JAMA’AH TABLÎGH MENGAMALKAN HADITS-HADITS DHA’IF DAN PALSU
Hal ini, salah satu hal berbahaya yang dimiliki oleh Jama’atut-Tablîgh. Mereka meriwayatkan segala hadits atau khabar yang ada, walaupun tanpa kendali dan tali kekang (maksudnya; tanpa sanad, Pent). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .
Barang siapa yang berkata atasku apa-apa yang tidak pernah aku katakan, maka tempatkanlah tempat duduknya di neraka.[1]
Dan dalam hadits yang lain:
إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .
Sesungguhnya kedustaan atasku tidak seperti kedustaan atas orang lain. Maka barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, tempatkanlah tempat duduknya di neraka.[2]
Dan dalam hadits yang keempat, beliau bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
Barang siapa yang mengatakan sebuah hadits dariku, dia mengira (menyangka) hadits tersebut dusta, maka ia salah satu di antara dua pendusta.[3]
(يُرَى) artinya (يُظَنُّ), yaitu “diperkirakan”. Maka, perhatikanlah! Sekedar menyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta), apalagi orang yang jahil (tidak tahu-menahu) terhadap hadits tersebut. Orang yang berkata: “Saya belum yakin, apakah hadits ini shahîh atau tidak shahîh?”. Hanya sekedar mengira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau tidak shahîh, hal ini telah memasukkan pelakunya ke dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Hibbân rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam muqaddimah kitabnya al-Majrûhîn dan muqaddimah kitâb ash-Shahîh-nya, beliau berkata: “Maka, orang yang ragu-ragu terhadap apa yang diriwayatkannya, sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Dalam hal ini, Jama’atut-Tablîgh memiliki keajabian-keajaiban dan keanehan-keanehan yang luar biasa. Hadits yang mereka sebutkan, jika seandainya pun shahîh, mereka tidak bisa mengucapkan lafazh-nya dan tidak memahami maknanya dengan baik dan benar. Dan hadits yang tidak shahîh, berupa hadits dha’îf, dha’îfun jiddan (lemah sekali), maudhû’ (palsu), dan yang tidak ada asal-usulnya sama sekali; pada mereka sangat banyak. Dan saya, bersama mereka dalam hal ini memiliki beberapa kisah dan khabar.
Suatu saat, salah seorang di antara mereka (Jama’atut-Tablîgh) menyebutkan sebuah hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali. Maka, saya katakan kepadanya: “Hadits ini tidak ada asal-usulnya!”
Dia pun -dengan kebodohannya- menjawab: “Akan tetapi, hadits dha’îf boleh digunakan dalam fadhâ`ilul a’mâl (keutamaan-keutamaan dalam beramal, Pent)”.
Lihatlah, dia berkata haditsnya dha’îf…, padahal saya katakan -tadi- “Tidak ada asal-usulnya…”! Yakni, hadits tersebut dusta (palsu). Dia tidak bisa membedakan. Dia mengira bahwa kalimat “haditsnya dha’îf…” itu berlaku pula pada hadits palsu, hadits yang tidak ada asal-usulnya sama sekali, dan yang lemah sekali. Dia tidak mengetahui bahwa syarat pertama dari sekian syarat bolehnya berdalil dengan hadits dha’îf adalah tidak boleh terlalu parah ke-dha’if-annya.
Pada saat yang lain, salah seorang di antara mereka membaca hadits dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn. Kalian tahu bahwa kitab Riyâdhush-Shâlihîn, tulisan (pada hadits-haditsnya) ber-harakat sempurna. Dia membacanya dengan tanpa kaidah sama sekali. Yang marfû’ (ber-harakat dhammah) dia baca manshûb (ber-harakat fat-hah), yang manshûb dibaca majrûr (ber-harakat kasrah), dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia sampai pada penyebutan sebuah hadits. Saya masih tetap diam memperhatikan. Ia pun menyebutkan hadits[4] dan berkata:
اَلْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّيْ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مَصْلاَهُ…
(Para malaikat akan bershalawat mendoakan kebaikan kepada salah seorang di antara kalian selama ia berada di mashlaahu…), sedangkan, lafazh hadits tersebut (seharusnya): ((…فِيْ مُصَلاَّهُ…)), “fî mushallâhu”. Yakni, di tempat shalatnya (masjidnya).
Kalian tahu perbedaan arti mashlâ (مَصْلَى) dan mushallâ (مُصَلَّى)? Apa arti al-mashlâ (المَصْلَى)? mushallâ (المَصْلَى) artinya baitun-nâr (بَيْتُ النَّارِ), yakni rumah api, atau tempat pembakaran. Itulah makna al- mashlâ (المَصْلَى) secara bahasa.
Saya pun tidak bisa diam dan lantas berteriak: “Wahai Saudaraku! Mushallâhu… bukan mashlâhu!” Akhirnya, setelah shalat ia menghampiri saya dan beralasan: “Demi Allah, sebenarnya saya sedang sakit…”. Saya pun berkata: “Wahai Saudaraku! Kamu sakit? Mengapa tadi duduk di depan (berceramah)? Jangan duduk di sana berdusta atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam !”[5]
Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah menukilkan dalam muqaddimah kitab-nya Raudhatul-‘Uqalâ`, beliau berkata: “Orang yang salah (keliru) dalam membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sama seperti orang yang berdusta atasnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan hadits dengan keliru”. Apa yang dimaksud dengan keliru dalam pembacaan hadits? Yakni, ia merubah i’raab-nya (struktur bahasa) dan susunan katanya. Lihatlah, Rasulullah berkata “fii mushallâhu”, sedangkan dia berkata “fii mashlâhu”!. Sebenarnya, saya masih banyak memiliki bermacam pengalaman bersama mereka. Sampai dalam masalah akidah sekalipun (mereka memiliki keanehan dan keajaiban). Dan tidak mengapa jika saya sebutkan lagi satu pengalaman saya bersama sebagian ikhwah saya, di salah satu masjid yang imam-nya salah seorang dari mereka (Jama’atut-Tablîgh).
Kawan-kawan kami, seperti biasa sering melakukan diskusi bersama imam masjid tersebut. Namun, ia pun sering menghindar dari kawan-kawan kami itu, dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka. Sampai akhirnya datanglah sekelompok Jama’atut-Tablîgh dari Pakistan ke masjid tersebut. Sang imam pun termotivasi oleh kedatangan mereka. Hingga akhirnya ia sendiri yang mendatangi sekelompok kawan-kawan kami para pemuda salafiyyîn seraya berkata: “Saya adalah seorang ‘alim dari para ulama dakwah”.
Kemudian, datanglah seorang dari kawan kami dan berkata: “Saya ingin bertanya sebuah pertanyaan saja”. Sang imam pun menjawab: “Silahkan”. Pemuda tadi melanjutkan dan berkata: “Di manakah Allah?” Sang imam terhenyak sejenak, ia melihat-lihat dan terdiam. Lalu tiba-tiba menjawab: “Silahkan kamu tanya kepada para masyayikh (ulama) negeri kalian!” Pemuda itu pun langsung berkata: “Apakah Allah di negeri kalian berbeda dengan Allah di negeri kami?!” Allah Maha Esa… Allah itu satu! Allah berfirman:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. [al-Mulk/67:16].
JAMA’AH TABLÎGH DAN BID’AH
Pada mereka terdapat bid’ah yang banyak. Bahkan dakwah mereka terbangun di atas bid’ah-bid’ah. Karena tiang penyangga utama dakwah mereka adalah al-khurûj (keluar), dengan aturan-aturan sebagai berikut. Yakni, dalam setiap bulan, (keluar) tiga hari. Dalam setahun, empat puluh hari. Dalam seumur hidup, empat bulan. Dan dalam satu pekan terdapat dua jaulah (perjalanan). Yang pertama, dilakukan di masjid yang dilakukan shalat di dalamnya, dan yang kedua berpindah-pindah. Dan dalam setiap hari terdapat dua halaqah (semacam pelajaran) [6]. Yang pertama, dilakukan di masjid yang dilakukan shalat di dalamnya, dan yang kedua dilakukan di rumah. Dan mereka tidak akan ridha dengan seseorang, kecuali jika orang tersebut berpegang teguh dengan aturan-aturan seperti ini. Sehingga tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan bid’ah dalam agama yang sama sekali tidak diizinkan oleh Allah.
Selain keterangan di atas, sebenarnya masih banyak bentuk bid’ah pada mereka. Akan tetapi, aturan-aturan seperti di atas telah menjerumuskan dalam sebuah bahaya besar. Yaitu, mewajibkan apa-apa yang semestinya tidak wajib”. Maksudnya, mereka mengharuskan orang agar konsisten dengan aturan-aturan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan hal ini sebagai simbol dan standar kebaikan dan keburukan seseorang.
Jadi, jika Anda berpegang teguh dengan aturan-aturan mereka berupa khurûj selama empat bulan, tiga hari, atau empat puluh hari, maka kamu menjadi orang yang mereka ridhai. Dan jika kamu tidak demikian, maka kamu orang yang lalai dan lemah menurut mereka. Sampai-sampai, pernah suatu saat ketika kami berada di luar negeri (dalam rangka berdakwah, Pent), dan berjumpa dengan sekelompok dari mereka. Lalu mereka berkata kepada kami: “Khuruj-lah (keluarlah) kalian!”. Kami pun menjawab: “Ya, kami sekarang sedang khurûj (keluar). Kami dari Yordania, dan kini kami di Eropa. Kami sedang khurûj fî sabîlillâh (keluar di jalan Allah)!”
Ataukah khurûj yang mereka maksud harus dengan urutan-urutan dan batasan-batasan Jama’atut- Tablîgh? Demikianlah, yang ternyata mereka inginkan.
Sekarang kami di sini (Indonesia), meninggalkan negeri kami Arab dan datang ke sini. Ini disebut khurûj (keluar) atau dukhûl (masuk)? Ini khurûj! Tapi khurûj kami adalah khurûj yang berdasarkan ilmu, khurûj yang sesuai dengan manhaj, dan khurûj yang sesuai dengan akidah. Namun sayangnya, mereka (Jama’atut- Tablîgh) tetap tidak menganggapnya sama sekali.
Begitulah, bid’ah Jama’atut-Tablîgh sangat banyak
Di antara bid’ah mereka ialah bid’ah tashawwuf. Jama’atut- Tablîgh mem-bai’at pengikut mereka yang sudah lama dan konsisiten dengan mereka dalam empat thariqat shufiyah, sebagaimana yang tertulis dengan tulisan Syaikh dan tokoh besar mereka (yang bernama) In’aam al-Hasan. Saya memiliki sebuah surat yang ia tulis langsung, yang ditujukan kepada Syaikh Sa’ad al-Hushayyin. Di dalam surat tersebut, In’aam al-Hasan berkata: “Kami mem-bai’at orang-orang lama dari para pengikut kami dalam berdakwah, atas empat thariqat shufiyah; asy-Syahrawardiyyah, an-Naqsyabandiyyah, al-Jisytiyyah, dan al- Qâdiriyyah”.
Selain itu, mereka pun memiliki kebiasaan mengusap-usap kuburan, ber-tabarruk dengan orang-orang shâlih, dan al-murâbathah (berdiam diri sambil menghadap ke satu arah tertentu, Pent).
Saya teringat peristiwa yang saya alami pada tahun 1982. Pada saat itu saya masih remaja. Saya pergi ke negeri al-Haramain asy-Syarîfain (Saudi Arabia), dan itulah ziaroh pertama saya ke negeri tersebut. Di sana, saya mencari sebagian masyayikh untuk mengambil ijazât hadits dari mereka, sebagaimana saya pun mengambil faidah dari sebagian mereka. Saya bertanya: “Di mana Syaikh Muhammad Zakariya al-Kandahlawi?”
Dia berkata: “Di sana, di Dârul-‘Ulûmisy-Syar’iyyah”. Dahulu dekat dengan al-Haram, dan kini dipindahkan ke al-Masjidun-Nabawi.
Maka saya pun pergi menuju ke tempat tersebut. Saya mengetuk pintu. Lalu keluarlah seseorang. Saya berkata kepadanya: “Saya ingin bertemu dengan Syaikh Muhammad Zakariya, saya dari Yordania, saya seorang penuntut ilmu”.
Orang itu berkata: “Syaikh tidak bisa bertemu denganmu!” Saya bertanya: “Mengapa?”. Ia menjawab: “Syaikh sedang ber-murâbathah menghadap kuburan!” Begitulah! Ternyata dia sedang duduk di dalam ruangannya yang dekat dengan al-Haram sambil menghadap ke kuburan. Itulah yang disebut dengan al-murâbathah.
Inilah kenyataannya! Ia (Muhammad Zakariya Al Kandahlawi) memiliki karya tulis dengan judul Fadhâ-ilul A’mâl dan juga disebut dengan Tablîghi Nishâb. Adapun oleh saya, maka saya namakan Tablîghi Nashshâb, karena dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, khurafat, bid’ah-bid’ah, dan kesesatan-kesesatan lainnya. Wal ‘iyaadzu billaah. Demikian keadaan Jama’atut-Tablîgh dalam segala perkaranya.
Namun, agar adil dalam menilai, saya katakan, jika semangat dan keinginan kuat yang terdapat pada Jama’atut- Tablîgh ada pula pada para da’i salafiyyin, maka akan terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada diri kita. Tetapi, sayangnya keinginan kuat dan semangat mereka dibangun di atas jahâlah (ketidaktahuan). Kegiatan mereka berdiri di atas bid’ah ini. Karena, kalau memang tidak demikian, pastilah didapat pada mereka ilmu yang benar, manhaj yang lurus, dan akidah yang shahîhah. Dan pastilah mereka memiliki peranan yang sangat besar dalam memperbaiki umat Islam ini. Akan tetapi, amat disayangkan -sekali lagi- justru mereka merusak umat ini dari sisi yang mereka anggap sedang mereka perbaiki.
JAMA’AH TABLÎGH DAN TAUHID ULUHIYYAH
Mereka tidak pernah berbicara masalah tauhid, terutama tauhid al-Ulûhiyyah dan al-Asmâ’ wash- Shifât. Mereka tidak berbicara masalah tauhid, melainkan hanya tauhid ar-Rububiyyah. Yakni, tentang siapakah Yang Maha Pencipta? Allah, Yang Memberi Rizki? Yang Maha Menghidupkan? Yang Maha Mematikan? Allah. Inilah yang menjadi kebiasaan dan dengungan mereka. Padahal, tauhid ini pun tidak diingkari sama sekali oleh orang-orang kafir dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, tentu mereka akan menjawab: “Allah”,… [Luqman/31:25].[7]
Akan tetapi, mereka (orang-orang kafir dan musyrik dahulu) tidak merasakan manfaat dari keimanan mereka terhadap tauhid rububiyyah. Keimanan mereka terhadap tauhid ar-Rububiyyah belum mengentaskannya dari lingkaran kekufuran. Sebab, mereka beriman terhadap tauhid ar-Rububiyyah, akan tetapi keliru dalam ber-tauhid al-Ulûhiyyah (peribadahan kepada Allah dengan segala macam bentuknya yang disyariatkan, Pent.), sebagaimana yang mereka ucapkan dalam firman Allah berikut:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
…Kami tidak menyembah mereka (sesembahan-sesembahan selain Allah) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.... [az-Zumar/39:3].
Lalu datanglah Jama’atut-Tablîgh dan berkata: “Tidak! Ini (tauhid) membuat umat lari. Ini membuat umat menjauh (dari dakwah)”. Oleh karena itu -sekali lagi- mereka tidak pernah menyinggung masalah tauhid ini. Mereka hanya berbicara masalah fadhâ-ilul a’mâl.
JAMA’AH TABLÎGH MENGANGGAP BID’AH LEBIH BAIK DARIPADA SUNNAH
Amir (pemimpin) mereka yang berada di al-Hudaidah pernah berkata: “Bid’ah yang menyatukan umat lebih baik daripada sunnah yang memecah-belah umat”! Seorang yang ‘alim dan pandai dalam permasalahan agama seharusnya tidak berkata dengan sesuatu yang batil. Dia malah berkata:
بِدْعَةٌ تُجَمِّعُ النَّاسَ، خَيْرٌ مِنَ سُنَّةٍ تُفَرِّقُ بَيْنَهُمْ
(Bid’ah yang menyatukan umat lebih baik daripada Sunnah yang memecah-belah umat).
Na’udzu billâh! Sesungguhnya satu perkataan ini saja sudah cukup sebagai bukti tentang kebodohan mereka. Bagaimana mungkin sebuah bid’ah dapat mempersatukan umat? Lalu, apakah bid’ah memang dapat menyatukan umat? Seandainya pun sebuah bid’ah itu mampu menyatukan umat, sesungguhnya hal itu seperti firman Allah tentang Bani Israil (baca: kaum Yahudi, Pent) berikut:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
…kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka berpecah belah…. [al-Hasyr/59:14].
Sehingga, seandainya pun sebuah bid’ah mampu menyatukan umat, tetapi hal itu pada zhahir-nya saja. Adapaun pada batinnya, justru memecah-belah mereka. Ini berbeda halnya dengan Sunnah, seandainya pun secara zhahir terlihat memecah-belah umat, maka sungguh, pada hakikatnya justru menyatukan mereka. Bukankah kalian tahu bahwa di antara nama-nama Al-Qur`an ialah al-Furqaan (pembeda)? Lalu, mengapa (disebut) al-Furqaan? Karena Al-Qur`an membedakan antara yang haq dan yang batil. Dalam Shahîh al-Bukhâri:
…وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّقَ بَيْنَ النَّاسِ
…dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecah-belah antara manusia. [8]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecah-belah manusia dengan al haq atau dengan kebatilan? Tentu dengan al-haq, dan beliau pun memerangi kebatilan. Demikian pula dengan para pengikut beliau. Mereka memecah-belah umat dengan al-haq; karena dengan al-haq, jelaslah semua yang batil dan para pelakunya. Sedangkan bid’ah, jika pun menyatukan umat, maka sesungguhnya menyatukan di atas kebatilan. Dan hakikat persatuan tersebut adalah persatuan di atas kerusakan dan kebinasaan.
JAMA’AH TABLÎGH DAN AHLUS-SUNNAH
Saya pernah mendengar ucapan salah seorang dari mereka, tatkala ia melihat sebuah kitab yang sedang saya baca yang membahas tentang jama’ah-jama’ah. Dalam kitab tersebut terdapat pembahasan tentang Jama’atut-Tablîgh. Dia berkata: “Kitab ini lebih berbahaya dari pada Yahudi dan Nashara!”
Saya yakin, orang itu belum membaca kitab tersebut; karena memang Jama’atut-Tablîgh tidak suka membaca. Mereka tidak suka menuntut ilmu! Ilmu mereka hanya terbatas pada Riyâdhush-Shâlihîn, Fadhâ-ilul A’mâl atau Tablîghi Nashshâb. Selain itu, tidak ada.
Seandainya pun ada, maka sesungguhnya hal itu berasal dari kesungguhan usaha pribadi tertentu saja. Sungguh indah perkataan Imam Abu Haatim ar-Raazi rahimahullah : “Tanda ahlul-bida’ ialah mencela ahlul-atsar (Ahlus-Sunnah)”.[9]
Sebagian ulama salaf berkata: “Tidaklah engkau melihat mubtadi’ (ahlul-bid’ah), melainkan pasti ia membenci ahlul-hadits (Ahlus-Sunnah)”.[10]
Tidak syak lagi, tatkala kita mengingkari dan menentang Jama’atut-Tablîgh, baik tentang kegiatan khurûj mereka, aturan-aturan mereka, maupun pemikiran-pemikiran mereka, dan segala penyimpangan mereka, maka pastilah mereka tidak akan ridha dengan kita. Mereka membenci kita. Mereka pun membenci apa yang kita dakwahkan kepada kaum muslimin. Padahal, tidaklah kita berdakwah, melainkan berdakwah kepada Sunnah.
Tatkala mereka mendakwahkan dan mengajak orang lain kepada golongan dan kelompoknya, kita senantiasa mengajak dan mendakwahkan manusia kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang penyair berkata:
فَحَسْبُكُمُ هَذَا التَّفَاوُتُ بَيْنَنَا وُكُلُّ بِنَاءٍ بِالَّذِيْ فِيْهِ يَنْضَحُ
Maka cukuplah bagi kalian perbedaan ini di antara kita Dan setiap bangunan akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya
PANDANGAN JAMA’AH TABLÎGH TENTANG BELAJAR ILMU SYAR’I
Dalam pokok-pokok dakwah mereka yang enam, mereka menyatakan tentang “ilmu”. Akan tetapi, ilmu mereka hanya sebatas Riyâdhush-Shâlihîn, Hayâtush-Shahâbah, dan Fadâ-ilul A’mâl.
Hayâtush-Shahâbah untuk kalangan orang-orang Arab, sedangkan Fadâ-ilul A’mâl atau Tablîghi Nashshâb untuk orang-orang selain Arab.
Kitab Hayâtush Shahâbah terdiri dari empat jilid besar. Kemudian sebagian kawan kami -para penuntut ilmu- mentahqîq dan menyaring kembali isi kitab itu. Sehingga jadilah kini, kitab tersebut hanya dalam satu jilid saja. Hadits-hadits yang shahîh ternyata hanya dalam satu jilid saja. Adapun tiga jilid lainnya berisi hadits-hadits dha’if, palsu, sangat lemah dan munkar.
Kemudian, sebagian orang yang menginginkan kebaikan untuk kaum Muslimin dengan mencetak ulang kitab yang sudah merupakan intisari dari hadits-hadits yang shahih saja dalam satu jilid tersebut. Dalam jilid kitab tersebut -sengaja- ditulis “Cetakan umum untuk seluruh kaum Muslimin, terkhusus untuk Jama’atut-Tablîgh”. Mengapa ditulis demikian? Dengan tujuan pendekatan kepada mereka.
Akhirnya, dicetaklah dengan jumlah yang sangat banyak, dan dikirimkan ke salah satu Markaz terbesar Jama’atut-Tablîgh di Yordania sebanyak seribu kitab. Ternyata, apa yang mereka lakukan? Mereka membakar seluruh kibat itu.
Salah satu Amir mereka berdiri sambil memegang kitab itu dan berkata: “Kitab ini telah dipalsukan dengan mengatasnamakan Jama’atut-Tablîgh!” Padahal, seluruh yang ada dalam satu jilid kitab tersebut, hadits-haditsnya sudah disaring dan dipilih dalam keadaan shahih seluruhnya. Namun, ternyata warisan leluhur mereka jauh lebih mereka cintai daripada al-haq dan ahlul-haq, dan daripada Sunnah-nya Ahlus- Sunnah. Sungguh amat disesalkan!
Kemudian, salah satu bentuk kebencian mereka terhadap ilmu, jika kamu bertanya kepada salah satu tokoh ulama atau pembesar mereka dalam masalah fikih -misalnya-, lalu kamu berkata kepadanya: “Terjadi pada diri saya begini dan begitu, bagaimana hukumnya?” Maka ia akan berkata kepadamu: “Kami tidak membicarakan masâ`il (permasalahan fikih), kami hanya berbicara masalah fadhâ`il (keutamaa-keutamaan)!”
Saya memiliki bantahan terhadap jawaban mereka itu, bukankah fadhâ`il (keutamaan-keutamaan) itu ada dengan sebab masâ-il (permasalahan fikih)? Keutamaan segala sesuatu dapat kita ketahui dari kesimpulan permasalahan-permasalahan (fikih) yang ada.
Tatkala kita membicarakan -misalnya- seseorang yang hafal dan faham benar tentang fadhâ`ilush- shalâh (keutamaan-keutamaan shalat), apakah orang tersebut hanya sekedar hafal dan faham benar tentang fadhâ`ilush-shalâh, dan ia tidak pernah melakukan shalat?
Maka saya katakan di sini, al-Fadhâ`il (keutamaa-keutamaan dalam beramal), jika dibandingkan dengan al-masâ`il (permasalahan fikih), seperti wudhu` jika dbandingkan dengan shalat; yakni, apakah ada seseorang yang selalu berwudhu` tetapi sama sekali tidak pernah melakukan shalat? Kalau begitu, apa faidah dia berwudhu`? Bahkan wudhu` tersebut bisa menjadi penghujatnya kelak!
Jadi, apa fungsi seseorang mengetahui dan memahami al-Fadhâ`il (keutamaa-keutamaan dalam beramal), jika ia tidak mau mengetahui, menerapkan dan mempraktekkan al-masâ-il (permasalahan fikih)? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ… .
Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan jadikan ia pandai dalam agama….[11]
Berarti, jika mereka (Jama’atut-Tablîgh) tidak mau mengetahui al-haq, dan tidak mau perhatian terhadap al-haq, maka keadaan mereka yang jauh dari ilmu; merupakan salah satu tanda bahwa Allah tidak memberikan taufiq-Nya kepada mereka. Anggapan mereka, bahwa saat ini bukan waktu untuk menuntut ilmu! Mereka menyangka saat ini adalah waktu untuk berdakwah.
Apakah ada sebuah dakwah yang dilakukan tanpa dasar ilmu? Apakah boleh berdakwah tanpa ilmu?
Mereka beranggapan, tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan menempuh jalan mereka. Mereka mengumpamakannya seperti kapal Nabi Nuh. Orang yang menaikinya selamat, dan orang yang tidak mau menaikinya binasa. Mereka berkata: “Sesungguhnya dakwah kami seperti kapal Nabi Nuh”. Hal ini telah kami dengar sendiri dari mereka di Yordania dan di Yaman.
Jama’atut-Tablîgh, bukan jama’ah sunnah. Dan sebenarnya, kalimat “safînatu Nuh” (سَفِيْنَةِ نُوْحٍ) “kapal Nabi Nuh”, kutipan dari Imam Malik rahimahullah, saat beliau membicarakan nilai penting Sunnah bagi seorang muslim. Kata beliau rahimahullah:
اَلسُّنَّةُ سَفِيْنَةُ نَوْحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
(As-Sunnah bagaikan kapal Nabi Nuh. Barang siapa menungganginya, ia selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya, ia binasa).[12]
Ternyata, mereka (Jama’atut-Tablîgh) menukilkan kalimat yang haq, untuk kemudian mereka letakkan pada sesuatu yang tidak haq. Sedangkan Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. [‘Ali Imran/3:132].
Jadi, taat kepada Allah dan Rasul-Nya itulah Sunnah, yang jika seseorang tertinggal darinya, ia akan binasa, dan yang mengikutinya akan selamat. Bukan Jama’atut-Tablîgh, yang tidak memahami al-haq dan tidak memberikan hak yang semestinya kepada ahlul-haq.
PANDANGAN JAMA’AH TABLÎGH TERHADAP PENUNTUT ILMU SYAR’I
Mereka tidak siap untuk menuntut ilmu. Mereka beranggapan bahwa waktu yang digunakan untuk menuntut ilmu adalah sia-sia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108].
Yang dimaksud dengan al-bashîrah, ialah hujjah dengan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, Allah pun berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu…-Hûd/11 ayat 112- dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin dipraktekkan dan dilaksanakan tanpa ilmu. Allah berfirman pula:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا
Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami…. -Sajdah/32 ayat 24- dan tidak mungkin (seseorang) memberikan petunjuk perintah Allah, melainkan dengan ilmu.
Sehingga, bagaimanakah mereka berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran dan petunjuk, sementara itu mereka tidak menuntut dan tidak menghormati ilmu sama sekali?
Saya pernah mendengar salah satu senior mereka memberikan perumpamaan untuk membuat orang tidak senang terhadap ilmu. Kurang lebih dia berkata: “Perumpamaan orang-orang yang menuntut ilmu dan tidak berdakwah, bagaikan seseorang yang mempelajari buku tentang teori belajar berenang. Dia mempelajarinya sampai benar-benar hafal dan menguasainya. Kemudian suatu saat, dia sedang berjalan di tepi pantai, lalu menjumpai seseorang yang sedang hampir tenggelam sambil berteriak-teriak meminta pertolongan. Tapi orang tadi (yang hafal buku teori berenang) justru berkata: “Tunggulah sebentar. Saya buka dulu buku teori belajar berenang. Saya akan baca cara menolong orang yang tenggelam”.
Lihatlah perumpamaan batil yang buruk ini! Wal ‘iyâdzu billâh!
Di manakah letak persamaan antara ilmu dan perumpamaan ini? Lagipula, apakah semua orang hanya sibuk dengan membaca dan mempelajari buku teori belajar berenang saja? Mereka mendapatkan perumpamaan seperti ini dari waswasatusy-syaithân (bisikan setan), sehingga membuat orang-orang tidak suka ilmu, dan akhirnya mereka pun jauh dari ilmu dan para ulama.
PERINGATAN!
Salah satu hal yang berbahaya pula pada Jama’atut-Tablîgh adalah merubah-rubah makna hadits dari makna yang sesungguhnya. Contohnya hadits yang berbunyi:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ
Dari (tanda-tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.[13]
Apa yang mereka artikan dari makna hadits ini? Mereka berkata: “Jika kamu melihat apapun yang terjadi di masjid, maka jangan kamu ingkari; karena Rasul telah bersabda … ,” mereka pun membawakan hadits tadi.
Lihatlah! Dengan pemahaman seperti itu, mereka membatalkan amar ma’rûf dan nahi munkar denganOleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari hujjah hadits di atas. Ini adalah kebatilan!
Lalu, apakah amar ma’rûf dan nahi munkar tidak bermanfaat bagi kita? Hingga bisa-bisanya mereka berhujjah dengan hadits di atas? Inilah substansi kebatilan.
Demikianlah, sebagian bid’ah-bid’ah mereka. Wal ‘iyâdzu billâh Tabâraka wa Ta’ala.
Penulis: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri (1/52 no. 109), dan lain-lain, dari Salamah bin Al ‘Akwa’.
[2]. HR al-Bukhâri (1/434 no. 1229), Muslim (1/10 no. 4), dan lain-lain, dari al-Mughiirah bin Syu’bah a.
[3]. HR Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya (1/8), dari al-Mughiirah bin Syu’bah a.
[4]. HR al-Bukhâri (1/171 no. 434), Muslim (1/459 no. 649), dan lain-lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dan lafazh hadits di atas dalam Shahîh al-Bukhâri.
[5]. Apa hubungan antara penyakitnya dengan kesalahan dalam membaca harakat pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas? Sungguh sebuah alasan yang secara zhahirnya mengada-ada dan tidak tepat pula. Wallahul- Musta’ân. (Pent).
[6]. Orang mungkin memahami ; bukankah ini hanya aturan untuk ketertiban seperti jam dan jadwal sekolah? Jawabannya : Tidak demikian, sebab autran yang mereka buat sebagai disiplin beragama, sedangkan jam dan tanggal hanya aturan administrasi dan tidak terkait dengan disiplin beragama.
[7]. Lihat pula ayat-ayat serupa dalam Surat al-‘Ankabût/29 ayat-61, az-Zumar/39 ayat-38, dan az-Zukhruf/43 ayat 9. (Pent).
[8]. HR al-Bukhâri (6/2655 no. 6852) dari hadits Jabir bin Abdillah.
[9]. Lihat Syarhu Ushûli I’tiqâdi Ahlis-Sunnati wal-Jamâ’ah (1/200), karya al-Imam Abul-Qâsim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshûr ath-Thabari al-Lâlikâ`i (418 H).
[10]. Lihat Dzammul-Kalâmi wa Ahlihi (2/72 no. 229), karya Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al- Anshâri al-Harawi (396-481 H).
[11]. HR al-Bukhâri (1/39 no.71), Muslim (2/718 no. 1037), dan lain-lain, dari hadits Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
[12]. Lihat Dzammul-Kalâmi wa Ahlihi (5/80-81 no. 872).
[13] HR at-Tirmidzi (4/558 no. 2317), Ibnu Majah (2/1315 no. 3976), dan lain-lain, dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (2/530-531 no. 2317), Shahîh Sunan Ibnu Majah (3/302 no. 3226), dan kitab-kitab beliau lainnya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/