Baca sebelum ini: Sifat kalam antara aqidah Ahlus-Sunnah, Jahmiyah, dan Asy'ariyah #2
Aqidah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah Mengenai Sifat Kalam Allah dan Al-Qur’an
Imam Asy-Syafi’i hidup sezaman dengan awal-awal kemunculan fitnah golongan yang menyimpang, bahkan pernah berdebat dengan tokoh-tokoh generasi pertama mereka. Beliau memperingatkan mereka, dan juga mengingatkan umat Islam akan ancaman mereka yang berbahaya, serta menyeru agar masyarakat menjauhi mereka. Bahkan, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah memvonis kafir sebagian dari orang-orang yang menyimpang dari aqidah ahlus sunnah dalam masalah kalamullah, seperti Hafsh Al-Fard.
Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dengan sanad beliau sampai kepada Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (yaitu Imam Asy-Syafi’i), Imam Asy-Syafi’i raimahullah berkata,
القرآن كلام الله غير مخلوق
“Al-Qur’an adalah kalamullah, dan bukan makhluk.” (Al-Manaaqib, 1/407)
Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah juga meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Syu’aib Al-Mishri. Abu Syu’aib berkata bahwa beliau mendatangi rumah Imam Asy-Syafi’i dan bersama beliau ada Yusuf bin ‘Amr bin Yazid dan ‘Abdullah bin Hakam. Lalu datanglah Hafsh Al-Fard, seorang tokoh ahli kalam (filosof) yang sering mengajak berdebat.
Hafsh Al-Fard berkata kepada Yusuf, “Apa keyakinanmu tentang Al-Qur’an?”
Yusuf berkata, “(Al-Qur’an adalah) kalamullah. Aku tidak memiliki keyakinan selain ini.”
Setelah itu, mereka mengarahkan kepada Imam Asy-Syafi’i, sehingga Hafsh pun menghadap kepada beliau dan berkata, “Mereka semua meminta (untuk bertanya) kepadamu.”
Imam Asy-Syafi’i menjawab, “Tinggalkanlah debat semacam ini.” Namun Hafsh terus mendesak beliau.
Imam Asy-Syafi’i pun bertanya kepada Hafsh, “Apa keyakinanmu tentang Al-Qur’an?”
Hafsh menjawab, “Al-Qur’an itu makhluk.”
Imam Asy-Syafi’i pun bertanya lagi, “Dari mana Engkau mengatakan itu?”
Hafsh tetap mengatakan demikian (Al-Qur’an itu makhluk), sementara Asy-Syafi’i tetap membantahnya dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu kalamullah dan bukan makhluk. Akhirnya, beliau mengkafirkan Hafsh dan memutuskan untuk tidak mempedulikannya.” (Al-Manaaqib, 18/56)
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi melalui sanad lainnya dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman. Pada bagian akhir kisah, dia mengatakan bahawa Hafsh berkata,
أراد الشافعي قتلي
“Asy-Syafi’i ingin membunuhku.”
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Ketika Asy-Syafi’i berbicara kepada Hafsh, Hafsh mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Lalu Asy-Syafi’i mengatakan,
كفرت بالله العظيم
“Engkau (Hafsh) telah kafir terhadap Allah Yang Maha Agung.” (Al-Manaaqib, 1/407) [1]
Dari sini, jelaslah bahwa aqidah Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah di atas aqidah sunnah, dan beliau memberikan pembelaan terhadap aqidah yang lurus ini. Hal ini sekaligus menepis anggapan sebagian orang bahwa beliau hanya pakar dalam bidang fiqh, namun bukan pakar di bidang aqidah. Bagaimana mungkin kita katakan bahwa beliau (hanya) pakar di bidang fiqh, padahal beliau hidup di tengah-tengah fitnah (kerusakan) Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan kelompok menyimpang lainnya dalam masalah aqidah, dan beliau membantah mereka semua dengan ilmu dan hujjah yang ada pada diri beliau. Semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi saudara-saudara kita yang (mengaku) mengikuti madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, namun mengikuti Asy’ariyyah dalam masalah aqidah.
Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah tentang Kalamullah
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, setelah beliau beraqidah dengan aqidah Mu’tazilah sampai berusia sekitar 40 tahun, akhirnya bertaubat dan memeluk aqidah ahlus sunnah di akhir kehidupannya [2]. Hal ini tampak pula dengan perkataan-perkataan beliau tentang sifat kalam di salah satu kitab terahir beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah.
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,
ونقول: إن كلام الله غير مخلوق
“Kami mengatakan: sesungguhnya kalam Allah bukanlah makhluk.” (Al-Ibaanah, hal. 219)
Beliau rahimahullah juga berkata,
ونقول: إن كلام الله غير مخلوق، وأن من قال بخلق القرآن فهو كافر.
“Kami mengatakan: sesungguhnya kalam Allah bukanlah makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dia telah kafir.” (Al-Ibaanah, hal. 226)
Tidak berhenti sampai di sini, beliau rahimahullah juga membahas panjang lebar tentang dalil-dalil penetapan sifat kalam Allah, dan juga mendebat golongan Jahmiyyah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. Hal ini tidaklah mengherankan karena beliau lama bergelut dengan aqidah Mu’tazilah dan ilmu kalam sehingga sangat paham tentang cara, metode, dan logika berpikir mereka, yang nenek moyangnya tidak lain dan tidak bukan adalah Jahmiyyah itu sendiri. Ketika Jahmiyyah dan Mu’tazilah menggunakan akal untuk mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka Abul Hasan Al-Asy’ari menggunakan dalil-dalil akal pula untuk merontokkan dalil-dalil akal logika mereka. [3]
Di antara argumentasi beliau, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,
ويلزم من يثبت أن كلام الله مخلوقا أن يثبت أن الله غير متكلم ولا قائل، وذلك فاسد، كما يفسد أن يكون علم الله مخلوقا، وأن يكون الله غير عالم.
“Konsekuensi dari mengatakan bahwa kalam Allah itu makhluk adalah menetapkan bahwa Allah itu tidak bisa berbicara (bisu), dan keyakinan ini adalah fasid (rusak). Sebagaimana rusaknya (keyakinan) bahwa ilmu Allah adalah makhluk, sehingga jadilah Allah itu tidak memiliki ilmu.” (Al-Ibaanah, hal. 309)
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata mendebat Jahmiyyah,
ويجب عليهم إذا زعموا أن كلام الله لموسى خلقه في شجرة؛ أن يكون من سمع كلام الله عز وجل من ملك أو من نبي أتى به من عند الله أفضل مرتبة من سماع الكلام من موسى؛ لأنهم سمعوه من نبي ولم يسمعه موسى من الله عز وجل، وإنما سمعه من شجرة
“Konsekuensi dari persangkaan mereka bahwa kalam Allah kepada Musa itu diciptakan di sebuah pohon, maka siapa saja yang mendengar kalam Allah yang datang dari Allah melalui malaikat atau Nabi, itu lebih utama kedudukannya daripada (mendengarnya) Musa. Karena mereka mendengar kalam Allah melalui Nabi, sedangkan Musa tidaklah mendengar dari Allah, karena Musa hanyalah mendengar melalui pohon.” (Al-Ibaanah, hal. 315)
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan keteguhan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam memegang aqidah ahlus sunnah yang berkaitan dengan sifat kalam Allah.
___
Catatan kaki:
[1] Dikutip dari: Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbaatil ‘Aqidah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-‘Aqil, penerbit Adhwa’ As-Salaf, cetakan pertama, tahun 1429, hal. 363-365.
[2] Silakan dilihat kembali tulisan kami:
[3] Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, karya Abul Hasan Al-Asy’ari, tahqiq: Shalih bin Muqbil bin ‘Abdullah Al-Ushaimi At-Tamimi, cetakan pertama, penerbit Daarul Fadhilah, Riyadh KSA, hal. 306-335.
Baca juga: Sifat Allah, apakah hanya 7 ataukah 20? || Dimanakah Allah?
Munculnya Bid’ah “Lafdziyyah” dan Bid’ah “Al-Waaqifah”
Setelah munculnya penyimpangan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, muncul lagi bid’ah yang baru, yaitu bid’ah lafdziyyah dan bid’ah al-waaqifah.
Bid’ah lafdziyyah adalah perkataan yang dipopulerkan oleh pengikut Jahmiyyah,
لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ
"Lafadzku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk.”
Sedangkan bid’ah al-waaqifah adalah perkataan mereka,
لَا أَدْرِي مَخْلُوق أَو لَيْسَ بمخلوق
“Aku tidak mengetahui (tawaqquf atau abstain), apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam Al-Ushuul As-Sunnah,
وَإِيَّاك ومناظرة من أحدث فِيهِ وَمن قَالَ بِاللَّفْظِ وَغَيره وَمن وقف فِيهِ فَقَالَ لَا أَدْرِي مَخْلُوق أَو لَيْسَ بمخلوق وَإِنَّمَا هُوَ كَلَام الله فَهَذَا صَاحب بِدعَة مثل من قَالَ هُوَ مَخْلُوق وَإِنَّمَا هُوَ كَلَام الله لَيْسَ بمخلوق
“Jauhilah berdebat dengan orang yang mengada-ada dalam masalah ini (yaitu, yang berkata kalau Al-Qur’an itu makhluk, pen.) dan dengan orang-orang lafdziyyah atau yang lainnya, atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini, yaitu yang berkata, “Aku tidak mengetahui apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, akan tetapi yang jelas Al-Qur’an itu kalamullah.” Orang seperti ini adalah ahlul bid’ah, semisal dengan orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. (Keyakinan ahlus sunnah adalah) Al-Qur’an itu kalamullah dan bukan makhluk.”
Yang pertama kali mencetuskan ide lafdziyyah adalah seseorang bernama Husain bin ‘Ali Al-Karabisi (wafat tahun 245 H) di masa Imam Ahmad rahimahullah. Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
فَأَوَّلُ مَنْ أَظْهَرَ مَسْأَلَةَ اللَّفْظِ حُسَيْنُ بنُ عَلِيٍّ الكَرَابِيْسِيُّ
“Orang yang pertama kali mempopulerkan lafdziyyah adalah Husain bin ‘Ali Al-Karabisi.” (Siyar A’laam An-Nubalaa, 11/289)
Bid’ah lafdziyyah hanyalah ingin membuat masalah menjadi kabur. Karena perkataan “lafadzku” bisa bermakna dua hal yang berbeda:
Pertama, “lafadz” dalam arti “suara manusia”, yang dihasilkan dari gerakan mulut, bibir, gigi dan lidah serta dihasilkan oleh pita suara. Maka suara manusia adalah makhluk, apa pun yang diucapkan, baik itu Al-Qur’an atau bukan Al-Qur’an.
Kedua, “lafadz” dalam arti “apa yang diucapkan”. Jika yang diucapkan adalah Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu bukan makhluk, akan tetapi kalamullah. Sedangkan jika yang diucapkan adalah selain Al-Qur’an, maka hal itu tentu saja makhluk.
Ucapan semacam ini hanyalah dimunculkan oleh Jahmiyyah untuk membuat aqidah menjadi kabur dan rancu. Pada asalnya, ucapan ini tidak kita benarkan, tidak pula kita salahkan, karena memang ada kemungkinan benar dan salah. Akan tetapi, karena sebetulnya yang mereka maksudkan adalah makna yang ke dua, namun mereka sengaja memakai kalimat yang multi tafsir supaya tidak tampak nyata penyimpangan mereka, maka para ulama pun kemudian melarang ucapan semacam ini. Ucapan inilah yang kemudian menjadi syi’ar di antara syi’ar-syi’ar kelompok Jahmiyyah untuk menimbulkan kerancuan aqidah di tengah-tengah kaum muslimin.
Oleh karena itulah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ جَهْمِيُّ
“Barangsiapa berkata, “lafadzku terhadap Al-Qur’an itu makhluk”, maka dia adalah pengikut Jahmiyyah.” (As-Sunnah no. 181, karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal)
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah mendengar dari ayahnya (Imam Ahmad) ketika ditanya tentang ucapan lafdziyyah. Imam Ahmad rahimahullah berkata,
هُمْ جَهْمِيَّةٌ وَهُوَ قَوْلُ جَهْمٍ، ثُمَّ قَالَ: لَا تُجَالِسُوهُمْ
“Mereka adalah Jahmiyyah. Itu adalah ucapan kelompok Jahmiyyah.” Kemudian Imam Ahmad berkata, “Janganlah kalian duduk bersama mereka.” (As-Sunnah no. 182, karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal)
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata,
مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ هَذَا كَلَامُ سُوءٍ رَدِيءٌ وَهُوَ كَلَامُ الْجَهْمِيَّةِ
“Barangsiapa yang berkata bahwa ‘lafadzku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk’, ini adalah ucapan yang jelek dan hina. Ini adalah ucapan Jahmiyyah.”
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya Al-Karabisi mengucapkan yang demikian itu?”
Imam Ahmad rahimahullah kemudian berkata
كَذَبَ – هَتَكَهُ اللَّهُ – الْخَبِيثُ
“Orang yang kotor itu (Al-Karabisi) telah berdusta, semoga Allah menghancurkannya.” (As-Sunnah, no. 186)
Kemudian tentang bid’ah al-waaqifah, ‘Utsman bin Sa’iid Ad-Daarimi rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 280 H) berkata dalam kitab beliau yang khusus membantah Jahmiyyah,
ثُمَّ إِنَّ نَاسًا مِمَّنْ كَتَبُوا الْعِلْمَ بِزَعْمِهِمْ وَادَّعَوْا مَعْرِفَتَهُ وَقَفُوا فِي الْقُرْآنِ، فَقَالُوا: لَا نَقُولُ مَخْلُوقٌ هُوَ وَلَا غَيْرُ مَخْلُوقٍ، وَمَعَ وُقُوفِهِمْ هَذَا لَمْ يَرْضَوْا حَتَّى ادَّعَوْا أَنَّهُمْ يَنْسُبُونَ إِلَى الْبِدْعَةِ مَنْ خَالَفَهُمْ وَقَالَ بِأَحَدِ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ.
“Kemudian manusia yang menulis ilmu -menurut persangkaan mereka- dan mengklaim memahami ilmu, mereka abstain dalam masalah Al-Qur’an. Mereka berkata, “Kami tidak mengatakan (Al-Qur’an itu) makhluk, dan tidak pula mengatakan (Al-Qur’an itu) bukan makhluk.” Bersama dengan sikap abstain mereka, mereka tidaklah ridha sampai mereka memvonis bid’ah bagi siapa saja yang menyelisihi ucapan mereka. Mereka (Jahmiyyah) pun berkata dengan salah satu dari perkataan ini (lafdziyyah atau al-waaqifah, pen.)” (Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah, hal. 193)
Sehingga orang-orang yang abstain (al-waaqifah), maka hakikatnya mereka sedang memelihara kebodohan. Bagaikan seseorang berdiri di tanah lapang di siang hari bolong yang terik, lalu dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui, apakah sekarang ini masih siang ataukah sudah malam?”
Hal ini karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk, tanpa meninggalkan keraguan sedikit pun. Sehingga ketika mereka “ngotot” mengatakan, “Saya tidak tahu, apakah makhluk atau bukan makhluk?”, hal ini nyata-nyata berpaling dari hidayah (petunjuk). Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah memvonis mereka sebagai ahlul bid’ah karena ucapan semacam ini tidak pernah dikatakan oleh satu pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik setelahnya.
Penulis: Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
Bersambung: Sifat kalam antara aqidah Ahlus-Sunnah, Jahmiyah, dan Asy'ariyah #4
___
Referensi:
Syarh Al-Ushuul As-Sunnah lil Imam Ahmad bin Hanbal, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’iid Raslaan hafidzahullah, Jilid 1 hal 279-287 (penerbit Daarul Minhaj, cetakan ke dua tahun 1437).
Diraasaatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’iid Raslan hafidzahullah, hal. 187-189 (penerbit Daarul Minhaj, cetakan pertama tahun 1436).