يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22)
”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2] : 21-22)
Dalam ayat ini, ketika memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata, Allah Ta’ala berdalil bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang telah memelihara mereka dengan berbagai jenis kenikmatan, yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya tidak ada, dan memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat dzahir maupun batin. Sehingga Allah pun melarang manusia untuk mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah Ta’ala dari para makhluk-Nya, sehingga mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allah dan mencintainya sebagaimana mencintai Allah Ta’ala. Padahal sesembahan-sesembahan selain Allah itu juga makhluk yang diberi rizki dan dipelihara oleh Allah Ta’ala, tidak memiliki sedikit pun di langit maupun di bumi, dan mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. (Lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 45)
Nabi Muhammad Tidak Berhak untuk Disembah
Meskipun sudah sedemikian jelasnya petunjuk dari Allah Ta’ala, namun ternyata masih banyak kita jumpai kaum muslimin yang bersikap berlebih-lebihan terhadap sebagian dari para makhluk-Nya. Salah satunya adalah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melebihi batas, sampai-sampai mengangkatnya kepada derajat yang sejajar dengan Allah, yang memiliki sifat-sifat rububiyyah seperti mencipta, mengurus makhluk, mendatangkan manfaat, dan menolak bahaya.
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menolong mereka terkait masalah-masalah yang mereka hadapi. Atau meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mengabulkan doa, keinginan atau permohonan mereka. Atau keyakinan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat memenuhi dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Demikianlah sikap yang berlebih-lebihan sebagian kaum muslimin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat-sifat yang hanya berhak dimiliki oleh Allah Ta’ala. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
”Janganlah kaliah berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah,’Hamba Allah dan Rasul-Nya.’“ (HR. Bukhari no. 3445)
Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Muhammad. Sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah ‘Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus kepada kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya serta tidak pula mengetahui hal yang ghaib.
Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, tentu Rasulullah tidak akan membiarkan pamannya yang sangat beliau cintai -yaitu Abu Thalib- meninggal dalam status sebagai orang kafir dan kekal di neraka. Dakwah beliau juga tidak akan mendapat rintangan yang bertubi-tubi dari masyarakat kafir Quraisy dan tidak perlu hijrah ke Madinah, kalau memang beliau mampu menolak segala kesulitan dan marabahaya.
Kalau Rasulullah memiliki sifat rububiyyah, tentu Rasulullah tidak akan terluka di bagian kepala dan gigi taringnya pada waktu perang Uhud. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: «كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ، وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ؟» ، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ} [آل عمران: 128]
“Pada waktu peperangan Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka di bagian kepala dan gigi taringnya. Beliau pun kemudian mengusap darahnya. Beliau bersabda, ‘Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka, melukai gigi taringnya, sedangkan dia mengajak mereka kepada Allah Ta’ala?‘ Lalu Allah menurunkan ayat, ‘Tidak ada hak apa pun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka itu’ (QS. Ali Imran [3]: 128).“ (HR. Muslim no. 1791)
Dan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya, mengapa sampai terjadi kekeringan di zaman Rasulullah, sehingga beliau pun berdoa kepada Allah Ta’ala agar hujan diturunkan?
Diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang berkhutbah. Sahabat tersebut berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَلَكَتِ المَوَاشِي، وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ، فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا
“Wahai Rasulullah, harta ternak telah binasa, jalan-jalan telah rusak (putus), berdoalah kepada Allah untuk menurunkan hujan!”
قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا»
Anas berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa,’Ya Allah, berilah kami hujan, ya Allah, berilah kami hujan, ya Allah, berilah kami hujan.’” (HR. Bukhari no. 1013)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang tidak memiliki sifat-sifat rububiyyah, sehingga tidak berhak untuk disembah. Hendaklah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai berdoa meminta kepada Rasulullah memikirkan hal ini. Semoga Allah mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Para Wali Tidak Berhak untuk DisembahPada masa sekarang ini banyak kita jumpai kaum muslimin yang di satu sisi, mereka menunaikan shalat, berpuasa, dan menjalankan seluruh rukun Islam. Namun di sisi lain, mereka juga terbiasa berdoa kepada selain Allah, bertawassul kepada para wali, dan meminta kemuliaan kepada mereka. Mereka juga memiliki keyakinan bahwa para wali bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Marilah kita memperhatikan kondisi makam para wali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Banyak di antara peziarah yang meminta berkah kepada kubur para wali, berkeliling di sekitarnya, bernadzar untuknya, dan menjadikan mereka sebagai perantara kepada Allah Ta’ala.
Padahal Allah Ta’ala telah mengingkari anggapan mereka itu dalam firman-Nya,
أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ (191) وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (192)
”Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu apapun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf [7]: 191-192)
Kalimat tanya dalam ayat tersebut bertujuan untuk mengingkari perbuatan kaum musyrikin. Maksudnya, perbuatan syirik tersebut adalah kebatilan. Buktinya, para wali itu tidak mampu menciptakan sesuatu apa pun. Mereka adalah makhluk yang lemah. Adapun yang berhak atas berbagai jenis ibadah adalah Yang Maha mencipta, yaitu Allah Ta’ala. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang lemah –yaitu para wali yang telah meninggal- disamakan dengan Yang Maha kuasa atas segala sesuatu -yaitu Allah Ta’ala–? Bagaimana mungkin makhluk disamakan dengan sang Khalik (Pencipta)? Maka seluruh sesembahan dengan segala jenisnya, baik itu batu, pohon, makam para wali, malaikat, para Nabi, atau orang-orang shalih semuanya memiliki sifat ini, yaitu tidak mampu menciptakan sesuatu apapun.
Para wali yang telah meninggal dan dimakamkan dalam kubur itu juga terbukti tidak mampu menyelamatkan diri mereka dari kematian dan juga dari alam kubur dengan segala yang ada di dalamnya. Mereka disibukkan dengan urusan dirinya sendiri, bisa jadi mereka sedang diadzab atau mendapat nikmat. Mereka juga tidak mampu mendengar doa para pemujanya.
Buktinya lagi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya sesembahan kaum musyrik Quraisy yang merupakan para wali yang shalih -seperti Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, maupun Nasr- itu mampu menolong para penyembahnya, maka kaum musyrikin tidak akan kalah dalam perang Badar, perang Ahzab, dan mereka juga tidak akan menyerah pada waktu Fathul Makkah. Adapun kaum mukminin, mereka mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala. Padahal jumlah kaum muslimin pada waktu perang Badar hanya berjumlah 300-an orang dan itu pun tidak membawa bekal dan senjata yang cukup. Sedangkan kaum musyrikin berjumlah lebih dari seribu dengan senjata yang lengkap. Maka apakah sesembahan mereka dari kalangan para wali dan orang-orang shalih itu mampu menolong mereka? Sekali-kali tidak! Hendaklah hal ini direnungkan oleh para penyembah kubur wali dan orang-orang shalih di Indonesia dengan pikiran yang jernih.
Pada Hari Kiamat, Sesembahan Mereka Itu akan Berlepas Diri dari Para Penyembahnya
Allah Ta’ala berfirman,
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ (166) وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ (167)
”(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan orang-orang yang mengikuti berkata,’Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al Baqarah [2]: 166-167)
Ini adalah berita dari Allah Ta’ala tentang kondisi kaum musyrikin pada hari kiamat agar mereka bertaubat kepada Allah Ta’ala. Merupakan rahmat Allah yang telah memberitakan kepada kita semua bahwa barangsiapa yang menyembah selain Allah, maka sesembahannya itu akan berlepas diri dari mereka pada hari kiamat. Maka perhatikanlah peringatan Allah ini. Karena ketika Allah –Yang Maha mengetahui- memberitakan sesuatu, maka sesuatu itu pasti terjadi. Adapun ucapan para penyembah kubur wali yang mengajak untuk beribadah kepada para wali, dengan mengatakan,”Di makam mereka ada berkah, di makam mereka ada ini, ada itu …”, maka semua itu hanyalah bohong semata. Jangan membenarkan dan mempercayai ucapan mereka.
Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, memberi mereka pertolongan untuk berpegang kepada agama-Nya yang lurus serta mampu mempraktekkannya dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
Sumber: https://muslim.or.id/