Type Here to Get Search Results !

 


MEMAKAN MAKANAN MAULID

Pertanyaan

Apakah boleh memakan makanan yang dibagikan dalam acara maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebagian orang ada yang berdalil bahwa Abu Lahab, ketika memerdekakan budaknya pada hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka azabnya diringankan pada hari itu. 

Jawaban 

Alhamdulillah. 

Pertama : Tidak ada dalam syariat Islam apa yang dinamakan ‘Perayaan Maulid Nabi’. Tidak ada dari para shahabat, tabi’in dan juga imam mazhab yang empat atau selain mereka yang mengenal masalah ini dalam kehidupan beragama mereka. Perbuatan ini diadak-adakan oleh sebagian pelaku bid’ah dari kalangan kebatinan yang bodoh terhadap agama. Kemudian perbuatan ini menyebar dan para ulama di setiap tempat dan zaman masih terus mengingkarinya. 

Kedua : Karena itu, semua amal shaleh yang dikhususkan pada hari itu, termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena mereka hendak menghidupkan perayaan bid’ah dalam syariat kita, seperti mengadakan perayaan, memberi makanan atau selainnya. 

Syaikh Fauzan dalam kitab Al-Bayan Li Akhtha’ Ba’dil Kitab (268-270), ‘Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran dan Sunnah memerintahkan kita untuk mengikuti syariat yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan dan melarang kita untuk mengada-ada dalam agama. Allah Ta’ala berfirman, 

قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ  

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” [Ali-Imran/3:31] 

اتَّبِعُواْ مَا أنزل إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ  

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).[Al-A’raf/7: 3] 

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ 

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.[Al-An’am/6:153] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam besabda, 

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا  

“Sesungguhnya, sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama).” 

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ 

“Siapa yang mengada-ada (dalam agama) sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka dia tertolak”. Dalam riwayat Muslim, 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 

“Siapa yang beramal (dalam agama) dengan sesuatu yang tidak bersumber dari perintah kami, maka dia tertolak.” 

Di antara perkara bid’ah munkar yang diada-adakan sebagian orang adalah peringatan maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal. Mereka yang merayakan maulid terdiri dari beberapa macam. Ada yang menjadikannya sekedar sebagai ajang pertemuan yang di dalamnya dibacakan kisah maulid, atau disampaikan ceramah dan bait-bait syair dalam acara tersebut. Ada yang membuat makanan dan aneka kua untuk dihidangkan kepada yang hadir. Ada yang melaksanakannya di masjid atau di rumah. Di antara mereka ada yang tidak cukup sampai disitu, tapi mengisi perkumpulan tersebut dengan perkara yang diharamkan seperti ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, tarian dan nyanyian, atau bahkan perbuatan syirik, seperti meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, memanggil-manggilnya dan meminta tolong kepadanya atas musuhnya dan lain sebagainya. 

Meskipun beraneka bentuknya serta tujuan dan niat pelaksananya, tidak diragukan lagi bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah yang diharamkan dan diada-adakan setelah sekian lama berlalu masa abad-abad yang utama. 

Yang pertama kali mengadakannya adalah Raja Muzaffar Abu Sa’id Kaukaburi, Raja Irbil pada akhir abad keenam, atau awal abad ketujuh Hijriah. Sebagaimana disebutkan para pakar sejarah, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khalikan dan selain keduanya. Abu Syamah berkata, “Yang pertama kali melakukan perbuatan itu di Mausil adalah Syekh Umar bin Muhammad Al-Mula, orang saleh yang ternama dan menjadi panutan penduduk Irbil dan lainnya. 

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam Kitab Al-Bidayah wan-Nihayah, 13/137, dalam sejarah hidup Abu Sa’Id Al-Kaukaburi, ‘Beliau mengadakan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal dengan perayaan yang besar.’ Berikutnya dia berkata, “As-Sabth berkata, ‘Sebagian orang yang ikut hadir dalam acara maulid itu berkata, ‘Dalam acara tersebut dipersembahkan lima ribu ekor kambing panggang, sepuluh ribu ayam, seratus ribu nampan makanan, tigapuluh ribu piring kue. Lalu kalangan sufi membacakan bacaannya sejak Zuhur hingga Fajar dan mereka menari-nari di sana.” 

Ibnu Khalikan berkata dalam Wafayatul A’yan, (3-274) : “Jika masuk awal Shafar, mereka menghias kubah-kubah (kemah) dengan berbagai perhiasan yang mewah dan indah. Lalu pada setiap kubah diisi hiburan nyanyian atau kisah-kisah. Begitulah pada setiap kubah disediakan acara khusus.” Dengan demikian, perkara paling besar yang dilakukan pelaku bid’ah dalam acara ini adalah membuat aneka macam makanan, lalu mengundang orang untuk memakannya. Apabila seoragn muslim memenuhi undangan tersebut, lalu makan makanan mereka dan duduk di hadapan hidangan mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa dia turut berpartisipasi dalam menghidupkan bid’ah dan menolong melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman, 

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah/5: 2] 

Karena itu, terdapat fatwa para ulama yang mengharamkan memakan makanan yang dibagikan pada perayaan tersebut dan pada perayaan bid’ah lainnya. Syekh Ibnu Baaz rahimahullah ditanya dengan soal berikut (Majmu Al-Fatawa, 9/74), “Apa hukum sembelihan yang dilakukan untuk merayakan maulid?” Beliau menjawab : “Jika sembelihannya ditujukan untuk orang yang dilahirkan, maka itu adalah syirik besar, adapun jika sembelihannya hanya untuk dimakan, maka tidak mengapa. Akan tetapi hendaknya tidak dimakan dan hendaknya seorang muslim tidak menghadirinya sebagai bentuk pengingkaran terhadap mereka dengan ucapan dan perbuatan. Kecuali jika dia hadir dengan maksud menasehati mereka tanpa ikut makan atau lainnya.” 

Wallahua’lam. 
Tags