Di sisi lain, sebagian dari penuntut Ilmu yang telah mendapatkan hidayah sunnah dan memiliki semangat mempelajari berbagai kitab ulama pun ada yang merasakan hal seperti ini,
“Tahunan sudah saya mengikuti kajian dari daurah ke daurah dan banyak sudah kitab-kitab ulama yang telah saya baca, namun saya merasa seolah-olah ‘tidak punya apa-apa’, tidak menguasai kaidah-kaidah dasar yang kokoh, tidak bisa menganalisa sebuah masalah ilmiyah dengan baik, dan tidak mampu memahami apalagi membahas masalah-masalah yang pelik!”. Suatu pertanyaan yang layak dijadikan renungan: “Sudah benarkah cara belajarnya?
Menuntut ilmu syar’i Adalah Jalan yang Panjang
Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan yang panjang, tidaklah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta meninggalkan mengikuti kesenangan syahwat belaka. Di samping itu, juga harus melakukannya dengan bersungguh-sunguh ”. Mengapa demikian?Karena Allah Yang Maha Mengetahui tentang wahyu-Nya telah mensifati wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ucapan yang berat,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat” (QAl-Muzzammil: 5).
Hal yang dimaksud dengan Ucapan yang berat di sini adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Oleh sebab itu, ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang suatu masalah, beliau tidak menjawabnya, lalu ada yang berkata, “Ini masalah yang enteng atau masalah yang sepele”, sang Imam pun menjawab, “Jangan Anda katakan seperti itu! Karena (sesungguhnya) tidak ada satupun dari ilmu syar’i ini, -baik permasalahan kecil maupun yang besar- layak dikatakan sepele atau enteng, karena Allah Jalla wa ‘alaa mensifatinya dengan (perkataan yang) berat {إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا }”.
Ucapan Imam Malik rahimahullah adalah ucapan yang mendalam dan sarat makna.
Hal ini adalah tingkatan pertama dari tangga menuntut ilmu bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh menyepelekan dan menggampangkan ilmu, walaupun seandainya masalah yang dibahas benar-benar perkara yang mudah dipahami. Bukan berarti tidak ada sebagian dari ilmu syar’i yang lebih mudah dipahami daripada sebagian yang lainnya.Namun maksudnya, walaupun suatu materi ilmu itu mudah, tetap tidak layak untuk disepelekan. Mengapa?
Seorang penutut ilmu syar’i, tidaklah dikatakan menguasai ilmu syar’i dengan baik dan tidaklah dikatakan memiliki ilmu yang mapan kecuali dengan memberikan perhatian yang besar terhadap semua masalah ilmiyah, baik yang kecil maupun yang besar, baik terkait dengan aktifitas memahami dan memperolehnya, menghafal maupun mengulang-ulangnya, mendalamkan dan mengokohkannya dalam hati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu adalah perkara yang berat.Ada sebuah kata Mutiara yang terbukti dalam kenyataan dan menarik untuk kita simak
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا
Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja, namun jika Anda memberikan pengorbanan sebagian saja untuk memperolehnya, maka Anda tidak akan mendapatkan apa-apa darinya” .
Seorang Penuntut Ilmu Haruslah Memiliki Metodologi dalam Belajar
Ya, metodologi (manhaj) yang benar dalam menuntut ilmu syar’i dan membaca kitab-kitab ulama haruslah dimiliki oleh setiap penuntut ilmu syar’i karena jika ia sampai tidak memilikinya, maka bisa luntur semangatnya, bosan dan bahkan ia bisa berhenti di tengah jalan.
Telah berlalu sekian tahun lamanya ia belajar ilmu-ilmu syari’at ini, namun ia dapati dirinya seolah-olah masih seperti yang dulu, awam atau berstatus ”banyak baca kitab” saja, walaupun hanya pendahuluan, daftar isi, dan beberapa bab secara sekilas.
Akhirnya, pengetahuannya setengah-setengah, tidak menguasai kaidah-kaidah dasarnya, tidak paham inti masalahnya, lebih tidak paham lagi masalah perinciannya dan perkara-perkara yang sulit karena yang ia dapatkan selama ini tidak lebih dari sekedar wawasan dan bukan ilmu yang kokoh dan mapan.
Tiga Kunci Mendasar Sukses Menuntut Ilmu Syar’i
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari dulu sampai sekarang memiliki tiga kiat sukses mendasar dalam menguasai ilmu syar’i, sehingga mereka berhasil menjadi para ulama, Aimmatul Huda (para Imam yang mengajarkan petunjuk Allah), dengan taufik dari Allah Ta’ala.
Ketiga prinsip ini termasuk penyebab terbesar didapatkannya taufik dan pertolongan Allah, sehingga mereka mendapatkan anugerah menjadi para ulama rabbaniyin.
1. Ikhlas
Seorang penuntut ilmu syar’i haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, sehingga Dia berkenan memasukkannya ke dalam surga-Nya.Menuntut ilmu syar’iadalah ibadah yang agung, tidaklah akan diterima dan diberkahi oleh Allah kecuali dengan keikhlasan, bukan bertujuan untuk mendapatkan perhiasan dunia berupa harta, tahta, wanita, pujian maupun yang lainnya.
Seorang penuntut ilmu syar’i tidaklah belajar dengan niat mengincar profesi guru, penceramah, maupun ustadz terkenal, namun ia belajar agama Islam ini semata-mata dalam rangka beribadah kepada Rabbnya semata, agar bisa beribadah dan beragama dengan benar (baca: berilmu dan beramal), dan ingin agar orang lain bisa beribadah dan beragama dengan benar pula (baca: berdakwah). Bukan profesi, gaji, dan popularitas yang menjadi tujuannya, namun ilmu, amal dan dakwah yang ia inginkan, inilah profil penuntut ilmu yang ikhlas, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, serta mencari surga-Nya.
Hal inilah yang dimaksud oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam perkataannya,
العـلم لا يـعـدله شـيء لمن صحّـت نيـتـه ،قيل: وكيف تصح نيته؟ قال: ينـوي أن يرفع الجهل عن نفسه وعن غيره
“Ilmu (syari’at) itu tidak ada sesuatu yang bisa menyaingi keutamaannya, bagi orang yang benar niatnya. Ada yang bertanya, “Bagaimana niatnya bisa benar?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia berniat menghilangkan kebodohan (tentang agama Islam ini) dari dirinya dan dari orang lain”.
Maksud beliau niat yang benar dalam menuntut ilmu syar’i adalah berilmu agar bisa beramal dan beribadah dengan benar serta untuk berdakwah kepada orang lain agar mereka pun bisa beribadah dengan benar. Intinya adalah berilmu, beramal, dan berdakwah.
2. Cara menuntut Ilmu Syar’i yang Sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
Niat yang benar (baca : Ikhlas) semata tidaklah cukup, haruslah ditambah dengan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, barulah ketika terkumpul kedua perkara ini, maka aktifitas ibadah diterima oleh Allah. Di antara cara yang paling penting dalam menuntut ilmu syar’i adalah Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).
Mengapa demikian?Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menerangkan kepada kita kabar yang umum,
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek” (HR. Muslim no. 2594).
Maksud dari “sesuatu” disini umum, termasuk juga didalamnya adalah aktifitas menuntut ilmu syar’i.
Demikian pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, mencintai kelembutan dalam seluruh perkara” (HR. Bukhari dan Muslim). sabda beliau (في الأمر كله) mencakup seluruh perkara, termasuk didalamnya menuntut ilmu syar’i.
3. Ar-Rifqu dalam menuntut Ilmu Syar’i
Bagaimana bentuknya? Ulama menjelaskan tentang Ar-Rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru, dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk Ar-Rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail, dan mendalam, namun ia mempelajari dasar-dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Allah baginya.Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh seorang imam Tabi’in yang terkenal, Syihab Az-Zuhri,
من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي
“Barangsiapa yang mencari ilmu sekaligus (semuanya atau mayoritasnya), maka akan lenyaplah ilmu tersebut sekaligus pula. Sesungguhnya ilmu syar’i hanya bisa dipelajari dengan baik jika menghabiskan waktu siang dan malam (dalam waktu yang panjang) ” .
Menguasai ilmu syar’i dengan baik, mendalam, luas, detail, dan kokoh itu membutuhkan waktu yang panjang, harus bertahap selama bertahun-tahun, tidak bisa hanya dalam waktu yang singkat. Barangsiapa yang coba-coba mempelajarinya langsung mendalam, luas, dan detail dalam waktu singkat, biasanya ia tidak akan bisa menguasainya dengan baik sehingga seolah-olah ia seperti tidak pernah belajar sama sekali atau bahkan benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ilmu tersebut.
Adapun tentang bagaimana contoh-contoh Ar-Rifqu dalam menuntut ilmu syar’i, insya allah akan berlanjut pada artikelCara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.2)
(Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh ShalIh Alu Asy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau: Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
Pada bagian pertama telah dijelaskan bahwa ada tiga kunci mendasar untuk sukses menuntut ilmu syar’i yang diterapkan para ulama rahimahumullah, yaitu Ikhlas, sesuai dengan sunnah, yaitu ar-rifqu. Para ulama menjelaskan tentang ar-rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk ar-rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail dan mendalam, namun mempelajari dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan yang dimudahkan oleh Allah baginya.
Contohnya:
Seorang penuntut ilmu syar’i pemula yang memiliki semangat mempelajari ilmu tafsir -di awal tangga menuntut ilmu- menginginkan langsung menguasai pembahasan tafsir yang luas, yang disebutkan di dalamnya banyak perbedaan pendapat para ahli tafsir, detail, dan lengkap dengan sanadnya serta alasan-alasan ilmiyahnya, padahal ia tidak pernah mempelajari tafsir yang ringkas sebelumnya, yang mengajarkan dasar-dasar ilmu tafsir dan tidak pernah pula mempelajari kaidah-kaidah usul tafsir, kaidah tafsir, kaidah tarjih (menguatkan pendapat), tata bahasa Arab maupun ilmu lainnya yang dibutuhkan untuk memahami pembahasan tafsir yang detail dan mendalam.
Misalnya saja, penuntut ilmu pemula tersebut langsung mempelajari kitab tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari yang tergolong memuat mayoritas ilmu tafsir, sebuah kitab yang terdiri dari belasan jilid yang tebal. Jika Anda bertanya kepadanya tentang tafsir Ayat tertentu, maka biasanya ia tidak bisa menjelaskannya dengan baik, hanya ingat saja bahwa dirinya pernah baca tafsir Ayat tersebut, tidak lebih dari itu.
Begitu juga ketika ia ingin mempelajari ilmu hadits, ia langsung belajar kitab Syarah Shahihul Bukhari dan Fathul Baari. Orang seperti ini tidak akan bisa menguasai ilmu tersebut sebagaimana yang dimiliki ulama atau penuntut ilmu syar’i yang mapan ilmunya. Ia hanyalah berstatus orang yang “berwawasan luas” (berwawasan luas dalam tanda petik) alias “pernah banyak tahu atau dengar” saja, namun banyak lupa dan banyak tidak memahami masalah-masalah atau bab-bab dalam disiplin ilmu syar’i tersebut.
Di antara penuntut ilmu syar’i pemula, terkadang ada yang suka menghadiri majelis-majelis atau membaca kitab-kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu tafshiilaat (perincian secara detail) tentang suatu masalah atau bab tertentu, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ia menyangka dengan itu dirinya akan mendapatkan ilmu yang mendalam sebagaimana ulama, padahal ia belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pengantar, ilmu-ilmu dasar dan kaidah-kaidah umum yang dibutuhkan untuk menguasai masalah tersebut dengan kokoh.
Orang yang seperti ini biasanya akan banyak lupa perincian ilmu yang telah ia pelajari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun itu karena ia tidak menguasai ilmu pengantar dan kaidah-kaidah dasar atau alat yang mengikat perincian yang sangat detail itu, sehingga ia mudah lupa atau sulit memahaminya. Ketahuilah, bukan demikian metode menuntut ilmu syar’i yang benar. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya menjadi rabbaniyyin,
وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya” (Ali ‘Imran:79).
Imam Al-Bukhari rahimahullah menafsirkan rabbaniyin dalam kitab shahihnya,
الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره
“Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang dasar dan ringkas sebelum ilmu yang tinggi dan panjang lebar pembahasannya.” Inilah metode yang benar dalam belajar maupun mengajarkan ilmu syar’i. Seorang guru yang rabbani tidaklah menyampaikan semua yang ia ketahui kepada muridnya, ia menyampaikan apa yang dibutuhkan muridnya sesuai dengan tingkatan ilmunya dan pemahamannya. Demikian pula seorang murid yang ingin menjadi seorang da’i, syaikh, ulama rabbaniyyin atau sebatas menjadi pendidik bagi diri dan keluarganya dengan benar, maka ia mendidik dirinya dengan ar-rifqu (kelembutan) dalam menuntut ilmu syar’i, tidak membebani dirinya dengan beban-beban menuntut ilmu yang berat sebelum yang dasar, ringkas, dan mudah.
Hendaklah Penuntut Ilmu Syar’i Memberikan Waktu Paling Baik dan Mahal untuk Meraihnya
Seorang penuntut ilmu syar’i yang ingin menjadi generasi penerus ulama ahlus sunnah wal jama’ah janganlah memberikan “waktu-waktu sisa” dalam ibadah thalabul ‘ilmi. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa bekerja setelah tenaga banyak terkuras untuk kerja. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa sibuk (waktu senggang), ketika pikiran sudah penat. Begitu pula, waktu sisa-sisa umur, ketika sudah hilang umur-umur emas mampu menghafal dengan kuat (sudah tua).
Bukan berarti ada kata terlambat untuk jadi ulama bagi yang sudah berusia tua. Namun maksudnya kita bicara sesuatu yang ideal untuk menjadi ulama. Untuk menguasai ilmu syar’i dengan baik, berikanlah waktu paling mahal Anda, ketika pikiran masih segar, hafalan masih kuat, usia masih muda, tidak sedang disibukkan dengan urusan lain, itupun, sebagaimana kata mutiara mengatakan,
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا
“Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka Ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja”
Ketahuilah, memberikan waktu yang paling baik dan paling mahal untuk meraih ilmu syar’i dan menguasainya bisa terwujud dengan dua perkara berikut ini:
Pembagian Waktu yang Tepat
Bagilah waktu sesuai dengan ilmu yang Anda pelajari. Waktu-waktu yang “emas” pakailah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal fikih, ushul fikih, dan yang semisalnya. Waktu-waktu “perak” gunakanlah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang kurang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal tafsir, hadits dan mushthalahnya. Waktu-waktu “perunggu”, yaitu waktu disaat Anda sudah penat, capek dan lelah berpikir, namun masih mampu untuk terus belajar, maka manfa’atkan waktu-waktu tersebut untuk membaca kitab-kitab tentang Adab, biografi ulama, dan yang semisalnya.
Hiduplah Bersama dengan Ilmu dan Amal, dimanapun Anda Berada
Jadikanlah hatimu senantiasa tertuju kepada ilmu dan amal serta jadilah sosok insan yang haus ilmu dan pengamalannya, kapanpun dan dimanapun Anda berada. Pagi, siang, dan malam bersama dengan ilmu dan amal, bangun tidur sibuk dengan membuka lembaran-lembaran kitab ulama, hendak tidurpun menyanding kitab-kitab ulama agar suatu saat Anda membutuhkan pembahasan masalah ilmiyyah tertentu, Anda pun membacanya lalu segera menulisnya agar tidak hilang dari ingatannya.
Jadi intinya, jika Anda ingin menjadi ulama, maka tempuhlah jalan yang telah mereka tempuh, sebagaimana sebuah sya’ir,
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا تجري على اليبس
“Anda mengharapkan kesuksesan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya # Sesungguhnya kapal laut itu tidaklah berjalan di atas daratan”
Maka bagaimana mungkin kapal laut lewat darat akan sampai tujuannya? Begitu pula, mungkinkah seorang penuntut ilmu syar’i menjadi ulama, jika menempuh suatu cara yang bukan caranya ulama?
Oleh sebab itu, jadilah sosok orang yang senantiasa bersama ilmu sebagaimana ulama. Bagi ulama, tidak ada satu saatpun paling indah dan manis dalam hidupnya kecuali bersama dengan ilmu yang diamalkan. Baginya, tidak ada satupun piknik, tamasya, dan jalan-jalan yang sanggup menggantikan kelezatan menuntut ilmu syar’i, mengamalkan, dan mendakwahkannya. Oleh karena itu, aib bagi seorang yang mengaku sebagai penuntut ilmu syar’i, namun ia terbiasa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan ilmu, hanya sekedar majelis qila wa qala (obrolan gak jelas), baik dalam bentuk ngobrol ngalor-ngidul, pesbuk-an, ngetweet, atau cuci mata dan nongkrong. Orang yang seperti ini tidaklah pantas disebut sebagai thalibul ‘ilmi, apalagi disebut sebagai pakar ilmu syari’at. Ia lebih pas dikatakan “pakar/tukang ini atau itu” sesuai dengan majelis qila wa qala yang ditekuninya. Wallahu a’lam.
Insyaallah akan berlanjut penjelasan tentang “Empat kaidah umum dalam mempelajari kitab ulama”. Silahkan baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3).
Bersambung: Beginilah cara mempelajari kitab para ulama #2
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
____
(Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau
Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
Sumber: https://muslim.or.id/