Ziarah kubur bagi wanita
Novel mengatakan: “Sebagaimana kaum pria, para wanita juga diizinkan untuk berziarah, selama tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Bahkan mereka dianjurkan untuk menziarahi kubur para Nabi dan ulama untuk mendapatkan keberkahan mereka” [1].
Saya katakan: Mana dalilnya yang menyebutkan bahwa tujuan dari ziarah kubur ialah mencari berkah? Tidak ada satu dalilpun yang mengarah kesana. Bahkan ada sebuah hadits yang berlawanan dengan pendapatnya secara diametral!!
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kuburan” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).[2]
Kalau Novel mengatakan bahwa hadits ini disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau mengizinkan dan memerintahkan ziarah kubur, maka saya katakan: Mana dalilnya yang menunjukkan demikian??
Kalau Novel mengkhususkan larangan tersebut bagi wanita yang meratapi mayit dan bersolek secara berlebihan hingga menimbulkan fitnah bagi kaum pria, maka saya katakan: Mana dalilnya yang mengarah kesana?? Nampaknya Novel lupa bahwa judul bukunya suatu ketika menjadi bumerang baginya.
Namun hal lain yang lebih penting untuk dicermati ialah ketika dia mengaitkan ziarah kubur dengan berkah, kira-kira apa yang dia maksudkan sesungguhnya? Adakah dia ingin agar orang-orang meyakini bahwa para Nabi dan orang shaleh yang telah wafat tadi dapat memberikan berkah kepada para peziarah? Mengapa dia lebih suka mengaitkan manusia dengan orang-orang yang telah berkalang tanah, dan tidak mengaitkannya dengan Dzat yang Maha Hidup dan tidak pernah mati? Apakah dia meyakini bahwa keberkahan dapat diperoleh dengan cara seperti ini? Mana Dalilnya??
Bisakah dia mendatangkan satu dalil saja yang menunjukkan bahwa para Nabi dan orang shaleh dapat memberikan berkah kepada orang yang menziarahi mereka? Adakah para sahabat berkeyakinan demikian terhadap orang-orang paling shaleh macam Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma? Kalaulah Abu Bakar dan Umar saja tidak diyakini demikian oleh para sahabat –padahal keduanya adalah manusia paling shaleh setelah para Nabi menurut ijma’ ulama–, lantas bagaimana Novel dapat menentukan bahwa kuburan wali fulan, atau habib fulan, atau kuburan siapa pun yang marak diziarahi adalah kuburan orang shaleh?? Adakah ia mengetahui isi hati seseorang hingga bisa mencapnya sebagai orang shaleh?
Mengatur waktu ziarah
Adapun mengatur waktu ziarah, maka tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam hal ini. Namun yang ada ialah bahwa setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau keluar di akhir malam ke pemakaman Baqi’ dan mendoakan sahabat-sahabat beliau yang dikubu di sana. Hadits ini meskipun shahih, tidak berarti bahwa kita disunnahkan untuk mengatur waktu tertentu dalam berziarah, seperti mengkhususkan hari atau tanggal tertentu secara rutin untuk ziarah. Namun hadits diatas sekedar menandakan bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam.
Kemudian Novel menyebutkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Siti Fatimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menziarahi makam Hamzah bin Abdul Muthalib setiap hari Jum’at dan menandai makamnya dengan batu besar.[3]
Sekarang, marilah kita cek validitas riwayat ini. Dalam tafsirnya, Al Qurthubi menukil riwayat ini dari Abu Bakar Al Atsram dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا مسدد حدثنا نوح بن دراج عن أبان بن تغلب عن جعفر بن محمد قال: كانت فاطمة … الحديث
“Musaddad mengabarkan kepada kami, katanya: Nuh bin Darraj mengabarkan kepada kami, dari Aban bin Tighlab, dari Ja’far bin Muhammad, katanya: Konon Fatimah… dst” (seperti yang kami nukil diatas).
Sebagaimana yang pembaca lihat, bahwa dalam sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, karena Ja’far bin Muhammad –yang dijuluki As Shadiq– adalah putera dari Imam Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki Al Baqir. Ja’far As Shadiq lahir tahun 80 H dan wafat tahun 148 H [6], sedangkan Siti Fatimah wafat tahun 11 H, maka jelaslah bahwa riwayat ini sanadnya terputus karena antara kelahiran Ja’far dan wafatnya Fatimah terpaut 69 tahun! Kesimpulannya, hadits diatas derajatnya amat sangat lemah sekali, kalau tidak mau dibilang palsu!
Hadits palsu lainnya yang disebutkan oleh Novel ialah hadits berikut:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا
“Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti (kepada orang tuanya)“. (HR. Baihaqi) [7]
Setelah mengecek sumber asalnya, ternyata pada sanad hadits diatas ada perawi yang bernama Muhammad bin Nu’man (majhul/tidak diketahui keadaannya), kemudian Yahya ibnul Ala’ Al Bajali (Kadzdzab/pendusta), dan Abdul Karim Abu Umayyah (dha’if/lemah). Dari sini jelaslah bahwa hadits diatas adalah hadits palsu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah hadits dha’if-nya jilid 1 hal 125.
Lebih dari itu, secara logika hadits ini juga tidak masuk akal. Sebab mafhumnya menunjukkan bahwa bila ada seorang anak yang selama hidupnya selalu durhaka kepada orang tuanya, maka setelah orang tuanya mati dia bisa dianggap sebagai anak yang berbakti. Bagaimana? Mudah, cukup ziarah setiap minggu ke kuburan orang tuanya. Aneh khan??
Bersambung ke: Inilah dalilnya/13: Benarkah kiburan merupakan tempat terkabulnya do'a
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
____
Catatan kaki:
[1] Mana Dalilnya 1, hal 70.
[2] Hadits ini juga disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit Radhiallahu’anhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, kitabul Jana-iz, bab ke 49.
[3] Mana Dalilnya 1, hal 74. Novel menukil riwayat ini dari Tafsir Al Qurthubi 3/381.
[4] Yakni julukan untuk rawi yang hadits-nya dianggap dha’if jiddan (lemah sekali) dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[5] Lihat: Taqribut Tahdzib hal 567, tahqiq: Muhammad ‘Awwamah, cet. th 1406/1986, Daar Ar Rasyid-Suriah.
[6] Lihat: Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzy 5/97, tahqiq: DR. Basyar Awad, cet. Muassasah Ar Risalah. Lihat juga Taqribut Tahdzieb hal 141, dan hal 751.
[7] Mana Dalilnya 1, hal 74.
Sumber:https://muslim.or.id/