Jadi, dalam bab ini saya hanya akan menjelaskan validitas (keabsahan) dalil-dalil yang disebutkan oleh si Habib dalam rangka melegitimasi praktik yang berkembang di masyarakat, yang –diakui atau tidak– pasti menguntungkan mereka.
Di halaman 82 dia menulis sebagai berikut: “Melakukan perjalan khusus ke pemakaman para Nabi dan wali bukanlah suatu hal yang baru bagi umat Islam. Sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini kaum muslimin sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.”
Saya katakan, ini merupakan kedustaan yang dinisbatkan kepada mereka yang hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab ia mengatakan bahwa kaum muslimin dari zaman tersebut –yang berarti para sahabat, tabi’ien, tabi’ut tabi’in dst– hingga zaman ini sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.
Mana Dalilnya Bib?
Pasti ada dong… (meski haditsnya sangat lemah/palsu, Novel tak ragu-ragu untuk menisbatkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan — hal 83-84 — ): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“:
1- مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
1- “Barangsiapa menziarahi makamku, maka dia pasti akan mendapat syafa’atku.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Bazzar, Daruquthni dan Baihaqi).
2- مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
2- “Barangsiapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR. Baihaqi).
3- مَنْ زَارَنِي مُتَعَمِّدًا كَانَ فِي جِوَارِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
3- “Barangsiapa menyengaja untuk berziarah kepadaku, maka kelak di hari kiamat dia berada dalam perlindunganku.” (HR. Baihaqi).
4- مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
4- “Barangsiapa menunaikan ibadah haji dan kemudian berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka dia seperti sedang mengunjungiku pada saat hidupku.” (HR Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi).
5- مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
5- “Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahiku, maka dia telah meninggalkanku.” (HR. Ibnu Hibban dan Daruquthni).
Sekarang, mari kita cek validitas hadits-hadits di atas…
Derajat hadits-hadits di atas secara umum adalah dhaa’ifah-waahiyah (sangat lemah), bahkan ada pula yang maudhuu’ah (palsu). Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“ليس في الأحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره” وقال -أيضاً- : “ليس في هذا الباب ما يجوز الاستدلال به، بل كلها ضعيفة، بل موضوعة”
“Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafazh menziarahi kubur beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak ada satu pun yang shahih menurut para ahli hadits. Para penulis kitab shahih pun tidak ada yang meriwayatkannya, demikian pula penulis kitab-kitab sunan yang mu’tamad seperti Sunan Abi Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan yang semisalnya. Bahkan penulis kitab-kitab Musnad yang sejenis ini pun juga tidak meriwayatkannya, seperti Musnad Ahmad dan yang lainnya[1]. Hadits-hadits ini sama sekali tidak ada dalam Muwaththa’ Malik, Musnad Syafi’i dan yang semisalnya; Tidak satu pun dari Imam kaum muslimin seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain yang berdalil dengan hadits yang menyebutkan tentang ziarah kubur Nabi”. Beliau juga mengatakan: “Dalam bab ini tidak ada yang boleh dijadikan dalil, semua haditsnya lemah bahkan palsu”.[2]
Sedangkan Imam Ibnu Abdil Hadi dalam bantahannya terhadap As Subki mengatakan:
“جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية”
“Semua hadits yang disebutkan si penentang dalam bab ini, yang menurutnya ada 17 hadits, tidak ada satu pun yang shahih, namun semuanya dha’if dan sangat lemah”.[3]
Adapun derajatnya secara khusus, untuk hadits pertama ada dua kekeliruan;
Pertama: Novel menisbatkannya kepada Tirmidzi. Siapakah Dia? Dia bukanlah Imam Muhammad bin Isa At Tirmidzi penyusun Sunan At Tirmidzi yang terkenal itu, akan tetapi Dia adalah Al Hakim At Tirmidzi dan hadits tersebut ada dalam kitabnya Nawadirul Ushuul.[4]
Saya tidak tahu mengapa Novel tidak menjelaskan hal tersebut, namun kelihatannya kemungkinannya satu dari dua: Ia menukil dari orang yang tidak paham, sebagaimana halnya dia, dalam ilmu hadits hingga tidak bisa membedakannya. Dan tidak mau mengecek kebenaran nukilan tersebut; atau ia sengaja melakukan hal itu (baca: talbis) agar terkesan bahwa hadits tadi disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya yang terkenal itu. Laa haula walaa quwwata illa billaah, sungguh memprihatinkan!
Demikian pula keberadaan hadits ini dalam Sunan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, sama sekali tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Bahkan orang yang mengamati Sunan Ad Daruquthni secara sepintas akan tahu bahwa sebagian besar hadits yang ada di dalamnya berkisar antara dha’if-munkar-waahiy dan maudhu’. Mengapa? Karena tujuan beliau menulis kitab ini ialah untuk menjelaskan hadits-hadits dha’if yang sering dijadikan dalil oleh para fuqaha’.
Kedua: dalam sanad yang disebutkan oleh Ad Daruquthni ada perawi yang bernama Musa bin Hilal. Abu Hatim mengatakan bahwa dia itu majhul, lalu Al ‘Uqaili mengatakan: laa yutaaba’u ‘ala hadietsihi[5], sedang Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia ini shaalihul hadits (baik haditsnya) dan hadits paling munkar yang diriwayatkannya adalah hadits di atas[6]. Singkatnya, hadits ini munkar (sangat dha’if).
Demikian pula dengan hadits kedua, hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ad Daruquthni dalam Sunan-nya, namun dalam sanadnya ada perawi yang majhul dan mubham (tidak diketahui identitas dan derajatnya)[7]. Jadi, hadits ini pun lemah.
Hadits ketiga juga sama dengan pendahulunya, dalam sanadnya ada perawi yang majhul[8]. Jadi… simpulkan sendiri.
Adapun hadits keempat & kelima, uff … palsu semua!! Luar biasa, Novel sungguh berani dalam hal ini. Sampai berdusta atas nama Nabi segala[9]. Dan lagi-lagi ia mengulangi talbis-nya dengan menisbatkan hadits tersebut kepada Imam Ibnu Hibban, seakan-akan beliau meriwayatkan hadits tersebut dalam Shahih-nya. Padahal hadits tersebut ada dalam kitab beliau yang berjudul Al Majruhin, alias kitab yang hanya memuat perawi-perawi dha’if beserta hadits mereka!! Bahkan liciknya, Novel tidak menukil komentar Ibnu Hibban terhadap perawi hadits ini yaitu Nu’man bin Syibel, padahal beliau mengatakan:
يَأْتِي عَنِ الثِّقَاتِ بِالطَّامَّاتِ، وَعَنِ الأَثْبَاتِ بِالمَقْلُوبَاتِ
“Ia mendatangkan bencana dari para perawi yang terpercaya, dan meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dari mereka” [10]. Kemudian menyitir hadits kelima di atas.
Subhanallah… beginikah arti sebuah amanah ilmiyah menurut Novel? Memang, kebatilan tidak akan laku kecuali dengan mempercayai para pendusta, atau mendustakan mereka yang terpercaya.
Berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau
Dalam penjelasan berikutnya (hal 84-85), Novel menggunakan qiyas yang serba rusak untuk membolehkan ziarah ke makam nabi-nabi yang lain, termasuk para ‘wali’. Ia meng-qiyaskan hal tersebut dengan adanya anjuran untuk menziarahi makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang tersebut dalam lima hadits di atas.
Mengapa qiyas di atas saya katakan serba rusak? Sebelum menjawab, perlu kita ketahui bahwa qiyas merupakan dalil keempat setelah Al Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma’. Mengingat qiyas merupakan hasil ijtihad, para ulama telah menetapkan kriteria tertentu untuk menilai kebenaran suatu qiyas. Pertama-tama kita harus tahu bahwa qiyas memerlukan empat unsur, yang dalam istilah ushul fiqih disebut: ashl, fare’, ‘illah wa hukm. Artinya: sebuah qiyas tidak mungkin terjadi tanpa adanya:
- Pokok permasalahan yang dijadikan acuan (ashlun),
- Masalah turunan yang hendak dikiaskan (fare’),
- Sebab/alasan keduanya bisa disamakan (‘illah), dan
- Hukum akhir (hukm).
Kemudian, para ulama menentukan kriteria untuk masing-masing unsur tadi. Mereka mengatakan bahwa pokok permasalahan yang dijadikan acuan haruslah memiliki nash yang jelas (manshuushun ‘alaih), artinya ada dalil yang shahih dan sharih dalam masalah itu. Sedangkan masalah turunannya haruslah masalah baru yang tidak ada dalilnya. Kemudian adakah alasan yang menyamakan antara pokok permasalahan dengan masalah turunannya? Kalau memang alasannya ada dan sama, maka qiyas bisa dilakukan. Namun jika ada tapi tidak sama maka qiyas tersebut rusak.
Sekarang mari kita cek keabsahan qiyas tersebut. Pertama, dari pokok permasalahan, dalil yang digunakan semuanya dha’if, berarti anjuran untuk menziarahi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang sah. Kedua, masalah turunan yang hendak diqiyaskan –yaitu melakukan perjalanan ziarah ke makam para Nabi, wali dan orang shalih–, telah memiliki hukum yang jelas (lihat pembahasan berikutnya). Ketiga, alasan yang digunakan pun tidaklah sama; karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama dengan Nabi-nabi lainnya, apalagi dengan orang yang dianggap wali atau shalih. Apalagi julukan ‘wali’ telah banyak disalah gunakan oleh banyak kalangan dari dahulu hingga sekarang… lantas dari mana kita bisa mengatakan bahwa si Fulan adalah wali atau orang shalih setelah dia mati? Apakah kita bisa memastikan bahwa amalan si Fulan diterima Allah hingga ia layak dijuluki orang shalih? Padahal seseorang tidak bisa dijuluki shalih kecuali jika beramal dengan ikhlas dan ittiba’, lantas bagaimana mungkin kita tahu dia ikhlas atau tidak? Itu semua adalah masalah ghaib yang hanya bisa diketahui dengan dalil qath’iy, lain tidak.
Singkatnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa disamakan dengan siapa pun dalam hal keshalihan maupun keimanannya. Kalau sudah demikian, jelaslah bahwa qiyas yang dilakukan Novel tadi serba rusak. Rusak dalilnya, rusak alasannya dan otomatis rusak pula hukum akhirnya.
Memelintir makna hadits
Tak cukup berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau, Novel bahkan memelintir makna sebuah hadits yang melarang apa yang sedang dibelanya mati-matian, yaitu acara ziarah ke makam para wali, dan orang-orang shalih, termasuk para habib tentunya…
Hadits tersebut adalah hadits muttafaq ‘alaih yang bunyinya:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِى هَذَا وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidak diikat pelana unta kecuali untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha“.
Novel mengatakan: “Saudaraku, dalam hadis di atas tidak ada larangan untuk berziarah kubur, bahkan kata kubur sama sekali tidak disebut. Hadis ini hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan ke sebuah masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga masjid diatas. Nilai ibadah di semua masjid selain tiga masjid diatas adalah sama. Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah masjid yang berada jauh dari kita untuk mengenang sejarahnya dan mencari keberkahan di sana. Buktinya, pada setiap hari Sabtu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi Masjid Quba’, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berikut:… dst”, lalu Novel mengutip haditsnya.
Saya katakan, memang kata kubur tidak disebutkan di situ, tapi mana dalilnya yang mengkhususkan bahwa larangan tersebut hanya berkaitan dengan perjalanan menuju suatu masjid selain masjid yang tiga, lalu disimpulkan bahwa perjalanan mengunjungi kuburan tidak dilarang? Jika bercapai-capai menuju sebuah masjid –yang merupakan tempat ibadah– saja tidak boleh, bukankah logikanya menuju kuburan para wali dll –yang sering kali jadi ajang kemusyrikan– lebih tidak boleh lagi?
Kemudian Novel berdalil dengan perjalanan Nabi ke Masjid Quba’ setiap hari Sabtu sbb:
كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي مَِسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا
“Dahulu pada setiap hari Sabtu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi Masjid Quba’ berjalan kaki atau berkendaraan“. (HR. Bukhari dan Muslim).
Saya katakan, yang dilarang bukanlah mengunjungi suatu masjid secara mutlak, akan tetapi kunjungan yang mengharuskan seseorang untuk ‘mengikat pelana unta’ alias safar[11]. Sedangkan perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rumah Beliau –yang berdempetan dengan Masjidnya- ke Masjid Quba’ terlalu dekat untuk disebut safar, bahkan sekarang pun orang Medinah akan tertawa jika ada yang mengatakan: “Saya akan safar dari Masjid Nabawi ke Masjid Quba’ “. Ya… sebab jarak antara keduanya tak sampai 10 km.
Lantas apa makna hadits di atas? Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu, bukan karena hal lain seperti silaturahmi, berdagang, mencari ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya. Jadi, setiap safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali tiga masjid tadi.
Saudara pasti bertanya, mana dalilnya? Simaklah riwayat berikut:
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit Thur, maka tanyanya:
“Anda datang dari mana?”
“Dari bukit Thur… aku shalat di sana”, jawab Abu Hurairah.
“Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah diikat pelana… dst”, kata Abu Basrah”.[12]
Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul[13]. Allah Ta’ala pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka[14]. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir’aun dan bala tentaranya binasa[15]. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.[16]
Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku pergi ke bukit Thur’[17]; jelas sekali dalam hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”[18].
Imam Abul Walid Al Bãji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku datang dari Bukit Thur’ mengandung dua kemungkinan; mungkin dia ke sana untuk suatu keperluan, atau dia ke sana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu Basrah: ‘Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat’, merupakan dalil bahwa Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang difahami Abu Basrah tadi benar.[19]
Kesimpulannya, perjalanan jauh atau safar yang dilarang ialah safar untuk mencari berkah atau ibadah di tempat tertentu, yang semata-mata karena tempat tersebut. Semua perjalanan yang dilakukan dengan niat tersebut adalah haram, kecuali ke Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Sedangkan safar yang dilakukan tanpa niat ibadah di tempat tertentu tidaklah termasuk dalam hadits ini, akan tetapi hukumnya tergantung tujuan safar itu sendiri, sebab pada dasarnya safar adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama.
Namun lucunya, Novel kemudian menulis (hal 85): “Oleh karena itu, sungguh aneh jika hadis ini dijadikan sebagai dalil yang melarang kita untuk menziarahi kubur para Nabi dan kaum Sholihin yang berada di luar kota, sedangkan orang yang pergi ke luar negeri, ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang.”
Lihatlah analogi yang kacau tersebut. Ia hendak menyamakan antara orang yang safar untuk ziarah kubur -yang kenyataannya justeru merupakan ajang berbagai kemunkaran, mulai dari bid’ah hingga syirik akbar-, dengan orang yang pergi ke luar negeri secara umum. Di mana letak persamaannya? Hanya Novel yang tahu.
Namun yang lebih lucu lagi ketika dia mengatakan bahwa pergi ke negara-negara kafir tidak pernah dilarang, padahal para ulama menyebutkan bahwa safar ke negara kafir hukumnya haram, kecuali dengan tiga syarat:
- Orang tersebut harus berilmu hingga bisa menepis syubhat-syubhat orang kafir.
- Orang tersebut harus memiliki iman yang kuat untuk menghadapi fitnah syahwat.
- Dia harus mampu menampakkan syiar-syiar Islam.
Lebih dari itu, ia hanya boleh safar ke negara kafir dengan alasan yang dibolehkan oleh agama, seperti mempelajari suatu ilmu yang hanya ada di negeri itu dan ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, atau berobat, atau dalam rangka dakwah, jihad, dan semisalnya.[20]
Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْ مُشْرِكٍ أَشْرَكَ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ عَمَلاً حَتىَّ يُفَارِقَ المُشْرِكِينَ إِلىَ المُسْلِمِيْنَ.
“Allah tidak akan menerima amalan seorang musyrik -yang berbuat syirik- setelah dia masuk Islam, hingga dia memisahkan diri dari kaum musyrikin kepada kaum muslimin”.[21]
Dan beliau juga mengatakan:
أَنَا بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ؟ قَالَ: لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang musyrik”. Kata para sahabat: “Mengapa wahai Rasulullah?”, “Jangan sampai api keduanya saling terlihat” jawab Beliau”.[22]
Al Imam Ibnul Atsir mengatakan bahwa jawaban Nabi di atas artinya seorang muslim harus tinggal berjauhan dengan orang musyrik, sampai kalau si muslim menyalakan api tidak terlihat oleh si musyrik. Dan ini merupakan anjuran untuk hijrah dan tinggal bersama kaum muslimin.[23]
Betapa gamblangnya kedua hadits diatas. Apakah setelah membaca kedua hadits di atas masih ada orang yang mengatakan: “Pergi ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang?”, alangkah bodohnya dia kalau begitu
Bersambung ke: Inilah dalilnya/15: Keliru dalamemahami tawasul
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary,
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
____
Catatan kaki:
[1] Ini menunjukkan bahwa para ahli hadits yang mensyaratkan untuk tidak memasukkan sembarang hadits dalam kitabnya memandang bahwa hadits-hadits di atas tidak layak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jadi, Syaikhul Islam seakan mengisyaratkan bahwa kalau dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad yang mu’tamad saja hadits-hadits tersebut tidak ada –padahal kitab-kitab ini memuat banyak hadits dha’if lainnya– berarti hadit-hadits tadi memang terlalu dha’if hingga tidak layak untuk dinisbatkan kepada Rasulullah.
[2] Lihat: Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 87-88 dan Majmu’ Fatawa 27/216 dan setelahnya.
[3] Ash Sharimul Munkiy, hal 15.
[4] Dia adalah Muhammad bin ‘Ali ibnul Hasan bin Bisyr Al Hakiem At Tirmidzi, seorang Sufi dan ahli hikmah namun akidahnya kacau (lihat: Tarikhul Islam 21/277-278 oleh Imam Adz Dzahabi). Dalam Siyar A’lamin Nubala’ (13/439), Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata berikut: Al Imam Al Hafizh Al ‘Arif Az Zahid… dst. Bila orang yang awam tentang hadits dan kitab rijaal hadits macam Novel Alaydrus membaca ungkapan ini, pasti ia akan terkecoh dan menganggap bahwa orang ini memang benar-benar imam! Tapi… jangan tergesa-gesa, sebab Imam Dzahabi dalam kitab ini sering mengucapkan kata-kata tersebut lalu menyebutkan dalam biografi yang bersangkutan hal-hal yang bertolak belakang dengan sederet gelar mulia tadi. Contohnya lihat biografi Asy Syaadzakuuni (10/679); setelah menggelarinya dengan Al Imam Al Hafizh Al Baari‘ Abu Ayyub, Sulaiman bin… dst beliau mengatakan: “Ahadul Halka”, yang artinya: Salah seorang yang celaka. Karenanya, jangan terkecoh dengan gelar sebelum membaca biografi yang bersangkutan dari awal hingga akhir.
Dalam kedua kitab tersebut Imam Adz Dzahabi menukil sebuah riwayat dari Abu Abdirrahman As Sulami (salah seorang Imam Ahlus Sunnah) bahwa Al Hakiem At Tirmidzi pernah diusir oleh orang-orang dari kota Tirmidz dan mereka bersaksi bahwa dia telah kafir tersebab kitab Khatm al Wilayah dan Milal asy Syari’ah yang ditulisnya. Dalam kedua kitab tadi ia menyebutkan bahwa para wali memiliki khatam (penutup) sebagaimana para nabi memiliki khatam. Ia bahkan menganggap bahwa kewalian lebih mulia dari pada kenabian, dengan berdalil dengan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi iri terhadap para Wali…”. Kemudian di akhir biografinya, Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku memohon keselamatan kepada Allah dari kesesatan orang-orang sufi, dan aku berlindung kepada-Nya dari kekufuran filosof kaum sufi. Mereka berkedok dengan lahiriyah Islam sembari menghancurkannya secara tersembunyi. Mereka mengaitkan orang-orang awam dengan ikatan dan simbol-simbol sufi dengan segala isyarat yang terkesan indah, demikian pula dengan ucapan mereka yang enak didengar, biografi tokoh mereka yang aneh, tata cara mereka yang ajaib, feeling mereka yang keras yang menyeret pada kehancuran dan lain sebagainya…” (Tarikhul Islam 21/278).
[5] Artinya tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadits ini dari guru yang sama. Ini merupakan indikasi bahwa perawi tersebut lemah.
[6] Lihat: Catatan kaki muhaqqiq Sunan Ad Daruquthni 3/334 (hadits no 2695).
[7] Lihat: At Talkhies Al Habier hadits no 1073, oleh Ibnu Hajar.
[8] Lihat: Syu’abul Iman, hadits no 4152. Dalam hadits itu ada perawi yang tidak jelas siapa orangnya (mubham), namun sekedar disebutkan bahwa dia adalah salah seorang keluarga Al Khattab atau Umar.
[9] Hadits keempat dinyatakan maudhu’ oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah no 47, dan Ibnu Thahir Al Maqdisi dalam Dzakhiratul Huffazh (4/5250). Intinya, para ulama sepakat akan kedha’ifannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 28.
Sedangka hadits kelima dinyatakan maudhu’ oleh As Suyuthi, Ash Shaghani, Az Zarkasyi, Ibnul Jauzy, Al Albani dll (lihat Al Fawaidul Majmu’ah no 35 oleh Asy Syaukani dan Silsilah Adh Dha’ifah no 45).
[10] Al Majruhin, 3/73. Dalam ilmu jarh wat ta’dil (kritikan dan pujian) yang kami pelajari selama di bangku kuliah, ungkapan ini merupakan isyarat bahwa yang bersangkutan tertuduh mencuri hadits, alias menisbatkan hadits-hadits mungkar ke perawi-perawi tsiqah agar terkesan sanadnya shahih.
[11] Dalilnya ialah bahwa dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh:
إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدُ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
“Safar hanyalah boleh dilakukan ke tiga masjid: Masjidil Ka’bah (Masjidil Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis)”. (HR. Muslim dalam Shahihnya no 1397). Jadi, jelaslah bahwa ‘mengikat pelana unta’ sama dengan ‘safar’.
[12] HR. Ahmad dalam Musnadnya 39/270 hadits no 23850. Hadits ini sanadnya shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4/3): “Rijaalu Ahmad tsiqaatun atsbaat” (para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam Muwaththa’-nya no 241.
[13] Lihat Surat Al Qashash: 29.
[14] Lihat Surat Al Baqarah: 63, 93 dan An Nisa’: 154.
[15] Lihat Surat Maryam: 52, dan Thaha: 80.
[16] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Thaha ayat 80.
[17] Ini menurut riwayat Imam Malik yang lebih panjang dari yang kami nukil di atas. Dalam riwayat tersebut Abu Hurairah memulai haditsnya dengan kata-kata tersebut.
[18] Lihat: At Tamhid, 23/28.
[19] Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa
[20] lihat: Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 28/3; Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 4/381, 24/44; Fatawa Lajnah Da-imah 2/107, 26/93, dan lain-lain.
[21] HR. Ibnu Majah (no 2536) dan Ahmad (no 20043) dengan sanad hasan.
[22] HR. Abu Dawud (2647) dan Tirmidzi (1604) dengan sanad yang shahih.
[23] Lihat: An Nihayah fi Gharibil Hadits 2/177.
Sumber:https://muslim.or.id/