يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 12)
Renungkanlah ayat ini, ketika Allah Ta’ala menyebutkan tiga rangkaian dosa, yaitu su’udzan (buruk sangka tanpa dasar), tajassus (berusaha mencari-cari keburukan orang lain) dan ghibah (menggunjingkan orang lain).
“Ketika buah dari su’udzan adalah tajassus, hati seseorang tidak akan merasa puas dengan hanya ber-su’udzan saja. Maka dia akan mencari-cari bukti (aib saudaranya tersebut) dan akan sibuk dengan tajassus. Allah Ta’ala menyebutkan larangan tajassus setelah su’udzan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.’” (Mahaasin At-Ta’wiil, 9: 3690)
Sekali lagi, renungkanlah, ketika su’udzan tersebut diiringi dengan dua dosa besar lainnya, yaitu tajassus dan ghibah. Karena ketika seseorang sudah berburuk sangka kepada saudaranya, dia akan melakukan tajassus, yaitu dia mencari-cari bukti aib dan keburukan saudaranya tersebut untuk membuktikan prasangkanya. Dan jika dia sudah menemukannya, dia akan bersemangat untuk melakukan ghibah, alias menyebarkan keburukan saudaranya tersebut. Inilah urutan yang disebutkan dalam ayat di atas.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata,
فإن بقاء ظن السوء بالقلب، لا يقتصر صاحبه على مجرد ذلك، بل لا يزال به، حتى يقول ما لا ينبغي، ويفعل ما لا ينبغي
“Sesungguhnya adanya su’udzan buruk sangka dalam hati tidak akan menyebabkan pelakunya tersebut akan berhenti di situ saja. Akan tetapi, buruk sangka tersebut akan terus-menerus ada sampai pelakunya tersebutberkata dan berbuat yang tidak sepatutnya.” (Taisiir Karimirrahman, hal. 801)
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
Sumber: https://muslim.or.id/