rumah-rumah mereka. Semua mendoakan rahmat dan menangisi beliau. Para tentarapun ikut sibuk mengamankan prosesi jenazah tersebut.
Air mata tumpah, langitpun menangis. Ratapan duka dan doa mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seluruh rakyat di sekitar penjara benteng tersebut tumpah ke jalanan mengantarkan jenazah beliau. Pintu-pintu masjid Jami’ tak cukup menampung desakan rakyat banyak yang ingin mendekati jenazah beliau. 

Kejadian ini tak jauh beda dengan prosesi pemakaman jenazah Imam Ahli Sunnah wal Jamaah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Di mana ketika beliau wafat di Baghdad, ratusan ribu manusia mengantar jenazah beliau ke pemakaman. Al-Imam Ahmad pernah mengatakan kepada ahli bid’ah: “Katakan kepada ahli bid’ah: ‘Keputusan antara kami dan kamu (ahli bid’ah) adalah yaumul janaiz (hari kematian)’.”

Beliau dikebumikan setelah selesai shalat ‘ashar di pemakaman Shufiyah, di sebelah kuburan saudaranya Syarafuddin ‘Abdullah. Di situ pula dikebumikan salah seorang murid beliau yang terkemuka yaitu Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahumullah beberapa tahun kemudian.

Setelah dikebumikan, Asy-Syaikh Al-Imam Burhanuddin Al-Fazari dan sejumlah ulama besar Asy-Syafi’iyah selama tiga hari berulang-ulang mengunjungi kuburan Ibnu Taimiyah.

Tidak ada yang tertinggal mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ke pemakaman kecuali mereka yang lemah dan tidak dapat hadir, serta tiga orang yang sangat keras permusuhannya terhadap beliau, yaitu Ibnu Jumlah, Ash-Shadr, dan Al-Qafjari. Mereka yakin, seandainya mereka ikut keluar niscaya umat akan menyakiti bahkan membunuh mereka.

Semoga Allah l merahmati ulama salaf yang telah wafat dan memelihara mereka yang masih hidup.

____
Footnote

1. Ibnu Katsir t menceritakan tentang kenyataan yang terjadi saat itu. Dan sebenarnya wanita dimakruhkan mengiringi jenazah. -ed

Tags