Kita semua menyadari bahwa ilmu sebagai sesuatu yang sangat mulia. Dalam agama kita, ilmu diibaratkan pondasi dalam menghamba kepada Allah. Banyak sekali ayat dan hadits yang menerangkan mulianya ilmu.Diantaranya :
Pertama, Allah berfirman di dalam Al Quran
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّـهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ketahuilah/ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan/tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala perintahkan “mengilmui’’ terlebih dahulu, sebelum kemudian terjun ke ranah ibadah. Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah pijakan, pondasi dan modal utama, dalam menghamba kepada Allah.
Ibadah yang disinggung pada ayat di atas adalah ibadah istighfar, yang dapat dimaknai pula seluruh ibadah hendaklah didahului ilmu.
Kedua, Ayat Al Quran dalam surah Ali Imran
شَهِدَ اللَّـهُ أَنَّهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” (QS. Ali Imran: 18)
Perhatikan ayat ini [orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)], Allah menyandingkan persaksian-Nya dengan persaksian orang-orang berilmu serta para malaikat, akan keesaan-Nya. Sangatlah cukup kedudukan seperti ini sebagai bukti yang menyadarkan orang-orang beriman tentang mulianya ilmu.
Ketiga, Al Quran surah Az-Zumar
ِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِيالَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah,” Samakah antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?!”” (QS. Az Zumar: 9)
Ayat ini bermakna istifham inkari, yang bermakna “Tentu tidak sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak.”
Keempat, Al Quran surah Al Mujadillah ayat 11.
يَرْفَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadillah: 11)
Kelima, Al Quran surah Al-Maidah ayat 4.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّـهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّـهِ عَلَيْهِ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya).” (QS. Al Maidah: 4)
Bayangkan, anjing yang berilmu saja Allah muliakan dari yang tidak berilmu. Ayat di atas menerangkan kepada kita halalnya hewan buruan hasil tangkapan anjing yang terlatih dan disebut nama Allah saat melepasnya, hukumnya halal dimakan. Inilah bentuk mulianya anjing yang berilmu. Maka, jika binatang saja dapat mulia karena ilmu, lebih lagi manusia, sebagai makhluk Allah yang mulia dari hewan!
Keenam, hadis Ummu Salamah radhiyallahu’anha.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila selesai shalat Shubuh selepas salam beliau membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, Sungguh aku minta kepada-Mu ilmu yang manfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” [1]
Perhatikan permintaan pertama dalam doa yang rutin beliau Shalallahu’alaihi wa sallam di pembuka hari. Hal pertama yang beliau pinta adalah ilmu yang bermanfaat. Ini menunjukkan ilmu adalah modal untuk mendapatkan rizki yang halal dan baik, serta amal shalih yang diterima Allah.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan kemuliaan ilmu. Anda bisa pelajari lebih dalam di sini :
https://muslimah.or.id/7545-keutamaan-menuntut-ilmu.html
Atau di sini : https://muslim.or.id/438-keutamaan-ilmu-1.html
Namun…
Harus kita sadari Bersama bahwa, kemuliaan-kemuliaan ilmu di atas menjadi tak berarti, saat kita cacat dalam satu hal, yaitu amal. Iya, ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Pembawa ilmu tak akan menjadi mulia bila ilmu yang ia pelajari tak membuahkan amal atau tidak bermanfaat.
Pada tulisan ini, anda akan mendapatkan beberapa point bukti yang menguatkan pesan ini, yaitu ilmu tak akan berbuah kemuliaan bila tak diamalkan….
Sumber pertama
Atau di sini : https://muslim.or.id/438-keutamaan-ilmu-1.html
Namun…
Harus kita sadari Bersama bahwa, kemuliaan-kemuliaan ilmu di atas menjadi tak berarti, saat kita cacat dalam satu hal, yaitu amal. Iya, ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Pembawa ilmu tak akan menjadi mulia bila ilmu yang ia pelajari tak membuahkan amal atau tidak bermanfaat.
Pada tulisan ini, anda akan mendapatkan beberapa point bukti yang menguatkan pesan ini, yaitu ilmu tak akan berbuah kemuliaan bila tak diamalkan….
Sumber pertama
Amal, adalah tujuan dari kita belajar. Ilmu yang tak membuahkan amal, menunjukkan perjuangan menuntut ilmu yang dia lalui selama ini, gagal, tak berbuah. Kata pepatah,
ألعلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
“Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah.”
Ada pesan menarik dari Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, saat menjelaskan hadis,
من يرد الله به خيرا يفقه في الدين
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya, maka akan Allah pahamkan tentang agama.” [2]
Kata beliau,
وهذا اذا أريد بالفقه العلم المستلزم للعمل وأما ان أريد به مجرد العلم فلا يدل على أن من فقه في الدين فقد أريد به خيرا
“Keutamaan ini dapat diraih ketika belajar ilmu kemudian membuahkan amal. Adapun jika belajar ilmu tujuannya sebatas mengilmui/wawasan (tidak diamalkan), yang seperti itu tidak menunjukkan orang yang mempelajari agama berarti diinginkan kebaikan padanya.” [3]
Jadi, ilmu itu sarana untuk sampai pada amal yang benar, bagaimana menghamba di hadapan Allah dengan benar. Bahasa ringkasnya, ilmu adalah sarana, sementara amal adalah tujuan.
Beramal tanpa ilmu, sesat seperti orang-orang Nasrani.
Berilmu tanpa amal dapat murka Allah, seperti orang-orang Yahudi.
Kalau kata Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah,
من فسد من علمائنا ففيه شبه من اليهود ومن فسد من عبادنا ففيه شبه من النصارى
“Bila ada ulama kita yang rusak, maka ia serupa dengan kaum Yahudi. Ahli ibadah kita yang rusak, maka ia serupa dengan kaum Nasrani.”
Karena ulama yang berilmu tanpa amal, rusak, seperti kaum Yahudi. Orang yang rajin ibadah tanpa ilmu, juga rusak, seperti kaum Nasrani.
Seorang tak akan dapat mewujudkan penghambaan yang sempurna di hadapan Allah, kecuali dengan dua modal ini : Ilmu yang manfaat dan amal sholih.
Sebagaimana disinggung dalam ayat,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) al-huda dan diinul haq.” (QS. At Taubah: 33).
Al-Huda, kata para ulama tafsir, maknanya adalah ilmu yang manfaat.
Sementara diinul haq maknanya adalah amal sholih.
Jadi, pesan utama dari tulisan ini, ilmu adalah sarana dana amal adalah tujuannya.
Untuk memantapkan pesan ini kepada pembaca sekalian, mari simak beberapa point berikut. Inilah yang dikupas sampai akhir serial artikel ini.
Pertama : Kita akan ditanya tentang ilmu kita, sudahkah diamalkan?
Nabi shallallahualaihiwasallam mengabarkan, di hari kiamat kelak, kita akan ditanya tentang ilmu yang sudah diraih, untuk apa dan sudahkah diamalkan?
Sahabat Abu Barzah Al-Aslami meriwayatkan hadis dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع : عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ.
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti, sampai ditanya tentang empat hal :
(1) tentang umurnya untuk apa dia gunakan,
(2) tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan ilmunya tersebut,
(3) tentang hartanya, dari mana harta tersebut didapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, dan
(4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan.” [4]
Mendengar pesan mulia ini, sahabat Abu Darda’ sampai pernah mengatakan,
انما أخشى يوم القيامة أن يناديني على رؤوس الخلائق فيقول : يا عويمر ! ماذا عملت فيما علمت؟
“Sungguh aku takut saat kiamat nanti aku dipanggil dihadapan manusia, lalu aku ditanya,”Uwaimir, apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang kamu ketahui?””
Bisa anda renungkan, beliau adalah sahabat Nabi, hidup bersama Nabi dan berguru langsung kepada Nabi, pernah menghadiri perang di jalan Allah bersama Nabi. Namun, sedemikian besar rasa takut beliau bila-bila ilmu tak diamalkan.
Berbeda dengan sebagian orang sekarang, yang makin bangga saat menguasai banyak ilmu, namun sama sekali tak gelisah saat tak membuahkan amal.
Sungguh sangat indah nasehat Hasan Al Bashri rahimahullah,
ان المؤمن جمع بين احسان و مخافة, والمنافق جمع بين اساءة و أمل
“Orang-orang beriman itu mengumpulkan antara amal sholih dan rasa takut pada azab Allah. Sementara orang munafik itu mengumpulkan antara berbuat dosa dan angan-angan kosong.”
Senada dengan pernyataan seorang tabi’in Abdullah bin Abi Mulaikah rahimahullah,
أدركت أكثر من ثلاثين صحابيا كلهم يخاف النفاق على نفسه
“Saya sudah berjumpa dengan lebih dari tiga puluh sahabat. Semuanya khawatir kalau-kalau kemunafikan berada pada jiwa mereka.” [5]
Saat kita merasa nyaman dengan ilmu yang tak membuahkan amal, hadirkan rasa khawatir itu? Adakah ketakutan kalau-kalau mengidap penyakitnya orang munafik, yang mengumpulkan antara dosa dan angan-angan kosong mendapat surga?
Bila iya… mari kita bertaubat, perbaiki hati dan berbuatlah, amalkanlah ilmumu.
Sangat menarik penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menjawab pertanyaan ibunda Aisyah radhiyallahu’anha tentang makna ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang mendrmakan apa yang telah mereka berikan, disertai hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mukminun: 60).
“Apakah yang dimaksud pada ayat ini adalah mereka yang suka minum khomr dan mencuri?” tanya Ibunda Aisyah.
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ! وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ )
“Bukan itu maksudnya wahai putri Abu Bakr As-Shiddiq. Maksudnya adalah mereka yang gemar puasa, sholat dan sedekah (rajin ibadah), namun mereka takut kalau-kalau ibadah mereka tidak diterima. Mereka itulah hamba-hamba Allah yang bergegas meraih kebaikan.” [6]
Inilah karakter orang yang sehat imannya, dia dapat mempertemukan antara amal sholih dan rasa takut kepada Allah…
ألعلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
“Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah.”
Ada pesan menarik dari Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, saat menjelaskan hadis,
من يرد الله به خيرا يفقه في الدين
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya, maka akan Allah pahamkan tentang agama.” [2]
Kata beliau,
وهذا اذا أريد بالفقه العلم المستلزم للعمل وأما ان أريد به مجرد العلم فلا يدل على أن من فقه في الدين فقد أريد به خيرا
“Keutamaan ini dapat diraih ketika belajar ilmu kemudian membuahkan amal. Adapun jika belajar ilmu tujuannya sebatas mengilmui/wawasan (tidak diamalkan), yang seperti itu tidak menunjukkan orang yang mempelajari agama berarti diinginkan kebaikan padanya.” [3]
Jadi, ilmu itu sarana untuk sampai pada amal yang benar, bagaimana menghamba di hadapan Allah dengan benar. Bahasa ringkasnya, ilmu adalah sarana, sementara amal adalah tujuan.
Beramal tanpa ilmu, sesat seperti orang-orang Nasrani.
Berilmu tanpa amal dapat murka Allah, seperti orang-orang Yahudi.
Kalau kata Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah,
من فسد من علمائنا ففيه شبه من اليهود ومن فسد من عبادنا ففيه شبه من النصارى
“Bila ada ulama kita yang rusak, maka ia serupa dengan kaum Yahudi. Ahli ibadah kita yang rusak, maka ia serupa dengan kaum Nasrani.”
Karena ulama yang berilmu tanpa amal, rusak, seperti kaum Yahudi. Orang yang rajin ibadah tanpa ilmu, juga rusak, seperti kaum Nasrani.
Seorang tak akan dapat mewujudkan penghambaan yang sempurna di hadapan Allah, kecuali dengan dua modal ini : Ilmu yang manfaat dan amal sholih.
Sebagaimana disinggung dalam ayat,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) al-huda dan diinul haq.” (QS. At Taubah: 33).
Al-Huda, kata para ulama tafsir, maknanya adalah ilmu yang manfaat.
Sementara diinul haq maknanya adalah amal sholih.
Jadi, pesan utama dari tulisan ini, ilmu adalah sarana dana amal adalah tujuannya.
Untuk memantapkan pesan ini kepada pembaca sekalian, mari simak beberapa point berikut. Inilah yang dikupas sampai akhir serial artikel ini.
Pertama : Kita akan ditanya tentang ilmu kita, sudahkah diamalkan?
Nabi shallallahualaihiwasallam mengabarkan, di hari kiamat kelak, kita akan ditanya tentang ilmu yang sudah diraih, untuk apa dan sudahkah diamalkan?
Sahabat Abu Barzah Al-Aslami meriwayatkan hadis dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع : عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ.
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti, sampai ditanya tentang empat hal :
(1) tentang umurnya untuk apa dia gunakan,
(2) tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan ilmunya tersebut,
(3) tentang hartanya, dari mana harta tersebut didapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, dan
(4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan.” [4]
Mendengar pesan mulia ini, sahabat Abu Darda’ sampai pernah mengatakan,
انما أخشى يوم القيامة أن يناديني على رؤوس الخلائق فيقول : يا عويمر ! ماذا عملت فيما علمت؟
“Sungguh aku takut saat kiamat nanti aku dipanggil dihadapan manusia, lalu aku ditanya,”Uwaimir, apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang kamu ketahui?””
Bisa anda renungkan, beliau adalah sahabat Nabi, hidup bersama Nabi dan berguru langsung kepada Nabi, pernah menghadiri perang di jalan Allah bersama Nabi. Namun, sedemikian besar rasa takut beliau bila-bila ilmu tak diamalkan.
Berbeda dengan sebagian orang sekarang, yang makin bangga saat menguasai banyak ilmu, namun sama sekali tak gelisah saat tak membuahkan amal.
Sungguh sangat indah nasehat Hasan Al Bashri rahimahullah,
ان المؤمن جمع بين احسان و مخافة, والمنافق جمع بين اساءة و أمل
“Orang-orang beriman itu mengumpulkan antara amal sholih dan rasa takut pada azab Allah. Sementara orang munafik itu mengumpulkan antara berbuat dosa dan angan-angan kosong.”
Senada dengan pernyataan seorang tabi’in Abdullah bin Abi Mulaikah rahimahullah,
أدركت أكثر من ثلاثين صحابيا كلهم يخاف النفاق على نفسه
“Saya sudah berjumpa dengan lebih dari tiga puluh sahabat. Semuanya khawatir kalau-kalau kemunafikan berada pada jiwa mereka.” [5]
Saat kita merasa nyaman dengan ilmu yang tak membuahkan amal, hadirkan rasa khawatir itu? Adakah ketakutan kalau-kalau mengidap penyakitnya orang munafik, yang mengumpulkan antara dosa dan angan-angan kosong mendapat surga?
Bila iya… mari kita bertaubat, perbaiki hati dan berbuatlah, amalkanlah ilmumu.
Sangat menarik penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menjawab pertanyaan ibunda Aisyah radhiyallahu’anha tentang makna ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang mendrmakan apa yang telah mereka berikan, disertai hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mukminun: 60).
“Apakah yang dimaksud pada ayat ini adalah mereka yang suka minum khomr dan mencuri?” tanya Ibunda Aisyah.
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ! وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ )
“Bukan itu maksudnya wahai putri Abu Bakr As-Shiddiq. Maksudnya adalah mereka yang gemar puasa, sholat dan sedekah (rajin ibadah), namun mereka takut kalau-kalau ibadah mereka tidak diterima. Mereka itulah hamba-hamba Allah yang bergegas meraih kebaikan.” [6]
Inilah karakter orang yang sehat imannya, dia dapat mempertemukan antara amal sholih dan rasa takut kepada Allah…
Kedua, ancaman untuk mereka yang tidak mengamalkan ilmunya.
Setidaknya ada tiga ayat dalam Al-Quran yang berbicara point ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ* كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian Allah saat kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shof: 2-3)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُون
“Mengapa kamu perintah orang lain mengerjakan kebaikan, sementara kamu lupakan dirimu sendiri?! padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?! Tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqaroh: 44).
Dan perkataan Nabi Syu’aib alaihis sallam dalam Al Quran kepada kaumnya,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (QS. Hud : 77).
Kemudian dalam hadis juga ada keterangan yang sama.
Hadis dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, tertulis di Shahih Bukhori dan Muslim, Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Seorang akan didatangkan pada hari kiamat kemudian ia dilemparkan ke neraka. Hingga usus-ususnya terburai di dalam neraka. Dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingan. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya.
Mereka bertanya, “Ya fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dulu yang memerintah kami melakukan kebaikan dan yang melarang kami dari mengerkajan kemungkaran?”
“Memang betul,” jawabnya, “aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak melakukannya. Sementara aku melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang menerjangnya.” [7]
Lagi..
Kisah yang diceritakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam saat beliau isra’.
مررت ليلة أسري بي بأقوام تقرض شفاههم بمقاريض من نار قلت : من هؤلاء يا جبريل؟ قال : خطباء أمتك الذين يقولون ما لا يفعلون
”Pada malam isra’, aku melewati sekumpulan orang yang dipotong lidahnya dengan gunting-gunting neraka.
Aku bertanya “Mereka ini siapa wahai jibril?”
Jibril menjawab, ”Mereka adalah penceramah-penceramah di kalangan ummatmu, yang berkata apa yang mereka tidak lakukan.” [8]
Inilah dalil-dalil yang cukup menjadi cambukan untuk kita agar giat mengamalkan ilmu. Jangan sampai justru orang lain yang merasakan manfaat ilmu kita, sementara kita sendiri tidak. Ibaratnya, kita hanya menjadi jembatan orang lain menuju surga. Sementara kita sendiri celaka
Wal’iyadzubillah…
Sangat indah sekali untaian doa Muthorrif bin Abdullah bin Syikhkhir rahimahullah, beliau seringkali berlindung dari keadaan di atas,
اللهم اني أعوذبك أن يكون أحد أسعد بما علمتني مني, و أعوذ بك أن أكون عبرة لغيري
“Ya Allah, hamba berlindung kepada Engkau dari keadaan dimana orang lain lebih merasa gembira atas ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku. Dan hamba berlindung kepada Engkau dari keadaan buruk dimana diriku menjadi pelajaran orang lain.” [9]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari doa ini,
وهو من أحسن الدعاء
Ini termasuk sebaik-baiknya doa. [10]
Ketiga, amal sholih adalah sebab masuk surga
Banyak dalil, baik dari Alquran maupun hadis, menunjukkan bahwa amal shalih yang dapat mendekatkan kita pada Allah adalah tabungan berharga kita di hari Kiamat nanti. Seorang mendapatkan surga dan keridoan Allah, dengan amal shalih yang dia lakukan. Oleh karenanya, lebih kurang ada lima puluh ayat dalam Alquran yang menyebutkan pahala berbarengan dengan iman dan amal shalih, padahal amal shalih sendiri sudah termasuk dalam lingkup iman. Akan tetapi tetap disebutkan untuk menunjukkan mulianya kedudukan amal shalih.
Diantara kita bisa saksikan pada ayat-ayat berikut :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 82)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl :97)
وَنُودُوا أَن تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Diserukan kepada mereka: ‘ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.'” (QS. Al-A’raf : 43)
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.'” (QS. An-Nahl : 32)
Ayat-ayat lain yang semakna, banyak, menunjukkan bahwa amal adalah sebab masuk surga.
Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لن يُدْخِلُ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ،
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga.”
Maksudnya dalam wujud bayaran setimpal untuk membeli surga. Adapun sebab, maka amal shalih adalah salah satu sebab masuk surga. Seorang dapat masuk surga karena sebab amal shalihnya, adalah karena rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Para sahabat bertanya, “Apakah tidak juga dengan engkau wahai Rasulullah?”
وَلَا أَنَا إِلَّا أن يتغمدني الله بفضل و بِرَحْمَةٍ
“Tidak juga denganku, hanya saja Allah mencurahkan untukku karunia dan rahmat-Nya.” (HR. Bukhori 5673 dan Muslim 2817).
Jadi amal shalih bukan alat bayar senilai yang bisa membeli tiket seorang dapat masuk surga. Amal shalih hanya sebagai sebab saja. Adapun masuk surga, itu semata karena kasih sayang Allah dan karunia-Nya.
Bahkan, amal shalih itu sendiri, yang dikerjakan oleh seorang hamba, adalah bagian dari rahmat / kasih sayang Allah. Allah berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tak seorangpun dari kalian yang dapat bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nur : 21)
Kelima, para salafussholih bergegas mengamalkan ilmu.
Diantara pemaparan yang dapat memperjelas pentingnya topik ini adalah, kisah para salaf dalam hal bergegasnya mereka mengamalkan ilmu sangat menakjudkan. Tidak cukup di sini, mereka juga dapat istiqomah mengamalkan setiap ilmu yang mereka dapat. Begitu mendengarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam atau mendengar hadis beliau shallallahu’alaihi wa sallam, langsung mereka amalkan dan mereka dapat istiqomah mengamalkannya. Kisah mereka dalam hal ini sangat mengagumkan.
Belajar dari Para Sahabat
Banyak riwayat yang menerangkan perhatian dan kesadaran mereka dalam mengamalkan ilmu sangat besar. Diantaranya kisah-kisah berikut :
Kisah Fatimah radhiyallahu’anha puteri Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang terekam dalam hadis Ali radhiyallahu’anhu, terdapat dalam Shahih Bukhori (no. 5362) dan Shahih Muslim (no. 2727). Ketika Fatimah curhat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta pembantu. Lantas Nabi memberinya petuah,
أولا أدلك على ما هو خير لك من خادم؟! إذا أويت إلى فراشك تسبحين الله تعالى ثلاثاً وثلاثين، وتحمدينه ثلاثاً وثلاثين، وتكبرينه أربعاً وثلاثين
Maukah kamu saya beritahu suatu hal yang lebih baik dari pembantu?! Jika kamu beranjak tidur bertasbihlah 33x, bertahmid 33x dan bertakbir 34x.
Setelah mendengar pesan ini, Ali radhiyallahu’anhu mengatakan,
فما تركتها منذ سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم
Semenjak saya mendengarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tak pernah sekalipun saya tinggalkan.
Seorang bertanya kepada, “Sampaipun saat malam hari perang Sifin?” Yaitu peperangan yang sangat terkenal, yang tentu saja kondisi sedang berkecamuk. Namun apakah Ali meninggalkan petuah Nabi yang mulia ini? Kita simak jawaban Ali radhiyallahu’anhu,
ولا ليلة الصفين
“Sampaipun malam hari perang sifin, dzikir ini tidak aku tinggalkan !!”
Kisah berikutnya diriwayatkan oleh Dawud bin Abu Hindun, dari Nu’man bin Salim, dari Amr bin Aus beliau menceritakan,” ‘Anbasah bin Abu Sufyan menyampaikan sebuah hadis saat beliau mengalami sakit yang beliau meninggal dunia karena penyakit tersebut, “Aku mendengar Ummu Habibah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً في يوم وليلة بني لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Siapa yang mengerkan shalat sebanyak 12 raka’at (shalat sunah rawatib), maka akan Allah bangunkan untuknya rumahnya di surga.”
Mendengar pesan agung ini, Ummu Habibah mengatakan,”Semenjak aku mendengar pesan ini dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!”
Kemudian sikap Ummu Habibah dicontoh oleh ‘Anbasah, ”Semenjak aku mendengar pesan ini dari Ummu Habibah, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!”
Terus diikuti oleh para perawi setelah beliau, Amr bin Aus,”Semenjak aku mendengar pesan ini dari ‘Anbasah, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!”
Nu’man bin Salim mengatakan, ”Semenjak aku mendengar pesan ini dari Amr bin Salim, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!”
(HR. Muslim, no. 722)
Kisah senada dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, berliau pernah mengtakan,
أوصاني حبيحبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت
“Kekasihku shallallahu’alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku 3 hal, yang tak akan aku tinggalkan selama hidupku…” Kemudian beliau menyebutkan wasiat-wasiat itu. (HR. Muslim, no. 728)
Berikutnya kisah sahabat belia yang bernah Umar bin Abi Salamah radhiyallahu’anhu, beliau sendiri bercerita,
كنت غلاما في حجر رسول الله صلى الله عليه وسلم, وكانت يدي تطيش في الصحفة, فقال لي : يا غلام سم الله وكل بيمينك وكل مما يليك
“Saat aku masih kanak-kanak, aku berada di asuhan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ketika itu saat aku makan, tanganku berkelana kemana-mana di nampan. Kemudian Nabi menasehatiku, “Ucapkan bismillah nak… makanlah dengan tangan kananmu kemudian makanlah makanan yang terdekat denganmu.” (HR. Bukhori no. 5376 dan Muslim no. 2022).
Dalam riwayat Bukhori ditambahkan,
فما زالت تلك طعمتي بعد
“Semenjak itu, cara makanku seperti yang dinasehatkan Nabi.”
Coba perhatikan di sini, biasanya anak-anak tak cukup sekali duakali untuk bisa menerima arahan. Namun lihat sahabat belia ini, cukup sekali nasehat langsung beliau kerjakan.
“Semenjak itu, cara makanku seperti yang dinasehatkan Nabi…”
Kisah ini satu sisi menunjukkan kesegeraan mereka dalam mengamalkan ilmu, kemudian sisi yang lain menunjukkan kontinyu mereka dalam mengamalkan ilmu.
Belajar dari Generasi Setelah Sahabat
Kisah-kisah tak kalah menarik juga dari orang-orang hebat di generasi setelah sahabat.
Diantaranya ucapan Sufyan Ats-Tsauri radhiyallahu’anhu,
ما بلغني حديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم الا عملت به
Tak satupun hadis dari Rasulullah shallallahualaihi wa sallam sampai kepadaku melainkan aku amalkan.
Amr bin Qois mengatakan,
اذا بلغك الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاعمل به ولو مرة تكن من أهله
Jika ada hadis Rasulullah shallallahualaihi wa sallam sampai kepadamu maka amalkan meski hanya sekali, niscaya anda akan menjadi ahli dalam mengamalkan hadis itu.
Amalkan walau sekali, maksudnya hadis-hadis yang menerangkan amalan sunah. Adapun amalan wajib, tidak cukup dengan mengamalkan sekali kemudian dia bisa disebut ahlinya.
Berikutnya, kisah yang dinukil oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah, dari guru beliau; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ketika Syaikhul Islam mendengar hadis dari Ibnul Qoyyim, yakni hadis dari sahabat Abu Umamah, Nabi shallallahualaihi wa sallam bersabda,
من قرأ أية الكرسي دبر كل صلاة لم تكن بينه و بين الجنة الا أن يموت
Siapa yang membaca ayat kursi setiap kali selesai sholat, maka tak ada yang menghalaginya dengan surga kecuali kematian.
Ibnul Qoyyim menceritakan,
بلغني عن شيخ الاسلام ابن تيمية أنه قال : ما تركتها عقيب كل صلاة
Sampai informasi kepadaku bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Aku tidak pernah tinggalkan setiap selesai sholat.” (Zadul Ma’ad 1/285).
Kisah Imam Ahmad rahimahullah juga tak kalah berkesan, beliau pernah mengatakan, “Tak satupun hadis saya tulis di bab-bab kitab Musnad”; sebuah kitab karya beliau yang sangat tebal dan sangat banyak hadisnya, beliau mengatakan,” Tak satupun hadis saya tulis melainkan aku amalkan. Sampai aku mendengar bahwa Nabi shallallahualaihi wa sallam pernah berbekam, lalu beliau beliau memberi uang sebesar satu dinar kepada pembekam. Maka akupun berbekam lalu pembekam saya beri satu dinar.”
Inilah kisah para salafussholih dalam kesungguhan, keistiqomahan dan besarya perhatian mereka terhadap mengamalkan ilmu serta kontinyu dalam pengalaman ilmu.
Washallahu wa sallam ’ala Nabiyyina Muhammad.
Semoga Allah menjadikan kita mukmin sejati, dan dijauhkan dari karakter kaum munafik.
Semoga Allah merahmati kita dan mereka semua…
***
Merujuk pada : Tsamaroh Al-Ilmi Al-Amal, karya Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-‘Abbad
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc
____
Catatan Kaki
[1] HR. Ibnu Majah, no. 925 dan Ahmad 6: 305, 322. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[2] HR. Bukhari no. 71, Muslim no. 1037
[3] Miftah Dar As-Sa’adah 1/65
[4] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “As Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[5] Lihat Shahih Bukhori 1/110
[6] HR. Tirmidzi
[7] HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989
[8] HR. Bukhori dan Muslim
[9] Riwayat Imam Ahmad, dalam kitab Az-Zuhd, no. 1358
[10] Majmu’ Fatawa 14/307
Sumber: https://muslim.or.id/