Ilmu syari’at ditinjau dari sisi kedudukannya terbagi menjadi dua, yaitu ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana) (Lebih lanjut, silahkan baca artikel Tahukah Anda Ilmu Fardhu ‘Ain, sedangkan masing-masing disiplin ilmu tersebut ditulis dalam kitab-kitab yang berjumlah banyak dan beranekaragam oleh para Ulama rahimahumullah.
Tentu, sebagai penuntut ilmu syar’i perlu mengetahui bagaimana cara istifadah (mengambil manfaat) dari kitab Ulama tersebut agar mendapatkan hasil sebagaimana para Ulama rahimahumullah mendapatkannya. Sebagaimana sebuah sya’ir mengatakan,
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا تجري على اليبس
“Anda mengharapkan kesuksesan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya # Sesungguhnya kapal laut itu tidaklah berjalan di atas daratan!”
Bagaimana mungkin kapal laut lewat darat akan sampai tujuannya?
Berikut ini empat kaidah umum cara mempelajari kitab-kitab Ulama. Kaidah ini dikatakan “Kaedah Umum” karena memang bisa diterapkan pada seluruh macam kitab Ulama dari berbagai disiplin ilmu syar’i.
Kaidah Pertama: Kitab-kitab Ulama ditinjau dari ringkas tidaknya, terbagi menjadi tiga mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (sedang) dan muthowwalah (panjang lebar), maka untuk ta`siis dan ta`shiil (pendasaran yang kokoh), mulailah dari mukhtashoroh lalu mutawassithoh kemudian muthowwalah agar keilmuan Anda sebagai penuntut ilmu terkurikulum secara sistematis, rapi dan kokoh.
Penjelasan
Kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas) adalah kitab-kitab matan yang uraiannya singkat dan memberikan pelajaran dasar dalam suatu disiplin ilmu syari’at. Di masa sekarang, kitab-kitab mukhtashoroh ini kedudukannya seperti kurikulum untuk SD.
Faedah mempelajari kitab-kitab mukhtashoroh adalah mengokohkan materi dan kaidah dasar dalam suatu disiplin ilmu syari’at agar mantap naik ke tingkatan ilmu yang sesudahnya.
Kitab-kitab yang mutawassithoh (sedang) adalah kitab-kitab lanjutan dari kitab-kitab mukhtashoroh, namun tidak sampai kitab-kitab yang muthowwalah (panjang), berisikan uraian pendasaran lebih lanjut tentang pelajaran yang belum atau sudah dijelaskan dalam kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas), namun lebih detail. Di masa sekarang, kitab-kitab mutawassithoh ini kedudukannya seperti kurikulum untuk sekolah lanjutan, baik di tingkat pertama (SLTP) maupun atas (SLTA).
Faidah mempelajari kitab-kitab mutawassithoh adalah kelanjutan materi dasar di kitab- kitab mukhtashoroh sekaligus pengantar untuk naik ke tingkatan materi tinggi di Kitab-kitab yang muthowwalah (panjang lebar).
Kitab-kitab yang muthowwalah (panjang lebar) adalah kitab-kitab syarah (penjelasan) yang luas tentang perkara yang samar atau yang kurang detail perinciannya di dalam matan yang mukhtashoroh maupun kitab-kitab yang mutawassithoh . Serta menjelaskan masalah-masalah cabang yang rinci sebagai penjabaran dari materi sebelumnya yang sudah disebutkan di dalam kitab-kitab matan yang mukhtashoroh dan kitab-kitab mutawassithoh.
Di masa sekarang, kitab-kitab muthowwalah ini kedudukannya seperti kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi.
Faidah mempelajari kitab-kitab muthowwalah:
- Pendalaman dan perluasan materi atau kaidah dasar,
- Penguasaan masalah-masalah cabangnya,
- Penjelasan perkara-perkara yang samar atau sulit
- dipahami di kitab-kitab tingkatan sebelumnya.
Kesimpulan:
- Tidak patut bagi penuntut ilmu syar’i pemula meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh dan langsung mempelajari kitab-kitab muthowwalah, seperti Fathul Baari, Al-Mughni, Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab dan Al Muhalla, ia akan kehilangan materi dan kaidah dasar sebagai pondasi terbangunnya materi-materi tingkatan selanjutnya. Ibaratnya ia belum menguasai materi SD dengan baik, sudah mencoba mempelajari materi perguruan tinggi bahkan tingkat pasca sarjana.
- Kalaupun ia nekat langsung mempelajarinya dan meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh, maka ia terancam tidak bisa menguasai isi kitab-kitab muthowwalah dengan baik.
- Mungkin saja di dalam hatinya terdapat banyak maklumat, wawasan, dan masalah-masalah ilmiyyah yang pernah dibacanya dari kitab-kitab yang muthowwalah, namun semua pengetahuan-pengetahuan tersebut biasanya semrawut, tidak sistematis dan tidak bisa ia pahami dengan baik, karena ia tidak memiliki ilmu dan kaidah dasar untuk mengikat, menata, mengelompokkan dengan rapi serta memahami hakikatnya dengan baik. Jika ia dituntut untuk menjelaskan pengetahuan-pengetahuan yang pernah dibacanya di kitab-kitab muthowwalah tersebut, maka ia tidak mampu menjelaskannya dengan baik dan jelas.
- Perlu dibedakan antara ta`siis/ ta`shiil (pendasaran yang kokoh) dengan iththilaa’ (sekedar membaca untuk perluasan wawasan ketika dibutuhkan saja). Untuk masalah ta`siis/ ta`shiil (pendasaran yang kokoh), maka haruslah seorang penuntut ilmu mengambil terlebih dahulu mukhtashoroh, kemudian mutawassithoh dan terakhir muthowwalah, agar keilmuan seorang penuntut ilmu terkurikulum secara sistematis, rapi, dan kokoh.
- Namun jika iththilaa’ (membaca/memperluas wawasan) saat ada keperluan, misalnya ketika ia muroja’ah sebuah permasalahan ilmiyyah tertentu, maka ia bisa memilih merujuk kepada kitab-kitab Ulama bacaan sesuai dengan kemampuannya dan kebutuhannya untuk memperluas wawasannya. Namun aktifitas ini dilakukan seperlunya dan jangan sampai mengganggu aktifitas belajar yang ta`shili/ta`sisi tersebut.
Contoh Penerapan Kaidah Ini
- Ibnu Qudamah rahimahullah telah memberikan contoh dalam menerapkan kaidah ini, beliau yang merupakan salah satu Ulama besar dalam madzhab Hanbaliyyah telah menyusun kitab Fikih dalam madzhabnya menjadi beberapa tahap,
- Al-‘Umdah fil Fiqh, ini matan dasar yang ringkas.
- Al-Muqni`, ini isinya lebih panjang.
- Al-Kaafi, ini lebih panjang dari Al-Muqni’ dan sebagai persiapan untuk naik ke tingkat muthowwalah.
- Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh hafizhahullah mengatakan, bahwa beliau mendengar Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi rahimahullah ta’ala berkata, “Sesungguhnya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah telah mendahului lembaga pendidikan modern zaman ini, beliau menjadikan Al-‘Umdah fil Fiqh untuk kurikulum SD, Al-Muqni` untuk SLTP, Al-Kaafi untuk SLTA, dan Al-Mughni untuk Perguruan tinggi”.
Kaidah Kedua: Memperhatikan madzhab dan latar belakang ilmiyyah seorang Imam, Ulama atau penulis kitab-kitab yang ia pelajari.
Hendaknya seorang penuntut ilmu syar’i memperhatikan dengan baik madzhab (metodologi ilmiyah) Imam, Ulama, atau penulis kitab-kitab yang ia pelajari, karena Ulama menulis kitab itu sesuai dengan madzhab yang mereka pegangi, walaupun tujuan Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum dalam menulis kitab adalah menjelaskan kebenaran berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan manhaj Salaf, namun tidak bisa terlepas dengan metodologi ilmiyyah mereka dalam menganalisa permasalahan ilmiyyah.
Contoh Madzhab dan Latar Belakang Ilmiyyah Ulama
Di antara Ulama ada yang bermadzhab Hanabilah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah), ada yang bermadzhab Syafi’iyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah), ada juga yang bermadzhab Hanafiyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Hanafi rahimahullah) dan diantara mereka ada yang bermadzhab Malikiyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Malik rahimahullah). (Catatan: bermadzhab yang benar adalah ketika sebuah pendapat madzhab bertentangan dengan dalil, maka pendapat itu tertolak dan dalil lah yang menjadi pegangan, karena kegunaan madzhab adalah untuk memahami dalil dan bukan untuk menandinginya)
Di antara Ulama ada yang perbekalan sunnah mereka sangat banyak, sehingga sedikit kesalahan mereka dalam masalah sunnah. Namun ada juga di antara Ulama -disebabkan ilmu tentang sunnahnya yang sedikit- memasukkan bid’ah di sebagian kitab-kitab mereka. Ini hal yang mungkin saja terjadi, karena mereka adalah manusia biasa, yang tidak ma’shum (terjaga) dari kesalahan.
Kaidah kedua ini sangat penting untuk diperhatikan sebelum seorang penuntut ilmu syar’i menekuni kitab-kitab Ulama, karena terkadang ia terpengaruh banyak oleh kitab-kitab yang ia baca, sedangkan ia tidak mengetahui apa madzhab dan latar belakang ilmiyyah penulis.
Misalnya, seorang Tholibul ‘Ilmi selalu lebih menguatkan pendapat-pendapat Ulama penulis kitab-kitab syarah hadits dibandingkan dengan kitab-kitab fikih yang muthowwalah, karena ia memandang bahwa para ulama pensyarah Hadits (Muhadditsin) lebih terbebas dari taqlid madzhab dan lebih mumpuni dalam berijtihad daripada Ulama yang menulis kitab-kitab Fikih (Fuqoha`),
sehingga ia menyimpulkan bahwa metode tarjiih (menguatkan pendapat) Muhadditsin lebih bisa dipercaya daripada metode tarjih Fuqoha`.
Kesimpulan ini tidak selalu benar, bahkan sebenarnya para Ulama pensyarah Hadits tersebut mendasari tarjiihat Fikihnya dengan madzhab mereka, contohnya Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Syarah Muslim, ketika melakukan tarjih, maka beliau menguatkan pendapat yang dikuatkan oleh Ulama Syafi’iyyah, karena memang beliau adalah salah satu Ulama besar dalam madzhab Syafi’iyyah, maka jika beliau sudah mulai berdalil dan menerapkan kaedah Ushul Fikih, maka beliau menggunakan Ushul Fikih Syafi’iyyah. Jadi, dalam mempelajari kitab-kitab syarah Hadits, permasalahannya bukanlah sekedar asal derajat haditsnya sahih, ini suatu hal yang bagus, namun bukan segalanya, kesahihan hadits tidak cukup dalam menghasilkan sebuah kesimpulan fikih. Yang tidak kalah penting adalah wajhu istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbath (mengeluarkan suatu hukum syar’i dari dalilnya). Nah, wajhu istidlal atau Istinbath ini kembalinya kepada ilmu ushul fikih, sedangkan ilmu ushul fikih bermadzhab-madzhab pula.
Jangankan ilmu ushul fikih, dalam urusan meshahihkan atau mendha’ifkan hadits -yang kembalinya ke ilmu mustholahul hadits dan ilmu rijal (keadaan perawi hadits)- itupun mengenal madzhab-madzhab. Misalnya, dalam masalah menghukumi sanad ‘Amr bin Syu’aib ketika meriwayatkan Hadits dari bapaknya dari kakeknya, atau sanad yang semisalnya, terkadang ada perselisihan pendapat diantara Ulama Ahli Hadits.
Jadi tidak jarang ditemui perbedaan pendapat diantara Ulama Ahli Hadits rahimahumullah dalam menghukumi perawi hadits, terkait apakah perowi tersebut tsiqoh (dipercaya) atau tidak, shoduq atau tidak, diterima riwayatnya dalam masalah ini atau tidak, dan diterima riwayatnya jika meriwayatkan dari fulan tertentu atau tidak?.
Jadi tidak cukup bagi seorang penuntut ilmu syar’i mengatakan, “Masalah ini dalilnya adalah hadits itu, yang dishahihkan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahi dalam Fathul Baari atau dalam Buluughul Maraam!”, ini tidak cukup! Jika ia ingin memilih pendapat ulama yang rojih (terkuat), maka ia perlu memahami bagaimana wajhu istidlal atau Istinbath Ulama tersebut.
Karena bukan hal yang aneh jika seorang Ulama ahli hadits ataupun Ulama ahli fikih yang sudah membawakan dalil berupa hadits yang shahih, ternyata ketika menyimpulkan suatu hukum dari hadits itu, ternyata kesimpulan hukum tersebut marjuh (lemah), karena memang wajhu istidlal atau Istinbath Ulama tersebut lemah.
Sangkaan yang salah
Anggapan bahwa inti permasalahan perselisihan pendapat diantara Ulama adalah hanya terbatas pada “Ulama fulan tidak memiliki dalil sama sekali dalam masalah ini!” atau “Ulama fulan dalam masalah ini pendapatnya salah mutlak atau lemah mutlak, tidak ada satu sisi tinjauan ilmiyyah pun yang menguatkan pendapatnya”.
“Pendapat kami benar dan kuat secara mutlak dalam masalah ini! atau “Selain kami tidak memiliki dalil sedikitpun dalam masalah ini!”.
Anggapan di atas salah. Kasus perselisihan Ulama bukanlah sebatas itu saja. Bahkan, dalam masalah ikhtilaf (perselisihan Ulama), kasus seperti di atas, sebenarnya sedikit. Kasus terbanyak adalah masing-masing kelompok Ulama yang berselisih memiliki dalil masing-masing pula, bahkan tidak jarang dalilnya sama-sama sahih untuk digunakan berhujjah, namun yang menjadikan mereka berselisih adalah wajhu istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbathnya (cara mengeluarkan hukum dari dalilnya).
Demikian pula kasus “Pendapat Ulama fulan marjuh mutlak! Lemah ditinjau dari sisi manapun!” kasus ini sebenarnya sedikit, kejadian yang terbanyak adalah pendapat kelompok Ulama ini lebih sedikit bantahan/kritikannya dibandingkan dengan pendapat kelompok Ulama yang lainnya, sehingga pendapat yang lebih sedikit bantahannya itulah, yang dikatakan sebagai pendapat yang lebih kuat (rajih)! Wallahu a’lam.
Adapun kaedah ketiga dan keempat, insyaallah akan kami lanjutkan pada artikel Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.4, selesai)
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul:
“Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
Pada artikel bagian ketiga, telah dijelaskan dua kaidah dari empat kaidah umum dalam mempelajari kitab ulama. Nah, pada artikel ini kami tuliskan dua kaidah selanjutnya, yaitu:
Kaidah Ketiga: Menguasai bahasa ilmiyyah ulama rahimahumullah yang digunakan dalam kitab-kitab mereka dan melatih diri menggunakannya dalam mengungkapkan permasalahan ilmiyyah.
Setiap disiplin ilmu memiliki bahasa, lafadz, kosakata, dan istilah ilmiyyah tersendiri. Para ulama rahimahumullah menggunakan bahasa ilmiyyah tersebut dalam menulis kitab-kitab mereka. Jadi, maksud “bahasa ilmiyyah” disini meliputi seluruh lafadz-lafadz ilmiyyah yang digunakan para ulama untuk menjelaskan suatu disiplin ilmu syar’i tertentu, yang mana disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengannya.
Kitab-kitab Ulama dalam berbagai disiplin ilmu syar’i memiliki bahasa ilmiyyah masing-masing. Seperti disiplin ilmu tauhid, memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang tidak didapatkan di kitab-kitab dalam disiplin ilmu syar’i lainnya, demikian pula disiplin ilmu fikih, nahwu, dan yang lainnya, masing-masing memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang dipakai Ulama dalam menjelaskan ilmu-ilmu tersebut.
Sebagai Contoh:
Bahasa Ulama dalam disiplin ilmu tauhid, seperti istilah-istilah kamalut tauhid, kufur, nifaq, ‘Ubudiyyah, dan perbedaan muwalah dan tawalli serta antara nafyul ashlul iman dengan kamalul iman. Bahasa ulama dalam disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, seperti istilah-istilah perbedaan antara karahah littanzih dengan littahriim, antara syuruth dengan arkaan, fasaad, shihhah, dan tahqiiqul manaath.
Bahkan tidak jarang seorang imam tertentu memiliki bahasa ilmiyyah khas tersendiri, misalnya Imam Ahmad rahimahullah memiliki lafadz-lafadz khusus seperti laa yashluhu atau Astaqbihuhu, maksudnya adalah mengharamkan. Jika beliau mengucapkan laa yanbaghi, maka maksudnya adalah terkadang mengharamkan, namun terkadang memakruhkan saja. Jika beliau mengucapkan laa yu’jibuni atau laa uhibbuhu, maka maksudnya adalah memakruhkan. Jika beliau menjawab pertanyaan seorang penanya dengan kalimat yuf’alu kadza ihthiyaathan, maka maksudnya adalah mewajibkan.
Akibat Tidak Menguasai Bahasa Ilmiyyah Tersebut
Barangsiapa yang memahami kitab-kitab Ulama tidak dengan menggunakan bahasa mereka, namun misalnya, dengan menggunakan bahasa budaya modern, bahasa media masa, dan bahasa serapan asing, maka ia akan menemui kesalahpahaman yang banyak dalam menyimpulkan isi dari kitab-kitab tersebut. Bahkan perkara yang haram, bisa dipahami sebagai suatu yang mubah, atau yang haram jadi makruh saja. Atau perkara bid’ah menjadi sunnah, bahkan syirik bisa menjadi tauhid.
Kaidah Keempat: Mencatat dan membukukan faidah-faidah yang sangat penting, baik dari kitab-kitab muthowwalah, mutawassithoh, maupun mukhtashoroh.
Dalam aktifitas mempelajari kitab-kitab Ulama, jika hanya sebatas membaca saja, tanpa mencatat dan membukukan catatan tersebut dalam buku catatan tersendiri, tidaklah cukup. Hal itu tidak banyak manfa’atnya. Berapa banyak kita dapatkan para Ulama menulis kitab-kitab ringkasan kitab ini dan itu, talkhish ini, serta taqrib itu? Mengapa demikian? Apakah tujuan mereka menulis kitab ringkasan dari kitab Ulama sebelumnya hanya sebatas ingin tulisan yang ringkas saja, sehingga lebih mudah dipahami dan dihafal? Tidaklah demikian.
Di dalam aktifitas meringkas terdapat faidah lain selain faidah di atas, yaitu ringkasan mencerminkan pemahaman peringkas. Jika Ulama saja merasa perlu menuangkan pemahaman mereka terhadap kitab-kitab Ulama sebelum mereka, dengan cara menulis ringkasannya, bagaimana lagi dengan tholibul ‘ilmi (para penuntut ilmu syar’i)? Tentu ia lebih butuh untuk melatih dan menguji pemahamannya terhadap kitab-kitab Ulama dengan cara mencatat, meringkas dan membukukannya.
Maksudnya seorang tholibul ‘ilmi jika ingin sukses dalam mempelajari kitab-kitab Ulama, maka ia perlu mencatat faidah-faidah ilmiyyah yang didapatkan dari kitab-kitab tersebut, ia tulis faidah-faidah ilmiyyah itu dalam buku catatan tersendiri, baik faidah-faidah ilmiyyah itu diambil dari kitab-kitab mukhtashoroh, mutawassithoh, maupun muthowwalah.
Bentuk catatan faidah
- Seorang tholibul ‘ilmi bisa mencatat faidah-faidah itu dalam bentuk :
- Terkadang, karena tuntutan keadaan, cukup ia tulis dalam bentuk kata-kata singkatan yang bisa dipahami terlebih dahulu, jika ada waktu senggang nantinya, maka ia tulisnya kembali dengan rinci.
- Terkadang, langsung ia tulis dengan rinci faidah-faidah tersebut.
- Terkadang pula ia meringkas penjelasan Ulama dalam suatu bab ilmiyyah tertentu, sehingga menjadi ringkasan kitab ini dan itu.
- Terkadang pula ia tulis faidah-faidah ilmiyyah tersebut dalam bentuk daftar isi di sebuah buku catatan tersendiri, dan ia kelompokkan daftar isi tersebut dalam sebuah nama bab tersendiri, sesuai kelompok faidah, misalnya daftar isi bab kelompok faidah tentang lugoh, bab kelompok faidah tentang perbedaan, bab kelompok faidah tentang pembagian, kelompok faidah tentang definisi, dan lainnya.
Faidah Menerapkan Kaidah Umum Ini
Faidah yang banyak akan dapat diraih dengan menerapkan kaidah umum ini, diantaranya:
- Tholibul ‘Ilmi memungkinkan sewaktu-waktu memuroja’ah (mengulang kembali mempelajari) ilmu-ilmu yang telah ia baca dari kitab-kitab Ulama.
- Jika ia menerapkan kaidah ini dengan baik, maka ilmu-ilmu sesudahnya –in sya Allah– akan lebih mudah ia pahami.
- Kemampuan mengungkapkan permasalahan ilmiyyah dengan bahasa ilmiyyah yang singkat padat dan tidak berbelit-belit lewat tulisan, semakin meningkat. Karena semakin hari catatan-catatan ilmiyyahnya semakin meningkat kualitasnya. Dari mulai ia mampu menuliskan faidah-faidah yang sederhana sampai akhirnya mampu menulis faidah-faidah yang sulit dan tinggi, sehingga kemampuan ilmiyyahnya meningkat!
- Ketika ia mengetahui bahwa sebagian pemahaman dirinya di masa silam adalah salah, maka ia pun dengan mudah bisa membenarkannya, karena ditemukan catatannya tentang hal itu.
- Mengenal dengan akrab bahasa ilmiyyah para ulama dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i.
Wa shallallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammad, wal hamdulillahir Rabbil’alamin.
____
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul :“Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28).
Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin.
Transkrip muhadhoroh syarah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber: https://muslim.or.id/