Type Here to Get Search Results !

 


PETUNJUK NABI DALAM MENYIKAPI PENGUASA MUSLIM YANG DZALIM #3


Kesalahan Sebagian Orang yang Berdalih dengan Tindakan Sebagian Ulama Salaf yang Menentang Penguasa secara Terang-Terangan

Sebagian orang berdalil dengan tindakan sebagian ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang menentang dan memberontak kepada penguasa secara terang-terangan. Hal ini mereka sampaikan sebagai dalih atas tindakan mereka yang memperbolehkan menentang penguasa yang dianggap dzalim secara mutlak dan bahkan sebagai dalih bolehnya memberontak (menggulingkan) penguasa yang sah.

Pemikiran ini adalah pemikiran khuruj (keluar memberontak kepada penguasa) ala Khawarij yang sangat berbahaya.

Beberapa kisah yang mereka gunakan sebagai dalih, misalnya:

  • Pertama, kisah tabi’in Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala ketika menentang gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala bergabung dengan pasukan pemberontak, Ibnu Al-Asy’ats, untuk memerangi Al-Hajjaj.
  • Kedua, kisah tabi’in ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala yang juga menentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Beliau pun termasuk yang merestui dan bahkan bergabung dengan pasukan Ibnu Al-Asy’ats.

Pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats ini berahir dengan kegagalan setelah Ibnu Al-Asy’ats mati bunuh diri, dan menyebabkan terbunuhnya sekitar 130.000 orang, 4.000 orang di antaranya adalah ulama dan ahli ibadah.

  • Ketiga, kisah Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bersama dengan penduduk kota Madinah yang memisahkan diri (memberontak) dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Kisah pemberontakan ini berakhir dengan tragedi Harrah, yaitu terjadinya pertumpahan darah besar-besaran di kota Madinah, yang menyebabkan terbunuhnya sekitar 700-an sahabat Muhajirin dan Anshar, dan selain sahabat sebanyak kurang lebih 10.000 orang.

Kisah-kisah di atas dan yang lainnya lalu dijadikan sebagai dalih atas tindakan mereka yang memperbolehkan mengoreksi kesalahan penguasa secara terang-terangan di masyarakat umum, dengan dalih bahwa para ulama salaf tersebut adalah sebaik-baik contoh dan teladan.

Sanggahan atas kekeliruan pernyataan dan anggapan mereka adalah sebagai berikut.

Sanggahan pertama

Tidak boleh berdalil dengan perkataan atau perbuatan siapa pun ketika tindakan mereka tersebut menyelisihi petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini merupakan pokok-pokok aqidah ahlus sunnah yang sangat jelas dan terang benderang bagi siapa pun. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah sangat jelas memerintahkan kita untuk bersabar terhadap penguasa muslim yang dzalim dan sangat jelas melarang kita untuk memberontak kepada penguasa yang sah.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sangatlah banyak yang memerintahkan kita untuk mendahulukan perkataan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perkataan siapa pun. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah. Dan jika aku memerintahkan kalian dengan satu perintah, maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no 1337. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)

Dari sahabat yang mulia, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ

“Aku menyangka mereka akan binasa. Aku katakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’, lalu mereka mengatakan, ‘Abu Bakr dan ‘Umar melarangnya’.” (HR. Ahmad 1/337)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,

أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ

“Manusia bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya untuk menolaknya karena perkataan siapa pun.” (I’laamul Muwaqi’in, 2/282)

Oleh karena itu, perkataan atau perbuatan ulama, siapapun mereka, itu dimintai dalil-nya (apa alasan, hujjah atau dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan bukan dijadikan sebagai dalil (hujjah) untuk menolak sunnah. Karena perkataan siapa pun itu boleh diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sanggahan kedua

Para ulama telah menjelaskan sebab atau alasan serta memberikan ‘udzur atas tindakan sebagian ulama salaf tersebut di atas yang memberontak terhadap penguasa yang dianggap dzalim.

Di antaranya adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala,

“Sisi yang ke dua, barangsiapa yang berperang bukan atas dasar keyakinan yang (keyakinan ini) mendorong mereka untuk menolak sunnah dan jamaah (kaum muslimin), seperti perang Jamal dan Shiffin [1], tragedi Harrah dan Jamajim [2] dan yang lainnya, akan tetapi (yang mendorong mereka berperang) adalah sangkaan mereka bahwa dengan berperang (memberontak) akan terwujud maslahat yang mereka inginkan. Padahal, maslahat tersebut terbukti tidak (pernah) terwujud dengan pemberontakan. Bahkan, mafsadat (kerusakan) semakin membesar. Maka jelaslah bagi mereka di akhir peperangan tentang (benarnya) apa yang ditunjukkan oleh (dalil) syariat sejak pertama kalinya (yaitu, larangan untuk memberontak untuk mencegah terjadinya kerusakan yang besar, pen.).” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/538)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan,

“Adapun tragedi Harrah, Ibnul Asy’ats, dan Ibnul Muhallab [3] dan yang lainnya, mereka pun dan sahabat-sahabatnya (pendukung atau pasukannya) pada akhirnya dikalahkan (artinya, pemberontakan tersebut gagal, pen.). Jadilah mereka ini tidak menegakkan agama dan tidak pula menyisakan (mendapatkan) dunia. (Karena) Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan dengan suatu perkara yang tidak mewujudkan kebaikan agama dan dunia. Meskipun pelaku tindakan (pelanggaran) tersebut (pemberontakan) adalah wali Allah yang bertakwa dan (di akhirat nanti) termasuk penghuni surga. Maka mereka (para pemberontak saat ini, pen.) tidaklah lebih utama daripada ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, Zubair dan selainnya. Meskipun demikian tidaklah mereka (para sahabat) tersebut dipuji atas tindakan pemberontakan yang mereka lakukan, meskipun mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan memiliki niat yang baik dibandingkan selain mereka. Demikian pula, orang-orang yang memberontak pada tragedi Harrah, di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Juga pendukung Ibnul Asy’ats, di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Dan Allah Ta’ala mengampuni mereka seluruhnya.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/528)

Kesimpulan dari penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala di atas adalah tindakan sebagian sahabat dan ulama salaf terdahulu yang memberontak kepada penguasa itu hanyalah muncul dari ijtihad yang keliru dan niat yang baik, bukan karena sengaja ingin menentang dan menolak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena mereka juga manusia biasa yang bisa jadi terjatuh (tergelincir) dalam kesalahan berijtihad. Akan tetapi, kesalahan ini tidaklah menjadikan kita boleh untuk mencela dan merendahkan kehormatan mereka. Kita meyakini bahwa mereka adalah para sahabat yang mulia, bahkan termasuk para penghuni surga (ahlul jannah) radhiyallahu ‘anhum. Meskipun demikian, kesalahan ijtihad mereka ketika itu yang membolehkan pemberontakan kepada penguasa, tetap tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/543) [4]

Sumber kelima

Pada edisi kali ini, kami masih meneruskan sanggahan atas pernyataan sebagian orang yang berdalil dengan tindakan sebagian ulama salaf yang menentang dan memberontak kepada penguasa dzalim secara terang-terangan untuk membenarkan keyakinan dan tindakan mereka yang memperbolehkan menentang penguasa yang dianggap dzalim secara mutlak dan bahkan sebagai dalih bolehnya memberontak (menggulingkan) penguasa yang sah.

Sanggahan ketiga

Terdapat riwayat yang valid dari mayoritas ulama salaf tersebut bahwa mereka telah rujuk (bertaubat) dari tindakan pemberontakan yang mereka lakukan, setelah mereka mulai terjerumus di dalamnya (baru di awal pemberontakan) atau hampir terjerumus dalam pemberontakan tersebut. Mereka pun menyesal atas perbuatan dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu telah mengurungkan niatnya untuk memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyah setelah tampak baginya bahwa penduduk Irak (yang notabene adalah orang-orang Syi’ah) menyelisihi janji dan bahwa tindakannya tersebut akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan yang besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَعَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي آخِرِ الْأَمْرِ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِ الْقِتَالِ أَعْظَمُ مِنْهَا فِي فِعْلِهِ. وَكَذَلِكَ الْحُسَيْنُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَمْ يُقْتَلْ إِلَّا مَظْلُومًا شَهِيدًا، تَارِكًا لِطَلَبِ الْإِمَارَةِ ، طَالِبًا لِلرُّجُوعِ: إِمَّا إِلَى بَلَدِهِ، أَوْ إِلَى الثَّغْرِ ، أَوْ إِلَى الْمُتَوَلِّي عَلَى النَّاسِ يَزِيدَ

“Adapun ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pada akhir peperangan melihat bahwa terwujudnya maslahat dengan meninggalkan peperangan adalah lebih besar daripada meneruskan peperangan. Demikian pula Al-Husain radhiyallahu ‘anhu, tidaklah beliau terbunuh kecuali dalam kondisi terdzalimi dan dalam kondisi mati syahid. (Beliau juga terbunuh dalam kondisi) meninggalkan keinginan beliau untuk meminta kekuasaan, dan beliau meninggalkan dalam kondisi beliau meminta untuk kembali (tidak jadi memberontak, pen.), baik kembali ke negerinya, atau ke daerah paling aman, atau ke daerah yang dikuasai oleh Yazid.” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/535)

Demikian pula, ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala, setelah beliau merestui dan bahkan terlibat dalam pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats, beliau pun menyesali perbuatannya.

Dikatakan kepada beliau,

أَيْنَ كُنْتَ يَا عَامِرُ؟

“Di manakah Engkau wahai ‘Amir?”

Maksudnya, di manakah ilmu dan akalmu, wahai ‘Amir? Pertanyaan ini ditujukan kepada beliau dalam rangka mengingkari perbuatan beliau yang memasukkan diri ke dalam fitnah Ibnu Al-Asy’ats.

Kemudian ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala berkata,

كُنْتُ حَيْثُ يَقُولُ الشَّاعِرُ:

عَوَى الذِّئْبُ فَاسْتَأْنَسْتُ بِالذِّئْبِ إِذْ عَوَى … وَصَوَّتَ إِنْسَانٌ فَكِدْتُ أَطِيرُ.

أَصَابَتْنَا فِتْنَةٌ لَمْ نَكُنْ فِيهَا بَرَرَةً أَتْقِيَاءَ، وَلَا فَجَرَةً أَقْوِيَاءَ.

“Aku pada waktu itu sebagaimana dikatakan oleh penyair:

Serigala melolong, dan aku merasa nyaman dengan serigala ketika melolong

Dan ada seorang manusia yang bersuara, dan hampir-hampir saja aku terbang

(maksudnya, akal dan ilmu ketika itu seolah-olah hilang, karena tertipu dan lalai dengan ajakan atau perkataan manusia, pen.)

Maka kami terjerumus dalam fitnah. Dalam fitnah tersebut, kami bukanlah orang-orang baik yang bertakwa dan bukan pula orang durjana yang kuat dan perkasa.” (Minhajus Sunnah, 4/529. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 6/412)

Demikian pula, ketika pemberontakan Ibnu Al-Asy’atas gagal, lalu beliau dihadapkan kepada Al-Hajjaj, sangat tampak penyesalan dari diri beliau. Beliau pun menyesal atas tindakannya tersebut. Al-Hajjaj berkata kepada Asy-Sya’bi,

كَيْفَ وَجَدْتَ النَّاسَ بَعْدَنَا يَا شَعْبِيُّ؟

“Bagaimana Engkau menjumpai manusia setelah (memberontak kepada) kami, wahai Asy-Sya’bi?”

(Maksudnya, bagaimana kondisimu ketika memberontak, enak atau tidak?)

Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala berkata,

أَصْلَحَ اللَّهُ الْأَمِيرَ، قَدِ اكْتَحَلْتُ بَعْدَكَ السهر، واستوعرت السهل، وَاسْتَوْخَمْتُ الْجَنَابَ، وَاسْتَحْلَسْتُ الْخَوْفَ، وَاسْتَحْلَيْتُ الْهَمَّ، وَفَقَدْتُ صَالِحَ الْإِخْوَانِ، وَلَمْ أَجِدْ مِنَ الْأَمِيرِ خلفا

“Semoga Allah Ta’ala memperbaiki amir (pemimpin). Setelah (aku mendukung Ibnu Al-Asy’ats), aku bercelak dengan begadang (tidak pernah tidur); tanah yang landai (yang enak dilewati) justru terasa sulit; aku tidak merasa nyaman dengan tanah yang lapang; aku senang dengan rasa takut; kesusahan aku nilai sebagai suatu hal yang manis; dan aku kehilangan teman-teman yang baik. Dan aku tidak menemukan pengganti (yang lebih baik) dari pemimpin (Al-Hajjaj).” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah, 9/49)

Perhatikanlah kalimat-kalimat penyesalan Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala di atas ketika dia menceritakan kondisinya menentang Al-Hajjaj. Dan inilah kondisi pemberontak secara umum, yaitu hidup susah, lebih senang tinggal di gunung, di hutan dan di gua-gua, dan selalu diliputi rasa takut.

Sanggahan keempat

Para ulama salaf tersebut memberontak tidak semata-mata karena penguasa dzalim tersebut dianggap fasiq (pelaku dosa besar), namun karena mereka juga meyakini kafirnya sang penguasa. Dan kafirnya sang penguasa adalah berdasarkan fatwa ulama di masa itu, bukan semata-mata fatwa orang-orang bodoh.

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Yahya bin ‘Isa Ar-Ramli berkata dari Al-A’masy, “Mereka berselisih tentang Al-Hajjaj. Maka mereka bertanya kepada Mujahid (ulama besar tabi’in, pen.), lalu Mujahid berkata, “Kalian bertanya tentang orang tua yang kafir.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir, dari Asy-Sya’bi (ulama besar tabi’in, pen.), beliau berkata, “Al-Hajjaj itu beriman terhadap sihir dan thaghut, dia kafir terhadap Allah Yang Maha agung.” Demikian yang dikatakan oleh Asy-Sya’bi. Wallahu a’lam.

Ats-Tsauri berkata, “Dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus dan ayahnya (yaitu Thawus, ulama besar tabi’in, pen.), Thawus berkata, “Sungguh mengherankan saudara-saudara kita penduduk Irak. Mereka menyebut Al-Hajjaj itu seorang mukmin!” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah, 9/136)

Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang ceroboh ketika menyamakan tindakan ulama salaf terdahulu yang memberontak kepada Al-Hajjaj karena diyakini telah kafir dengan tindakan orang-orang sekarang yang mengajak atau membolehkan memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim dan tidak kafir.

Sekali lagi, tindakan ulama salaf terdahulu adalah berasal dari ijtihad yang keliru, karena memberontak tidak hanya diperbolehkan karena kafirnya sang penguasa, namun juga dengan menimbang kekuatan (pasukan dan persenjataan) yang dimiliki untuk mencegah terjadinya mafsadat yang jauh lebih besar. Hal ini, insyaa Allah, akan kami bahas dalam tulisan tersendiri.

Sanggahan kelima

Memang benar bahwa sebagian ulama tersebut merestui dan bahkan ikut memberontak terhadap penguasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa terdapat orang-orang yang lebih berilmu dan lebih tinggi kedudukannya dalam Islam, yang melarang dan mencegah mereka dari memberontak terhadap penguasa. Mereka melarang tindakan pemberontakan tersebut, dengan menyebutkan dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhum yang telah melarang Al-Husain dari memberontak terhadap penguasa (Yazid bin Mu’awiyah).

Sebagaimana Ibnu ‘Umar dan Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma telah melarang penduduk Madinah dari memberontak terhadap Yazid bin Mu’awiyah pada saat tragedi Harrah.

Dari Nafi’ rahimahullahu Ta’ala, beliau berkata, “Ketika penduduk Madinah melepas bai’at dari khalifah Yazid bin Mu’waiyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan kerabat dan anak keturunannya. Ibnu ‘Umar kemudian berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ غَدْرًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُنْصَبُ لَهُ القِتَالُ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ، وَلاَ بَايَعَ فِي هَذَا الأَمْرِ، إِلَّا كَانَتِ الفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ

“Pada hari kiamat, akan dipasang bendera untuk setiap orang yang melanggar perjanjian.” Sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (yaitu Yazid, pen.) di atas baiat Allah dan Rasul-Nya. Dan aku tidak mengetahui pelanggaran yang lebih serius daripada ketika seseorang telah membaiat seseorang di atas baiat Allah dan Rasul-Nya, kemudian dia memasang peperangan (pemberontakan) kepadanya. Dan sungguh aku tidak melihat salah seorang di atas kalian yang telah mencopotnya (dari jabatan sebagai khalifah) dan ikut-ikutan di dalamnya, kecuali ada pemisah di antara aku dan kalian.” (HR. Bukhari no. 7111)

Lihatlah bagaimana Ibnu ‘Umar berlepas diri dari tindakan penduduk Madinah yang melepas baiat dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah (tidak lagi menganggap Yazid sebagai khalifah mereka) lalu memberontak kepadanya.

Selain itu, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga telah mengingatkan ‘Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi tragedi Harrah di kota Madinah.

‘Abdullah bin Muthi’ yang merupakan salah satu pimpinan gerakan pemberontakan ini berkata kepada Ibnu ‘Umar,

اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً

“Berikan kepada Abu ‘Abdirrahman (Ibnu ‘Umar) sebuah bantal untuk duduk.”

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku ke sini bukan untuk duduk. Aku mendatangimu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melepas tangan dari ketaatan (terhadap penguasa, pen.), maka dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dan dia tidak memiliki hujjah atas perbuatannya itu. Dan barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak ada di lehernya ikatan baiat, maka dia mati sebagaimana mati jahiliyyah.” (HR. Muslim no. 1851)

Dan juga kita melihat bagaimana Al-Hasan Al-Bashri dan Mujahid dan selain keduanya rahimahumullahu Ta’ala yang telah melarang dari memberontak kepada Al-Hajjaj bin Yusuf ketika terjadi pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats.

Lihatlah bagaimana tabi’in yang mulia, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu Ta’ala menasihati penduduk Irak agar mereka bersabar terhadap kedzaliman Al-Hajjaj bin Yusuf dan tidak memberontak kepada Al-Hajjaj, untuk mencegah tumpahnya darah pada kaum muslimin. Hasan Al-Bashari rahimahullahu Ta’ala berkata,

إِنَّ الْحَجَّاجَ عَذَابُ اللَّهِ، فَلَا تَدْفَعُوا عَذَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ، وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالِاسْتِكَانَةِ وَالتَّضَرُّعِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ} [سُورَةُ الْمُؤْمِنُونَ: 76]

“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah adzab (hukuman) dari Allah. Janganlah kalian menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian. Akan tetapi, wajib bagi kalian untuk merendahkan diri dan tunduk. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon kepada-Nya dengan merendahkan diri.“ (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/529)

Oleh karena itu, taruhlah jika perkataan seseorang boleh dijadikan sebagai hujjah, tentu perkataan para sahabat dan tabi’in yang melarang dari menentang dan memberontak kepada penguasa itulah yang lebih layak untuk diikuti. Apalagi jika perkataan mereka tersebut bersesuaian dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak kami sebutkan.

Kesimpulan

Termasuk di antara pokok aqidah ahlus sunnah adalah kewajiban taat dan patuh terhadap penguasa muslim, meskipun penguasa tersebut dzalim dan lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan rakyatnya. Wajib untuk bersabar atas kedzaliman mereka dan tetap mendoakan mereka dengan kebaikan. Tidak boleh menjelek-jelekkan, menghina, merendahkan, dan menyebarkan aib mereka di muka umum. Bagi yang memiliki kebiasaan ini, hendaklah mereka menghentikannya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata,

والكلام في ولاة الأمور من الغيبة والنميمة، وهما من أشد المحرمات بعد الشرك، لا سيما إذا كانت الغيبة للعلماء ولولاة الأمور فهي أشد، لما يترتب عليها من المفاسد، من : تفريق الكلمة، وسوء الظن بولاة الأمور، وبعث اليأس في نفوس الناس، والقنوط

“Mencela pemerintah termasuk perbuatan ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba). Keduanya termasuk di antara perkara yang paling diharamkan setelah syirik, lebih-lebih lagi jika yang digunjing adalah para ulama dan pemerintah. Karena hal ini akan menimbulkan berbagai kerusakan, yaitu tercerai berainya persatuan, buruk sangka terhadap penguasa (pemerintah) dan tersebarnya rasa putus asa pada jiwa-jiwa manusia.” (Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an As’ilati Al-Manaahij Al-Jadiidah, hal. 109)

Manhaj ahlus sunnah dalam menasihati penguasa yang dinilai berbuat kesalahan adalah dengan menasihati secara tertutup dan empat mata, tidak dengan disebar-sebarkan. Adapun menasihati secara terbuka, maka diperbolehkan jika langsung disampaikan secara langsung di hadapannya (tidak di belakangnya), dengan menimbang adanya maslahat dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar. Juga dilakukan dengan penuh adab, karena tujuan asalnya adalah menginginkan kebaikan dari sang penguasa.

Adapun keyakinan sebagian orang, yang memperbolehkan nasihat secara terbuka secara mutlak, dengan berdalil tindakan sebagian ulama salaf terdahulu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Karena para ulama salaf tersebut telah keliru dalam ijtihad, kemudian mereka pun telah menyesal dan bertaubat setelah tampak timbulnya mafsadat (kerusakan) dari ijtihad mereka, berupa terbunuhnya ribuan kaum muslimin dalam berbagai tragedi pemberontakan.

Penulis:  dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

https://muslim.or.id/

____

Catatan kaki:

[1] Perang Jamal terjadi setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, yaitu antara ‘Ali bin Abi Thalib di satu sisi, dan pihak ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallahu Ta’ala ‘anhum di sisi lainnya. Sedangkan perang Shiffin terjadi antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

[2] Yang beliau maksudkan adalah tragedi Dair Al-Jamajim, yaitu perang besar-besaran antara Ibnul Asy’ats dan Al-Hajjaj, pada tahun 82 H, pada masa khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan.

[3] Yang dimaksud adalah pemberontakan Yazid bin Muhallab (Ibnul Muhallab) pada masa khalifah Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 101 H).

[4] Disarikan dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 42-45 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

[6] Disarikan dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 45-4550 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428), dengan beberapa penambahan dari penulis.

Tags