Type Here to Get Search Results !

 


WAS-WAS DALAM NIAT, THAHARAH DAN SHALAT


Oleh Ahmad bin Salim Ba Duwailan 

Niat adalah maksud dan keinginan untuk melakukan sesuatu, tempatnya adalah di hati, tidak sedikit pun berhubungan dengan lisan. Oleh karenanya tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para Sahabatnya lafazh apa pun dalam niat, dan kami pun tidak pernah mendengar mereka menyebut akan hal itu. 

Ungkapan-ungkapan yang diada-adakan ketika memulai bersuci atau memulai shalat adalah peperangan dari syaitan pada orang-orang yang waswas, syaitan menahan dan menyiksa mereka dengannya, mereka dijerumuskan dengan tuntutan agar membenarkan niatnya, engkau bisa lihat salah seorang dari mereka mengulang-ulangnya dan memayahkan dirinya untuk melafazhkannya, padahal melafazhkannya bukan bagian dari shalat sedikit pun, niat hanyalah maksud untuk melakukan sesuatu, setiap orang yang berkeinginan untuk melakukan sesuatu maka dia berarti telah berniat untuknya, tidak terbayangkan terpisahkan hal itu (keinginan melakukan sesuatu) dengan niat, sebab memang itulah hakikatnya, maka tidak mungkin tidak ada niat ketika ada keinginan melakukannya. 

Seorang yang jongkok untuk melakukan wudhu’, berarti ia telah berniat untuk wudhu’, seorang yang berdiri untuk shalat berarti ia telah berniat untuk shalat, hampir tidak ada seorang pun yang berakal yang melakukan salah satu ibadah atau yang lainnya tanpa niat. 

Maka niat adalah perkara yang pasti, yang mengikuti perbuatan manusia yang dimaksudkan (untuk dilakukan), tidak membutuhkan kepayahan atau (usaha) pencapaian. Jikalau seseorang menginginkan untuk memisahkan perbuatan yang menjadi ikhtiarnya dari niat, maka niscaya dia tidak akan mampu, dan kalau seandainya Allah Azza wa Jalla membebani untuk melakukan shalat dan wudhu’ tanpa niat niscaya Allah telah membebani dengan sesuatu yang di luar kemampuan (hamba), tidak berada di bawah kemampuannya, dan tidak mungkin demikian karena akan sangat payah untuk melakukannya. 

Bila seorang ragu akan niat yang telah dicapainya, maka hal itu adalah salah satu dari jenis kegilaan. Bila dia sudah mengetahui masalah jiwanya dengan yakin, bagaimana mungkin seorang yang berakal meragukan hal itu pada dirinya? Seorang yang berdiri shalat Zhuhur dibelakang imam, bagaimana mungkin ia bisa meragukan (shalat)nya? Seandainya ada orang yang mengajaknya untuk mengerjakan sesuatu sedangkan dia dalam kondisi itu (akan menunaikan shalat), pastilah dia akan mengatakan, “Aku sibuk, aku ingin shalat Zhuhur.” Dan seandainya ada orang yang bertanya kepadanya, saat dia keluar menuju shalat, “Mau kemana engkau?” Pasti dia akan menjawab, “Aku ingin shalat Zhuhur bersama imam.” Bagaimana seorang yang berakal bisa ragu dalam kondisi seperti ini pada dirinya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya dengan yakin? Bahkan yang lebih mengherankan lagi bahwa orang lain pun mengetahui niatnya dengan adanya indikasi pada kondisi-kondisinya. Bila seorang melihat orang lain yang duduk dalam barisan shalat pada waktu shalat, pada kumpulan manusia (yang akan shalat), maka orang itu tahu bahwa orang yang dilihatnya itu sedang menunggu shalat, kemudian bila dia melihatnya berdiri tatkala iqamat untuk shalat dikumandangkan, bersamaan dengan berdirinya jama’ah shalat yang bangkit untuk shalat, orang yang melihatnya akan memahami bahwa dirinya berdiri untuk melakukan shalat, bila dia maju ke depan di hadapan para makmum, diketahuilah bahwa dia ingin mengimami mereka, bila dilihat dia berada di shaf, dimengertilah bahwa dia ingin menjadi makmum. 

Dia berkata: Bila orang lain mengetahui niatnya yang ada dalam batinnya dengan melihat indikasi dari kondisinya, bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dari dirinya, padahal dia tahu apa yang ada dalam batinnya? Maka penerimaannya kepada syaitan bahwa dirinya belum berniat, merupakan pembenaran terhadap syaitan dalam mengingkari sesuatu yang nyata adanya, mengingkari hakikat yang sudah diketahui dengan yakin, menyelisihi syari’at, dan membenci Sunnah, juga jalan yang telah ditempuh oleh para Sahabat. 

Selain itu, niat yang sudah dihasilkan tidak mungkin untuk dihasilkan kembali, dan apa yang sudah ada tidak perlu diadakan lagi, sebab di antara syarat mewujudkan sesuatu adalah bila sesuatu yang dimaksudkan itu belum ada, oleh sebab itu, mengadakan sesuatu yang sudah ada itu adalah mustahil. Bila kenyataan yang ada adalah seperti itu maka tidak akan ada hasil apa pun yang akan di dapat, meskipun ia berdiri seribu tahun. Beliau berkata: Termasuk hal yang mengherankan, bahwa dia berada dalam keadaan waswas tersebut adalah pada saat ia berdiri, sehingga apabila imam ruku’, dan dia khawatir tidak akan men-dapatkan ruku’ bersama imam, maka ia pun cepat-cepat melakukan takbir supaya dapat ruku’ (bersama imam) dan ia pun mendapatkan niatnya. Bagaimana mungkin orang yang tidak mampu menghasilkan niat di saat berdiri lama, yaitu pada saat fikirannya tenang tidak memikirkan yang lain, tetapi bisa menghasilkan niatnya di waktu yang sempit, padahal pikirannya sedang disibukkan dengan adanya kekhawatiran ketinggalan satu rakaat (bila tidak ruku’ bersama imam). 

Kemudian apa yang dia cari itu sebenarnya tidak lepas dari dua hal yaitu; bisa jadi hal itu mudah atau bisa jadi hal yang susah, bila mudah kenapa dia menyulitkannya, tetapi bila dia mengatakan sulit kenapa tiba-tiba menjadi mudah ketika imam telah ruku’? Dan bagaimana mungkin hal ini tidak diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat sejak yang pertamanya hingga terakhirnya, juga Tabi’in dan orang-orang yang setelahnya? Kenapa tidak ada orang yang perhatian dengan masalah ini kecuali orang yang dikuasai oleh syaitan? Apakah dia menyangka dengan kebodohannya bahwa syaitan akan memberikan nasihat kepadanya? Tidakkah dia tahu bahwa syaitan itu tidak akan mengajaknya kepada petunjuk? Dan tidak akan menunjuki kepada kebaikan? Apa yang kiranya akan ia katakan terhadap shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh kaum muslimin yang tidak melakukan seperti yang dilakukan orang yang waswas ini? Apakah shalat itu adalah shalat yang kurang atau tidak lebih baik? Ataukah dia akan mengatakan bahwa shalat itu adalah shalat yang sempurna dan utama? Kalau begitu, apa yang menjadikannya menyelisihi mereka dan tidak menyukai cara mereka? 

Apabila dia mengatakan, “Ini adalah penyakit yang menjadi ujian bagiku,” maka kami katakan, ya memang, dan sebabnya adalah karena engkau menerimanya dari syaitan, sementara itu Allah tidak mengizinkan dari seorang pun untuk itu. Tidakkah engkau lihat bahwa Nabi Adam Alaihissallam dan Hawa ketika digoda oleh syaitan lalu mereka berdua menerimanya, akhirnya keduanya dikeluarkan dari Jannah, keduanya pun diseru dengan apa yang engkau dengar, tetapi mereka berdua lebih berhak untuk mendapatkan uzur, sebab selain keduanya belum ada orang yang melakukan, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran, sedangkan dirimu, engkau telah mendengar (nasihat) dan Allah pun sudah memperingatkanmu dari fitnah syaitan, Dia juga telah menjelaskan permusuhannya denganmu, Allah pun telah menerangkan jalan untukmu, maka tidak ada lagi uzur atau hujjah bagimu untuk meninggalkan Sunnah dan menerima syaitan. 

Aku berkata, Syaikh kami menuturkan, “Di antara mereka ada yang mendatangkan sepuluh bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang pun dari para Sahabatnya, di antaranya, ada yang berkata, 

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْـمِ، نَوَيْتُ أُصَلِّيْ صَلاَةَ الظُّهْرِ فَرِيْضَةَ الْوَقْتِ، أَدَاءً ِللهِ تَعَالَى، إِمَامًا أَوْ مَئْمُوْمًا، أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ. 

“Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, aku berniat shalat Zhuhur, sebagai kewajiban yang aku tunaikan untuk Allah, Ta‘aala, sebagai imam atau pun makmum, sebanyak empat rakaat, dengan menghadap kiblat.” 

Kemudian dia menggerakkan anggota tubuhnya, menundukkan dahinya, menegakkan lehernya, dan meneriakkan Allaahu Akkkbar, layaknya bertakbir di hadapan musuh. Bila seorang dari mereka ini tinggal sepanjang usia Nabi Nuh Alaihissallam untuk meneliti apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang dari Sahabatnya melakukan hal itu, niscaya dia tidak akan mendapatkannya, kecuali kalau dia melakukan kebohongan belaka dengan terang-terangan. Apabila hal ini adalah baik tentulah mereka (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya) sudah mendahului kita dalam melakukannya, dan niscaya mereka telah memberikan petunjuk kepada kita untuk melakukannya, kalau dikatakan apa yang dilakukannya itulah yang merupakan petunjuk, berarti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya telah luput dari petunjuk itu, tetapi apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya yang berada di atas petunjuk dan kebenaran, maka hal apalagikah setelah kebenaran selain kesesatan?” 

Beliau berkata, “Di antara jenis-jenis waswas ada yang merusak shalat, seperti pengulangan sebagian kata, seperti dalam tahiyat, mengatakan, “At, at, attahiy attahiy,” ketika salam berucap, “As, as,” dalam takbir, “Akkkbar,” ini adalah jelas, bahwa shalatnya batal karenanya, atau barangkali apabila dia sebagai imam, maka ia merusak shalat makmum dengan hal itu. Shalat yang semestinya termasuk perkara-perkara ketaatan, menjadi dosa besar yang menjauhkan dirinya dari Allah. Adapun hal yang tidak sampai membatalkan shalat maka hukumnya adalah makruh, tidak disukai dan menyimpang dari Sunnah dan membenci jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya dan jalan para Sahabatnya. Barangkali dia mengangkat suaranya sehingga menganggu orang-orang yang mendengarnya, sehingga membuat manusia mencela dan mengumpatnya, maka dia kumpulkan pada dirinya antara ketaatan kepada iblis dan pelanggaran terhadap Sunnah, menjalani sejelek-jelek perkara ibadah yang diada-adakan, menyiksa diri karena celaan manusia terhadapnya dan menipu orang jahil (bodoh)sehingga mengikutinya. Orang jahil (bodoh) itu akan mengatakan, “Kalau bukan keutamaan, tentu dia tidak akan melakukan untuk dirinya.” Dia dengan perbuatan ini telah berburuksangka terhadap Sunnah, bahwa Sunnah itu tidaklah cukup (menurutnya), sehingga jiwanya terpengaruh dan tunduk terhadap syaitan, sehingga keinginannya pun semakin menguat, mengorbankan jiwanya untuk menjadi orang yang bersifat waswas dengan ketentuan Allah, sebagai hukuman atasnya, dia membangunnya dia atas kebodohan dan rela dengan kerusakan pada akalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan yang lainnya, “Waswas sebabnya adalah kejahilan terhadap syari’at atau kerusakan pada akal, dan keduanya adalah termasuk kekurangan dan aib yang paling besar.” 

Demikianlah sekitar lima belas kerusakan dalam sikap waswas dan masih banyak lagi kerusakan yang lainnya. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiih-nya, dari hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash dia berkata, Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syaitan telah menghalangi antara aku dan shalatku, dia memberikan keraguan padaku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبُ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَّوَذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَنْ يَسَارِكَ ثَلاَثًا! 

"Itulah syaitan yang disebut dengan khinzib, maka bila engkau merasakannya, berlindunglah kepada Allah darinya, dan meludahlah tiga kali ke samping kirimu!’ Maka aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkannya dariku.” [HR. Muslim, no. 2203] 

Maka ahlu waswas adalah buah hatinya khinzib dan sekutu-sekutunya, kita berlindung kepada Allah darinya.

Sumber: https://almanhaj.or.id/