Type Here to Get Search Results !

 


AWAS HOAX, BERSIKAP HATI-HATI MENYEBARKAN BERITA


Sebagian kaum muslimin mungkin akan bersikap sangat hati-hati terhadap makanan dan minuman, jangan sampai makan dan minum yang diharamkan oleh syariat. Atau sebagian kaum muslimin yang sangat hati-hati menjaga diri dari benda atau bahan najis, jangan sampai badan atau pakaiannya terkena najis. Ini adalah di antara sikap dan perbuatan yang baik. Namun sayangnya, untuk urusan menyebarkan (men-share) berita, banyak di antara kita yang tidak bersikap hati-hati, atau bertindak ceroboh, tidak (mau) memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan manakah yang bukan sebelum menyebarkannya.

Baik yang membuat berita dusta atau “sekedar” menyebarkannya, sama-sama disebut sebagai pendusta

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu termasuk dalam pendusta, ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga atsar dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di atas menunjukkan bahwa hukum orang yang membuat berita dusta dan orang yang “sekedar” menyebarkan berita dusta tersebut adalah sama, yaitu sama-sama disebut sebagai pendusta.

Sehingga seseorang tidak boleh meremehkan masalah ini, dengan mengatakan bahwa dia hanya menyebarkan (men-share) berita, bukan orang yang pertama kali membuatnya. Sehingga kaidah Islam dalam masalah ini adalah “Menyebarkan berita bohong adalah pembohong.”

Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut orang tersebut pembagai pembohong? Karena tentu saja tidak semua berita yang sampai kepadanya adalah berita yang benar, sebagiannya adalah berita palsu. Sehingga ketika dia menyebarkan semua berita yang dia dengar, bisa dipatikan dia adalah pembohong.

Seseorang itu tidak layak menjadi contoh teladan (panutan), sampai dia mampu memilah dan memilih berita mana yang akan disebarkan.

Ibnu Wahab berkata,

قَالَ لِي مَالِكٌ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، وَلَا يَكُونُ إِمَامًا أَبَدًا وَهُوَ يُحَدِّثُ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Imam Malik berkata kepadaku, “Ketahuilah, tidak akan selamat (dari dusta) seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidaklah layak menjadi panutan (menjadi tokoh) ketika dia menceritakan semua berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu Ta’ala berkata,

لَا يَكُونُ الرَّجُلُ إِمَامًا يُقْتَدَى بِهِ حَتَّى يُمْسِكَ عَنْ بَعْضِ مَا سَمِعَ

“Seorang itu tidaklah menjadi imam (teladan atau panutan) yang diteladani sampai dia menahan diri dari menceritakan sebagian berita yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 8)

Perkataan Imam Malik di atas menunjukkan bahwa jika seseorang bermudah-mudah menyebarkan semua berita yang dia dengar atau dia baca, dia tidak akan selamat dari dusta. Selain itu, dua atsar di atas menunjukkan bahwa di antara sikap orang yang layak dijadikan sebagai tokoh, teladan, atau pemimpin adalah ketika dia tidak menyebarkan semua berita yang dia dengar. Namun dia mampu memilah dan memilih, manakah berita yang valid dan layak untuk disebarluaskan, dan manakah berita bohong yang tidak boleh disebarluaskan.

Tidak semua berita yang benar itu harus disebarluaskan

Ketika suatu berita itu terbukti valid, tidak selalu berarti bahwa berita tersebut layak untuk disebarluaskan. Karena bisa jadi berita valid tersebut akan menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat, lalu timbullah keresahan, kekacauan, dan keributan di tengah-tengah mereka. Hal ini sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Tidaklah Engkau menceritakan (suatu berita) kepada sekelompok orang, berupa berita yang tidak bisa mereka pahami, kecuali akan menjadi sumber kerusakan (keributan atau kekacauan) bagi mereka.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim 1: 9)

Untuk berita-berita semacam itu, kita serahkan kepada mereka yang memiliki wewenang. Bisa jadi informasi itu bermanfaat, namun untuk kalangan terbatas, bukan kepada semua orang dengan tingkat pemahaman mencerna berita yang berbeda-beda.

Berita kekejaman syiah, bisa jadi menimbulkan keresahan dan ketakutan di sebagian kalangan, misalnya di kalangan muslimah ibu-ibu. Apalagi jika disertai gambar ilustrasi yang menakutkan. Padahal, peristiwa itu sendiri terjadi di negara lain, misalnya. Sehingga hendaknya kita senantiasa memikirkan dampak luas penyebaran berita valid yang kita sampaikan. Sehingga dakwah tentang agama Syi’ah, bisa disampaikan dengan cara-cara lain yang lebih tepat dan lebih bijak.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyampaikan suatu hadits, karena kekhawatiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau hadits tersebut bisa disalahpahami oleh para sahabatnya.

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَقَالَ: يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ، قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-nya yang lebih mengetahui.”

Beliau pun bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.”

Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?”

Rasulullah menjawab, “Jangan, nanti mereka bisa bersandar.” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

Sikap seorang muslim yang benar

Seorang muslim yang menjadikan hadits dan atsar-atsar di atas sebagai pegangan dan dia letakkan di depan kedua matanya, tentu akan bersikap sangat hati-hati dalam memilah dan memilih berita yang berasal dari berita online, surat kabar cetak, atau dari grup whatsapp, atau dari sumber-sumber berita yang lainnya.

Namun perlu kita pahami bahwa bisa jadi cara (metode) untuk memastikan dan menyaring berita itu berbeda-beda tergantung pada topik berita masing-masing. Berita-berita terkait masalah kesehatan, tentu memiliki indikator untuk menilai apakah berita tersebut valid ataukah tidak. Betapa banyak keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat penyebaran berita kesehatan yang tidak benar, alias informasi dusta, atau dengan bahasa kekinian: informasi hoaks. Demikian pula, berita terkait dengan masalah ekonomi dan politik, tentu memiliki indikator tertentu untuk menilai apakah suatu berita itu valid ataukah tidak.

Kemampuan untuk “menyaring” berita semacam ini, tentu tidak dimiliki oleh semua orang, termasuk ustadz sekalipun. Sehingga sikap yang terbaik adalah tawaqquf, atau kita serahkan kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut untuk menilai.

Oleh karena itu, hendaknya kita mawas diri dan berkaca terhadap diri sendiri, apakah kita sudah cukup memiliki kelayakan dan kapasitas untuk menyaring sebuah berita? Atau kita akan termasuk dalam golongan orang-orang pembohong dan pendusta sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Sumber: https://muslim.or.id/

Jangan Sembarang Share Berita Dan Wacana Yang Membuat Resah

Oleh Yulian Purnama, S.Kom.

Diantara adab Islam yang sudah mulai luntur di zaman media sosial ini adalah sikap al hilm dan al ‘anah. Al hilm adalah bersikap tenang adapun al anah adalah bersikap hati-hati dalam bertindak. Termasuk dalam masalah menyebarkan dan menyampaikan berita. Hendaknya seorang Muslim tenang dan bersikap tenang dan hati-hati dalam menyebarkan dan menyampaikan berita. Karena andaikan berita itu benar pun, tidak boleh sembarang menyampaikan dan menyebarkan berita yang menyebabkan keresahan di tengah masyarakat. Ini perkara yang dilarang dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS. An Nisa: 83).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Ini adalah bimbingan Allah kepada para hambanya agar tidak melakukan hal yang tidak layak. Yaitu bahwasanya jika datang suatu perkara yang terkait dengan suatu hal yang urgen dan merupakan urusan banyak orang, atau yang terkait dengan keamanan atau kebahagiaan kaum Mu’minin, atau bisa menimbulkan ketakutan karena di dalamnya terdapat musibah bagi kaum Mu’minin, hendaknya mereka timbang dengan matang terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan khabar tersebut. Bahkan yang benar adalah mengembalikannya kepada Rasulullah dan kepada ulil amri di antara mereka, yaitu para ulama. Yang mereka memahami duduk permasalahan dan memahami apa yang maslahah dan apa yang mafsadah. Jika mereka memandang bahwa menyebarkannya itu baik dan bisa memotivasi kaum Mu’minin dan membuat mereka bahagia, membuat mereka kuat menghadapi musuh, maka silakan dilakukan. Jika para ulama memandang bahwa perkara tersebut tidak ada maslahahnya atau ada maslahah namun lebih besar mudharatnya, maka jangan disebarkan” (Tafsir As Sa’di, 1/190).

Sebagian ulama mengatakan, bahwa perbuatan seperti ini adalah tabiat orang-orang munafik. Disebutkan dalam Tafsir Al Qurthubi,

قَالَ الضَّحَّاكُ وَابْنُ زَيْدٍ: هو فِي الْمُنَافِقِينَ فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنَ الْكَذِبِ فِي الْإِرْجَافِ

“Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid mengatakan: ayat ini tentang orang munafik. Mereka dilarang melakukan hal tersebut karena mereka biasa berdusta dalam menyebarkan kabar tentang ketakutan dan bahaya” (Tafsir Al Qurthubi, 5/297).

Orang munafik adalah orang yang menampakkan Islam namun dalam hatinya menyimpan kebencian dan permusuhan kepada Islam. Mengapa perbuatan ini disebut sebagai tabiat orang munafik? Karena orang munafik itu senang jika kaum Mu’minin sedih, resah dan takut, dan mereka sedih jika kaum Mu’minin senang. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ

“Jika kamu mendapat sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang)” dan mereka berpaling dengan rasa gembira” (QS. At Taubah: 50).

Bersikaplah Tenang Dan Hati-Hati

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang Al Asyaj ‘Abdul Qais:

إن فيكَ خصلتينِ يحبهُما اللهُ : الحلمُ والأناةُ

“sesungguhnya pada dirimu ada 2 hal yang dicintai Allah: sifat al hilm dan al aanah” (HR. Muslim no. 17).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

التَّأنِّي من اللهِ و العجَلَةُ من الشيطانِ

“berhati-hati itu dari Allah, tergesa-gesa itu dari setan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [20270], dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1795).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

السَّمْتُ الحَسَنُ والتُّؤَدَةُ والاقتصادُ جزءٌ من أربعةٍ وعشرينَ جُزءًا من النبوةِ

“Sikap yang baik, berhati-hati dalam bersikap, dan sederhana adalah bagian dari 24 sifat kenabian” (HR. At Tirmidzi no. 2010, ia berkata: “hadits hasan gharib”, dihasan Al Albani dalam Sunan At Tirmidzi).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:


“Al Hilm adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika ia marah dan ia mampu memberikan hukuman, ia bersikap hilm dan tidak jadi memberikan hukuman.

Al Aanah adalah berhati-hati dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengambil kesimpulan dari sekedar yang nampak sekilas saja, lalu serta-merta menghukuminya, padahal yang benar hendaknya ia berhati-hati dan menelitinya.

Adapun Ar Rifq, adalah bermuamalah dengan orang lain dengan lembut dan berusaha memberi kemudahan. Bahkan ketika orang tersebut layak mendapatkan hukuman, tetap disikapi lembut dan diberi kemudahan” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/573).

Maka bertaqwalah kepada Allah, jangan sembarang melontarkan suatu perkara ke tengah kaum Mu’minin yang membuat mereka resah, takut dan sedih. Jangan tiru perbuatan kaum munafik. Bersikap tenang dan penuh kehatian-hatian dalam menyebarkan berita. Konsultasikanlah dengan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang paham duduk permasalahannya. Minta pendapat mereka mengenai bagaimana sikap dan solusi yang benar.

Sumber: https://muslim.or.id/