Type Here to Get Search Results !

 


HUKUM ASAL MUAMALAH ADALAH HALAL KECUALI ADA DALIL YANG MELARANGNYA

اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ 

Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya) 

MUQADIMAH 

Pada edisi yang lalu telah dibahas bahwa hukum asal menetapkan syarat sah dalam ibadah adalah tidak boleh kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Pada edisi kali ini akan diulas tentang hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah, yaitu perkara-perkara yang tidak termasuk ibadah. Dalam hal ini, perlu kita pahami bahwa hukum suatu persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya. Apabila hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat juga dilarang. Dan jika hukum asal suatu perkara halal maka hukum asal menetapkan syarat juga halal. 

Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah juga adalah halal dan diperbolehkan. 

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui pula bahwa dalam mu’âmalah, terutama jual beli, ada istilah syurût shihhatil bai’ (syarat sah jual beli) dan syurût fil bai’ (syarat jual beli). Yang dimaksud syarat sah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar akad jual beli itu sah. Adapun syarat jual beli adalah syarat yang ditentukan oleh salah satu pelaku atau keduanya dan tidak berkaitan dengan keabsahan jual beli, seperti syarat pengantaran barang ke rumah si pembeli, atau persyaratan pembayaran secara cicilan, atau syarat lainnya. 

Perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli dapat kita ketahui dari rincian berikut ini: 

1. Syarat sah jual beli disyaratkan pada semua jual beli, adapun syarat jual beli terkadang ada dan terkadang tidak. 

2. Jual beli tidak akan sah kecuali jika syarat sah terpenuhi, tapi jika yang tidak ada syarat jual beli maka akadnya tetap sah. 

3. Syarat sah itu tertentu, tidak berubah, dan berlaku dalam semua jual beli, adapun persyaratan dalam jual beli tidak tertentu dan bisa berbeda antara satu akad dengan akad yang lainnya. 

4. Syarat sah harus terpenuhi meskipun tidak disebutkan oleh kedua belah pihak. Adapun persyaratan dalam jual beli itu asalnya tidak ada kecuali jika dikehendaki dan disebutkan oleh salah satu pelaku akad dan disetujui oleh yang lainnya. 

5. Hukum asal syarat sah jual beli adalah tauqîfi, artinya perlu dalil. Seseorang tidak boleh menetapkan sesuatu sebagai syarat sah kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkannya. Adapun persyaratan dalam jual beli maka hukum asalnya halal dan diperbolehkan. Artinya, seseorang tidak boleh melarang suatu persyaratan yang dikehendakai pelaku akad mu’âmalah tanpa ada dalil yang melarangnya.[1] 

Persyaratan yang menjadi pembahasan kita dalam kaidah ini adalah syurût fil mu’âmalah (persyaratan dalam mu’âmalah), bukan syarat sah mu’âmalah. 

MAKNA KAIDAH 

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal persyaratan dalam mu’âmalah. Persyaratan tersebut hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal mu’âmalah itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap persyaratan tersebut. 

DALIL YANG MENDASARINYA 

Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا 

Kaum Muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.[2] 

Dan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوْفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ 

Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita) [3] 

Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ 

Mengapa ada beberapa kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullâh. Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullâh maka tidak ada hak baginya untuk melaksanakannya meskipun sejumlah seratus syarat.[4] 

Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari persyaratan mereka, namun yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingkari adalah syarat itu menyelisihi Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan syarat tertentu dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi Kitabullâh.[5] 

CONTOH PENERAPAN KAIDAH 

Berikut ini adalah contoh kasus yang masuk dalam implementasi kaidah ini: 

1. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut diantar ke rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli dan persyaratan tersebut sah karena hukum asal persyaratan itu adalah boleh. 

2. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.” Atau ia mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.”

Menurut madzhab Hambali, jual beli dengan persyaratan seperti ini tidak sah disebabkan tidak adanya perpindahan kepemilikan. Karena ada kemungkinan si Fulan rela atau tidak rela, dan ada kemungkinan si Fulan datang dan mungkin juga tidak. Sedangkan hukum asal dalam jual beli adalah berpindahnya barang dagangan dari si penjual kepada si pembeli setelah sempurnanya akad. Maka persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah. Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut sah. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya dan tidak ada dalil yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju dengan syarat tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli. Namun jika ia tidak setuju maka tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan akad itu. Jika ada yang mengatakan, “Bukankah akad tersebut masih menggantung dan kepemilikannya belum berpindah ?” Kita jawab bahwa justru itulah tujuan penetapan syarat tersebut. Artinya, si penjual tidak mau kepemilikan barang itu berubah kecuali jika si Fulan rela dengan jual beli itu atau jika si Fulan datang. 

3. Persyaratan ‘inah[6] dalam jual beli

Apabila seseorang mengatakan, “Saya jual barang ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan cara kredit, dengan syarat engkau menjualnya kembali kepadaku dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan tersebut tidak diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum asalnya boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang karena ada dalil yang melarang, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ 

Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan ridha dengan pertanian (terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan jihad, maka Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia (Allâh) tidak akan mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian kembali ke agama kalian[7] 

4. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan menempatinya dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini diperbolehkan. Demikian pula jika seseorang menjual hewan peliharaannya dengan syarat masih diijinkan memanfaatkannya selama waktu tertentu.[8] 

5. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli membebaskan budak itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Karena hukum asal menetapkan syarat dalam jual beli itu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang secara khusus melarang penetapan syarat tersebut. Dalam hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli menolak untuk membebaskan budak itu, maka hakim berhak memaksanya untuk membebaskan budak itu. 

6. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya di kemudian hari si pembeli akan menjual kembali barang itu maka si penjual pertama yang paling berhak untuk membelinya. Dalam kasus seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan persyarataan tersebut. Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk menjual barangnya kepada yang ia kehendaki, yang hal itu bertentangan dengan hakikat kepemilikan atas barang. 

Namun menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula persyaratannya. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. 

Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menunjukkan larangan terhadap syarat tersebut. Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat tersebut maka ia bisa meneruskan akad itu, namun jika tidak, maka dia tidak wajib untuk melanjutkannya. Dalam hal ini, jika di kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun tidak mau menjualnya kepada si penjual pertama, maka hakim berhak memaksanya untuk menjualnya kepada pembeli pertama itu. Karena sejak semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut dan telah menyetujuinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[9] 

Wallahu a’lam. 

_______ 

Footnote 

[1]. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa di antara perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli adalah bahwa syarat sah ditentukan oleh syariat sedangkan persyaratan dalam jual beli ditentukan oleh para pelaku akad. ( Lihat Mudzakkirah al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, II/185). 

[2]. HR. Abu Dâwûd no. 3594 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 1303. 

[3]. HR. al-Bukhâri dalam Kitab as-Syurûth, no. 2721. Muslim dalam Kitab an-Nikah, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Âmir Radhiyallahu anhu . 

[4]. HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Buyû’, no.2155. Muslim dalam Kitab al-‘Ithqi, no.1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma . 

[5]. Lihat penjelasan hadits di atas dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, al-Imam Muhyiddin an-Nawawi, Cet. XIV, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, IX/379-381. 

[6]. Yang dimaksud ‘inah adalam jual beli adalah apabila seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. (Lihat Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Nukhbah min al-‘Ulama’, 1424 H, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah, hlm. 217). 

[7]. HR. Abu Dâwûd no. 3462 dari ‘Abdullah bin ‘Umar c . Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 11. 

[8]. Sebagimana disebutkan dalam HR. al-Bukhari dalam Kitab as-Syurûth, no. 2718. Muslim dalam Kitab al-Musaqât, no. 1599 dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu. 

[9]. Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.

Sumber: https://almanhaj.or.id/