Type Here to Get Search Results !

 


TIDAK MEMULIAKAN ORANG YANG BERKEMULIAAN, KECUALI YANG BERKEMULIAAN

By Ibnu Awi: Silsilah Mutiara Perkataan Salafusshalih (10)

Baca juga: Muliakan orang tuamu

Tidak Ada Yang Paham Bagaimana Cara Memuliakan Ahli Fadhilah Melainkan Orang-Orang Yang Mempunyai Fadhilah (Keutamaan) Juga

Di kisahkan dalam kitab “Tarikh Baghdad” karangan Khathib al-Baghdadi juz 14/15, demikian pula di kisahkan dalam kitab “Al-Wafiyaat” karangan Ibnu Khulakaan juz 2/228, ketika sedang menjelaskan biografinya Imam ahli bahasa dan nahwu, imamnya orang-orang Kufah di dalam masalah nahwu yaitu Yahya bin Ziyad al-Faraa al-Kufii yang meninggal pada tahun 208 H rahimahullah. Berikut kisahnya:

Adalah sang khalifah al-Ma’mun telah memberi tugas pada al-Faraa untuk mengajari dua anaknya ilmu nahwu, pada suatu hari setelah selesai mengajar,  al-Faraa bangun ingin menyelesaikan sebagian keperluanya, maka keduanya berebut untuk mengambilkan sandal gurunya al-Faraa, keduanya saling berebut ingin mengambilkan sandalnya, lalu al-Faraa memutuskan supaya keduanya mengambil sandal tersebut satu orang satu, sehingga tidak ada yang merasa kecewa, keduanya pun melaksanakan titah gurunya, setiap orangnya mengambil satu sandal lalu di kasihkan kepada gurunya.

Sedangkan al-Ma’mun pada setiap perkaranya pasti mempunyai pelayan yang selalu mematai-matai guna mencari berita yang bisa di sampaikan kepadanya, sampailah berita tersebut kepadanya, maka di tulislah perintah untuk memanggil al-Faraa supaya menghadap kepadanya, ketika beliau sudah berada di hadapannya, berkatalah al-Ma’mun kepadanya:

“Siapa orang yang paling mulia di antara manusia?”

Beliau menjawab: “Saya tidak mengetahui ada orang yang lebih mulia (kedudukannya) melainkan paduka Amirul Mu’minin”.

Jawab al-Ma’mun: “Tentu, lantas siapa orangnya (kedudukannya apa) jika putera pangeran kaum muslimin rela saling berebut hanya untuk mengambilkan kedua sandalnya, sampai-sampai keduanya merasa senang (dengan keputusanya) supaya setiap orang mengambil satu bagian sandal?”.

Beliau menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, sungguh saya sudah berusaha mencegah keduanya untuk melakukan hal tersebut, akan tetapi saya takut kalau sekiranya saya jadi mencegah mereka malah membikin hilang sifat memuliakan orang yang telah ada pada mereka, dan membikin kecewa serta sakit hati dengan kebaikan yang keduanya miliki, yang mana mereka begitu semangat untuk memberikannya pada orang lain, sungguh telah di riwayatkan dari Ibnu Abaas bahwasanya beliau memegang (hewan tungganganya) untuk Hasan dan Husain sampai keduanya keluar dari pandanganya, maka ada salah seorang yang menyeletuk kepada beliau: “Apakah engkau mau memegangi hewan tunggangan bagi dua bocah itu, sedangkan engkau lebih berumur darinya?”.

Beliau pun marah kepadanya, lalu berkata: “Diamlah wahai orang yang bodoh, sungguh (benar) tidak ada orang yang bisa memahami bagaimana memulaikan orang yang mempunyai keutamaan melainkan orang-orang yang punya kemuliaan”.

Mendengar hal tersebut lalu al-Ma’mun berkata kepadanya: “Kalau sekiranya engkau jadi  mencegah kedua anakku tentu engkau akan saya beri ganjaran yang tidak ringan, dan saya anggap  kamu telah memperbuat suatu kesalahan yang besar, yang di lakukan oleh kedua anakku tidaklah mengapa, walaupun mereka mempunyai kemuliaan namun tidak menjadikan jatuh martabatnya bahkan yang ada malah mengangkat derajatnya, sehingga menjadi jelas keindahan akhlaknya, saya sudah memahami apa yang telah di perbuat oleh kedua anakku, seseorang tidak lah di anggap dewasa -walaupun sudah berumur-  dari tiga perkara:

Pertama, tawadhu bersama pemimpinya,

Kedua tawadhu kepada kedua orang tuanya,

dan yang terakhir tawadhu kepada orang yang mengajari ilmu kepadanya,

Dan saya sudah menyiapkan hadiah untuk keduanya sebanyak seribu dinar, sedangkan untuk kamu saya siapkan sepuluh ribu dinar atas bagusnya akhlak yang telah kamu tanamkan kepada anak-anakku”.

–Lalu dimanakah kedudukan kita sekarang dibandingkan dengan mereka para salaf?- wallaahul musta’aan…- dimanakah posisi kita terhadap pemimpin kita? dimanakah posisi kita terhadap kedua orang tua kita? dan dimanakah posisi kita terhadap guru-guru kita?

(Disadur dari kitab Aqwaal wa Hikam Min Afwaahi as-Salaf As-Shaalih, Darul Wathan)

Sumber: https://www.attabiin.com/

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.