Type Here to Get Search Results !

 


SIFAT NUZUL ALLAH (JAWABAN BAGI YANG MENGINGKARINYA)


Dalil Tentang Sifat Nuzul

Penetapan aqidah mengenai sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia) telah diterangkan oleh banyak hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencapai derajat mutawatir (melalui jalur yang banyak). Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

 “ Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir, kemudian berfirman : “ Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Hadits ini secara jelas  dan gamblang menunjukkan penetapan sifat nuzul bagi Allah, yakni Allah turun ke langit dunia.

Keyakinan Yang Benar tentang Sifat Nuzul

Makna nuzul dalam hadits di atas yaitu bahwa Allah turun secara hakiki ke langit dunia. Wajib bagi kita mengimaninya dan membenarkannya. Allah turun ke langit dunia yang merupakan langit yang paling dekat dengan dunia. Turun-Nya Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak seperti turunnya makhluk. Allah Ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.” (Asy-Syura: 11).

Oleh karena itu kita menetapkan nuzul dari sisi makna dan bukan dari sisi kaifyah (bagaimana cara turun). Kita menetapkannya tanpa tamsil (menyerupakan dengan sifat makhluk) dan Allah turun sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Tidak boleh menolak sifat ini ataupun menyelewengkan maknanya dengan makna yang lain. 

Jawaban Global Bagi Yang Menolak Sifat Nuzul

Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid’ah bahwasanya mereka akan menolak atau menyelewengkan sifat-sifat Allah yang tidak mereka imani, termasuk sifat nuzul ini. Mereka menolak sifat nuzul dengan berbagai alasan yang sebenarnya merupakan syubhat yang lemah.

Jawaban secara global terhadap setiap penolak sifat Allah, termasuk bagi yang mengingkari sifat nuzul, adalah sebagai berikut :

Ketika mereka menolak dan menyelewengkan makna nuzul maka ini menyelisihi dhohir nash, bahwa yang dimaksud nuzul dari dalil-dalil yang menyebutkan sifat nuzul adalah turun-Nya Allah secara hakiki sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah dan tidak sama dengan turunnya makhluk.

Yang mereka lakukan ketika menolak atau menyelewengkan makna sifat nuzul adalah menyelisih jalannya para sahabat dan para salafus shalih sesudahnya dalam memahami dan mengimani sifat nuzul. Tidak ada satupun dari salafus shalih yang menolak dan menyelewengkan makna nuzul dengan makna yang lain. Bahkan mereka telah ijma’ dalam masalah ini.

Berbagai Syubhat Penolak Sifat Nuzul dan Jawabannya 

Berikutnya akan kita bahas perincian beberapa syubhat yang dilontarkan untuk menolak sifat nuzul dan jawaban atas batilnya alasan dari syubhat tersebut. 

  • Syubhat 1: Menetapkan Allah turun bertentangan dengan akal dan turun adalah perbuatan makhluk. 

Jika ada yang mengatakan : “Mengapa engkau katakan Allah turun? Jika Allah turun, bagaimana dengan ke-Maha Tinggian Allah ? Jika Allah turun, bagaimana dengan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy ? Jika Allah turun, maka turun adalah bergerak dan berpindah. Jika Allah turun, maka turun adalah perbuatan makhluk. ”

Kita katakan bahwa itu semua itu adalah anggapan yang batil dan itu semua tidak bertentangan dengan hakikat turun-Nya Allah. Apakah kalian lebih tahu tentang hakikat turun-Nya Allah  daripada sahabat Rasulullah?. Para sahabat tidak pernah sama sekali mengatakan kemungkinan-kemungkinan seperti yang kalian katakan. Mereka semua (para sahabat) mengatakan: kami mendengar, kami beriman, kami menerima, dankami membenarkan. Sedangkan ahlu ta’thil (para penolak sifat) mereka memperdebatkan dengan perdebatan yang batil dengan bertanya mengapa begini dan mengapa begitu. Cukuplah kita katakan Allah Ta’ala turun dan kita tidak perlu memperdebatkan tentang apakah ‘arsy Allah kosong atau tidak. Adapun sifat ke-Maha Tinggian Allah, kita katakan bahwa Allah turun akan tetapi Allah tetap di atas para makhluk-Nya, karena bukanlah makna dari turun-Nya Allah akan diliputi dan dinaungi langit, karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat meliputi Allah Ta’ala.

  • Syubhat 2: Kalau Allah turun berarti Allah akan dilingkupi langit yang merupakan makhluk dan akan berada di bawahnya.

Perlu kita camkan baik-baik, bahwa ketika kita menetapkan sifat bagi Allah, maka sifat tersebut adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah dan sama sekali berbeda dengan sifat yang ada pada makhluk. Demikian pula dengan sifat nuzul. Ketika kita menetapkan Allah turun, maka turun-Nya Allah tidak sama dengan makhluk. Turun yang bermakna berpindah dari atas ke bawah sehingga tempat yang di atas akan melingkupi dzat yang telah turun ke tempat yang lebih rendah, ini adalah sifat turun yang ada pada makhluk. Adapun Allah berbeda dengan makhluk, karena Allah sendiri yang berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.” (Asy-Syura: 11).

Anggapan yang dilontarkan syubhat ini akan terjadi pada turunnya makhluk. Adapun Allah tidak sama dengan makhluk. Maha suci Allah dari keserupaan dengan makhluk. Allah turun ke langit dunia dan sama sekali tidak ada satu pun makhluk yang melingkupinya. Oleh karena itu kita wajib menetapkan sifat nuzul bagi Allah, kita tetapkan maknanya tanpa menentukan kaifiyah-nya dan tanpa menyerupakan dengan turunnya makhluk. 

  • Syubhat 3: Yang turun adalah malaikat Allah

Memaknai hadits di atas bahwa yang turun adalah malaikat Allah adalah makna yang batil. Lafadz hadits menunjukkan penyandaran perbuatan turun kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Ini menunjukkan bahwa yang turun adalah Allah sendiri. Jika yang turun adalah malaikat, apakah masuk akal jika malaikat berkata : “Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni ?”. Tidak mungkin ada yang mengatakan dengan perkataan seperti ini kecuali hanya Allah saja. Dengan ini jelaslah kebatilan penyelewengan makna seperti ini.

  • Syubhat 4: Yang Turun Adalah amrullah 

Ada pula yang memaknai bahwa yang turun adalah  amrullah (urusan/perintah Allah) yang Allah tetapkan. Ini juga makna yang batil. Karena turunnya urusan Allah akan senantiasa ada pada setiap waktu, tidak khusus pada sepertiga malam terakhir saja . Allah Ta’ala berfirman :

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ

” Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya “(As Sajadah :5)

وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ

“Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya” (Huud: 123)

  • Syubhat 5: Yang Turun Adalah Rahmat Allah 

Dikatakan pula yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Ini juga merupakan makna yang batil. Apakah rahmat Allah tidak turun kecuali hanya pada waktu itu saja?! Ini sama saja dengan membatasi rahmat Allah, padahal Allah berfirman:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An Nahl : 53).

Seluruh nikmat Allah merupakan buah dari rahmat Allah dan itu turun pada setiap waktu. Selain itu jika yang turun adalah rahmat Allah, apa faidahnya dengan turunnya rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia dan tidak sampai ke bumi ?!

  • Syubhat 6: Bukankah Bumi Itu Bulat ?

Lain lagi dengan pertanyaan orang-orang zaman sekarang. Mereka mempertentangkan masalah ini dengan pengetahuan bahwa bumi ini bulat. Mereka mengatakan bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir? Sepertiga malam jika berpindah dari satu tempat akan terjadi selanjutnya di daerah dekatnya dan seterusnya sesuai arah berputarnya bumi. Jika demikian, Allah akan selalu turun ke langit dunia karena akan ada dalam setiap waktu bagian bumi yang mengalami sepertiga malam?

Kita katakan bahwa kita mengimani Allah turun ke langit dunia pada tiap sepertiga malam terakhir. Jika kita sudah beriman dengan yakin, tidak ada lagi keraguan sedikit pun di balik keyakinan tersebut. Kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya bagaimana dan mengapa. Kewajiban kita beriman jika sepertiga malam terjadi di satu daerah, maka ketika itu pula Allah  turun. Jika sepertiga malam terakhir terjadi di daerah lain, maka ketika itu pula Allah turun di daerah tersebut. Jika telah terbit fajar di daerah tersebut maka berakhir sudah waktu turun-Nya Allah di daerah tersebut.

Kesimpulan

Ahlus Sunnah menetapkan tentang sifat turun-Nya Allah Ta’ala ke langit dunia setiap malam sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Kewajiban kita adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya tanpa menyelewengkan dari maknanya yang hakiki. Demikian pula sifat nuzul, wajib kita beriman bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia secara hakiki pada sepertiga malam terakhir dan tidak sama dengan turunnya makhluk. 

Pada saat turun, Allah akan mengabulkan orang yang berdoa, akan memberi orang yang meminta, dan akan mengampuni orang yang memohon ampun. Oleh karena itu  hendaknya kita senantiasa mencari waktu yang mulia ini untuk mendapatkan karunia Allah Ta’ala dan rahmat-Nya, melaksanakan ibadah kepada Allah dengan khusyu’, memohon ampunan kepada-Nya, dan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Tidak selayaknya seorang muslim melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Inilah buah keimanan yang benar terhadap sifat turun-Nya Allah Ta’ala. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa memanfaatkan waktu yang mulia ini. Wallahu a’lam.

Penulis : dr. Adika Mianoki, Sp.S.

Referensi : 

  1. Al ‘Uquud adz Dzahabiyyah ‘alaa Maqaasid al ‘Aqiidah al Waasithiiyyah karya Syaikh Dr. Sulthon bin ‘Abdirrahman al ‘Umairi
  2. Syarh al ‘Aqiidah al Waasithiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
  3. Syarh al ‘Aqiidah al Waasithiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh 
  4. Syarh Fathi Rabbil Bariyyah bi Talkhiisi al Hamawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin

 Sumber: https://muslim.or.id/