Para ulama ahlus sunnah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, telah menggoreskan dalam tinta emas mereka, di buku-buku aqidah yang mereka tulis, tentang kewajiban taat terhadap penguasa muslim, meskipun penguasa tersebut adalah penguasa yang dzalim (jahat) [1]. Dalam kesempatan ini, kami akan menyebutkan secara lebih rinci hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah ini. Semoga hal ini menjadi bekal bagi kita dalam menghadapi situasi yang penuh dengan fitnah ini.
Kewajiban Taat terhadap Penguasa Muslim, Meskipun dalam Kondisi tidak Ideal
Pertama, Hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengarlah dan taat, meskipun penguasa (pemimpin) kalian adalah seorang budak Habsyi (budak dari Ethiopia), yang kepalanya seperti kismis (anggur kering) (karena secara fisik, mereka berambut keriting seperti anggur kering yang mengkerut, pen.)” (HR. Bukhari no. 693)
Marilah kita memperhatikan hadits di atas dengan seksama. Dalam kondisi ideal, seorang budak Habsyi tidak sah ditunjuk (dipilih) menjadi khalifah yang mengatur urusan seluruh negeri kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, jika realitanya demikian (misalnya ada seorang budak Habsyi yang berhasil memberontak dan diangkat sebagai penguasa atau khalifah yang sah atas seluruh negeri kaum muslimin), apa perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita? Tetap mendengar dan taat.
Demikian pula, dalam kondisi ideal, seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Akan tetapi, jika realitanya ada seorang wanita berhasil menjadi penguasa, maka kewajiban kita tetap mendengar dan taat.
Kedua, Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)
Saudaraku …
Hadits ini sungguh sangat berat diterima oleh orang-orang yang bersemangat melakukan berbagai aksi menentang penguasa. Ketika dia melihat kedzaliman penguasa muslim, apakah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan? Apakah melakukan berbagai aksi demonstrasi? Tidak. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersabar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan makna “mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah” dalam hadits di atas dengan mengatakan,
فَقَدْ ذَكَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُغَاةَ الْخَارِجِينَ عَنْ طَاعَةِ السُّلْطَانِ وَعَنْ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَذَكَرَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إذَا مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً؛ فَإِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَكُونُوا يَجْعَلُونَ عَلَيْهِمْ أَئِمَّةً؛ بَلْ كُلُّ طَائِفَةٍ تُغَالِبُ الْأُخْرَى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pemberontak yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa (pemerintah) yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin (yaitu ikatan jamaah kaum muslimin di bawah satu komando penguasa, pen.). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan jika mereka mati, mereka mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah. Karena orang-orang jahiliyyah tidaklah menjadikan satu orang pemimpin di tengah-tengah mereka yang mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, satu kabilah (suku) akan memerangi suku yang lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 28/487)
Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyyah di atas, “mati jahiliyyah” bukanlah mati di atas kekafiran sebagaimana anggapan sebagian kelompok yang menyimpang dalam masalah ini. Akan tetapi, yang dimaksud adalah orang-orang jahiliyyah dulu (sebelum Islam) tidak mempunyai penguasa. Tidak ada satu penguasa sah (resmi) di Mekah pada masa jahiliyyah yang mengatur urusan-urusan mereka. Padahal, kota Mekah itu terdiri atas berbagai suku (kabilah). Jadilah mereka hidup di atas fanatisme kesukuan, mereka akan memerangi kabilah lain untuk bertahan hidup.
Ketiga, Hadits dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu
Junadah bin Abi Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami menemui ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu ketika beliau sedang dalam kondisi sakit. Kami mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaanmu (menyembuhkanmu, pen.). Sampaikanlah kepada kami suatu hadits yang Engkau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah memberikan manfaat (pahala) kepadamu dengan sebab hadits yang Engkau sampaikan (kepada kami).”
Sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat kepada penguasa muslim yang dzalim, yaitu meskipun perintahnya tidak kita sukai (kita benci), dan meskipun penguasa tersebut mendzalimi hak-hak rakyat demi kepentingan dirinya sendiri.
Keempat, Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar dan taat adalah kewajiban setiap muslim, (baik perintah yang diberikan oleh penguasa) adalah hal-hal yang dia sukai atau dia benci, selama penguasa tersebut tidak memerintahkan maksiat. Jika penguasa tersebut memerintahkan maksiat, maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat (dalam perintah maksiat tersebut, pen.).” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita, jika penguasa memerintahkan kita berbuat maksiat dalam satu perkara, maka tidak boleh taat dalam satu perintah tersebut. Akan tetapi, kita wajib taat dalam (seluruh) perintah yang lain yang bukan maksiat. Perhatikanlah baik-baik maksud hadits ini, supaya kita tidak salah paham. Karena sebagian orang menyangka, bahwa jika penguasa memerintahkan satu perintah maksiat, itu artinya boleh tidak menaatinya dalam semua perintahnya yang lain yang bukan maksiat. Ini adalah kekeliruan dan salah paham yang sangat fatal akibatnya. [2]
Hubungan antara Penguasa dan Rakyat Menurut Ajaran Islam bukanlah Hubungan Timbal BalikSebagian orang menyangka bahwa hubungan antara pemerintah dan penguasa adalah hubungan timbal balik. Maksudnya, jika pemerintah berbuat baik kepada rakyat, maka rakyat pun taat kepadanya. Sebaliknya, jika pemerintah berbuat dzalim, maka rakyat boleh untuk tidak taat kepadanya. Ini adalah anggapan yang tidak benar, karena tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit rahimahullah yang telah kami sebutkan di seri sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat meskipun sang penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri,
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا
“ … meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.) … “ (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Hal ini pun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan kembali di sabda beliau yang lainnya, dengan mengatakan,
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku adanya (penguasa) yang lebih mementingkan pribadinya (dengan menelantarkan hak rakyat, pen.) dan berbagai kemunkaran (yang dilakukan oleh penguasa, pen.) yang kalian ingkari (karena hal itu adalah maksiat dan kemunkaran, pen.).”
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum mengatakan, “Bagaimanakah yang Engkau perintahkan kepada siapa saja di antara kami yang menjumpai masa-masa itu?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian (berkaitan dengan hak penguasa, pen.), dan mintalah hak kalian kepada Allah Ta’ala (yang tidak diberikan oleh penguasa, pen.).” (HR. Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843. Lafadz hadits ini milik Muslim.)
Lihatlah, ketika penguasa menelantarkan hak-hak rakyat, maka Nabi perintahkan kita agar kita tetap melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat biasa, yaitu mendengar, taat, bersabar dan mendoakan penguasa dengan doa kebaikan. Adapun hak kita yang tidak ditunaikan oleh penguasa dzalim tersebut, kita minta hak tersebut kepada Allah Ta’ala. Inilah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, yaitu manusia mulia yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya.
Hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat menurut petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hubungan timbal balik. Maksud hubungan timbal balik adalah jika salah satu pihak (pihak pertama) menunaikan hak orang lain (pihak ke dua), maka pihak ke dua menunaikan hak pihak pertama sebagai bentuk kompensasi. Dan jika pihak pertama tidak menunaikan hak pihak ke dua, maka pihak ke dua boleh untuk tidak menunaikan kewajibannya terhadap pihak pertama.
Contoh hubungan timbal balik adalah interaksi antara suami dan istri. Jika sang suami tidak memberikan nafkah kepada istri, maka istri boleh untuk tidak melayani sang suami ketika suami meminta hubungan biologis, misalnya. Sebaliknya, jika istri tidak menunaikan hak suami dengan selayaknya, boleh bagi suami untuk menahan nafkah istri dengan tidak memberikannya. Ini adalah contoh hubungan timbal balik dalam ajaran Islam.
Namun, hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan timbal balik. Artinya, jika penguasa (pemerintah) tidak menunaikan apa yang menjadi hak rakyat, atau bahkan dzalim terhadap rakyat, hal ini tidaklah menggugurkan kewajiban rakyat untuk tetap taat kepada pemerintah dalam hal-hal kebajikan (hal yang ma’ruf). Rakyat tetap wajib menunaikan hak pemerintah, yaitu mendengar dan taat. Karena jika rakyat boleh menentang penguasa, maka akan timbul kerusakan yang lebih besar, berupa kekacauan dan instabilitas keamanan.
Salamah bin Yazid Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟
“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu.
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR. Muslim no. 1846)
Hadits ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat bukanlah hubungan timbal balik. Karena kewajiban bagi masing-masing pihak adalah menunaikan apa yang menjadi kewajiban masing-masing pihak tersebut.
Ketika Muncul para Pemimpin Berhati Setan namun Berjasad Manusia
Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟
“Wahai Rasulullah, dulu kami berada di atas kejelekan (jahiliyyah), kemudian Allah Ta’ala mendatangkan kebaikan yang kami sekarang berada di atasnya (yaitu Islam). Maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?”
Rasulullah menjawab, “Iya.”
Hudzaifah berkata, “Apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?”
Rasulullah menjawab, “Iya.”
Hudzaifah berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?”
Rasulullah menjawab, “Iya.”
Hudzaifah berkata, “Bagaimanakah bentuk kejelekan tersebut?”
Rasulullah menjawab,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada setelahku para pemimpin (penguasa) yang mereka tidak melaksanakan petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku (ajaranku). Akan ada di tengah-tengah mereka sejumlah penguasa yang berhati setan, raganya saja yang berwujud manusia.”
Hudzaifah kembali bertanya, “Apa yang harus kami perbuat jika kami menjumpai masa tersebut?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Hendaklah Engkau mendengar dan taat kepada penguasa, meskipun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan adanya pemimpin yang sangat bengis dan kejam, yang beliau gambarkan sebagai seorang pemimpin berhati setan, namun berwujud (berjasad) manusia. Tidak bisa kita bayangkan bagaimanakah bengisnya penguasa muslim tersebut. Namun, jika kita menjumpai pemimpin dengan model semacam itu, bagaimanakah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kita? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk tetap mendengar dan taat.
Dalam lafadz lain dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ
“Kemudian akan ada da’i-da’i penyeru kesesatan. Jika pada masa itu Engkau menjumpai penguasa di muka bumi, maka hendaklah Engkau komitmen (taat) dengan penguasa tersebut. Meskipun dia membuat kebijakan yang membuat badanmu kurus kering dan merampas hartamu.” (HR. Ahmad 5/403, Al-Hakim 4/432, Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj no. 5783, Al-Bazzar dalam Musnad no. 2569, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no. 36450. Hadits ini dinilai hasan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad.)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan hadits lain yang semakna dengannya, para ulama mengutip ijma’ tentang dikecualikannya penguasa dalam masalah bolehnya seseorang mempertahankan (membela) diri ketika ada orang lain yang menyerangnya karena menginginkan nyawa dan hartanya secara dzalim, meskipun dengan membunuh orang yang menyerang tersebut. Ibnul Mundzir rahimahullahu Ta’ala mengatakan,
والذي عليه أهل العلم أن للرجل أن يدفع عما ذكر إذا أريد ظلما بغير تفصيل إلا أن كل من يحفظ عنه من علماء الحديث كالمجمعين على استثناء السلطان للآثار الواردة بالأمر بالصبر على جوره وترك القيام عليه
“Yang menjadi (kesepakatan) ahlul ‘ilmi (ulama) bahwa seseorang boleh membela diri dari perkara yang disebutkan -yaitu berkaitan dengan nyawa dan hartanya- jika (nyawa dan hartanya tersebut) diinginkan oleh orang lain secara dzalim. Dan para ulama tidak memberikan rincian dalam masalah ini (maksudnya, siapapun yang menyerang, maka boleh membela diri, pen.). Akan tetapi, yang terekam dari para ulama ahli hadits, seakan-akan mereka bersepakat (dalam masalah ini), adanya pengecualian untuk penguasa berdasarkan berbagai hadits dan riwayat yang datang tentang perintah bersabar atas kedzaliman penguasa dan tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa.” (Fathul Baari, 5/148)
____
Referensi:
Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 21-23 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428)
[1] https://muslim.or.id/38218-ketika-taat-diberi-label-sebagai-penjilat.html
[2] Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 20-21 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428)
Baca selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam menyikapi Penguasa Muslim yang dzalim #2
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.