Type Here to Get Search Results !

 


MENGENAL ULAMA LEBIH DEKAT

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Jika Anda ditanya, siapakah itu ulama; jawaban apakah yang kira-kira akan anda berikan? Apakah seperti asumsi khalayak yang memandang bahwa ulama itu adalah setiap penceramah yang membicarakan agama? Atau seperti yang diyakini beberapa kalangan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian? Atau mungkin seperti pandangan kaum feodal yang memandang bahwa ia adalah seorang pemegang jabatan keagamaan?

Siapakah ulama itu?

“Ulama adalah pewaris nabi,” begitu jelas Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmizi.

Tentunya, kita semua tahu apa dan bagaimana tugas nabi itu, bukan? Ya, membina dan membimbing umat dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran dengan berlandaskan pada wahyu. Menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Mengentaskan umat dari kegelapan dan kehancuran. Menyelamatkan umat dari kebodohan dan kenistaan. Dan yang terpenting, menyampaikan amanat risalah dari Rabb sekalian alam. Itulah tugas nabi.

Pun begitu sejatinya ulama. Ia adalah penerus estafet perjuangan nabi. Ia adalah pemangku tugas nabi. Semua tugas nabi, ia yang mewarisinya. “Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham. Yang mereka wariskan adalah ilmu. Siapa yang mengambil warisan itu berarti ia mengambil bagian yang banyak,” begitu sambung hadis di atas.

Jika ulama adalah pewaris nabi, berarti dialah yang bertugas membimbing dan membina umat sepeninggal nabi. Jika ulama adalah penerus estafet perjuangan nabi, maka dialah yang berkewajiban menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia sebagaimana dicontohkan nabi. Dan jika ulama adalah pemangku tugas nabi, maka dialah yang berhak mengentaskan dan menyelamatkan umat dari kegelapan, kehancuran, kebodohan, dan kenistaan seperti yang dituntunkan nabi. Jika memang demikian, sungguh berat amanah yang ada di pundaknya, dan sungguh sangat mulia pekerjaan itu. “Ulama adalah pewaris nabi“. Sungguh, hanya orang pilihanlah yang mampu mengambil warisan nabi itu.

Maka…

Jika keberadaan nabi di tengah-tengah umat adalah sebuah mahakarunia dari sang Maha Pengasih, maka keberadaan ulama pun berarti sebuah karunia yang tak ternilai harganya. Jika keberadaan Nabi mutlak dibutuhkan umat, pun begitu keberadaan ulama tak bisa dipisahkan dari sejarah umat. Jika nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu juga ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai koridor syar’i. Jika pribadi nabi adalah manusia pilihan yang wajib dicintai dan disayangi, ulama juga manusia pilihan yang berhak untuk dicintai dan disayangi.

Ringkasnya, jika kebahagiaan hidup umat manusia itu, baik dunia maupun akhirat, tergantung pada petunjuk nabi, maka sepeninggalnya pun kebahagian umat manusia juga tergantung pada petunjuk ulama yang menapaktilasi tuntunan nabi.

Lalu, siapakah ulama itu?

Ibnu Jarir ath-Thabari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah seorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia. Sementara itu, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in-nya membatasi bahwa ulama adalah orang yang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa di tengah-tengah manusia, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam kemudian menyimpulkannya, dan yang merumuskan kaidah-kaidah halal dan haram.

Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal masyarakat luas akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana firman Allah,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (Q.s. As-Sajdah [32]: 24).

Ia adalah seorang yang menekuni dan mendalami agama kemudian mendakwahkannya kepada umat. Allah Azza wajalla menegaskan,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tiap-tiap golongan tidak mengutus beberapa orang untuk memperdalam agama lalu memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali; supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (Q.s. At-Taubah [9]: 122).

Ia seorang penunjuk jalan bagi umat manusia pada setiap zaman. Ia seperti yang disabdakan baginda nabi, “Akan selalu ada di umatku ini sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Tidaklah memberinya madharat siapa saja yang melecehkannya atau menyelisihinya, sampai datang ketetapan dari Allah sedangkan ia dalam keadaan dimenangkan atas yang lain” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Siapakah gerangan kelompok yang dimenangkan itu? Mereka, ungkap Nawawi dalam Syarh Shahih Muslimnya, sekelompok orang mukmin yang terdiri dari para pejuang yang gagah berani, para ahli hadis, para ahli ibadah, para penegak amar makruf dan nahi munkar, dan yang lainnya. Bukanlah sebuah keharusan, tegasnya lebih lanjut, mereka ini berkumpul di bawah satu bendera. Sebab, bisa saja mereka ini menyebar di berbagai belahan bumi. Tetapi yang jelas, siapa pun kelompok itu, para ulamalah yang menjadi pemuka dan pemimpinnya, tanpa ada yang memperselisihkannya.

Makna Al Jama’ah

Ulama adalah seorang yang diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya, “Hiduplah kalian dalam satu jemaah dan jangan berpecah-belah. Sebab setan itu lebih mudah menjerumuskan satu orang daripada dua orang. Siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah surga maka bergabunglah dengan jemaah itu. Siapa yang merasa gembira dengan kebaikan yang dimilikinya dan merasa sedih dengan kejelekan yang ada pada dirinya, itulah sesungguhnya orang mukmin” (H.R. Ahmad dan Tirmizi).

Lalu, jemaah seperti apakah yang dimaksud itu? Para ulama menjelaskan, al-Qurthubi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan jemaah itu ada dua macam: pertama, sekumpulan kaum muslimin yang bersatu di bawah komando seorang pemimpin yang terpilih secara syar’i. Kedua, ia adalah ungkapan dari metodologi dan tata cara beragama seseorang. Maksudnya? Yakni siapa pun yang berada di atas petunjuk nabi Muhammad, para shahabatnya, dan salafus saleh maka berarti ia telah bergabung dengan jemaah.

Al-Ajurri dalam kitabnya, asy-Syari’ah, menjelaskan tentang pentingnya keberadaan jemaah tersebut. Setelah menyitir beberapa ayat dan hadis yang berkenaan dengan itu, ia pun berkomentar, “Tanda bahwa seseorang itu dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah ia berada di atas jalan itu. Yakni Al Quran, sunnah, petunjuk para shahabat, petunjuk para tabiin, dan pemimpin kaum muslimin di setiap negeri yang terdiri dari para ulama, seperti: Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Qasim bin Salam, dan siapa saja yang menempuh jalan mereka. Di samping itu, ia juga meninggalkan setiap petunjuk yang tidak ada tuntunannya dari para ulama itu”.

Karenanya, asy-Syatibi dalam al-I’tishamnya menyebutkan jawaban Ibnul Mubarak ketika ditanyai perihal jemaah yang layak untuk diikuti itu, “Abu Bakar, Umar, (dan seterusnya. Ia menyebut satu persatu nama ulama sampai pada nama Muhammad bin Tsabit). Ketika penanya mencoba menginterupsinya, “Mereka semua sudah meninggal dunia, siapakah kira-kira yang masih hidup?” “Abu Hamzah as-Syukri,” begitu jawabnya.

Begitulah Ibnul Mubarak menjelaskan bahwa jemaah yang wajib diikuti itu adalah para ulama, bukan yang lainnya. Oleh karena itu, paparan singkat di atas menyimpulkan bahwa perintah agar hidup berjemaah yang termaktub dalam hadis di atas itu berarti bahwa mengikuti kesepakatan yang telah dibuat oleh para ulama adalah sebuah kewajiban atas setiap orang muslim. Itulah, kata Ibnu Bathal, seperti yang yang ditulis Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya, yang dimaksud Bukhari ketika menjelaskan hakikat jemaah dengan ucapannya, “Yaitu para ulama.”

Ali bin Abi Thalib pernah mengungkapkan, seperti yang dikutip Ibnu Abdul Barr dalam kitab Jami’ Bayanil Ilmi, “Ulama akan selalu dikenang di setiap zaman. Meskipun jasad mereka telah tiada, namun jasa-jasa mereka akan selalu terpatri dalam benak sanubari“.

Sumber pertama

Hal yang sudah maklum bahwa para salafus shalih dahulu selalu mengajarkan agar menjadikan ulama sebagai rujukan dalam segala hal pelik yang membutuhkan solusi. Bahkan lebih dari itu, mereka juga menempatkan ketaatan kepada ulama sebagai prioritas, selama bernilai ketaatan kepada Allah; mencintai, menghormati, dan dan membelanya.

Tentunya, hal ini berbeda dengan zaman kita sekarang, zaman yang sepi dari hingar bingar ilmu agama. Pada zaman yang dikata modern ini, tidak sedikit kalangan yang justru gagal menyikapi ulama; tidak menempatkannya sebagaimana mestinya. Ada yang berlebih-lebihan dan ada pula yang meremehkan. Paling tidak ada tiga pandangan, sebagaimana diungkap ‘Abdurrahman al-Luwaihiq dalam Qawa’id fi at-Ta’amul Ma’a al-‘Ulama hal. 8, yang kini berkembang di tengah khalayak:

Pertama, pandangan yang menganggap bahwa ulama tak beda dengan manusia lainnya. Dalam artian, ulama tak memiliki kedudukan istemewa dalam agama, dan karena itu tak perlu ada sikap hormat terhadap ulama. Pandangan model ini diwariskan oleh sekte Khawarij, yang sejak awal berdiri justu tidak menaruh rasa hormat terhadap para shahabat Nabi. Hal yang akhirnya membuat mereka rugi berlipat; sesat dan menyesatkan.

Kedua, pandangan yang mengkultuskan ulama; mengangkatnya melebihi batas kewajaran. Bahkan, bertaklid buta kepadanya; yang menjadi barometer adalah dirinya, bukan dalil. Pandangan jenis ini memiliki kesamaan dengan sekte Rafidhah yang menganggap imam-imam mereka sebagai individu yang maksum dan menempatkan mereka pada kedudukan yang tak dapat dicapai oleh nabi dan malaikat.

Ketiga, pandangan yang menghormati ulama tapi dengan asumsi yang berlebihan; ulama tak boleh salah. Bila ada yang terjatuh dalam kesalahan, maka kesalahan tersebut dibesar-besarkan dan didengungkan di setiap majelis. Tentunya, ini adalah sikap yang kontradiksi. Di awal, menganggap bahwa ulama tak boleh salah. Tapi di akhir, menjelek-jelekkan dan menjatuhkan harkat ulama sebab kesalahan yang dibuatnya.

Lantas, siapakah yang pantas disebut ulama?

Hal yang tak mungkin dipungkiri oleh siapa pun ialah bahwa ulama itu dikenal karena ilmu yang ada pada dirinya. Ilmu itulah yang membedakan antara dirinya dengan yang lainnya. Oleh karena itu, yang pantas disebut sebagai ulama hanyalah orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari mata air yang suci; petunjuk nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

Di samping itu, orang yang berhak menyandang gelar “ulama” adalah yang mempunyai pendirian kuat ketika ditimpa fitnah dan cobaan. Ketika banyak manusia—bahkan sampai yang mengaku-ngaku ulama sekali pun—tergelincir dalam kubangan syubhat, ia sama sekali tak tergelincir. Pendiriannya kokoh bak paku yang ditancapkan kuat-kuat. Ketika orang-orang—termasuk yang diagung-agungkan sebagai ulama sekalipun—tidak bisa menyelamatkan diri dari belitan syubhat yang memecah belah umat, ia dengan gagah perkasa mampu menyelamatkan diri dan umat dari belitan yang berbahaya itu. Ia bak gunung menjulang tinggi yang tak akan goyah diterpa arus angin deras, sekali pun itu angin topan.

Hal ini sebab keyakinannya yang kuat, kokoh, dan menghunjam dalam-dalam di benak sanubari hasil dari pengaruh ilmu yang dimilikinya.

Simaklah ulasan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Darussa’adah (I/140) berikut ini, “Sungguh, orang yang mumpuni ilmunya itu andaikata dihadapkan pada syubhat yang seperti bilangan ombak di lautan tak akan goyah keyakinannya dan tak akan mampu keraguan merasukinya. Sebab, ia telah menapakkan kakinya tinggi-tinggi dalam hal ilmu. Bahkan sebaliknya, syubhat itu akan dengan mudah dikalahkannya.”

Ulama juga bisa dikenali lewat ibadah dan rasa takutnya yang tinggi kepada Allah. Merekalah orang yang paling tahu terhadap hakekat Dzat Yang Maha Pencipta.

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir [35]: 28).

Ia dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan agama Islam ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan untuk mengabdi demi tegaknya kalimat tauhid di bumi ini. Waktunya, ia habiskan untuk memerangi kemusyrikan yang menjangkiti dunia Islam. Ia layaknya dokter yang mengobati pasiennya; berusaha keras agar si pasien sembuh dari sakitnya. Ia korbankan segenap hidupnya sampai titik darah penghabisan dalam langkah-langkah dakwah menuju kalimat laa ilaaha illallah. Untuk itu, ia harus rela mengorbankan dunia dan berlalu meninggalkannya di belakang sebab itu adalah batu sandungan terbesarnya.

Itulah ulama yang dikenal manusia. Karenanya, jika anda menjumpai seseorang yang diagungkan dan diteladani oleh semua orang—bukan sekelompok orang saja—berkat ilmu yang dimilikinya berarti ia adalah seorang ulama. “Siapa yang mendapat tempat di hati masyarakat luas, disanjung dan dipuji orang banyak dengan latar belakang yang berbeda-beda, maka itulah dia pemimpin dan penunjuk jalan yang diberitakan bak lampu yang menerangi kegelapan,” tegas Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim dalam Majmu’ Fatawanya.

Di samping itu, seorang ulama juga bisa diketahui lewat rekomendasi yang diberikan oleh para ulama lain yang pernah menjadi gurunya, sebagaimana hal ini sudah menjadi adat yang berlaku di kalangan para ulama sejak zaman para salafus saleh dulu. Mereka senantiasa mewariskan secara turun temurun ilmu yang mereka miliki kepada murid-murid mereka. Murid-murid itulah yang kemudian meneruskan estafet perjuangan guru-guru itu. Mereka tidak akan berani mengambil tongkat estafet ini sampai para guru tersebut benar-benar memberikan rekomendasinya.

Begitulah generasi terdahulu dari umat ini saling mewariskan ilmunya. Dimulai dari nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang mewariskan ilmunya kepada para shahabat. Lalu, para shahabat mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya; tabiin. Kemudian para tabiin itu juga mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya; Tabiut tabiin. Setelah itu, tabiut tabiin juga mewariskan ilmu kepada generasi setelahnya. Begitu seterusnya sampai hari ini. Ilmu itu senantiasa diwariskan secara turun temurun. Setiap generasi tidak akan berani meneruskan perjuangan estafet generasi sebelumnya sampai betul-betul telah mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu.

Camkanlah petuah Malik bin Anas berikut ini, seperti yang diungkap Ibnu Hamdan dalam Shifatul Fatwa wal Mustafti, “Tidaklah sepantasnya seseorang memandang dirinya sendiri telah layak untuk melakukan sesuatu sebelum ia bertanya kepada yang lebih ahli darinya. Aku tidaklah berani berfatwa sebelum bertanya kepada Rabi’ah bin Yahya. Dialah yang menganjurkanku untuk berfatwa. Andaikata ia melarangku, pasti aku akan menurutinya.”

Selain itu, ia juga pernah memberi nasehat, sebagaimana tulis Ibnu Farhun dalam ad-Dibaj, “Tidaklah setiap orang yang ingin menyampaikan hadis dan fatwa langsung duduk di masjid dan bicara begitu saja tanpa meminta pendapat kepada yang lebih ahli dan pihak berwenang terlebih dahulu. Aku tidaklah berani berfatwa kecuali setelah direkomendasikan oleh tujuh puluh ulama.”

Lain daripada itu, seorang ulama juga bisa dideteksi lewat kajian-kajiannya yang bermutu, fatwa-fatwanya yang tidak kontroversial, dan karangan-karangannya yang memberi pencerahan terhadap umat, bukan memprovokasi.

Itulah di antara beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai barometer untuk menilai apakah seseorang itu layak dikategorikan sebagai ulama atau tidak. Adapun jabatan, pangkat, atau yang semisalnya tidaklah bisa dipakai untuk menimbang keulamaan seseorang. Sebab, gelar ulama itu tidaklah diperoleh melalui pemilihan umum dan serah terima jabatan. Oleh karenanya, siapa pun itu, jika telah diakui oleh umat dan menjadi panutan masyarakat, maka dia adalah seorang ulama meskipun tidak menduduki jabatan tertentu, misalnya ketua MUI atau yang lainnya.

Syeikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim dalam Majmu’ Fatawa-nya mengungkapkan bahwa kedudukan dan jabatan tidaklah bisa menjadikan seseorang yang bukan ulama menjadi ulama. Karena, lanjutnya, jika urusan ilmu dan agama itu ditentukan lewat kedudukan dan jabatan, tentunya kepala negara itu lebih berhak untuk berbicara tentang ilmu dan agama. Namun, kenyataannya justru tidaklah demikian.

Namun, yang harus dicatat di sini ialah tidak setiap orang yang ditunjuk menduduki jabatan tertentu, misalnya ketua MUI, bukanlah seorang ulama. Bukan. Bukan, seperti itu. Sebab, bisa jadi ia adalah seorang ulama yang kemudian ditunjuk untuk menduduki jabatan tersebut. Ia digelari ulama bukan karena jabatan yang didudukinya itu. Tetapi dikarenakan hal-hal yang telah disebutkan di atas itu. Jadi ringkasnya, jabatan bukanlah barometer untuk menilai keulamaan seseorang. Hanya saja ada kalanya jabatan itu diduduki oleh seorang ulama.

Itulah kiranya sekilas pencerahan yang bisa diutarakan. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menjadi batu loncatan kita semua agar bisa lebih mengenal ulama lebih dekat lagi. Wallahu a’lam. []

Penulis: Ustadz Abu Hasan Ridho Abdillah, BA., MA.

Sumber: https://muslim.or.id/